Minggu, 30 November 2008

GOL
Monolog : Dadi Reza Pujiadi

BABAK 1

(RUMAH KELUARGA SEDERHANA. RUANGAN BERISI MEJA ROTAN DAN KURSI. ADA MEJA MAKAN UKURAN KECIL. TAPI MEJA MAKAN ITU JUSTRU JADI TEMPAT TUMPUKAN PAKAIAN. KELIHATAN MUG DAN BEBERAPA GELAS. ISTRI SEDANG MENGAYUNKAN KAIN YANG DIGANTUNG DI VENTILASI. TEMPAT BEYINYA TERTIDUR. WAJAHNYA GELISAH. ISTRI BERANJAK, INGIN MENENGOK LUAR LEWAT JENDELA. TERDENGAR SUARA BAYI MENANGIS. ISTYRI KEMBALI. MENIDURKAN BAYINYA)

ISTRI
Di depan sepi, sepi sekali. Tidak kelihatan siapa-siapa. Jadi apa yang ditakuti? Jadi Asmuni itu itu tidak bisa dipercaya. Lagi, percaya sekali abang dengan omongan Asmuni. Abang kan tahu mata Asmuni sudah rabun. Bisa saja Asmuni salah lihat. Barangkali bukan orang itu.
(MELIHAT SESUATU)
Tunggu dulu! Jangan keluar dulu! Jangan keluar dulu! Jangan-jangan ini dia. Potongannya bagaimana? Tinggi besar? Bagaimana wajahnya? Sebentar, sebentar. Oh tidak, yuh dia lurus saja. Kalau orang itu cari abang, dia pasti ke sini.
(KEMBALI KE PINTU. BICARA PADA ORANG DI DALAM)
Abang? Kok jadi abang ngeper? Eh eh eh… jangan pake sarung itu. Kolong itu kan kotor. Apa sih seremnya orang itu? Sampai abang ketakutan begitu?berapa sering dia temuin abang? Jadi dia sering dating ke pangkalan ojek? Temuin abang? Bujuk-bujuk! Si Wati pernah lihat tidak? Dia kan jualan di pangkalan. Kutukupret! Kok Wati tidak pernah cerita.
Abang juga keterlaluan badut. Terlalu sopan. Terlalu baik. Sama semua orang. Tiding pandang kenal atau tidak. Biar kerjaannya Cuma tukang ojek. Tapi jiwa sosialnya tinggi. Selalu tidak enak kan. Mudah jatuh kasihan.
Jadi, orang sering ambil untung dari sifat abang, gampang manfaatin kelemahan abang. Semua orang ingin dibantu.
Sekali-kali bilang “yidak” kenapa. Malah perlu. Apalagi sekarang abang lagi pegang banyak uang. Uang orang. Tanggungjawabnya besar. Abang harus hati-hati. Harus waspada.
Semua orang tahu, siapa itu bang Iban, Bendahara GOL. GOL itu singkatan dari Grup ojek liang batu. Grup ojek yang anggotanya paling banyak dan pemasukannya paling besar di kampong ini. Cuma GOL saja yang mempunyai koperasi. Banyak yang bilang karena abang lugu, hatinya bersih.
Sekarang abang jadi Bendara. Abang pernah menjadi ketua GOL. Empat periode bertutrut-turut.
(ISTRI MELIPAT-LIPAT PAKAIAN)
Tapi sudah dating Pak Ramli, abang tidak pernah lagi naik jadi ketua. Tetapi abang yang dipercaya pegang duit tabungan tukang ojek. Semua kawan-kawannya hanya percaya, kalau soal duit jangan berikan yang lain. Harus abang Iban yang pegang.
Sekarang abang dipercaya mencari lima puluh motor baru, untuk para tukang ojek. Nah, karena kepercayaan in, persoalan dating. Abang kenal orang itu. Calo. Begundal yang sekarang selalu bikin takut abang.
Seperti apa orangnya? Mana saya tahu. Saya kan tidak pernah ke pangkalan. Yang pasti, abang bisa lari terbirit-birit bila dengar siapa saja cerita orang itu. Dan hari ini, kabar itu datangnya dari Asmuni. Aku lihat abang lari ketakutan. Blengak-blengok seperti anak babi kesasar. Apa saja ditabrak. Lalu masuk ke dalam kamar.
Saya dengar dari mulut ke mulut, abang pernah sesumbar kepada semua anggota ojek, abang pernah janji dengan orang itu. Janji apa? Apa benar bang Iban pernah berjanji? Jangan-jangn abang yang undang dia datang ke rumah ini. Tapi abang memang tidak mau bertemu. Jadi abang sembunyi? Sekarang abang ada di dalam. Sembunyi, di bawah tempat tidur. Malah kalau tidak saya larang, tadi dia sempat mau masuk ke lemari.
Saya sedih, kok bisa jadi begini. Padahal saya sudah bilang. Sudah saya ingatkan. Jangan takut! Abang kan tidak salah? Memangnya abang habis malingin rumah orang itu? Abang punya hutang sama dia? Lah kan bukan. Kenapa harus takut. Kita hanya boleh takut sama yang di atas. Yang kasih kita napas. Yang kasih hidup dan pelihara kita. Hadapi dia! Hadapin! Tanya, kapan saya pernah berjanji sama kamu? Kenapa kamu selalu bikin takut saya? Keturunan setan belang ya? Punya uka-uka ya?
Kalau abang sembunyi. Ngumpet. Mana selesai masalahnya. Malah berabe kalau orang itu tahu abang takut. Orang itu malah menganggap dirinya menang. Wah repot, kalau-kalau kita membiarkan orang yang ingin memanfaatkan kita, berada di atas angin. Bisa berbuat semaunya. Siap-siap habis itu kita diinjek, diplintir, dilipat-lipat. Abang tidak maukan?
Saya bukan menakut-nakuti abang. Justru saya ingin menolong abang. Apa benar orang itu ajak abang kongkalikong? Ajak kerjasama? Abang tidak maukan? Bilang terus terang, semua pengurus dan anggota sudah sepakat, tidak mau membeli motornya. Tidak selera.lagipula kita tidak mau berurusan denga calo. Kita hanya percaya pada sumber yang jelas. Kan beres! Habis itu juga dia bengkok, kapok kejar-kejar lagi.
Kalau dia masih. Itu namanya pemaksaan. Laporkan ke pak Ramli! Beliau kan ketua GOL. Anggota koramil yang bekingin grup, biar pak Ramli yang urus. Jadi abang tidak perlu main umpet-umpetan sama orang itu. Tapi abang malah ngelak. Habis bagaimana, Tin? Justru pak Ramli yang suruh orang itu datang ke rumah, temuin abang. Oh, jadi salah dong saya, saya masih berpikir abang yang undang itu calo kemari. Pak Ramli memang keterlaluan. Dia kira kalau namanya sudah disebut, orang langsung takut, langsung mengiyakan. Memangnya dia Undang-Undang Dasar apa? Kita bisa setuju tawaran itu calo, kalau semua juga setuju.
(KE PINTU KAMAR)
Atau abang ninta mundur saja jadi bendahara. Bagaimana? Minta orang lain menggantikan abang! Biar pengganti abang yang anbil urusan ini. Biar ada yang rasain pusing seperti kita. Yang penting bukan abang lagi yang pegang itu duit tabungan. Kalau duit itu orang lain yang apa-apakan, abang tidak perlu tanggungjawab.
Atau serahkan saja semua duitnya ke pak Ramli. Senang benar bikin susah orang. Dia memang urat malunya sudah hilang. Rakus sekali sama yang namanya duit, sama komisi. Padahal gaji bulanannya kan ada. Masak masih pungutin rejeki orang kecil. Lagi pula apa sih jasa pak Ramli sama pangkalan. Ikut mendirikan tidak. Merasakan susahnya cari langganan juga tidak. Apalagi berebutan penumpang. Datang-datang langsung menclok. Clok!
Pakai sesumbar banyak teman polisi segala, bisa melindungilah. Akhirnya diangkat dia jadi ketua, maksudnya untuk pelindung pangkalan dari pungli. Dari polisi-polisi nakal. Pelindung apaan? Tuh tukang ojek ketangkep polisi mah ketangkep aja. Malah ada polisi yang sering ke pangkalan, minta duit kopi, duit rokok, tapi masih tega tahan motor teman-temannya bang Iban.
Waktu Juki bawa penumpang terus jatuh ke comberan. Si Juki juga ditahan. Dibilang pelanggaran. Padahal Juki ama penumpang tidak apa-apa. Dasar polisi raja tega! Berapa kali tukang ojek ketangkep, tapi pak Ramli, mana pernah dia tolong. Setiap dibutuhkan, didatang ke rumahnya tidak pernah ada. Ditelpon ke HP-nya Cuma bilang iya-iya nanti diurus. Alasannya lagi tugaslah. Padahal hamper semua orang lihat dia, kerja sambilan kawal cab eke pasar induk.
Giliran tugasnya off, pas ada masalah ditunggu, tidak muncul-muncul. Datang kalau motornya sudah diurus bang Iban. Ujung-ujungnya, tetap aja kita yang bayar denda, keluarin uang kas. Terus dia datang, bilang sudah temuin itu polisi, katanya polisi minta tambah biaya inilah, biaya itulah. Pokoknya alasannya macam-macam. Pintar banget ngomongnya. Padahal waktu sama bang Iban, polisi diam saja, tidak omong apa-apa. Terpaksa bang Iban kasih berapa pak Ramli minta. Bang Iban mana berani sama Koramil. Sembrono! Sekali dicium pakai larsnya, bisa ngejoprak, lumpuh. Tidak bisa ngojek. Tidak ada duit untuk beli makan, beli susu saeful. Terus beli pakai apa? Pakai daun?
Kalau begitu mendingan tidak ada yang melindungin. Boro-boro bisa kredit motor baru lagi, Cuma jadi cita-cita doang. Giliran duitnya sudah kumpul, datang masalah baru lagi. Calo kredit motor. Calo itu menawarkan kredit murah. Sayang, motornya afkiran, alias rijek. Motor sampah. Memang sih, masih kelihatan baru. Dan kalau bang Iban mau, untungnya bisa berlipat-lipat. Tapi besok-besok anggota juga yang kena susah. Jadi mana bang Iban mau. Bang Iban lebih mementingkan cinta dan hati nuraninya. Lagipula tukang ojek yang ikut kredit, sebagian besar masih hubungan saudara dengan saya. Kalau bang Iban lecehin mereka. Sama juga lecehin keluarga besar saya. Sama juga templokin taik ke muka sndiri dong.
Memang kita miskin. Kita kere. Tetapi kita juga tidak semuanya, mau menghalalkan segala cara untuk tujuan hidup. Banyak juga yang baik, yang mau jadi baik. Tidak jambret lagi, tidak nyolong ayam lagi, tapi jadi tukang ojek. Contohnya seperti anggotanya GOL. Bisa nabung, bisa punya duit. Tapi kere pegang duit, tidak pegang duit tetap saja susah.
(DUDUK)
Pak Ramli bajingan! Adanya Cuma bikin susah orang. Makanya saya tidak pernah percaya pak Ramli kasih uang timer bulanan ke polisi. Paling dimakan sendiri. Soalnya polisi masih tetap saja ke pangkalan, minta jatah. Kena bang Iban sama semua orang pangkalan, diakalin. Digoblokin.
(SEPI)
Kok lama sih, Bang? Kalau tahu begini lebih baik tadi abang ngojek dulu. Bisa dapat dua-tiga rit kan lumayan.
(TIDAK ADA JAWABAN)
Kok dia belum datang juga? Paling abang diberakin sama Asmuni. Bagaimana sih, masa Bendahara dibohongin terus sama anggota.
(TERTAWA. SEPI)
Bang! Bang Iban?!
(TIDAK ADA JAWABAN)
Dengar tidak sih saya panggil? Masya Allah. Ini masih suara saya Bang! Jangan sampai ketakutan bgitu!
(TIDAK ADA JAWABAN LAGI)
Tuh lihat! Jawab panggilan aja tidak berani.
(KEDENGARAN SUARA BENDA-BENDA JATUH)
ISTRI
Ya Tuhan! Pasti dia masuk ke lemari!
(SUARA BENDA-BENDA JATUH MAKIN BANYAK. SUARA KALENG, SENDOK, PIRING. SUARA BAYI SAEFUL MENANGIS. ISTRI MASUK KE DALAM)
ISTRI
Abang… abang hancur semuanya Bang! Mau sembunyi gedebrak-gedebruk begitu. Kaya kucing garong ketanggor mau nyolong dendeng. Lemari itu isinya sudah full, mau masuk ke mana lagi?
(SEPI. NAYI MASIH MENANGIS. ISTRI MENGGENDONG BAYI. MEMASUKKAN DOT KE MULUT BAYINYA. BAYI BERHENTI MENANGIS. ADA SUARA PINTU DIGEDOR)
ISTRI
Ya… siapa? Tunggu sebentar.
(MASUK KE DALAM KAMAR. CEPAT-CEPAT KELUAR LAGI. SUARA GEDORAN MAKIN KENCANG. WAJAH ISTRI KHAWATIR. SUARA LAKI-LAKI BERTERIAK, MINTA DIBUKAKAN PINTU.)
ISTRI
Calo ya? Calo? Cari Bang Iban? Dia tidak di sini! Saya sendirian di rumah ini. Ya?
Kelakuan luh kaya anjing! Dasar tukang mabok! Rumah sepetak aja masuk pakai gedor pintu segala. Bin jantung orang mau ambrol. Gua laporin hansip tahu rasa luh… Tatit. Tit. Marhasan beler lagi ya? Mau siksa lu lagi? Mau bandem badan lu? Dasar tukang mabok!

(SUARA TETANGGA PEREMPUAN MEMAKI-MAKI SUAMINYA. SUARA AMUK SANG SUAMI. TETANGGA RIBUT BESAR. ISTRI GELISAH. MELONGOK KELUAR. LALU DUDUK DI KURSI. BERDIRI. MELONGOK KELUAR LAGI. MONDAR-MANDIR. ISTRI MENEKAN TOMBOL. LAMPU MENYALA, REDUP. SUARA MARHASAN MENGAMUK. SUARA BAYI MENANGIS. ISTRI MASUK KAMAR. LAMPU BERUBAH.)


BABAK II

(PANGGUNG GELAP. ISTRI IN. MEMBAWA SENTER. MENUNTUN KANTONG PLASTIK BERISI MAKANAN.)

ISTRI
Bang Iban… Bang Iban… Abang masih di sana? Apa masih begitu? Mendengar tidak mau melihat, melihat tidak mau menatap? Tambah gelap. Bang Iban terlalu. Ketakutannya terhadap orang itu membuat pikirannya terpojok ke dalam ke-tidakmasuk-akalan. Terang. Bang Iban jadi takut dengan terang. Dengan cahaya. Bang Iban hanya percaya pada gelap. Sebab katanya, saat tidak ada yang terlihat. Dirinya merasa lebih damai, lebih aman. Tidak satupun ingin dilihatnya menyala. Di dalam lemari saja dia. Makan? Ya tetap makan. Ini saya bawakan. Memangnya dia kuat tidak makan. Orang setan saja makan kok. Matikan lampu-lampu. Jendela biarkan terus tertutup. Biar siang, biar mala. Rumah ini harus lebih gelap dari gua. Harus lebih sepi dari puncak gunung.
Sudah seminggu, saeful terpaksa saya ungsikan di rumah orang tua saya. Saya pun lebih banyak berada mengurus saeful. Bang Iban baik-baik saja. Cuma masih berumah di dalam lemari. Saya disuruh rahasiakan semua ini. Banyak teman-temannya bertanya tentang bang Iban. Saya jawab aja sebisanya. Mereka kebanyakan percaya begitu saja dengan jawaban-jawaban saya. Ah. Tiba-tiba kok saya jadi takut. Benar loh, sungguh! Hati saya jadi dagdigdug.
(MEMEGANG DADANYA)
Hiawata! Ini apa ya? Benar takut ini. Takut ini. Mungkin kekhawatiran berlebihan terhadap suami saya membawa jiwa saya ke dalam perasaan suami saya. Calo itu saya lihat tadi. Sedang bicara dengan pak Ramli. Tapi apa ia dia? Hii. Tampangnya seram juga. Pantas bang Iban ketakutan. Bicara apa mereka tadi. Jangan-jangan merencanakan niat mau kemari. Bisa saja mereka tidak percaya dengan saya. Lalu mau menyelidiki. Lalu… Ah! Buat apa takut.
(MENENANGKAN HATINYA SENDIRI)
Saya sudah mengalami ketakutan yang lebih dari ini. Apa? Waktu ingin melahirkan. Itu yang paling menakutkan.walau akhirnya ketakutan itu saya tertawakan. Lah iya. Jadi? Kenapa dengan masalah kecil ini jadi takut.? Biarin bang Iban takut. Tapi saya harus berani. Harus ada orang berani di dekat orang yang takut.
Bang Iban! Bang Iban tidak perlu keluar! Terus saja takut! Kalau orang itu benar-benar datang sekarang, biar Tini yang hadapin. Bang Iban lihat apa yang nanti Tini lakukan. Jangan keluar Bang! Tetap di dalam lemari!

(SUARA GEDORAN DI PINTU. KERAS. MEMAKSA. ISTRI KETAKUTAN.)

Abang, apa perlu kita teriak-teriak panggil polisi? Tolong saya mau dibunuh. Saya mau diperkosa.

(JERITAN KESAKITAN. SUARA SEPATU-SEPATU BERLARIAN. SUARA LETUSAN SENJATA API. SEPI.)

Siapa? Marhasan mabok lagi ya? Atau intel yang mau tangkap marhasan? Salah masuk pak! Kamar satunya. Cari aja laki-laki yang mulutnya bau spirtus. Itu pasti dia.

(SUARA WANITA MENANGIS)
ISTRI
Tit. Tatit. Kenapa? Benar ya Marhasan ditembak intel. Kok bisa ditembak? Memang salahnya apa? Memangnya salah cari duit di jalan? Kalau tidak di situ di mana lagi? Memang masih ada ruang? Masih ada kesempatan?

(GEDORAN PINTU LAGI. ISTRI BERDIRI. WAJAHNYA GELISAH, TAPI DISEMBUNYIKAN.)


ISTRI
Ini pasti dia. Pasti dia. Masuk! Masuk! Pintu rumah ini tidak dikunci. Dorong aja sedikit. Bang Iban, saya rasa kita tidak perlu lapor polisi?
(GELISAH DAN TAKUT)
Anda cari siapa? Suami saya? Baik. Silahkan duduk! Tunggu sebentar!
(MAU MASUK KAMAR. KEMUDIAN TIDAK JADI. HANYA BERDIRI DI DEPAN PINTU.)

Sebagai tuan rumah yang baik, saya harus menawarkan minum pada anda. Tanu saya. Mau minum apa? Kopi? Teh? Atau air putih?
(ISTRI KE MEJA MAKAN. MENUANG AIR PUTIH.)

Silahkan diminum! Oh saya lupa. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Tini. Istri orang yang sedang anda cari. Asal anda, dari mana/ bang Iban tidak pernah cerita, kalau yang datang hari ini, seorang perempuan. Ah, saya harus panggil apa? Sus? Non? Anda bilang apa tadi? Anda orang jawa ya? Berapa? Tiga puluh? Kok masih tampak muda? Cantik lagi. Terus saya panggil mbak? Bukan mbak. Oh Jeng lebih bagus, lebih terhormat. Jeng…. Nama Jeng siapa? Ah, cukup Jeng saja. Tidak perlu panggil nama segala kan? Bagaimana? Baik. Saya panggil Jeng, Jeng. Jeng mau apa? Masalah kredit motor itu. Dan juga harga yang menurut Jeng bisa lebih murah, itu menarik. Jeng tahu? Ide itu pernah saya lontarkan kepada suami saya…
Kenal suami saya?

(MENGELUARKAN KACA)

Coba lihat di kaca, muka kita sama.

(ISTRI TERUS MENGOCEH. MENGOCEH APA SAJA. SEPERTI BERTEMU KEMBALI DENGAN SAHABAT LAMANYA. SATU-PERSATU LAMPU MENYALA TERANG.)

Tidak ada komentar: