Minggu, 30 November 2008

Arloji
Karya: P. Hariyanto

Kisah ini terjadi di sebuah kamar depan keluarga yang cukup terpandang. Terdapat berbagai perlengkapan yang lazim di kamar tamu semacam itu, namun yang terpenting ialah seperangkat meja dan kursi tamu. Pada kira-kira pukul 09.00 drama ini terjadi.
Para pelaku:
1. Jidul : Anak laki-laki berumur 15 tahun
2. Pak pikun : Pembantu rumah tangga berumur sekitar 40 tahun
3. ibu : Nyonya rumah berumur sekitar 42 tahun
4. Tritis : Gadis berusia 18 tahun
Dengan penuh keriangan, si Jidul membersihkan meja dan kursi-kursi. Kepalanya melenggut-lenggut, pantatnya bergidal-gidul seirama dengan musik dangdut yang terdengar meriah. Jidul terkejut ketika musik mendadak berhenti.
1. Pak Pikun : (muncul, langsung menuju ke arah Jidul) Ayo! Mana! Berikan kembali padaku!Ayo! Mana!
2. Jidul : (ber-ah-uh, sambil memberikan isyarat yang menyatakan ketidakmengertiannya)
3. Pak Pikun : Jangan berlagak pilon! Siapa lagi kalau bukan kamu yang mengabilnya? Ayo, Jidul, kamu sembunyikan di mana, heh?
4. Jidul : (ber-ah-uh, semakin bingung dan takut)
5. Pak Pikun : Dasar maling! Belum sampai sebulan di sini kamu sudah kambuh lagi, ya? Dasar nggak tahu diri! Ayo, kembalikan kepadaku! Mana, heh?
6. Jidul : (meringkuk diam)
7. Pak Pikun : (semakin keras suaranya) Jidul! Kamu mau kembalikan apa tidak? Mau insaf apa tidak? Apa mau ku panggilkan orang-orang sekampung untuk mencincangmu, heh? Kamu mau dipukuli seperti dulu lagi? Ayo, mana?
8. Ibu : (Muncul tergesa-gesa) Eh, ada apa Pak Pikun? Ada apa dengan Jidul?
9. Pak Pikun : Anak ini memang tidak pantas dikasihani, Bu. Dia mencuri lagi, Bu!
10. Ibu : Mencuri? (tertegun). Kamu mencuri, Jidul?
11. Jidul : (ber-ah-uh sambil menggoyang-goyangkan kepala dan tangannya)
12. Pak Pikun : Mungkir, ya? Padahal jelas, Bu! Tadi saya mandi. Setelah itu, arloji saya tertinggal di kamar mandi. Lalu dia masuk, entah mengapa. Lalu tidak ada lagi arloji saya, Bu.
13. Ibu : O, arloji Pak Pikun hilang, begitu?
14. Pak Pikun : Bukan hilang, Bu! Jelas dicurinya! Ayo, ngaku saja! Kamu ngaku saja, Jidul!
15. Jidul : (ber-ah-uh mencoba menjelaskan ketidaktahuannya)
16. Pak Pikun : Masih mungkir? Minta ku pukul?
17. Ibu : sabar, Pak Pikun! Sabar!
18. Pak Pikun : Maaf, Bu. Ini biar saya urus sendiri! Kamu baru mau ngaku kalau dipukul, ya? Sini! (Mau memukul si Jidul).
19. Si Jidul : (Meloncat, lari ke luar dikejar oleh Pak Pikun)
20. Ibu : Sabar dulu Pak Pikun! Diperiksa dulu! (mendesah sendiri) Ya, ampun! Orang sudah tua kok gegabah, tidak sabaran begitu.
21. Tritis : (Muncul membawa buku dan alat tulis). Uh! Pagi-pagi sudah mencuri. Nganggu orang belajar saja!
22. Ibu : Belum jelas, Tritis!
23. Tritis : Ah, ibu sih suka membela si Jidul! Siapa lagi kalau bukan dia yang mengambil arloji Pak Pikun? Apa ibu lupa? Dia kan dulu ketahuan mencuri ayam kita, ketahuan, mau dipukuli orang kampung malah kemudian dibela ayah dan ditampung di rumah kita. Keenakan dia, maka kini mencuri lagi!
24. Ibu : Ya, memang, dulu pernah mencuri. Itu karena ia kelaparan. Tetapi, belum tentu sekarang dia mengambil arloji Pak Pikun, Tritis!
25. Tritis : Kalau bukan si Jidul, apa ibu atau aku yang mengambil arloji itu, ibu? (Tertawa).
26. Ibu : (Menemukan ide). Ah! Mungkin masih ada di kamar mandi, Tritis! Atau mungkin di dekat jemuran. Pak Pikun kan pelupa. Mari kita coba mencarinya! (Bersama Tritis melangkah ke kiri akan ke luar, tetapi kemudian terhenti)
Terdengar suara ribut. Si Jidul kembali meloncat masuk dari kanan. Maunya berlari, tetapi tersandung sesuatu. Ia jatuh terguling mengejutkan Ibu dan Tritis. Dan sebelum sempat bangkit, Pak Pikun sudah keburu masuk pula dan menangkapnya dengan geram.
27. Pak Pikun : (sambil mengacung-acungkan penggada besar, tangan kirinya tetap mencengkeram leher kaus si Jidul). Mau, lari ke mana lagi, heh? Ku pukul kamu sekarang!
28. Ibu : Sabar, Pak! Tunggu dulu!
29. Pak Pikun : Tunggu apa lagi, Bu! Anak nggak benar ini harus saya ajar biar kapok. (Akan memukulkan penggadanya).
30. Ibu : Tunggu dulu! Siapa tahu, Jidul benar tidak mencuri dan Pak Pikun yang tidak benar menaruh arlojinya!
31. Pak Pikun : Tak mungkin, Bu! Saya yakin, si Brengsek ini pencurinya. Kamu harus mampus (akan memukulkan penggadanya).
32. Tritis : (Melihat tangan Pak Pikun) Eh, lihat! Arlojinya kan itu! Di pergelangan tangan kananmu, Pak Pikun. Lihat! (Tertawa ngakak).
33. Ibu : O, iya! Betul! Dasar Pak Pikun ya Pikun! (Tertawa geli).
34. Pak Pikun :(Tertegun memandang pergelangan tangannya yang kanan. Dilepaskannya si Jidul. Diamat-amatinya arloji itu. Penggadanya sudah dijatuhkan. Dengan sangat malu, ia berjalan ke luar tertegun-tegun, diiringi gelak tawa ibu dan Tritis. Sementara itu, si Jidul pun tertawa-tawa pula dengan caranya sendiri yang spesifik).
Sumber: Cerita Rekaan dan Drama, Modul Universitas Terbuka
Ayam Betina dan Sebuah Pohon Apel
Karya saduran: Arnold Lobel

Ayam betina tidur. Serigala yang menyamar sebagai pohon apel berjingkat-jingkat mendekati kandang si ayam. Pagi datang.
Ayam Jantan berkokok: Kukuruyuk... 3x
1. Ayam Betina : (menggeliat kemudian membuka jendela). Selamat pagi matahari, selamat pagi dunia, selamat pagi semuanya... Hei, sungguh aneh (heran). Aku yakin sekali, kemarin tidak ada satupun pohon aple tumbuh di tempat ini. Kenapa hari ini ada?
2. Serigala : Ada sebagian dari kami yang bisa tumbuh dengan cepat.
3. Ayam Betina : (melihat bagian bawah, heran, curiga) Aku belum pernah melihat sebuah pohon apel yang punya sepuluh jari kaki yang berbulu dan berkuku tajam.
4. Serigala : Ada sebagian dari kami yang memilikinya. Hai... ayam betina, keluarlah, kemarilah, kau akan merasa sejuk di bawah rantingku yang rindang ini.
5. Ayam Betina : (melihat pucuk pohon apel) Aku tidak pernah melihat sebuah pohon apel yang memiliki dua buah telinga yang panjang dan runcing.
6. Serigala : Ada sebagian dari kami yang memilikinya. Hei... ayam Betina, keluarlah, kemarilah, mari makan salah satu buah apelku yang manis ini.
7. Ayam Betina : Aku tak habis pikir, aku belum pernah mendengar sebuah pohon apel berbicara, punya mulut, dan juga gigi yang tajam.
8. Serigala : (Kaget) E..e... ada sebagian dari kami yang dapat melakukannya. Hai... ayam Betina, keluarlah, mari bersandar pada batang pohonku.
9. Ayam betina : Pohon Apel (memanggil) bukankah ini musim hujan?
10. Serigala : Ya... tentu saja ini musim hujan.
11. Ayam Betina : Aku pernah mendengar bahwa di musim hujan, biasanya daun pohon apel telah berguguran.
12. Serigala : O...i...iya... Ada beberapa dari kami yang begitu.
13. Ayam betina : Kalau begitu tentunya kau ini pohon apel yang luar biasa dan lain dari pohon-pohon aple lainnya.
14. Serigala : Tentu saja, aku ini pohon apel ajaib. Hai... Ayam Betina! Keluarlah, mari bermain denganku.
15. Ayam Betina : Kau bukannya ajaib, tapi tidak beres. Buah apelmu saja tidak tumbuh dari batang, tapi tumbuh dari tali.
16. Serigala : E....e
17. Ayam Betina : Aku ini si Ayam Betina yang cerdik, kau tidak akan mungkin bisa menipuku...wahai Tuan Serigala.
18. Serigala : Kau... kau...kau tahu penyamaranku rupanya. Oh, sungguh kurang ajar, keluarlah kau kalau berani. Kau sudah mengakaliku. Jangan hanya berlindung dalam kandangmu, Ayam Betina! (menggertak)
19. Ayam Betina : Tentu saja aku tidak berani melawanmu, Tuan Serigala. Apalagi semalaman hujan deras, tentunya pagi ini kau sangat kelaparan.
20. Serigala : Kau mengejekku... Aku akan menerkammu.
21. Ayam Betina : Sayang sekali Tuan Serigala, aku tidak akan keluar kandang.
22. Serigala : Kau akan kelaparan...
23. Ayam Betina : Aku tidak rakus sepertimu, Pohon Apel jadi-jadian, aku bisa menghemat makananku.
24. Serigala : sampai berapa lama kau bisa bertahan?
25. Ayam Betina : Kau ini pohon apel yang benar-benar tidak beres. Tuan Serigala, aku punya teman burung-burung kecil yang bisa terbang dengan cepat. Kau tidak mungkin bisa menangkap mereka. Nah, aku akan minta tolong pada mereka untuk mengantarkan makananku.
26. Serigala : Kau memang kurang ajar ayam betina. Kau telah membuatku marah dan semakin kelaparan.
27. Ayam betina : Lebih baik cari mangsamu di tempat yang lain saja, Tuan Serigala!
28. Serigala : Aku memang akan pergi. Tapi lain kali aku pasti akan berhasil menerkammu. (Pergi)
29. Ayam Betina : Hai, Tuan serigala! (memanggil. Serigala berhenti dan menoleh) Terima kasih pagi ini kau telah membuatku belajar untuk tidak percaya begitu saja pada apa yang aku lihat. (serigala berjalan lagi)
30. Serigala : kau bilang aku gurumu, ayam betina?
31. Ayam Betina : (ayam betina mengangguk) Bukankah belajar itu bisa dari mana saja?
32. Serigala : Tapi kau tidak mau ku makan meskipun saat ini aku sangat kelaparan.
33. Ayam Betina : kau sungguh rakus, Tuan serigala. Kemarin siang aku melihatmu menghabiskan seekor rusa bertanduk. Seharusnya kau tidak kelaparan seharian ini.
34. Serigala : Tapi aku tetap merasa kelaparan.
35. Ayam Betina : aku tahu cara mengatasi laparmu. (serigala mendekati kandang ayam)
36. Serigala : Bagaimana caranya?
37. Ayam Betina : Menari!
38. Serigala : Menari?
39. Ayam Betina : Iya... kita akan gembira dan lupa pada lapar.
40. Serigala : Tapi aku tidak bisa menari.
41. Ayam Betina : kalau begitu, kau ikuti gerakanku saja Tuan Serigala. Aku ini selain cerdik, juga padai menari.
42. Serigala : Kalau begitu kau akan keluar dari kandangmu?
43. Ayam Betina : Tentu saja tidak, Tuan. Kau juga mengajariku untuk selalu waspada. Lagi pula, kau bisa melihat gerakanku dari luar kandang.
44. Serigala : Baiklah, baiklah... mari kita menari... mari kita menari....
45. Ayam Betina + Serigala: Mari kita menari... Satu... dua... tiga... (menari bersama)
selesai
CERMIN 1

CERMIN
karya NANO RIANTIARNO

PANGGUNG MULA-MULA GELAP. GELAP SEKALI. TIBA-TIBA TERDENGAR TERIAKAN KETAKUTAN SEORANG LAKI-LAKI. PANGGUNG MASIH TETAP GELAP.
SUARA :
Jangan! Jangan tinggalkan saya! Tolong! Tolong! Tolong! Nyalakan lampu, saya takut gelap! Saya takut sendirian! Tolong! Jangan tinggalkan saya! Cahaya, saya butuh cahaya! Saya butuh terang! Tolong…….cahaya…….cahaya.
DAN LAMPU WARNA PINK MENYOROT (FADE-IN) MELINGKARI AREA DIMANA DIA BERTERIAK-TERIAK DILANTAI, SAMPING SEBUAH KURSI BESI. DALAM PENJARA SEORANG LAKI-LAKI KIRA-KIRA BERUMUR 35 TAHUN KAGET KETIKA SADAR BAHWA DIA SEKARANG BERADA DALAM TERANG. DIA KECAPAIAN DAN TERENGAH-ENGAH.MENGHIMPASKAN PANTATNYA DI LANTAI. PADA SAAT YANG HAMPIR BERSAMAAN, SETELAH UJUD SELURUH LAKI-LAKI ITU TERLIHAT SAMAR-SAMAR LAMPU MENYALA MENYOROTI AREA DI DEPAN DIA. SEORANG LAKI-LAKI LAIN YANG SELURUHNYA SAMA DENGAN DIA JUGA DUDUK DI LANTAI SAMPING SEBUAH KURSI BESI YANG SAMA. LAMPU BERWARNA PINK JUGA. DUA LELAKI YANG SAMA DUDUK DI LANTAI SAMPING KURSI BESI YANG SAMA TERSEKELILING GELAP. GELAP SAKALI.
LAKI-LAKI :
He……….. (LAKI-LAKI DI DEPANNYA MENYAPANYA JUGA PERSIS TAPI TANPA SUARA)
Hee……….. Ya! Masih ada. Kukira sudah pergi bersama yang lain-lain. He, aku senang kau masih ada. Di depan situ menatapku. Temanku Cuma kamu sekarang. Di sini pengap. Keringat tak henti-hentinya menyembul dari pori-pori kulit. Aku khawatir kalau persediaan air dalam tubuhku habis, pasti bukan keringat lagi yang keluar tapi darah. Dan kalau darah sudah habis…….. sebuah pintu terbuka lebar-lebar dan aku harus mendorong diriku sendiri untuk bilang ayo masuki ruangan besar di sebaliknya. Ruangan besar dari sebuah gedung yang besar. Ada apa di dalamnya? Perabotan-perabotannya bagus? Jenis kursi-kursinya dibikin dari kayu apa? Jati tua atau mahoni? Karpetnya? Dari India atau Persia?
LAKI-LAKI :
Apa ada hiasan-hiasan dindingnya? Dari apa? Kuningan apa perunggu? Lampu gantungnya dari kristal? Kamar mandinya bersih, artinya tidak terdapat lipas di sudut-sudutnya. Dapurnya bagaimana? Selalu tersedia makanan hangat dalam lemari? Aku pedagang barang antik, harus tahu secara detail perabotan-perabotan tiap ruangan yang kumasuki. Bagaimana? Apa aku akan ditemani atau sendirian? (BERBISIK) Apa Su ada disitu……apa dia menungguku disitu? (DIAM MENUNGGU JAWABAN). Ya aku tahu kau tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu sebelumnya. Masuki gedung itu dulu, baru kau akan bisa bercerita ada apa di dalamnya. Tapi siapa saja yang masuk ruangan besar itu, tak akan pernah kembali lagi. Pans, Cuma keluhan, jangan khawatir seorang kawan bisa menyejukkan suasana. Ada seorang di sekitar kita lebih baik daripada sama sekali tidak ada. Pada dasarnya semua orang takut sendirian. Aku juga. Kau juga. Benarkan. Kita ngobrol-ngobrol, untuk mengisi waktu. Obrolan yang intim bisa menambah rasa kekawanan. Tidak usah dijawab. Aku yakin pasti kau mau. Ya, kita akan ngobrol-ngobrol. Aku dapat pertama, kamu yang kedua. Akan kubeberkan semuanya tanpa malu-malu. Tapi musti janji, begitu aku selesai kau segera menyambungnya. Dengan begitu tak akan terasa lagi waktu lewat. Pagi-pagi sekali kita akan berpelukan mengucapkan salam perpisahan, barangkali sambil tertawa-tawa atau barangkali kita akan saling menangisi. Entahlah! Jangan menjawab, aku tahu kau sama seperti aku, termasuk orang-orang yang selalu berusaha untuk menepati janji. Dengan adanya kau di situ, meskipun kau tidak menyapa apa-apa bisa kupastikan kita akan selalu bersama-sama, setia sampai mati.
(BERPIKIR HENDAK MEMULAINYA DARIMANA).
He…….he…….he he he! Heeeeeeeeeeeeee………………..
(DIA MEMATUT-MATUT DIRI. BERTINGKAH SEBAGAI SEORANG LAKI-LAKI JANTAN. DIA MELANGKAH DENGAN TEGAP. KE MUKA KE BELAKANG).
Sampai mati!
(BERTINGKAH SEBAGAI TENTARA. BERTINGKAH SEBAGAI PENARI. BERTINGKAH SEBAGAI ORATOR. BERTINGKAH SEBAGAI BADUT. LAKI-LAKI DI DEPANNYA MENIRUKAN GERAK-GERAK YANG DIA LAKUKAN DENGAN PERSIS. LAKI-LAKI TERTAWA KEGELIAN).
Tiruan yang sungguh-sungguh sempurna…….sempurna…….sempurna.
(LAKI-LAKI ITU MENANGIS. DARI PERLAHAN SAMPAI MENGGERUNG-GERUNG. DIA MERATAP)
Sampai mati……. Su! Su! Sunni! Kenapa jadi begini? Kenapa kau pergi? Kenapa aku ada di sini? Kenapa mesti ada hal-hal yang mendorong kita melakukan hal-hal? Kenapa kamu tidak mau menurut? Kenapa waktu kamu masih ada, rasanya semua terang dan jelas. Tanpa kabut. Tiap kupandangi diriku di kaca, maka kulihat ujud seorang laki-laki yang utuh. Lalu sekarang, kau entah ada di mana? Jarak dan tembok memisahkan kita. Semua yang terlihat jadi samara-samar. Bukan maksudku melakukan itu. Terjadi begitu saja, didorong oleh kekuatan yang ajaib! Seperti alir sungai yang dibendung, makin tinggi bendungannya makin banyak air yang tertampung dan tekanan untuk molos mencari aliran lain makin besar. Lalu suatu saat air tak terbendung lagi sedang tekanan makin besar, makin besar. Dan tiba-tiba bendungan jebol!
Kau tanamkan bibit di sini. Tumbuh sedikit demi sedikit hingga berbunga, waktu kelopak bunga itu merekah, dia bersuara seperti terompet. Suaranya memekakkan telinga. Dan Sunniii…gemanya! Gemanya melengking! Tak tahan aku untuk tidak berbuat apa-apa. Dan bisik-bisik itu. Bisik-bisik yang memerintahkan aku supaya melakukan niatku, musnahkan! Musnahkan Hancurkan! Hancurkan biar jadi abu sekalian. Dari abu kembali jadi abu, kata bisik-bisik itu dalam telinga.
Kekuatan bumi menarik kakiku dalam-dalam, menyeret dan membakarku dalam inti magma yang paling panas! Aku merungkuk, makin merungkuk, Rasa panas yang terkutuk membakar, memadat dalam dada. Menyiksaku tanpa ampun, hingga hari itu tiba, kau tahu seluruh tubuhku gemetar. Panas dan dingin menjadi satu seperti nerapa. Dan kau tahu, kau tahu, kekuatan aneh itu yang memaksaku untuk jadi babi gila. Menyeruduk ke mana saja nalurinya memerintahkan untuk meyeruduk. Aku menyeruduk. Apa saja yang kulihat, kulihat sebagai musuh. Harus dihancurkan dalam sekejab! Tapi yang kuseruduk rupanya tembok-tembok besi…..Lihat……. dua taringku patah, tak lagi bisa dijadikan senjata. Sebagai perhiasanpun cukup buruk kan? Kalau aku ini tentara, maka aku tentara yang tidak baik. Tidak punya disiplin, kurang taktis, tidak mampu mengontrol emosi serta tidak perduli pada batas-batas dan ukuran.
(KECEPATAN).
Su, perempuan biasa. Tidak cantik tetapi punya daya tarik yang luar biasa, kegairahan hidupnya seperti kuda tak terkendali! Salahku memang, mengawini perempuan bekas pelacur. Padahal tadinya sudah kurelakan, dia bekerja, aku juga bekerja. Tapi Su selalu bilang padaku : ah, kamu tidak pernah bisa memberiku apa-apa selain anak. Ya, itu kenyataan. Dan karena itu pula dia berhak menutup mataku, mulutku dan menahan gerak semua anggota tubuhku. Tapi memang semua itu termasuk dalam perjanjian. Dan kami sudah saling menjanjikannya, dulu waktu dia kukawini. Kenyataan ini mampu kutahan sampai beberapa lamanya, 3 anak. Cuma itu katanya yang bisa kuberikan padanya, ya! Tapi lihat muka anak-anak itu satu persatu kalau mereka masih hidup. Lihat dengan teliti. Seperti siapa mereka? Adakah persamaannya denganku? Sama sekali tidak. Yang sulung entah seperti siapa? Yang kedua entah seperti siapa dan yang ketiga kulitnya hitam pekat dengan mata yang bulat dan rambut keriting kecil-kecil. Anakkukah itu? Anak Su! Aku pernah punya pikiran mungkinkah ada dokter-dokter jahil yang senang menukar-nukar bayi di RS bersalin, atau perawat-perawatnya. Tapi hal itu tidak mungkinkan? Mereka pasti menghormati sekali sumpah jabatan. Tapi aku bisa memastikan anak yang ketiga bukan anakku!
LAKI-LAKI : (MERATAP LAKI_LAKI DI DEPANNYA DENGAN GELISAH)
Tahukah kamu mengapa aku masih tetap bisa menahan diri selama ini? Masih tetap mendampinginya meski jantung perih bukan main? Karena aku mencintai Su! Karena aku sudah bersumpah untuk tetap setia apapun yang sudah dia lakukan. (BERTERIAK) banci! Laki-laki lemah! Tidak punya tangan besi! Pendirian yang rapuh! Ya aku tahu matamu menuduhku begitu. Tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak marah. Ini memang termasuk dalam perjanjian. Kataku selalu pada Su : lakukan tapi tanpa perasaan cinta. O, kelemahan. Apa yang kau ciptakan selama ini sebagai akibat? Mesiu apa yang kau padatkan dalam tabung bersumbu?ketidaktentraman? kekacau-balauan pikiran? Kecurigaan? Keganasan? Kegilaan? Pembalasan dendam tanpa ampun? Semua sudah kulakukan.
Jadilah laki-laki maka kau harus membunuh. Jadilah laki-laki maka kau berhak merusak apa saja. Jadilah laki-laki maka dirimu akan kau rubah menjadi empat dinding penjara setebal satu kaki tanpa jendela. Jadilah laki-laki maka sebetulnya kau meriam siap ditembakkan! Dan malam itu sudah kunobatkan diriku sendiri jadi laki-laki. Laki-laki dengan naluri hewani yang dibiarkan lepas ikatannya.
Dan kesetiaan, di mana dia harus ditempatkan? Adakah perkataan itu masih punya arti untuk semua orang? Su pernah menjanjikan padaku. Aku juga pernah sampai anakku yang ketiga dilahirkan. Anakku? Anak Su! Sekarang apa yang terjadi? Apa yang sudah dilakukan Su? Apa yang sudah dilakukan? Mana tuah dari keselarasan seperti yang selama ini selalu kau bicarakan? Miliki kesetiaan, lalu orang akan jadi seperti dikebiri, Cuma sanggup melihat hal-hal yang baik saja. Satu saat jika kebetulan terlihat keburukan-keburukan yang sebetulnya sudah menjadi mimpi buruknya selama berjam-jam dia tidur, maka dia akan bilang dengan mata merah : ah, itu Cuma baying-bayang bukan kekuatan, padahal terbalik!
Waktu kesabaranku habis, aku menyatakan pada Su supaya menghentikan segala kegiatannya. Maksudku baik, demi anak-anak dan masa depan keluarga. Nama baik, kataku padanya. Asuhlah anak-anakmu di rumah, kalau bosan sulamkan baju-baju hangat. Atau kalau mau bekerja juga. Bekerjalah, tapi yang pantas! Tapi kau tahu yang terjadi kemudian. Su lebih gila lagi, dia seperti kuda lepas kendali. Apa yang terjadi, kataku dalam hati. Kalau dulu aku masih tidak peduli, sekarang keadaannya berbeda. Umurku mulai menginjak masa tua. Aku butuh ketenangan. Aku butuh perempuan yang kucintai dan mencintaiku. Aku butuh perhatian dan diperhatikan. Dan semuanya sudah terjadi akibat dari kau, O, kelemahan, Besok aku akan dihukum mati. Pertama kali dalam penjara. Sudah kubunuh 6 orang dan melukai 3 orang. Betulkah itu? Sebegitu besarkah tenagaku waktu itu? O , aku tidak tahu.
(MENUTUP MATANYA DUDUK KECAPAIANNYA)
LAKI-LAKI :
Heeeeee…………… kau masih ada. Temanku syukurlah. Jangan pergi, tetaplah disini bersamaku, tapi tunggu aku sering melihat kamu tapi lupa di mana? Siapa namamu? Namamu? Ya, namamu? Betul, aku sering melihat kamu. Barangkali di pasar atau di bioskop, atau di sebuah toko kelontong. Entahlah, tapi aku yakin kita sering ketemu, siapa namamu Tuan? Jangan balik bertanya. Aku Tanya siapa namamu? Apa yang sedang engkau kerjakan? Menirukan apa saja yang aku lakukan? Untuk apa? Apa itu perlu? Ah aku ingat sesuatu. Suatu malam seseorang berjubah berkerudung abu-abu berdiri di depanku dan berkata : kamu jadi makhluk kamu sekarang hidup. Kamu kujadikan dari berbagai zat. Tubuhmu terdiri dari unsur-unsur air, udara, tanah, cahaya, dan api. Aku bertanggung jawab penuh pada pertumbuhanmu. Aku yang menciptakan kehidupan yang terlepas dari susunan kehidupan kami, para penguasa langit. Susunan kehidupan yang otonom. Itu terjadi berabad-abad yang lalu. Waktu itu aku sendirian juga berabad-abad lamanya. Sampai aku betul-betul tidak tahan. Siapa yang tahan dijerat sepi? Sendirian tanpa kawan yang biasa diajak berunding sesuatu? Lalu aku meminta pada penciptaku, tuan berkerudung abu-abu yang tidak bisa kulihat wajahnya itu : beri kiranya aku seorang kawan yang akan mendampingiku dalam susah dan senang. Syukur, permintaanku rupanya masuk akal. Aku diberinya satu orang makhluk yang keadaanya berbeda denganku, secara keseluruhan dia lembut. Tapi kami cocok, kalau kami saling peluk untuk mengusir kedinginan malam berbagai getaran aneh menjalar di seluruh tubuh. Dia juga begitu, katanya. Seribu tahun kemudian, baru aku tahu bahwa dia bernama perempuan dan sanggup mengeluarkan makhluk kecil yang serupa dengan kami berdua. Pembiakan, kata orang-orang, anak-anak yang kecil, mungil, lucu-lucu, siapa tidak tertarik pada anak-anak, maka dia itu kanibal. Mulutnya masih merah, lembut dan manis. Mulut mereka baunya wangi seperti kain sutra, aku suka, waktu ibunya masih terbaring istirahat diranjang kuangkat bayinya dan kutimang-timang dalam pelukan.
Buyung….buyung, bujukku. Karena dia menangis. Ibunya berteriak-teriak, aku tidak peduli, ah ibunya khawatir aku akan mematahkan tulang punggung bayinya yang masih lembek. Tidak peduli kataku.
Hendak kuhibur diriku dengan menyanyikan sebuah lagu. Dan berbaur dengan jeritan-jeritan ibunya aku bernyanyi. (MENYANYI)
Kuharap angin gunung
Berhembus perlahan
Mengusap lembut kulitmu

Kudirikan benteng beton
Kalau bunyi bersiutan
Datang dari padang-padang

LAKI-LAKI :
Buyung……buyung……kenapa kamu begini lucu. Matamu besar bulat dan penuh harapan memandang padaku. Masa depanmu terang? Rambut jagung……halus. Nafasmu sejuk…….waaaaa……
Tidak apa-apa, jangan menangis dulu. Nanti kugantikan popokmu dengan yang bersih biar kau tetap merasa hangat dan tidak masuk angin. Seorang anak mengencingi bapaknya bukankah itu hal yang biasa? Hupa……kalau kau tidak kencing nanti orang mengira kau Cuma boneka plastik. Sudah menghitung satu, orang biasanya hitung-menghitung dua juga, lalu tiga. Istriku membiakkan tiga anak! (PADA LAKI-LAKI DI DEPANNYA)
Kamu lihat, semuanya sebetulnya bisa menjadi cerita yang manis, dan selamanya akan manis, bermula manis dan berakhir manis kalau saja tidak ada paksaan-paksaan, penyudutan-penyudutan, keinginan-keinginan mustahil, keserakahan-keserakahan, semua hal-hal buruk. Kalau aku ini seorang penari, aku suka menari, sebutkan macam-macam tarian yang mampu kutarikan, akan kutarikan dengan mulut tersenyum tanda suka hati. Mula-mula memang terjadinya seperti itu. Musik, lalu anggota tubuh kugerakkan menurut irama musik yang sudah ditentukan. Gerakan-gerakannya aku yakin pasti indah. Tapi celaka musik bagus berangsur lenyap berganti dengan bunyi-bunyian aneh nadanya tanpa aturan. Aku berhenti tapi tidak bisa. Aku berusaha menghentikan gerakan-gerakan tariku, tapi tidak bisa. Ada kekuatan aneh yang memaksaku untuk terus menari meski tidak kusukai. Dorongan aneh itu bikin aku terus mengerakkan tubuhku mengikuti musik kacau yang bunyinya makin bising. Aku berteriak, suara tidak keluar, aku berteriak dalam hati, tolong aku mau berhenti – stopkan ! Stopkan! Tolong !!!!!! aku harus terus dan terus hingga hal itu membuatku gila. Sudah pasti gerakan-gerakan tariku tanpa isi karena sama sekali tidak kugerakkan berdasarkan keinginan hati dan jiwa. Aku teriak-teriak, dalam hati. Berhenti, aku belummau mampus. Aku kepayahan! Tolong! Tolong! Tolong Stopkan! Tapi siapa yang sanggup menolong? Kulihat orang-orang sekelilingku juga melakukan hal yang sama. Menarikan tarian-tarian yang belum tentu ingin mereka lakukan. Dunia penuh dengan manusia yang menarikan gerakan-gerakan yang aneh. Dan wajah mereka kelihatan menderita. Barangkali wajahku juga kelihatan seperti wajah orang-orang yang kulihat. Aku menari, menari seperti begini. Begini. Begini terus begini lalu begini kemudian begini dilanjutkan dengan begini. Dan itu kuulangi lagi, kuulangi lagi dengan variasi yang terlalu miskin. Kalau ada kehendak untuk berhenti makin cepat gerakan-gerakan terjadi, akibatnya tulang-tulangku berbunyi menderak-derak, seperti mau patah. Keringat mengucur seras. Dan itulah hidup, kata orang-orang.
LAKI-LAKI :
Oh, aku betul-betul kurang begitu paham.
(MEMANDANG TAJAM PADA PENONTON LALU KALIMATNYA JADI TEGAS)
Siapa diantara Tuan-tuan yang pernah menduga bahwa tuan akan dilahirkan pada suatu saat lalu tuan-tuan bersedia dalam keadaan seperti sekarang ini sedang tuan-tuan jalani?
Siapa diantara tuan-tuan yang pernah tahu apa tuan-tuan akan dilahirkan sebagai bayi laki-laki atau bayi perempuan? Tidak satu orang pun dan kalau ada yang menyatakan bahwa hal itu sudah pernah diduganya jauh sebelumnya itu artinya dia menduga pada waktu dia masih TIDAK TAHU dimana dan entah jadi TIDAK TAHU maka dia itu dukun palsu. Tinggalkan saja atau kalau perlu rajam dia dengan batu-batu panas. PAUSE
Baiklah, tapi hidup sudah berjalan. Hidup. Benar yang barusan kuucapkan? H-i-d-u-p. kita hidup, kamu hidup. Kamu, kamu, aku itu artinya aku bukan batu, bukan patung, bukan kayu, bukan lukisan. Ada darah yang mengalir disela-sela tubuhku disalurkan oleh otot-otot. Ada debaran jantung, ada gerak. Ada pertumbuhan! Kalau aku disakiti, aku akan merasa sakit. Kalau perutku tidak diisi makanan, aku akan lapar. Beberapa hari tidak tidur aku akan jadi mengantuk. Lihat, aku normal. Sama seperti makhluk-makhluk lain sejenisku. Makhluk yang diciptakan oleh tuan berkerudung abu-abu yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya itu. Tusukkan sebilah pisau dilenganku, aku akan kesakitan lalu cabut kembali, darah akan mengalir dan warnanya tidak hijau atau ungu tapi merah. Sama seperti warna darah kebanyakan orang.
Lalu mengapa aku harus dipaksa untuk tidak melakukan apa-apa? Karena aku harus berputar dengan wajar, mengikuti keselarasan alam karena hal itu sudah ditentukan sejak berabad-abad yang lain. (MARAH PADA LAKI-LAKI DIDEPANNYA)
Jangan coba-coba masa bodoh. Kamu berusaha mencegahku. Kamu yang menyuruhku untuk tenteram ditempatku dan jangan kena pancingan setan-setan. Kamu ya, kamu! Tapi, aku tidak peduli. Nyatanya sudah kujalankan apa yang kupikirkan harus kujalankan dan aku puas. Aku puas. Kau dengar? Aku puas. (MENANGIS)
Tak kuduga akibatnya begini. Semuanya meninggalkan aku satu-satu.
Teman-temanku, lingkunganku mengucilkanku. Anak-anak kecil lari kalau kedekati. Jangan dekat-dekat dengan pembunuh nanti kau dibunuhnya pula, kata ibu-ibu mereka. Binatang-binatangku juga tidak mau kalau kujamah. Mereka menghindar kalau kudekati.
LAKI-LAKI :
(TERTAWA LEMAH) yang tinggal Cuma kamu. Kamu sendiri. Heeeo…….dengar aku kan? Aku senang kau masih mengikutiku. Sungguh betul-betul aku hargai. Sekarang ceritakan kesulitan-kesulitan, ceritakan tentang negerimu misalnya. Tentang anjing. Suka anjing? Kau punya anjing? Atau ikan-ikan dalam akuarium? Atau ceritakan tentang kutu-kutu bervitamin. Burung-burung (KESAL) atau tentang peternakan ayam? Atau buaya? (LAKI-LAKI DIDEPANNYA DIAM. MEREKA SALING MENATAP)
dari sebelah mana harus kupaksa supaya kau membuka mulut? Naaaaaaaaaahhh…….tapi kenapa tanpa suara? Bisu? He……..berapa umurmu? 35? 35? Ya, kukira sekitar itu, 35 ya?
LAKI-LAKI :
Aku ingat sekarang siapa kamu. Sehari sebelum kejadian itu, sesudah pertengkaran dengan Su. Kubujuk Su, tinggalkan Su, hentikan semuanya. Su malah marah. Kita mesti hidup katanya. Apa tidak bisa hidup yang wajar, sederhana? kataku padanya.
Su lebih marah lagi, matanya membelalak, kamu Cuma bisa melarang jangan begini jangan begitu tapi apa kamu pernah berpikir bagaimana caranya mengatasi kesulitan-kesulitan? Kujelaskan lagi! Aku ingin janji kita dulu, kalau kau melakukan dengan orang-orang yang berbeda tanpa rasa apa-apa masih bisa kupikir-pikir. Tapi Su demi Tuhan jangan biasakan Cuma dengan satu orang. Su makin marah. Dia membayar dengan baik, katanya lalu pergi dengan membanting pintu. Tidak, kataku dalam hati. Mulutnya memang mengatakan itu, tapi kilatan matanya menceritakan pernyataan lain. Rasa panas dan dingin tiba-tiba menyatu dalam tubuhku. Aku juga berdiri seperti sekarang ini, menghadap ke satu arah dan melihat ….. kamu. Lalu pada malam harinya, malam kejadian yang luar biasa sepanjang sejarah hidupku……. Aku juga diam-diam seperti begini, memandang ke satu arah ke satu titik. Dibatasi oleh garis samar kita saling tatap. Niat yang sudah lama terpendam berkobar lagi tanpa mau mencegah. Lagi-lagi mencegah. Kau beritahu lagi tentang keselarasan susunan alam kita yang sudah diatur oleh Tuan berkerudung abu-abu yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya itu. Tapi kamu tidak pernah mempelajari aliran air. Makin dibendung makin berusaha untuk menjebol.
Aku menolak! Menentangmu! Melakukan terbalik dengan apa kau ingin kulakukan! Kucari sebilah pisau, dengan gampang kudapat. Ada di peti terselip antara barang-barang antik dari kuningan dan perunggu serta benda-benda tajam lainnya. Kupilih pisau pendek bikinan arab yang bengkok, kuasah hingga tajam. Lalu melangkah menuju gelap tanpa menghiraukan cegahanmu. Langkahmu yang berat terseok mengikuti langkahku, memegangi kakiku. Tapi aku tidak peduli. Jauh dibelakang sana kudengar juga teriakan seseorang mencegah, entah siapa, kutulikan telingaku, kubutakan mata. Aku tidak menengok, kedepan! Ke depan saja melangkahkan kaki. Hancurkan siapa saja.
LAKI-LAKI :
Yang berusaha menghalangi. Niatku sudah Kendal dan galaknya makin menderu-deru seperti mesin perahu tempel yang siap mendorong ke tujuan mana saja aku ingin. Rasa sakit akibat sayatan silet dikulit dari orang yang kita cintai, satu atau dua mampu kita tahankan. Tiga atau empat mungkin juga masih. Lima atau enam bisa dipikir-pikir untuk dilupa dan dimaafkan atau tidak.
Tapi kalau sudah terlampau banyak tidak lagi bisa dihitung? Apa aku bukan manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging dan punya rasa sakit karena kekecewaan?
Kukutuk diriku sendiri. Kusebut nama Tuan berkerudung abu-abu yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya maksudku mau minta tolong. Cegah keinginan edan yang sudah menggalak siap kumuntahkan. Tidak ada jawaban Tuan itu, muncul juga tidak. Dan itu malah mengacaukan, tidak membantu menyelesaikan soal!
Dalam gelap aku diam. Diamku tak ubahnya seperti diamnya permukaan air dengan arus keras di bawahnya siap menenggelamkan siapa saja. Aku menunggu. Dalam gelap ras-rasanya aku jadi mampu meneliti dengan lebih jelas. Dan dua makhluk lain jenis itu….iblis mereka.
Apa yang telah mereka lakukan lakukan di depan mataku? Tidak tanggung-tanggung mereka lakukan untuk bisa saling memuaskan. (RUSUH) kukawini seorang pelacur. Kutunggui waktu dia melacurkan diri. Selalu kutentramkan hatiku karena yakin, yang dia jual Cuma tubuhnya tapi cintanya tetap untukku. Cuma untukku. Tapi yang sekarang terjadi lain. Selama bertahun-tahun aku mampu menelan kejadian-kejadian dengan sabar seperti kesabaran seorang martir. Tapi yang sekarang terjadi lain, apa aku mungkin terus diam. Lalu kau tahu apa yang terjadi kemudian . aku ingat kau ada di dekatku waktu itu. Tubuh enteng terasa melayang. Dua orang di depanku jadi sekecil semut. Tak lagi aku takut pada siapa pun. Su dan laki-laki itu! Berapa orang malam itu jadi korban robekan belatiku di perut mereka? 4? 5? 6? 20? 23? Ketika tugas kuselesaikan tanpa menyesal aku menuju rumah, menemui ketiga anak-anakku. Anak-anak Su. Padahal mereka tidak punya doa apa-apa. Tapi bisakah pikiran yang gelap mempertimbangkan hal itu? Dengan bedil dua loop yang pelurunya mampu menghancurkan kepala seekor badak aku menghabisi semuanya. Entah berapa banyak yang sudah menanam benih di tanah subur milik Su. Benih itu jadi tiga bakal pohon. Malam itu kubongkar semuanya hingga akar-akarnya. Musnah Cuma dalam tiga kali semburan api. Siperusak yang datang tiba-tiba dan menghilang secepatnya! Aku benci Su! Aku benci laki-laki itu. Aku benci anak-anak Su. Aku benci semnuanya. Aku benci diriku sendiri. Rupaku pasti buruk sekali di cermin. Dari kejauhan dengan puas kupandangi rumahku yang mulai runtuh dijilat-jilat lidah api. (DUDUK KECAPAIAN)
LAKI-LAKI :
Besak aku akan mati. Jangan runtuh pahlawan. Ya, besok aku akan berjalan dengan tegak dan menolak untuk ditutup dengan kain hitam. Akan kutentang mata para penembak itu satu-satu dan sekali lagi menikmati sengatan cahaya matahari sebelum aku mati.
Aku akan teriak pada para penembak itu, menganjurkan supaya mereka jangan gentar. Ayo bung cepat lakukan tugasmu. Yang akan kalian tembak adalah seorang pemberani, seorang laki-laki dan pahlawan bagi dirinya sendiri. Dan tembakan berbunyi serentak, sepuluh timah menyengat tubuhku aku akan rubuh sambil tersenyum, ah akhirnya ku masuki juga ruangan besar dengan pintu terbuka lebar-lebar. Aku akan segera tahu apa saja isinya.
(PAUSE..BICARA PADA LAKI-LAKI DI DEPANNYA)
aku lelah sekarang giliranmu bercerita. (MENUNGGU) kenapa diam saja? Kenapa curang? Tidak menepati janji? Sudah kubukakan semua, kau harus ganti membukakan rahasia-rahasia kita, Cuma kita berdua yang tahu. Rahasia-rahasiamu kubawa mati dan rahasia-rahasiaku tentunya juga kau bawa mati. Kenapa tetap diam? Kenapa tidak mau bicara? Kenapa menatapku seperti itu? (MARAH) kenapa?
Kamu curang! Sama seperti Su. Kamu jahanam, sama seperti Su, yang tidak pernah mau melihat orang dan Cuma mau melihat dirinya sendiri saja. Kamu serakah, sama seperti Su, yang ingin tahu isi perut orang lain tapi tidak mau memperlihatkan perut sendiri. Aku tidak butuh kawan seperti itu. Biar kamu pergi meninggalkan aku seperti yang lain-lain. Kamu bangsat, sama seperti Su yang tidak pernah mau memikirkan perasaan orang lain, tidak mau bermanis-manis baik di muka maupun di belakangku. Tatapan menghina. Kamu anjing seperti Su yang makan makanan apa saja yang dijumpainya di jalan-jalan atau di tong-tong sampah. Kamu binatang, sama seperti Su yang mengumbar keinginan apapun tanpa peduli batas-batas. Kamu pelacur, sama seperti Su yang selalu menerima tapi tidak mau memberi.
Kamu……kamu….. aku benci kamu. Benci dari ujung rambut sampai ujung kaki. (BERTERIAK DAN HISTERIS) pisauku…….pisauku………mana belati itu. Ini? Belati akan mengakhiri perasaanmu juga (MENGGERAM) belati…….belati……..belati……belati……..belati….
(MENUSUK MEMBABI BUTA. KEDENGARAN SUARA KACA PECAH BERKALI-KALI. LAKI-LAKI MAKIN HISTERIS)
jangan coba halangi aku Tuan berkerudung abu-abu yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya………….jangan coba halang-halangi aku! Belati………belati………belati……
(MULA-MULA LAMPU DI AREA LAKI-LAKI DI DEPAN LAKI-LAKI ITU MATI SEKETIKA. LALU SEMUA LAMPU MATI DAN PANGGUNG JADI GELAP KEMBALI SEPERTI SEMULA. LAKI-LAKI MASIH HISTERIS. LALU DIAM. SADAR BAHWA SEKELILING SUDAH GELAP. DAN IA BERTERIAK BUKAN LANTARAN KEJARAN TAPI LANTARAN KETAKUTAN BERADA DALAM GELAP SENDIRIAN)
Jangan pergi……..jangan! jangan pergi! Jangan tinggalkan aku sendirian! Jangan! Jangan aku masih butuh…….masih butuh seseorang disekitarku. Aku butuh….jangan! cahaya! Cahaya! Cahaya! Lampu…cahaya…….aku butuh cahaya…….aku butuh cahaya. Cuma cahaya yang kubutuhkan satu-satunya sekarang. Aku butuh cahaya! Cahaya! Cahaya……cahaya…cahaya……..cahaya.
SUARANYA MAKIN LEMAH DAN MAKIN LEMAH HINGGA HILANG. TAPI PANGGUNG TETAP GELAP. TAK SEBERKAS CAHAYAPUN YANG MAMPIR.

S E L E S A I
JAKARTA, 8 MEI 1977
N RIANTIARNO

diketik ulang
yudi dodok
ALFA dan OMEGA
Oleh: Sri Bhuana H. D


Di sebuah taman kala bulan mulai menampakkan cahyanya yang agung, duduklah Omega diam dalam keheningannya sendiri. Kemudian datang seseorang di sampingnya saling membelakangi, kemudian mereka saling berbicara
1. Omega : “Ruang hampa adalah milikku jangan usik ketentramanku”
2. Seseorang 1 : “Aku adalah hampamu “
3. Omega : “Kau adalah Eroseku yang tak tergapai “
4. Seseorang 1 : “Aku masih Erosemu, ia yang tinggal menetap dalam hatimu “
5. Omega : “Apa yang kau inginkan? “
6. Seseorang 1 : “Aku tiba-tiba saja teringat padamu “
7. Omega : “Sudah habis masamu “
8. Seseorang 1 : “Aku adalah hatimu “
9. Omega : “Kau adalah lukaku.”
10. Seseorang 1 : “ Omega”
11. Omega : “ Pergilah
(Seseorang itupun pergi selayaknya angin yang berhembus syahdu)
12. Omega : “Aku remuk lagi “
Keadaan kembali hening, kemudian ia membalikkan badannya dan memandang hampa. Lagi-lagi duduk hening, merasakan apa yang ada di sekitarnya, tiap hembusan angin yang beku, tiap suara yang pilu, tiap gerak makhluk yang mulai lelah dalam pencarian yang tak sampai-sampai. Kemudian datanglah pula seseorang di hadapannya ia hanya sekedar lewat dalam angkuh yang dalam dan Omega Hanya mampu terdiam dan memandanginya. Hening sejenak. Sesaat kemudian terdengar alunan musik dansa dari perlahan kemudian menjadi semakin keras namun tetap terdengar lembut, secara perlahan Omega mulai bergerak mengikuti irama di hatinya terus bergerak berjalan, berputar, melenggang, melompat, terus dan terus. Kemudian muncul seseorang 1 dan seseorang 2 datang untuk turut serta berdansa bersama kehidupan mereka sendiri. Dengan perih yang dalam Omega terus menari mengikuti irama hatinya yang semakin lara. Dua pasangan itu terus menari dan saling berganti Pasangan dan Omega masih tetap sendiri.
Selang beberapa saat kemudian muncullah seseorang yang lain. Musikpun berangsur mereda dan pasangan –pasangan yang sedang berdansa satu per satu meninggalkan Omega dengan seseorang itu.
13. Omega : “Alfa “
14. Seseorang 3 : “Hai Omega “
15. Omega : “Sekiranya aku mampu menembus hatimu “
16. Seseorang 3 : “Sekiranya hatiku seluas samudera hanya ada satu nama di sana.”
17. Omega : “Dan itu bukan aku,tapi aku akan terus di sini untuk menunggu”
18. Seseorang 3 : “Jangan menungguku”
19. Omega : “Walau terluka aku tetap di sini”
20. Seseorang 3 : “Mengertilah, bahwa sekiranya dalam hatiku tertulis nama yang lainpun aku takkan menyentuhnya “
21. Omega : “Aku tetap di sini “
Seseorang itupun hanya tertunduk diam dalam kebisuan yang dalam, lalu iapun pergi meninggalkn Omega dalam kehampaannya. Omega berdiri memandang bulan yang semakin menantang kebekuannya (musik mengalun sendu ) Dalam keadaan yang demikian datanglah seseorang (Volt ) dengan perasaan malu-malu mendekat, dengan setengah ragu-ragu ia seseungguhnya ingin memberikan sekuntum bunga mawar yang ia sembunyikan dibalik punggungnya. Tapi kemudian datang pula seseorang yang lain lagi (Rho ) mendekat dan mendahuluinya memberikan sekuntum mawar kepada Omega (musik menjadi romantis ), dengan ragu Omega menyentuh bunga itu, seseorang yang tadi yang menyembunyikan sekuntum mawar merah di balik punggungnya akhirnya mengundurkan diri dari hadapan, tapi secara tidak sengaja Omega melihatnya dan mengurungkan niatnya untuk mengambil bunga itu ( dari Rho )
22. Omega : “Volt ( ragu-ragu), apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu itu “
23. Seseorang 4 : “Oh, i..ini, ini bukan apa-apa, hanya harapan yang terbang “ ( meremas bunga mawar itu hingga tangannya terluka karena tertusuk durinya )
24. Omega : “Volt ? “ (cemas )
25. Seseorang 5 : “Kau kenapa Volt ? “
26. Seseorang 4 : “Aku tertusuk duri, tapi aku tak apa“
27. Omega : “Volt.... “ ( Menahan jengkel,karena sesungguhnya ia telah melihat apa yang dibawa oleh Volt dan yakin bahwa bunga itu untuknya )
28. Seseorang 4 : “Omega, sekiranya bunga yang dibawa Rho untukmu, terimalah itu dengan kesungguhan. Rho telah dengan susah payah menghilangkan duri-duri bunga yang sekarang ada di tangannya. Jangan kau tancapkan lagi duri itu ditangkainya ”
29. Omega : “Volt, bagaimana mungkin kau berkata begitu,aku tak ingin melukainya. Aku hanya menginginkan bunga itu saja.”
30. Seseorang 4 : “Jangan mempermainkan Rho, karena bunga itu sungguh untukmu”
31. Seseorang 5 : “Volt..,Omega...” ( Ragu-ragu antara yakin dan tidak bahwa sesungguhnya bunga yang dibawa Volt adalah untuk Omega dan sesungguhnya Omega juga mengiinginkan bunga itu )
32. Omega : “Volt kau benar-benar menyebalkan “ ( Memandang Volt dengan penuh kebencian lalu Voltpun pergi )
33. Seseorang 5 : “Omega, bunga ini untukmu.”
34. Omega : “Betapa indah bunga ini, sekiranya aku boleh memilikinya aku akan sangat berterima kasih.”
35. Seseorang 5 : “Sungguhkah bunga ini berkenan di hatimu? Apakah kau sungguh berkenan atas bunga dan hatiku “
36. Omega : “Ya aku sangat senang bisa memperoleh kesempatan untuk memiliki bunga ini”
37. Seseorang 5 : “Sungguhkah demikian? Kau sungguh berkenan atas bunga itu? “
38. Omega : “Ya aku bersungguh-sungguh padamu, sungguh senang hatiku dapat memiliki bunga yang seindah ini,”
39. Seseorang 5 : “Apa hanya bunga itu yang kau inginkan dariku?”
40. Omega : “Ya, karena bunga ini begitu indah”
41. Seseorang 5 : “Sesungguhnya aku ingin kau juga melihat apa yang ada dalam bunga itu”
42. Omega ; “Aku hanya melihat bunga ini aku tak melihat apapun selain keindahannya. Tapi sebenarnya apa yang ada dalam bunga ini?”
43. Seseorang 5 ; “Apa sungguh kau tidak mengetahuinya?”
44. Omega : “Sungguh aku tidak mengetahui apa maksudmu, sejak kau memberikan bunga ini aku hanya melihat betapa bunga ini sangat indah. Maaf kalau boleh aku tau darimana kau memperoleh bunga ini?” ( berpura-pura tidak mengerti )
45. Seseorang 5 : “Aku memperolehnya dari Volt. Sesungguhnya bukan hanya keindahan dari bunga itu yang ingin kau memilikinya, tetapi juga hatiku”
46. Omega : “ Maaf ?”
47. Seseorang 5 : “Tapi jika kau memang hanya menginginkan keindahan bunga itu saja aku akan merelakan hatiku hanyut dalam impianku”
48. Omega : “ Rho...? Rho sungguh maafkan aku, aku benar-benar tidak berpikir bahwa hatimulah yang sesungguhnya ingin kau sampaikan padaku bukan bunga ini. Aku hanya terpikat oleh bunga ini sungguh maafkan aku Rho “ (merasa bersalah Karena ia merasa bahwa ia telah mempemainkan perasaan Rho)
49. Seseorang 5 : “Sudahlah aku baik-baik saja dengan keadaan ini, setidaknya sekarang aku yakin bahwa bunga itu tidak jatuh pada orang yang salah, terima kasih bahwa kau masih mau peduli tehadap bunga itu karena aku juga menyayanginya meski aku tidak memperolehnya sendiri. Sekiranya kau mau merawatnya dan jangan biarkan ia layu begitu saja, meski aku sangat yakin bahwa bunga itu akan segera kau tinggalkan begitu ia menjadi layu. Dan sekiranya kau tak menginginkannya lagi kumohon jangan kau sia-siakan dia begitu saja, paling tidak sudilah kiranya kau merawat sisa hidupnya dalam kenanganmu. Tapi itupun bila....”
50. Omega : “Ya aku akan selalu merawatnya walaupun apa yang akan terjadi nantinya,. Aku akan selalu berusaha untuk menjadi perawat yang terbaik baginya. Percayalah padaku.”
51. Seseorang 5 : “Terima kasih kau masih mau peduli pada apa yang kuberikan padamu. Terima kasih untuk setiap waktumu yang kau berikan padaku saat ini. Aku akan pergi,terima kasih untuk setiap kenangan ini aku sangat sayang padamu Omega”
52. Omega : “Rho...”
53. Seseorang 5 : “Aku pergi omega. Tapi sebelum ku pergi katakan sejujurnya padaku, apa kau juga menginginkan keindahan dari bunga yang dibawa oelh Volt ?”
54. Omega : “Apa maksudmu,kenapa kau berkata seperti itu? “ ( pura-pura bodoh )
55. Seseorang 5 : “Sekiranya ia membawa sekuntum bunga ia takkan memberikannya padamu karena pemilik dari taman bunga itu hanya ada satu orang saja dan dia adalah saudaraku. Jadi komuhon jangan pernah menginginkanya lagi”
56. Omega : “Aku telah mengetahuinya sejak awal mula bertemu dengannya, bagaimana mungkin seorang penjaga taman tak memiliki sebuah taman yang penuh bunga untuk dirawat. Dan aku juga tau bahwa ia adalah seorang pekerja yang setia pada tuannya. Sungguh jahatnya aku bila aku sampai merusak keindahan dari pemandangan taman itu.” (Sesumgguhnya ia sangat terkejut karena ia baru mengetahui tentang berita itu sekarang, dan akhirnya ia terpaksa berbohong lagi untuk menutupi luka yang baru saja tertoreh di hatinya )
57. Seseorang 5 : “Kau telah bohong padaku, katakanlah sejujurnya padaku, sungguh aku takkan terluka oleh pengakuanmu”
58. Omega : “Aku telah mengatakannya padamu,sungguh percayalah padaku. Karena masih ada Erose di hatiku dia yang mengetahui bahwa aku telah merawat sekuntum bunga abadi untuk ku persembahkan kepadanya tapi sepertinya ia tak pernah mempedulikanku. Dia yang telah menorehkan luka di hatiku untuk yang pertama kalinya, dan sampai saat ini luka itu masih terasa sakit,sakit yang meninggalkan kehampaan di dalamnya. Tapi bagiku luka itu sebegitu indah dan hampanya bagiku sehingga aku takkan sanggup melupakannya.” ( kembali ia merasa bersalah karena kebohongannya )
59. Seseorang 5 : “Sebegitu berartinyakah Erose bagimu? Sehingga kau taksanggup melupakannya.”
60. Omega : “Karena ia adalah pemilik dari taman bungaku yang pertama, dia yang membuat aku belajar bagaimana memelihara bunga agar ia mekar dengan indah di taman”
61. Seseorang 5 : “Apa kau tau betapa saudaraku sangat menyayanginya, mereka begitu menyayangi satu sama lain.”
62. Omega : “Sudah seharusnya seperti itukan? Sekarang katakan padaku akan pergi kemana dirimu dan kapankah kau akan kembali?”
63. Seseorang 5 : “Aku tak tau kapan aku akan kembali aku pasti akan sangat merindukanmu. Terima kasih atas kenangan yang indah ini, selamat tinggal Omega. “(perlahan pergi meninggalkan Omega sendiri lagi )
64. Omega : “Rho....”
Keadaan kembali sepi seperti sediakala,dengan segumpal perasaan yang sudah tak asing lagi baginya. Kembali ia duduk dalam kediamannya, hening sejenak, membeku dalam pergumulan di pikirannya sendiri. Terus seperti itu ia terpuruk dalam pikirannya sendiri,tanpa ada yang mengetahui sebenernya apa yang sedang dikerjakannya. Ia hanya terus diam dan tenggelam dalam dunianya sendiri.
65. Omega 1 : “ Apa yang kau dapat dari semua ini ? Hanya kelelahan sajakan? Lalu kenapa kau masih saja menjalaninya? Menagapa kau menipunya? Kenapa kau tipu mereka? Kau benar-benar bodoh Omega!”
66. Omega : “ Aku tidak bodoh,aku hanya meginginkan Volt, tapi selalu saja begini jadinya. Mengapa setiap orang yang ku sukai selalu saja telah memiliki kehidupannya sendiri,apa aku sebegitu tidak pantasnyakah untuk mencintai seseorang ?”
67. Omega 1 : “ Untuk apa kau menginginkan Volt ? Apa yang ingin kau dapatkan darinya ?”
68. Omega : “ Aku hanya ingin dilindungi, aku hanya ingin selalu merasa aman karena selalu ada seseorang milikikku yang selalu mendampingiku. Aku hanya ingin merasa tak sendiri lagi ?”
69. Omega 1 “ Kau tak pernah sendirian Omega selalu ada banyak orang yang melindungi mu, selalu ada benyak orang yang menyayangimu selalu ada.....”
70. Omega : “ Itu semua tak cukup bagiku, tak pernah cukup. Kau bahkan tau bagaimana sesungguhnya diriku. Aku ingin melepaskan kelelahanku, aku ingin istirahat, aku hanya ingin ada seseorang tempatku bersandar, tempat dimana aku merasa damai tempat dimana aku tak perlu lagi memakai topeng, tempat dimana...”
71. Omega 1 : “ Selalu ada tempat seperti itu di sini, meski tanpa seorang Volt yang telah dimilii oleh orang lain, tanpa seorang Erose yang entah bagaimana sekarang keadaannya, dan tanpa seorang Alfa yang bahkan sama sekali tidak mempedulikanmu. Selalu ada tempat yang damai bagimu Omega .”
72. Omega : “ Tidak, tidak ada tempat seperti itu di sini, karena aku selalu ingin menjadi lebih kuat dari mereka agar aku menjadi lebih berarti bagi mereka, agar aku bisa menjadi sandaran yang kokoh bagi setiap kelelahan mereka. Ketika aku sendiripun sesungguhnya telah lelah, aku takkan bisa bersandar pada mereka, karena aku selalu ingin lebih kuat dari mereka, aku tak ingin mereka melihatku dalam keadaan yang sangat payah, karena bila itu terjadi, mereka pasti juga akan menjadi payah.”
73. Omega 1 : “ Tapi kenapa aku tak pernah melihatmu lebih kuat dari yang lain ? Kau bahkan tak mampu memperlihatkan kekuatanmu yang sesungguhnya ?”
74. Omega : “ Karena sesungguhnya aku ini memang sangat lemah. Omega mengertilah aku, aku lelah dengan perisai ini, ini terlalu berat utkku, aku ingin segera melepaskannya. Aku ingin segera melepaskan beban ini dan bersandar di bahu Volt”
75. Omega 1 : “ Bila memang demikian adanya mengapa kau memilih orang-orang yang tak mungkin untuk kau miliki,seperti Erose, Jaques, Volt,dan Alfa. Kenapa kau tidak memilih Rho yang jelas-jelas menginginkanmu?”
76. Omega : “ Karena aku tak menginginkannya. Karena aku hanya menginginkan mereka, karena Erose adalah pria pertama yang mampu mencuri hatiku, karena Jaques adalah seseorang yang mampu menenggelamkanku dalam kedalaman matanya yang beku, karena Volt telah berhasil menarik perhatianku hanya dengan sikap manisnya yang sederhana dan karena Alfa telah berhasil mencuri setiap pikiran yang dengan susah payah ku sembunyikan.dan karena mereka telah berhasil membuatku terluka parah dan melemah dengan mudahnya”
77. Omega 1 : “ Lalu bagaimana dengan yang lain jika kau hanya memilih Volt, dan apakah benar Volt adalah orang yang akan kau percayai bebanmu ? Atau karena dia menarik ? atau karena kau memang sungguh-sungguh dengannya?”
78. Omega : “ Aku tak tau, aku hanya menginginkannya saja”
79. Omega 1 : “ Lalu bagaimana dengan Alfa, atau Erose, atau...”
80. Omega : “ Aku tak tau, saat inipun Aku masih menginginkan mereka “
81. Omega 1 : “ Kau harus memilih salah satu “
82. Omega : “ Aku ...”
83. Volt : “ Omega, kenapa kau ragu?”
84. Omega : “ Volt kau...”
85. Volt : “ Aku Erosemu*, Omega,seseorang yang telah berhasil mendatangkan musim bunga di musim dingin yang beku di hatimu”
86. Omega : “ Volt, kau adalah kau, kau bukan Erose,”
87. Volt : “Aku adalah Erose mu”
88. Omega : “ Jika kau Erose ku, dimana Volt?”
89. Alfa : “ Aku disini Omega”
90. Omega dan Omega 1 : “ Alfa! “
91. Omega 1 : “ Ada sesuatu yang tidak beres terjadi disini, Omega katakan apa yang sesungguhnya sedang terjadi di sini?”
92. Omega : “Aku tak tau apa yang sesungguhnya sedang terjadi ( Kepada Omega 1 ). Alfa apa yang sesungguhnya sedang terjadi, kenapa Volt menjadi Erose, Alfa menjadi Volt, dan ....”
93. Alfa : “ Aku adalah Volt*, seseorang yang selalu membuatmu berdebar-debar, tanpa kejelasan.”
94. Omega 1 : “ Omega kau bahkan menyembunyikan sesuatu dari diriku yang adalah dirimu. Apa yang membutmu sebegitu ragunya sehingga tak lagi bisa membedakan mana yang Volt,mana yang Erose mana yang Alfa? Sekarang tentukan pilihanmu Omega, siapa yang sesungguhnya kau inginkan dalam hatimu!”
95. Omega : “ Diamlah Omega aku benar-benar tak lagi bisa membedakan mereka satu dengan yang lainnya.”
96. Erose : “ Erose, Alfa, ataupun Volt hanyalah sebutan belaka. Arti sesungguhnya bagi hatimu adalah mereka yang sedang mengaku dihadapanmu. Omega, Aku adalah Alfamu*.Seseorang yang pertama kali ada di hatimu dan akan kekal hingga masa yang tak terhingga.”
97. Omega : “ Erose...., ya Erose ternyata kau memang Alfa, meski tiada tampak lagi hadirmu di sini.”(Erose pun memeluk Omega dan pergi dengan tinggalkan tetes-tetes kebahagiaan di mata Omega )
98. Omega 1 : “ Omega !! Apa yang kau lakukan?!”
99. Omega : “ Aku sudah memutuskannya Omega, ya sekarang telah jelaslah bagiku, bahwa sesungguhnya Erose adalah Alfa, seseorang yang kedudukannya takkan sanggup tergantikan oleh siapapun, meski ia kini telah pergi aku tetap percaya ada tempat yang indah di hatinya untuk kusinggahi.Dan tentang Volt ia akan tetap menjadi seseorang yang inign kumiliki. Dan Alfa, ia pun akan tetap ada di hatiku.”
100. Omega 1 : “Omega!!!!”

SELESAI


Keterangan :
Alfa* :Alfa adalah awal, bahwa ia adalah seseorang yang menjadi kisah pertama yang tak terlupakan.
Erose* :Erose adalah cinta,bahwa erose hanyalah sebutan untuk menyebut seseorang yang membuat tergili-gila karena cinta.
Volt* : Volt adalah tegangan, bahwa volt hanya sebutan untuk seseorang yang mampu membuat berdebar-debar setiap kehadirannya
Erose, Alfa, dan Volt yang gak pakai tanda * adalah nama tokoh



Akhirnya selesai pada:

Jumat,21/12/07
Di Ruang Komputer KELOMPOK PERON SURAKARTA
Pada saat sebagian orang pada latian, sebagian buat setingan, mas dodok gitaran,aku mung nggarap naskah iki. Padahal aku seksi perkap seting ning malah ra ngopo2 he100x
GOL
Monolog : Dadi Reza Pujiadi

BABAK 1

(RUMAH KELUARGA SEDERHANA. RUANGAN BERISI MEJA ROTAN DAN KURSI. ADA MEJA MAKAN UKURAN KECIL. TAPI MEJA MAKAN ITU JUSTRU JADI TEMPAT TUMPUKAN PAKAIAN. KELIHATAN MUG DAN BEBERAPA GELAS. ISTRI SEDANG MENGAYUNKAN KAIN YANG DIGANTUNG DI VENTILASI. TEMPAT BEYINYA TERTIDUR. WAJAHNYA GELISAH. ISTRI BERANJAK, INGIN MENENGOK LUAR LEWAT JENDELA. TERDENGAR SUARA BAYI MENANGIS. ISTYRI KEMBALI. MENIDURKAN BAYINYA)

ISTRI
Di depan sepi, sepi sekali. Tidak kelihatan siapa-siapa. Jadi apa yang ditakuti? Jadi Asmuni itu itu tidak bisa dipercaya. Lagi, percaya sekali abang dengan omongan Asmuni. Abang kan tahu mata Asmuni sudah rabun. Bisa saja Asmuni salah lihat. Barangkali bukan orang itu.
(MELIHAT SESUATU)
Tunggu dulu! Jangan keluar dulu! Jangan keluar dulu! Jangan-jangan ini dia. Potongannya bagaimana? Tinggi besar? Bagaimana wajahnya? Sebentar, sebentar. Oh tidak, yuh dia lurus saja. Kalau orang itu cari abang, dia pasti ke sini.
(KEMBALI KE PINTU. BICARA PADA ORANG DI DALAM)
Abang? Kok jadi abang ngeper? Eh eh eh… jangan pake sarung itu. Kolong itu kan kotor. Apa sih seremnya orang itu? Sampai abang ketakutan begitu?berapa sering dia temuin abang? Jadi dia sering dating ke pangkalan ojek? Temuin abang? Bujuk-bujuk! Si Wati pernah lihat tidak? Dia kan jualan di pangkalan. Kutukupret! Kok Wati tidak pernah cerita.
Abang juga keterlaluan badut. Terlalu sopan. Terlalu baik. Sama semua orang. Tiding pandang kenal atau tidak. Biar kerjaannya Cuma tukang ojek. Tapi jiwa sosialnya tinggi. Selalu tidak enak kan. Mudah jatuh kasihan.
Jadi, orang sering ambil untung dari sifat abang, gampang manfaatin kelemahan abang. Semua orang ingin dibantu.
Sekali-kali bilang “yidak” kenapa. Malah perlu. Apalagi sekarang abang lagi pegang banyak uang. Uang orang. Tanggungjawabnya besar. Abang harus hati-hati. Harus waspada.
Semua orang tahu, siapa itu bang Iban, Bendahara GOL. GOL itu singkatan dari Grup ojek liang batu. Grup ojek yang anggotanya paling banyak dan pemasukannya paling besar di kampong ini. Cuma GOL saja yang mempunyai koperasi. Banyak yang bilang karena abang lugu, hatinya bersih.
Sekarang abang jadi Bendara. Abang pernah menjadi ketua GOL. Empat periode bertutrut-turut.
(ISTRI MELIPAT-LIPAT PAKAIAN)
Tapi sudah dating Pak Ramli, abang tidak pernah lagi naik jadi ketua. Tetapi abang yang dipercaya pegang duit tabungan tukang ojek. Semua kawan-kawannya hanya percaya, kalau soal duit jangan berikan yang lain. Harus abang Iban yang pegang.
Sekarang abang dipercaya mencari lima puluh motor baru, untuk para tukang ojek. Nah, karena kepercayaan in, persoalan dating. Abang kenal orang itu. Calo. Begundal yang sekarang selalu bikin takut abang.
Seperti apa orangnya? Mana saya tahu. Saya kan tidak pernah ke pangkalan. Yang pasti, abang bisa lari terbirit-birit bila dengar siapa saja cerita orang itu. Dan hari ini, kabar itu datangnya dari Asmuni. Aku lihat abang lari ketakutan. Blengak-blengok seperti anak babi kesasar. Apa saja ditabrak. Lalu masuk ke dalam kamar.
Saya dengar dari mulut ke mulut, abang pernah sesumbar kepada semua anggota ojek, abang pernah janji dengan orang itu. Janji apa? Apa benar bang Iban pernah berjanji? Jangan-jangn abang yang undang dia datang ke rumah ini. Tapi abang memang tidak mau bertemu. Jadi abang sembunyi? Sekarang abang ada di dalam. Sembunyi, di bawah tempat tidur. Malah kalau tidak saya larang, tadi dia sempat mau masuk ke lemari.
Saya sedih, kok bisa jadi begini. Padahal saya sudah bilang. Sudah saya ingatkan. Jangan takut! Abang kan tidak salah? Memangnya abang habis malingin rumah orang itu? Abang punya hutang sama dia? Lah kan bukan. Kenapa harus takut. Kita hanya boleh takut sama yang di atas. Yang kasih kita napas. Yang kasih hidup dan pelihara kita. Hadapi dia! Hadapin! Tanya, kapan saya pernah berjanji sama kamu? Kenapa kamu selalu bikin takut saya? Keturunan setan belang ya? Punya uka-uka ya?
Kalau abang sembunyi. Ngumpet. Mana selesai masalahnya. Malah berabe kalau orang itu tahu abang takut. Orang itu malah menganggap dirinya menang. Wah repot, kalau-kalau kita membiarkan orang yang ingin memanfaatkan kita, berada di atas angin. Bisa berbuat semaunya. Siap-siap habis itu kita diinjek, diplintir, dilipat-lipat. Abang tidak maukan?
Saya bukan menakut-nakuti abang. Justru saya ingin menolong abang. Apa benar orang itu ajak abang kongkalikong? Ajak kerjasama? Abang tidak maukan? Bilang terus terang, semua pengurus dan anggota sudah sepakat, tidak mau membeli motornya. Tidak selera.lagipula kita tidak mau berurusan denga calo. Kita hanya percaya pada sumber yang jelas. Kan beres! Habis itu juga dia bengkok, kapok kejar-kejar lagi.
Kalau dia masih. Itu namanya pemaksaan. Laporkan ke pak Ramli! Beliau kan ketua GOL. Anggota koramil yang bekingin grup, biar pak Ramli yang urus. Jadi abang tidak perlu main umpet-umpetan sama orang itu. Tapi abang malah ngelak. Habis bagaimana, Tin? Justru pak Ramli yang suruh orang itu datang ke rumah, temuin abang. Oh, jadi salah dong saya, saya masih berpikir abang yang undang itu calo kemari. Pak Ramli memang keterlaluan. Dia kira kalau namanya sudah disebut, orang langsung takut, langsung mengiyakan. Memangnya dia Undang-Undang Dasar apa? Kita bisa setuju tawaran itu calo, kalau semua juga setuju.
(KE PINTU KAMAR)
Atau abang ninta mundur saja jadi bendahara. Bagaimana? Minta orang lain menggantikan abang! Biar pengganti abang yang anbil urusan ini. Biar ada yang rasain pusing seperti kita. Yang penting bukan abang lagi yang pegang itu duit tabungan. Kalau duit itu orang lain yang apa-apakan, abang tidak perlu tanggungjawab.
Atau serahkan saja semua duitnya ke pak Ramli. Senang benar bikin susah orang. Dia memang urat malunya sudah hilang. Rakus sekali sama yang namanya duit, sama komisi. Padahal gaji bulanannya kan ada. Masak masih pungutin rejeki orang kecil. Lagi pula apa sih jasa pak Ramli sama pangkalan. Ikut mendirikan tidak. Merasakan susahnya cari langganan juga tidak. Apalagi berebutan penumpang. Datang-datang langsung menclok. Clok!
Pakai sesumbar banyak teman polisi segala, bisa melindungilah. Akhirnya diangkat dia jadi ketua, maksudnya untuk pelindung pangkalan dari pungli. Dari polisi-polisi nakal. Pelindung apaan? Tuh tukang ojek ketangkep polisi mah ketangkep aja. Malah ada polisi yang sering ke pangkalan, minta duit kopi, duit rokok, tapi masih tega tahan motor teman-temannya bang Iban.
Waktu Juki bawa penumpang terus jatuh ke comberan. Si Juki juga ditahan. Dibilang pelanggaran. Padahal Juki ama penumpang tidak apa-apa. Dasar polisi raja tega! Berapa kali tukang ojek ketangkep, tapi pak Ramli, mana pernah dia tolong. Setiap dibutuhkan, didatang ke rumahnya tidak pernah ada. Ditelpon ke HP-nya Cuma bilang iya-iya nanti diurus. Alasannya lagi tugaslah. Padahal hamper semua orang lihat dia, kerja sambilan kawal cab eke pasar induk.
Giliran tugasnya off, pas ada masalah ditunggu, tidak muncul-muncul. Datang kalau motornya sudah diurus bang Iban. Ujung-ujungnya, tetap aja kita yang bayar denda, keluarin uang kas. Terus dia datang, bilang sudah temuin itu polisi, katanya polisi minta tambah biaya inilah, biaya itulah. Pokoknya alasannya macam-macam. Pintar banget ngomongnya. Padahal waktu sama bang Iban, polisi diam saja, tidak omong apa-apa. Terpaksa bang Iban kasih berapa pak Ramli minta. Bang Iban mana berani sama Koramil. Sembrono! Sekali dicium pakai larsnya, bisa ngejoprak, lumpuh. Tidak bisa ngojek. Tidak ada duit untuk beli makan, beli susu saeful. Terus beli pakai apa? Pakai daun?
Kalau begitu mendingan tidak ada yang melindungin. Boro-boro bisa kredit motor baru lagi, Cuma jadi cita-cita doang. Giliran duitnya sudah kumpul, datang masalah baru lagi. Calo kredit motor. Calo itu menawarkan kredit murah. Sayang, motornya afkiran, alias rijek. Motor sampah. Memang sih, masih kelihatan baru. Dan kalau bang Iban mau, untungnya bisa berlipat-lipat. Tapi besok-besok anggota juga yang kena susah. Jadi mana bang Iban mau. Bang Iban lebih mementingkan cinta dan hati nuraninya. Lagipula tukang ojek yang ikut kredit, sebagian besar masih hubungan saudara dengan saya. Kalau bang Iban lecehin mereka. Sama juga lecehin keluarga besar saya. Sama juga templokin taik ke muka sndiri dong.
Memang kita miskin. Kita kere. Tetapi kita juga tidak semuanya, mau menghalalkan segala cara untuk tujuan hidup. Banyak juga yang baik, yang mau jadi baik. Tidak jambret lagi, tidak nyolong ayam lagi, tapi jadi tukang ojek. Contohnya seperti anggotanya GOL. Bisa nabung, bisa punya duit. Tapi kere pegang duit, tidak pegang duit tetap saja susah.
(DUDUK)
Pak Ramli bajingan! Adanya Cuma bikin susah orang. Makanya saya tidak pernah percaya pak Ramli kasih uang timer bulanan ke polisi. Paling dimakan sendiri. Soalnya polisi masih tetap saja ke pangkalan, minta jatah. Kena bang Iban sama semua orang pangkalan, diakalin. Digoblokin.
(SEPI)
Kok lama sih, Bang? Kalau tahu begini lebih baik tadi abang ngojek dulu. Bisa dapat dua-tiga rit kan lumayan.
(TIDAK ADA JAWABAN)
Kok dia belum datang juga? Paling abang diberakin sama Asmuni. Bagaimana sih, masa Bendahara dibohongin terus sama anggota.
(TERTAWA. SEPI)
Bang! Bang Iban?!
(TIDAK ADA JAWABAN)
Dengar tidak sih saya panggil? Masya Allah. Ini masih suara saya Bang! Jangan sampai ketakutan bgitu!
(TIDAK ADA JAWABAN LAGI)
Tuh lihat! Jawab panggilan aja tidak berani.
(KEDENGARAN SUARA BENDA-BENDA JATUH)
ISTRI
Ya Tuhan! Pasti dia masuk ke lemari!
(SUARA BENDA-BENDA JATUH MAKIN BANYAK. SUARA KALENG, SENDOK, PIRING. SUARA BAYI SAEFUL MENANGIS. ISTRI MASUK KE DALAM)
ISTRI
Abang… abang hancur semuanya Bang! Mau sembunyi gedebrak-gedebruk begitu. Kaya kucing garong ketanggor mau nyolong dendeng. Lemari itu isinya sudah full, mau masuk ke mana lagi?
(SEPI. NAYI MASIH MENANGIS. ISTRI MENGGENDONG BAYI. MEMASUKKAN DOT KE MULUT BAYINYA. BAYI BERHENTI MENANGIS. ADA SUARA PINTU DIGEDOR)
ISTRI
Ya… siapa? Tunggu sebentar.
(MASUK KE DALAM KAMAR. CEPAT-CEPAT KELUAR LAGI. SUARA GEDORAN MAKIN KENCANG. WAJAH ISTRI KHAWATIR. SUARA LAKI-LAKI BERTERIAK, MINTA DIBUKAKAN PINTU.)
ISTRI
Calo ya? Calo? Cari Bang Iban? Dia tidak di sini! Saya sendirian di rumah ini. Ya?
Kelakuan luh kaya anjing! Dasar tukang mabok! Rumah sepetak aja masuk pakai gedor pintu segala. Bin jantung orang mau ambrol. Gua laporin hansip tahu rasa luh… Tatit. Tit. Marhasan beler lagi ya? Mau siksa lu lagi? Mau bandem badan lu? Dasar tukang mabok!

(SUARA TETANGGA PEREMPUAN MEMAKI-MAKI SUAMINYA. SUARA AMUK SANG SUAMI. TETANGGA RIBUT BESAR. ISTRI GELISAH. MELONGOK KELUAR. LALU DUDUK DI KURSI. BERDIRI. MELONGOK KELUAR LAGI. MONDAR-MANDIR. ISTRI MENEKAN TOMBOL. LAMPU MENYALA, REDUP. SUARA MARHASAN MENGAMUK. SUARA BAYI MENANGIS. ISTRI MASUK KAMAR. LAMPU BERUBAH.)


BABAK II

(PANGGUNG GELAP. ISTRI IN. MEMBAWA SENTER. MENUNTUN KANTONG PLASTIK BERISI MAKANAN.)

ISTRI
Bang Iban… Bang Iban… Abang masih di sana? Apa masih begitu? Mendengar tidak mau melihat, melihat tidak mau menatap? Tambah gelap. Bang Iban terlalu. Ketakutannya terhadap orang itu membuat pikirannya terpojok ke dalam ke-tidakmasuk-akalan. Terang. Bang Iban jadi takut dengan terang. Dengan cahaya. Bang Iban hanya percaya pada gelap. Sebab katanya, saat tidak ada yang terlihat. Dirinya merasa lebih damai, lebih aman. Tidak satupun ingin dilihatnya menyala. Di dalam lemari saja dia. Makan? Ya tetap makan. Ini saya bawakan. Memangnya dia kuat tidak makan. Orang setan saja makan kok. Matikan lampu-lampu. Jendela biarkan terus tertutup. Biar siang, biar mala. Rumah ini harus lebih gelap dari gua. Harus lebih sepi dari puncak gunung.
Sudah seminggu, saeful terpaksa saya ungsikan di rumah orang tua saya. Saya pun lebih banyak berada mengurus saeful. Bang Iban baik-baik saja. Cuma masih berumah di dalam lemari. Saya disuruh rahasiakan semua ini. Banyak teman-temannya bertanya tentang bang Iban. Saya jawab aja sebisanya. Mereka kebanyakan percaya begitu saja dengan jawaban-jawaban saya. Ah. Tiba-tiba kok saya jadi takut. Benar loh, sungguh! Hati saya jadi dagdigdug.
(MEMEGANG DADANYA)
Hiawata! Ini apa ya? Benar takut ini. Takut ini. Mungkin kekhawatiran berlebihan terhadap suami saya membawa jiwa saya ke dalam perasaan suami saya. Calo itu saya lihat tadi. Sedang bicara dengan pak Ramli. Tapi apa ia dia? Hii. Tampangnya seram juga. Pantas bang Iban ketakutan. Bicara apa mereka tadi. Jangan-jangan merencanakan niat mau kemari. Bisa saja mereka tidak percaya dengan saya. Lalu mau menyelidiki. Lalu… Ah! Buat apa takut.
(MENENANGKAN HATINYA SENDIRI)
Saya sudah mengalami ketakutan yang lebih dari ini. Apa? Waktu ingin melahirkan. Itu yang paling menakutkan.walau akhirnya ketakutan itu saya tertawakan. Lah iya. Jadi? Kenapa dengan masalah kecil ini jadi takut.? Biarin bang Iban takut. Tapi saya harus berani. Harus ada orang berani di dekat orang yang takut.
Bang Iban! Bang Iban tidak perlu keluar! Terus saja takut! Kalau orang itu benar-benar datang sekarang, biar Tini yang hadapin. Bang Iban lihat apa yang nanti Tini lakukan. Jangan keluar Bang! Tetap di dalam lemari!

(SUARA GEDORAN DI PINTU. KERAS. MEMAKSA. ISTRI KETAKUTAN.)

Abang, apa perlu kita teriak-teriak panggil polisi? Tolong saya mau dibunuh. Saya mau diperkosa.

(JERITAN KESAKITAN. SUARA SEPATU-SEPATU BERLARIAN. SUARA LETUSAN SENJATA API. SEPI.)

Siapa? Marhasan mabok lagi ya? Atau intel yang mau tangkap marhasan? Salah masuk pak! Kamar satunya. Cari aja laki-laki yang mulutnya bau spirtus. Itu pasti dia.

(SUARA WANITA MENANGIS)
ISTRI
Tit. Tatit. Kenapa? Benar ya Marhasan ditembak intel. Kok bisa ditembak? Memang salahnya apa? Memangnya salah cari duit di jalan? Kalau tidak di situ di mana lagi? Memang masih ada ruang? Masih ada kesempatan?

(GEDORAN PINTU LAGI. ISTRI BERDIRI. WAJAHNYA GELISAH, TAPI DISEMBUNYIKAN.)


ISTRI
Ini pasti dia. Pasti dia. Masuk! Masuk! Pintu rumah ini tidak dikunci. Dorong aja sedikit. Bang Iban, saya rasa kita tidak perlu lapor polisi?
(GELISAH DAN TAKUT)
Anda cari siapa? Suami saya? Baik. Silahkan duduk! Tunggu sebentar!
(MAU MASUK KAMAR. KEMUDIAN TIDAK JADI. HANYA BERDIRI DI DEPAN PINTU.)

Sebagai tuan rumah yang baik, saya harus menawarkan minum pada anda. Tanu saya. Mau minum apa? Kopi? Teh? Atau air putih?
(ISTRI KE MEJA MAKAN. MENUANG AIR PUTIH.)

Silahkan diminum! Oh saya lupa. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Tini. Istri orang yang sedang anda cari. Asal anda, dari mana/ bang Iban tidak pernah cerita, kalau yang datang hari ini, seorang perempuan. Ah, saya harus panggil apa? Sus? Non? Anda bilang apa tadi? Anda orang jawa ya? Berapa? Tiga puluh? Kok masih tampak muda? Cantik lagi. Terus saya panggil mbak? Bukan mbak. Oh Jeng lebih bagus, lebih terhormat. Jeng…. Nama Jeng siapa? Ah, cukup Jeng saja. Tidak perlu panggil nama segala kan? Bagaimana? Baik. Saya panggil Jeng, Jeng. Jeng mau apa? Masalah kredit motor itu. Dan juga harga yang menurut Jeng bisa lebih murah, itu menarik. Jeng tahu? Ide itu pernah saya lontarkan kepada suami saya…
Kenal suami saya?

(MENGELUARKAN KACA)

Coba lihat di kaca, muka kita sama.

(ISTRI TERUS MENGOCEH. MENGOCEH APA SAJA. SEPERTI BERTEMU KEMBALI DENGAN SAHABAT LAMANYA. SATU-PERSATU LAMPU MENYALA TERANG.)
A L I B I
S. Jai



Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat.
Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi.


MALAM HARI. PANGGUNG SISI KANAN SEBELAH BELAKANG ADA LUKISAN BESAR. BEGITU BESAR MENYERUPAI LAYAR. BEBERAPA GEDEBOK PISANG. TANAH ATAU JERAMI ATAU APA SAJA. DI ATASNYA SESEORANG TIDUR TELUNGKUP DENGAN POSISI SEPERTI BARU JATUH DARI LANGIT. MENGGENGGAM SEBENTUK GUNUNGAN. PANGGUNG SISI KIRI ADA MEJA DAN KURSI MALAS. SEPASANG SEPATU. BEBERAPA BAJU TERGANTUNG DI KAPSTOK DEKAT PINTU. BERSERAKAN KERTAS DAN BUKU. SEBUAH BOLA.



BAGIAN PERTAMA

LAMPU FADE IN PANGGUNG KANAN. SUASANA TEGANG MENCEKAM. SESEORANG MEMAINKAN SEBENTUK GUNUNGAN. GEMURUH BADAI. GELORA SAMUDERA. SULUK AMUK. SENANDUNG MERONTA.

SESEORANG: (SULUK AMUK) Sesungguhnya aku lahir bukan untuk mengenal kebencian. Tapi sekarang justru kebencian tidak bisa begitu saja aku benci untuk kubicarakan. Begitu aku membencinya kebencian itu, aku malah tersiksa dibuatnya. Aku menjadi sulit tidur karena terus memikirkannya. Bukan karena kusengaja, tapi ia menyerobot masuk dalam alam pikiranku dalam otakku. Tanpa permisi.
SESEORANG: Masuk! Masuk! Cepat masuk. Hei! Yang di kamar semua keluar. Tutup pintu kuat-kuat.
SESEORANG: Enaknya keluar apa masuk?
SESEORANG: Terserah. Masuk lalu keluar. Bisa juga. Kalau perlu itu pintu dipaku.
SESEORANG: Atau keluar dulu baru masuk.
SESEORANG: Paling enak, sama-sama masuk. Sama-sama keluar. Bagaimana sih?
SESEORANG: Cepat sembunyi di lubang yang kemarin kita gali.
SESEORANG: Ya, begitu. Jangan berisik. Tahan. Jangan kencing dan berak di dalam.
SESEORANG: (SULUK) Kalau pun aku bisa tidur, saat otakku mulai agak kendor justru ia sering menggedor-gedor. Begitu kuberi peringatan sepertinya ia malah bernada mengancam. Ketika kubuka mataku, ia yang berwajah menyeramkan itu sudah berdiri hadir persis di depanku.

BANGUN DALAM KONDISI SETENGAH SADAR MENGANGKAT TUBUHNYA

SESEORANG: Lalu aku pun lupa diri bahwa aku tengah bermimpi. Anda tahu, bagaimana rasanya mimpiku? Betul-betul seperti bukan mimpi. Benar-benar seperti aku berada di alam nyata. Seperti ini. Ya, seperti pertemuan kita hari ini. Mula-mula ia tak bicara apa-apa. Dengan itu pun aku sudah serasa terganggu betul. Namun karena ia datang di setiap tidurku, akhirnya sedikit-demi sedikit ia mulai membuka suara. He, apa kabar? Begitu pertama kali ia menyapa aku. Semenjak itulah aku berkenalan dengannya dan tidurku pun jadi lebih bervariasi. Yang biasanya tak pernah menikmati seteguk kopi, dalam tidurku itu mulai ada kesan aku harus menghidangi tamu aku itu dengan kopi. Nah, mimpi aku seperti di alam nyata bukan. Hebatnya lagi, kesan pertamaku: Sungguh tamuku itu seorang yang ramah. Di susul kemudian dalam mimpi itu kami pun berkenalan.

SADAR DARI AMUK. MELOMPAT. MEMBERSIHKAN TUBUHNYA.

SESEORANG: Begitulah perkenalanku dengan kejahatan. Karena ia datang tiap malam, kami pun jadi akrab. Ia banyak menawarkan jasa baiknya buat bekal aku hidup di dunia yang seringkali sulit kumengerti ini. Hidup yang makin kupikirkan, makin kebingungan pula aku menemukan ada apa di balik selimut misteri ini. Boleh dikata perkenalanku dengan kejahatan itu membuat aku jauh lebih hidup dari hidup. Edan, kok bisa ya?

MELOMPAT KE SISI PANGGUNG KIRI. MEMERIKSA PINTU.

SESEORANG: Malam ini dia datang lagi. Tapi tak aku bukakan pintu. Biar dia di luar sana saja. Menunggu hingga tidurku kelar. Anda tak percaya, silakan coba cek di luar sana. Tunggu sebentar kawan. Masak menunggu barang satu dua jam saja nggak betah? Berilah aku waktu untuk istirahat biarpun sebetulnya berbincang-bincang denganmu itu apalagi pada malam hari rasanya seperti istirahat. Bukankah sebetulnya bersama denganmu itu suatu hiburan? Iseng ala kadarnya saja? Sekadar untuk melengkapi isi dunia ini biar tak serius melulu saja? Jadi begitu, oke? Tunggu sebentar karena aku sedang menjamu tamu lain di ruangan yang sempit ini. Maafkan aku kalau kalian mempersoalkan ruangan yang serba sempit ini. Karena inilah yang kupunya satu-satunya. Begini saja aku sudah amat bersyukur karena ruangan ini memiliki dinding-dinding yang tebal sehingga jika pada suatu ketika ada orang yang bermaksud buruk hendak melenyapkanku dari semesta ini, ia tak begitu mudah untuk merobohkannya. Jadi aku rasa cukup aman untuk sementara aku sembunyi dari orang-orang jahat itu. Tapi masalahnya zaman sekarang banyak buldoser. Dan Tuhan telanjur menciptakan buldozer itu begitu kuat dengan tangan dan kakinya yang kokoh tapi tanpa sepasang mata apalagi mata hati nurani.

MENGINTIP LEWAT LUBANG PINTU

SESEORANG: Untunglah pada jam-jam seperti ini tak ada buldozer yang meraung-raung. Jadi benar-benar untuk sementara rumahku ini aman dari gangguan seperti itu. Ya, kadang-kadang ada juga sih, makhluk asing itu jadi kesurupan bila malam tiba. Ia mengamuk. Tapi itu tidak untuk rumahku ini. Itu untuk rumah-rumah penduduk yang ketiban sial saja yang keesokan harinya, lantas pemilik rumah yang dirobohkan itu beramai-ramai mendatangi proyek dan melempari buldozer yang saat itu malu-malu kucing. Buldozer itu malu dan begitu malunya sehingga hanya bisa diam di tempat, tak bisa menyusun kata-kata untuk membela diri. Kasihan ya, buldozer itu.

TERDENGAR SENANDUNG KESEDIHAN.

SESEORANG: Apa? Nggak dengar? Ada yang kasihan pada orang kampung? Kasihan sih boleh saja. Tapi orang bilang berkata kasihan tapi tanpa bisa melakukan apa-apa itu sama artinya dengan munafik. Sorry ya, saya tak bisa bila harus berbuat dengan suatu kemunafikan. Tahukah Anda kemunafikan itu jauh lebih tak manusiawi daripada kejahatan? Ya, memang banyak orang jahat ada di bumi ini, tapi itu pun demi keseimbangan semesta dan di luar dugaan tak sedikit para penjahat yang amat manusiawi. Tak sedikit para perampok yang baik hati dan tahu diri ia tengah menjalankan misi mulia dari Tuhan untuk semesta ini. Banyak bukti yang bisa anda sebut. Apa, Robinhood? Ah itu terlalu jauh dan hanya ada dalam dongeng. Terus, Kalijaga? Cuih, yang ini pun cuma cerita dari mulut ke mulut yang amat sulit kita buktikan kebenarannya. Bahasa kerennya, mitologi. Itu sulit kita usut asal-usulnya. Hanya seperti sastra maupun melodrama. Paling-paling isinya kotbah moral untuk anak-anak bila tak memilih hitam berarti harus memilih putih. Bila sulit untuk memilih putih, maka dengan sedikit rekayasa dimusnahkanlah si hitam itu agar anak-anak jadi tepuk tangan meriah. Anak-anak tidak tahu bahwa dunia ini sekarang tak cuma sedang jungkir balik, tapi juga miring oleng, berputar, nyungsep ke kanan-kiri, atas-bawah dan depan-belakang. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa karena tak satupun tersedia pilihan untuk kita. Ada yang salah dengan isi pikiran kita sejak kanak-kanak. Ada yang keliru dengan cara kerja kita semenjak kecil. Ada yang tidak benar dengan perasaan kita semenjak dini. Hasilnya seperti ini. Contohnya, aku yang berdiri gagah di depan ini. Jangan tanyakan untuk apa aku di sini, jangan tanyakan darimana asal muasalku, berangkat pakai apa, masuk lewat pintu mana, karena itu semua betul-betul tidak penting bagi kita. Bukankah jawaban dari pertanyaan itu bagi kita adalah sama? Barangkali hanya satu yang tak semua kita punya: nyali, keberanian.

KEPADA LUKISAN BESAR MENYERUPAI LAYAR

SESEORANG: Keberanian itu barang mahal. Karena itu jangan biarkan siapapun untuk merampoknya dari kita. Siapapun yang datang dan bertamu ke rumah harus diselidiki dulu, siapa tahu ia hendak merampok satu-satunya milik kita ini, ya? Pesanku kecurigaan harus benar-benar ditumbuhkan semenjak dini. Pada siapapun. Tak peduli tetangga, kerabat, sahabat baik, kawan apalagi lawan. Soalnya, biasanya mereka mulanya datang dengan air muka baik-baik lalu pergi dengan agak baik. Tapi itu pertemuan pertama, begitu pertemuan kedua, mereka bertamu dengan tampak muka begitu pulang tahu-tahu kita sudah tak memiliki apa-apa. Jangan dikira, pesanku seperti ini hanya untuk anda. Untuk aku juga karena aku baru menyadari beberapa jam sebelum ini. Sebab itu, tak seperti biasanya, kali ini aku biarkan tamuku menunggu di luar kamar ini. Aku sedang mempertimbangkan apa-apa yang tersisa padaku yang masih kumiliki dan seberapa besar yang telah dirampok olehnya. Untuk itu pula aku memilih lebih dulu menemui anda. Rupanya, pola pikirku yang baru berkata: Andalah yang layak aku curigai berikutnya. Pola kerjaku menyebutkan aku harus kerjakan dengan penuh tanggungjawab apa yang aku bisa untuk tamu-tamuku. Lalu perasaanku mengungkapkan yang penting aku berbicara penuh kesadaran, tanpa emosi dan yang lebih penting lagi aku tidak dalam keadaan mabuk. Ya, jujur saja saya akui, aku tidak mabuk minuman maupun oleh kata. Aku bukan Guru Nankai, Sang Priyayi Pengetahuan Barat, Sang Pahlawan apalagi Rumi yang menari-nari diiringi musik si jenius Diwan. Sekali lagi bukan.

SENANDUNG KESEDIHAN MAKIN KERAS. KEPADA DIRINYA SENDIRI.

SESEORANG: Aku ini orang biasa. Aku ini suami dari istriku, ayah dari anakku. Aku bukan manusia pilihan Tuhan. Aku datang di tempat ini atas kehendakku sendiri, pilihanku sendiri. Soal yang ini kadang-kadang aku sempat tanyakan apakah Tuhan sedang lupakan aku? Karena tidak ada jawaban, akhirnya aku pun terpaksa menyimpulkan sendiri pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Benarkah ini aku sendiri yang bertanya? Atau ada mahluk lain dalam tubuhku yang membisikkan suara sehingga aku mengajukan pertanyaan muskil seperti itu? Pertanyaan itupun tak pernah kutemukan jawabnya, di rumah maupun di luar rumah. Di tempat sepi dengan dinding-dinding dingin seperti ini, maupun di keluasan udara panas di luar sana. Buktinya, aku toh, bertahun-tahun tetap seperti ini keadaannya. Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan. Aku juga tidak jadi lebih pintar dari kemarin. Aku jadi tidak lebih mengerti dari sebelumnya. Aku juga tidak lebih baik keadaannya dari yang dulu-dulu. Apalagi, Aku juga tidak lebih kaya dari kehidupanku yang biasanya. Terus, mau jadi apa aku ini? Seperti ini, yang kuherankan kok, aku masih terus bertanya? Setan apa yang membujuk aku sehingga begini. Lalu, dedemit mana yang menyeretku hingga datang kemari. Bagaimana sih, jadinya kok aku meragukan pilihanku sendiri? Ataukah memang nggak ada bedanya antara aku dengan setan?

KEPADA PENONTON

SESEORANG: Maafkan aku, kalau apa yang kukatakan ini kurang anda mengerti. Maafkan aku jika bicaraku ternyata malah membingungkan pikiran semua yang hadir di sini. Bukan maksudku untuk mengusik ketenangan Anda sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Bukan. Jadi silakan yang tak sudi mendengarkan bicaraku, silakan menunggu di luar saja. Karena toh, jujur saja kuakui, apa yang kubicarakan ini tak lain adalah tentang diri pribadi aku. Betul-betul menyangkut privasi aku. Silakan-silakan jika keluar. Menunggu di luar. Pesanku, di luar sana sekarang juga sedang menunggu seseorang yang semenjak tadi memang tak kuizinkan untuk masuk.. Tahu alasannya? Karena ini adalah rumahku. Tahu alasan lainnya? Karena yang berdiri di luar pintu rumah ini adalah sosok yang harus kucurigai. Kejahatan. Ah, tapi rupanya ini kata-kata yang amat umum di telinga kita. Tak ada yang asing. Boleh jadi pengakuannya, tentang kejahatan itu tak persis dengan kenyataannya.

DIKEJUTKAN GEDORAN PINTU BERTUBI-TUBI

SESEORANG: Tunggu sebentar! Aku masih menjamu tamu. Bagaimana sih? Sabar sedikit dong. Sssttt… Beginilah caraku mengolor-olor waktu. Aku harus pura-pura sibuk berbicara dalam pertemuan ini untuk secara halus menolak membuka pintu untuk tamuku yang jangan-jangan untuk kali ini benar-benar mewujudkan niatnya: Merampok nyaliku. Karena tanda-tanda bahwa aku sedang menuju kekalahan itu sudah ada sih. Ya, perkiraanku, sedikit lagi aku pasti diperdaya. Kadang-kadang, aku ini juga merasa tidak bisa bertanggungjawab atas diriku. Seringkali aku meragukan batas-batas kemanusiaanku. Antara diriku sendiri dengan orang lain. Antara apa yang kuyakini dengan yang mendesak untuk membujuk aku. Antara pikiran dan emosiku. Bahkan antara kemanusiaan dan kebinatangan. Antara homo ludens dan homo sapien. Tahukah anda, masalah ini aku sudah mencapai titik klimak. Buktinya, bila suatu kali muncul dendam, timbul amarah, di luar dugaan, maksudku tak ada dugaan apa-apa, aku sama sekali tak punya perasaan apa-apa, takut pun tidak, berani juga nggak, apalagi gamang. Coba bayangkan bila orang biasa seperti aku tiba-tiba dengan amat cepatnya tak punya perasaan apa-apa. Bukankah segalanya bisa terjadi? Mulai dari kemungkinan tak terjadi apa-apa hingga amuk yang menghancurkan setiap garis hidup yang diatur Tuhan. Aku bisa gila dalam waktu cepat, setelah itu sembuh lagi, gila lagi, sembuh, lagi-lagi gila, gila-gila lagi. Sebaliknya, aku juga bisa membunuh, merampok, memperkosa, apalagi cuma berbohong, menipu, korupsi. Yang meski belum ada pengalaman tapi sudah mulai terpikirkan olehku karena beberapa kali TV menyiarkan adalah: Memakan daging manusia. Sepertinya, nikmat karena manusia itu makan-makanan empat sehat lima sempurna. Jika nantinya, keinginan itu muncul, aku ingin memulai mengunyah dari jari kelingking. Pasti gurih. Kalau gadis, emm kira-kira dari bibir atau daging lain yang bisa disedot lebih dulu airnya. Sruputttt…..

MENOLEH KE LUKISAN BESAR SEBENTUK LAYAR. PANGGUNG MULAI MENYATU

SESEORANG: Apa? Kejujuran? Itulah salahku. Aku tak berani berkata jujur. Tapi baiklah, mulai hari ini berawal dari masukan Anda, aku akan mulai berani berkata jujur pada tamuku itu. Kalau aku tak mau menerimanya lagi sebagai tamu, aku akan katakan tidak. Jadi tak perlu aku kucing-kucingan karena aku meragukan diriku sendiri. Tak perlu aku mengolor-olor waktu karena banyak pekerjaan lain yang bisa kukerjakan demi kelangsungan hidup keluargaku. Ya, aku harus berani berkata jujur pada anda, bahwa aku telah berkeluarga. Satu-satunya, yang membuat aku menjadi manusia sekarang ini adalah karena aku punya keluarga. Punya istri dan punya anak. Ya, anjing pun sebetulnya punya pasangan dan punya anak juga. Barangkali anda mulai sulit untuk membedakan keluargaku dengan keluarga anjing? Baiknya aku berikan contoh dan itu tidak ada salahnya karena ini untuk kepentinganku agar anda tak melihat keluargaku seperti halnya melihat kerumunan anjing. Begini, dalam pertemuan ini aku bisa respect dengan anda atau sebaliknya, anda bisa respect padaku. Nah, sikap respect-ku terhadap istriku, itu biasa disebut cinta. Kalau kepada anjing, aku hanya bisa suka pada anjing dan sebaliknya, anjing bisa suka padaku. Tapi soal suka anjing padaku itu tentu saja tanpa sepengetahuanku apa artinya. Demikian juga antara anjing dengan anjing serta anak anjing. Lalu, adakah di antara mereka perasaan cinta? Di sini anjing bisa saja diganti dengan kambing atau kucing. Jadi meskipun aku di rumah ini memelihara kambing dan kucing, tapi jika aku bicara keluarga, keduanya tak kumasukkan sebagai anggota keluarga. Ya? Karena soal makan dan tempat tidur? Oh, itu. Benar, semua tahu kambing makan rumput jadi istri saya tak perlu ajak dia jalan-jalan ke pasar. Tapi kucing? Kami seringkali makan sama-sama di kamar makan. Tidur juga si manis itu terbiasa menyusul di kasur. Pertanyaannya sekarang mengapa aku jadi sibuk dengan kucing? Apakah ada yang sedang jatuh cinta dengan kucing di sini? Kalau ada, mungkin benar tai kucing rasa coklat.

PANGGUNG JADI SATU. TIDAK ADA BATAS MIMPI - KENYATAAN

SESEORANG: Kenapa aku ingin bicara tentang keluarga? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak tepat betul. Bisa saja aku ganti pertanyaan lain. Kalau bukan aku yang bicarakan lantas siapa lagi? Toh, kalau ada orang lain yang membicarakan keluargaku, atau ada orang lain yang membicarakan keluarga milik orang lain lagi, itu namanya turut campur urusan dapur orang. Dan ini bisa jadi masalah besar. Ini bisa berujung perang yang lebih dahsyat ketimbang perang dengan senjata supercanggih. Kita pasti pernah tahu bila terjadi perang mulut dengan tetangga akibat ikut campur itu tadi. Tapi kita juga tak pernah lupa banyak terjadi pembunuhan juga karena perang mulut. Si istri membunuh suaminya, atau suami membunuh istri orang lain. Lantas, ini mengingatkan aku pada pepatah lama, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Maaf kalau untukku, pepatah ini sama sekali tak berguna. Aku bisa saja menggantinya dengan: Mengurusi rumah tangga orang, lebih keji dari perang. Perang itu ada aturannya, tapi satu yang aku bicarakan ini sama sekali tak pernah ada konsensusnya.. Yang pernah berkeluarga tentu tahu arah bicaraku. Tapi yang belum berkeluarga, bukan maksudku untuk mencemooh dan tak peduli dengan status yang memang masih manusia setengah baya itu. Yang mau aku katakan, bagi yang belum berkeluarga cepatlah memutuskan untuk menikah, punya anak dan banyak masalah agar cepat dewasa. Apa, masalah sebetulnya menjadikan kita cepat dewasa? Itu kasuistis, bisa benar juga tak mustahil bisa salah. Yang, benar adalah berkeluargalah! Pasti banyak masalah! Dulu waktu aku masih muda dan sedang berpacaran. Satu rumusku: Buat masalah agar calon istriku tak pernah sedetikpun untuk berpikir mencari pengganti aku. Jadi, makin banyak masalah, akhirnya timbul masalah baru. Tahukah anda, dari semua masalah itu tak satupun yang tak bisa kupecahkan. Dan satu-satunya yang bisa mematahkan adalah perkawinan.
Bukan maksudku menceritakan ini semua tanpa tujuan. Jadi janganlah terlebih dulu memvonis aku orang yang egois apalagi individualis. Sama sekali sifat itu jauh dari pemikiranku. Oh, ya untuk yang satu ini aku bisa ambilkan contoh dan aku bisa membuktikan itu benar tak ada pada diri aku. Sebagai intelektual, aku tak pernah menjual gagasan-gagasanku untuk diriku sendiri. Memang, aku tak pernah menjual gagasan satu kali pun. Swair. Untunglah, hingga kini terbukti tak ada seorangpun lembaga, negara, pemerintah apalagi asing yang tertarik membeli gagasanku. Jadi boleh dikata aku selamat dan aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Sering aku melihat dan berpikir, makin banyak saja orang menjual gagasannya, intelektual, seniman, sastrawan dengan harapan menerima segebok uang. Lalu, dimakanlah uang itu untuk keluarga, anak-istri dan mentraktir kawan. Tanpa berpikir apakah gagasan-gagasannya itu berguna untuk orang atau tidak. Merekalah yang pantas anda sebut individualis. Merekalah yang harus dimelekkan pikirannya, agar tak hanya mempertimbangkan perut besarnya. Bahwa, masih banyak yang harus diperjuangkan untuk atas nama manusia.

TIBA-TIBA MATANYA TERTUJU KE ARAH BOLA. DIHAMPIRI. DILEMPARKAN KE ATAS. DITANGKAP. DIMAINKANNYA DARI SISI PANGGUNG SATU KE SISI PANGGUNG LAIN.

SESEORANG: Di muka bumi seperti ini manusia bisa berbuat dosa. Walaupun aku tidak paham betul apa artinya kata-kata ini, tapi setidaknya di tempat ini aku jadi bisa berpikir dari perkataan orang lain tentang dosa. Karena itu, bukan maksudku berkata demikian jadi orang yang sok moralis. Itu jauh dari sifatku. Jika pun benar adanya moral itu hanya masalah pribadi yang kurang pantas aku umbar untuk diperbincangkan di sini, karena aku memang tak sedang membicarakan masalah pribadi. Para cendekiawan berkata, seluruh pertanyaan di muka bumi ini termasuk yang termutakhir adalah pertanyaan ilmu pengetahuan, kecuali masalah-masalah pribadi. Dengan kata lain, tak ada soal yang tak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan. Bila itu tak ditemukan jawabannya, dipastikan itu adalah masalah pribadi. Setidak-tidaknya itu problem kelompok. Maaf bila yang beginian kurang mendapat porsi perhatianku. Maksudku menceritakan keluarga adalah karena mata kecendikiawananku baru terbuka melihat dunia saat sesudah aku berkeluarga. Ya, meskipun ada juga sih kadang-kadang sedikit masih tersisa dan mengganggu aku, seperti tadi aku terusik oleh dosa. Bagaimana manusia bisa melihat dosa di tengah hiruk pikuk zaman dan semesta seperti ini. Betapa sulit mencari tempat kita berpijak di saat bola ini ditendang ke sana kemari. Di lapangan, bola mata para bola mania seringkali tertuju pada kaki-kaki bintang lapangan dan bukan pada bolanya, bukan? Lalu, apa yang bisa dipecahkan dari permainan seperti ini. Kemudian ini soal macam mana pula sebetulnya.

SAMBIL TERUS MAIN BOLA. MAKIN MEMAINKAN BOLA DENGAN LIARNYA

SESEORANG: Mustahil. Mustahil. Itu bukan watak intelektual. Masak manusia bisa dijadikan bola? Yang benar saja. Kalau itu ada sih, itu kan ada di dunia nyata tapi tidak ada di sini. Jangan salah. Sejak tadi aku belum sedikit pun bicara tentang dunia nyata. Soalnya menjijikkan, sih. Kok, tiba-tiba pikiran kamu nylonong saja? Pasti karena terinsiparasi dari permainan bolaku. Yang begitu-begituan terlalu kasar, tidak cocok untuk kita. Orang awam pun tahu kalau itu dosa. Masak kita bicarakan lagi? Itu sudah ada yang mengurus. Sudah ada petugasnya. Jangan kuatir, mereka bersenjata lengkap, lebih canggih dan yang pasti petugas itu sudah piawai menggunakan. Tapi kalau pemain bolanya, bersenjata? Masak yang begitu-begitu terus kamu tanyakan. Jawabannya, sudah jelas dan maaf itu yang amat menggangguku. Semula bagi aku, tidak ada dosa paling besar yang diperbuat manusia kecuali berpikir tentang masalah-masalah pribadi. Karena itu, aku bisa paling tersinggung jika diajak seseorang untuk bicara masalah-masalah kepribadian. Inilah menurut aku cikal-bakal dari pikiran manusia untuk berbuat korup, bertindak menyimpang dan buta aturan. Kepada mereka di mataku, tak lebih berharga dari seorang laki-laki pencuri mayat di kuburan. Kisah pencuri mayat itu sudah kusiapkan sejak semula.

MELEMPAR BOLA TINGGI-TINGGI. LALU SIBUK MENCARI KERTAS-KERTAS. MEMBACA.

SESEORANG: Nah ini. Dengarkan baik-baik cerita yang tertulis di kertas ini. Dusun Kemalangan Desa Plaosan, Kecamatan Wonoayu-Sidoarjo diguncang kasus pencurian mayat. Warga heboh, persis kehebohan kasus Sumanto si pemakan daging manusia. Pelaku disinyalir kurang waras. Tulang belulang dari mayat yang telah digali itu pun lantas dibuat mainan oleh pelaku. Peristiwa menghebohkan itu terjadi menjelang hari kebangkitan. Mula-mula dipicu adanya temuan 5 kuburan yang digali seseorang dan 3 kuburan lainnya sempat diobrak-abrik. Entah bagaimana bisa luput dari perhatian juru kunci. Motif pembongkaran kuburan itu sungguh tak masuk di akal sehat. Konon, diperkirakan untuk mendapatkan jimat atau untuk kepentingan ilmu tertentu. Apalagi diketahui pelakunya adalah Agus Susianto Budiman, seorang warga yang diketahui tidak waras. Namun di duga ada orang lain yang saat ini tengah dalam pengejaran polisi. Pembongkaran mayat itu semula diketahui Sawi, selaku juru kunci makam. Ia kaget begitu mendapati 5 kuburan dibongkar dan 3 lainnya diobrak-abrik. Sawi pun lantas memberitahukan pada kerabat terdekat ahli kubur yang dibongkar itu. Salah satunya, Sholeh. Segera saja Sholeh mencari tahu. Caranya, dengan menghubungi orang pintar di Banyuwangi. Dari orang pintar itu diperoleh petunjuk, salah seorang yang melakukan pembongkaran adalah seseorang yang jiwanya kurang waras. Orang yang dimaksud tak lain adalah Agus Susianto Budiman. Kemudian warga beramai-ramai mencari Agus. Warga tak menjumpai kesulitan mencari Agus. Saat ditemukan ternyata yang bersangkutan tengah memainkan tulang-belulang yang baru ditemukan itu. Mulanya warga sempat emosi, namun setelah mengetahui Agus kurang waras, akhirnya tidak diapa-apakan. Agus terus digelandang ke balai desa setempat lalu diserahkan ke polisi. Dalam pemeriksaan, Agus yang kurang waras tersebut menyebut pelaku lain bernama Katib, warga Krian Krajan. Menurut penuturan Agus, Katib membawa tulang belulang itu akan digunakan untuk jimat. Dia sendiri mengakui ikut membongkar kuburan lantaran diajak oleh Katib. Akan tetapi dalam keterangan yang lain Agus melakukan pembongkaran itu atas perintah gurunya. Saat ini pihak kepolisian tengah mengejar Katib karena dicari di rumahnya ternyata yang bersangkutan tidak ada di tempat.

GILIRAN MELEMPARKAN KERTAS-KERTAS.

SESEORANG: Sungguh dunia ini betul-betul sudah jungkir balik. Polisi bertindak tegas dan hasil kerjanya gemilang karena dibantu paranormal. Paranormal malah dijuluki orang pintar. Lantas, apa pendapatku tentang itu? Siapa yang paling bisa menjadikan aku lebih manusia dari manusia? Tak lain adalah si pencuri mayat itu. Sekalipun disebut orang tak berakal sehat, toh ia sama sekali tak berniat melenyapkan manusia dari muka bumi ini. Tak ada niat di benaknya untuk membunuh, dan tak ada tata kehidupan kosmos di situ yang dirusak . Ia hanya mencuri mayat dan di balik itu ia berpikir tentang keilmuan. Jadi ia, tidak berpikir tentang pribadi. Aku semakin tidak mengerti siapa yang waras, siapa yang kurang waras, dan siapa yang sama sekali tidak waras. Karena itu, tak ada seorang pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Setiap saat, setiap waktu, setiap orang yang bertamu ke rumahku bukan mustahil punya rencana buruk untuk melenyapkan aku dari kehidupan ini. Sebetulnya, sebelum aku berpikiran untuk menutup pintu rumah rapat-rapat, aku ada rencana untuk bertindak mendahului daripada didahului. Semula aku menyiapkan pedang dan kugantung di sebelah pintu. Harapanku, sebelum tamu-tamuku itu membunuhku, aku akan mendahului untuk membunuhnya. Saat itulah, menurutku perang yang sesungguhnya pantas disebut perang: Mempertahankan keluarga agar bisa hidup terus. Tapi entah mengapa, tanpa sempat berpikir, tiba-tiba ada yang membisikkan padaku, hei jangan kau balas kejahatan dengan kejahatan. Kalau engkau melakukan itu, maka engkau sendiri akan menjadi makhluk yang sia-sia diturunkan ke bumi ini. Kalau semua orang hidup dengan cara seperti hidupmu, semesta ini tak akan berumur panjang. Itulah yang kemudian membuatku tahu arti kejahatan. Pedang kusimpan kembali dan satu-satunya caraku mempertahankan hidup ya, seperti sekarang ini, menutup pintu rapat-rapat. Aku bisa sedikit menenangkan jiwa tanpa harus dihantui dengan parang atau senapan milik tamu atau tetangga. Lalu aku juga bisa sedikit demi sedikit mengurai duduk perkaranya, mengapa aku jadi manusia?

MEMBOLAK BALIK KURSI KEMUDIAN DUDUK

SESEORANG: Duduk perkaranya sekarang mengenai kedudukanku. Maaf bagi yang tidak kebagian tempat duduk. Ya, bicara tempat duduk memang kedengarannya lebih filosofis. Lain halnya bila bicara tentang kursi. Meskipun banyak orang menyamakan saja antara tempat duduk dan kursi. Bukan rahasia lagi, kalau banyak orang berebut kursi. Itulah yang aku maksud dengan permohonan maafku. Meskipun sebenarnya ini hanyalah ungkapan yang penuh basa-basi. Lalu apa sebenarnya yang terjadi, jika itu tanpa basa-basi. Mau coba di sini? Silakan! Silakan! Tentu anda sedang berpikir aku sedang capai, tidak salah, sah dan boleh-boleh saja. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak ada yang tahu bahwa aku hanya berani duduk di kursi milikku sendiri. Duduk seperti ini, sesuatu yang sama sekali tak pernah aku lakukan bila di luar rumah. Karena di sinilah satu-satunya kursi yang kumiliki dan berhak untuk kududuki. Di luar rumah tak ada hak bagiku untuk duduk. Kalau aku memaksakan diri, barangkali saat ini aku sudah tak bisa lagi hadir dalam pertemuan ini karena leherku sudah terpisah dari batang tubuhnya. Aku tidak sedang mengidap penyakit paranoia. Kenyataannya di luar memang sudah demikian kejamnya dan nyawa manusia tak lebih mulia dari belalang. Sekelompok manusia tak ada bedanya dengan sekawanan belalang. Apa ada yang mengusik kursiku? Siapa yang mengusik manusia atau belalang? Ini kebangetan, di rumahku sendiri, di kursi milikku sendiri, ternyata masih juga ada yang mengganggu ketenanganku. Aku minta maaf maksudku biar tak mempersoalkan aku. Ini kebangetan!!!! Mau aku taruh dimana lagi mukaku? Pasti itu perbuatan orang-orang yang kurang pekerjaan. Mana bisa aku disamakan dengan pejabat-pejabat yang duduk tenang di kursi mereka. Berbekal sebuah bolpoint dan selembar kertas saja, bisa mengguncangkan jagad. Yang benar saja!

MEMUNGUT KERTAS DAN PENA. LALU PENA DITANCAPKAN DI TENGAH KERTAS DI ATAS MEJA

SESEORANG: Aku begitu percaya pada kata-kata, ujung pena lebih tajam dari sebilah pedang. Maaf kalau untuk masalah ini aku kurang sepakat dengan anda. Betapa hanya dengan ujung pena pembunuhan terjadi dimana-mana, pelaparaan jadi gejala, korupsi merajalela, dan kejahatan berubah wujudnya. Aku hanya bisa percaya, dan satu-satunya yang masih kupunya diantara keduanya hanyalah pedang. Lalu apa yang bisa kuperbuat dengan pedang? Melawan? Siapa yang dilawan? Bagaimana aku bisa melawan kalau membuka pintu rumah saja, jantungku berdegub kencang? Ya, aku sudah berpikir keras memeras otak soal itu. Tapi hasilnya nol besar. Musuhku terlalu kuat untuk dihadapi. Lawanku terlalu hebat untuk kulayani. Biarpun aku sudah belajar keras selama bertahun-tahun untuk melenyapkannya, kenyataannya untuk tahu dimana batang hidungnya saja aku tak sanggup. Apalagi untuk memastikan letak kelemahannya, jantungnya, sungguh aku tak bisa. Mula-mula aku belajar silat karena dugaanku musuh itu jago silat. Lalu aku latihan menembak untuk mematikannya. Kemudian aku menyamar jadi pelayan untuk mencegatnya bila sedang makan. Aku belajar catur siapa tahu ia pintar berpolitik. Terakhir aku tekun belajar agama barangkali musuhku itu menyamar jadi setan. Ya, aku sempat ditawari jadi wali sih, tapi aku mulai ragu. Aku tetap memilih jadi manusia biasa. Karena itu tawaran kutolak. Jadi semua usahaku itu gagal total. Musuhku sebenarnya ternyata bukanlah manusia. Bukan juga setan. Lalu mahkluk apa ini? Apa? Laki-laki atau perempuan? Aku tidak tahu persis. Ha? Namanya kebudayaan?

TERTAWA NGAKAK

SESEORANG: Bukan maksud aku meremehkan kamu. Habis kamu menggelikan. Sudah jelas aku duduk di kursi malasku sendiri, tapi tetap saja kamu mencurigai aku. Kalau hanya sikap apriori sih, boleh saja. Bahkan itu baik sekali agar aku bisa lebih kritis. Tapi kalau kamu mencurigai aku karena kursi ini hasil dari tindakanku yang korup itu berarti berlebihan. Apalagi tuduhan kamu bahwa aku sengaja menyebarkan virus korupsi itu sama sekali tidak benar. Terus terang tuduhan kamu itu menggelisahkan aku. Betapapun ini rumahku, kursi malas inipun milikku sendiri. Tidak masuk di akal aku korupsi.

TERCENUNG

SESEORANG: Ya, Tuhan! Aku baru ingat sekarang. Jadi kamu menuding aku bertindak korup karena aku capai dan berhenti berpikir, begitu? Kamu menuduh aku mengkorupsi waktu karena aku tidak sedang bekerja apa pun begitu? Benarkah yang kamu maksudkan karena aku tak melakukan kontrol apa yang tengah diperbuat istri dan anakku, lalu kamu sebut itu aku korupsi? Kalau itu yang kamu sebut, maka jawabannya adalah: Ya. Okelah, aku terima. Tapi jangan sebut aku ini koruptorlah. Kalau aku yang seperti ini koruptor, lalu apa bedanya dengan mereka yang koruptor beneran? Kalau kamu sampai hati menyebutku demikian, betapa dunia ini sungguh kejaammm.

TERJATUH DAN ROBOH DARI KURSI

SESEORANG: Betapa dunia ini tak kenal kasihan. Aku sudah hidup menyendiri dengan keluargaku sendiri, menjauh dari urusan-urusan kemasyarakatan, tetangga, negara, arisan sampai pemilihan presiden, tapi masih saja aku dicap koruptor hanya karena soal yang begini amat sepele: duduk di kursi malas melepas capai fisik dan pikiran, melupakan sejenak urusan keluarga. Sayangnya, aku tak sempat mengajukan pertanyaan bagaimana dengan orang yang sehari-harinya tidur duabelas jam, sampai umurnya 60 tahun? Bukankah itu berarti umur sebenarnya cuma 30 tahun, itupun belum dipotong saat ia kongkow-kongkow, atau duduk melamun alias menganggur, lalu mana sebetulnya bagian hidupnya? Aku belum sempat tanyakan itu tapi kamu keburu pergi. Ini tidak adil! Kamu telah janjikan keadilan di alam sana, apakah itu artinya kamu menawari aku untuk cepat pergi ke sana saja daripada nggendon di sini tanpa kejelasan nasib? Ya, beginilah rasanya jadi orang yang ragu-ragu bahwa apakah yang kukerjakan selama ini adalah korupsi atau bukan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Begini rupa rasanya. Mungkinkah rasanya sama dengan seorang teman yang tidak bisa membedakan kambing dengan anjing? Soal yang ini, seorang kawan saya tukang becak mengayuh becaknya untukku. Ketika begitu cepat laju becaknya karena kuat tarikannya, tiba-tiba seekor kambing tanpa sungkan menyeberang. Begitu kagetnya si kawanku itu, ia pun berkata “He asu! Minggir!” Aku katakan binatang itu bukan asu tapi kambing. Baru kemudian ia mengulang perkataannya “He kambing, minggat!” Anehnya, suatu hari tanpa perasaan apa-apa becak yang saat itu kududuki, pada hari lain sudah ditempati kambing. Meskipun saya tidak menyeberang, toh kawanku si tukang becak itu tetap saja berteriak “He, asu!!!!”

TERCENUNG LEBIH DALAM. NYARIS MENANGIS.

SESEORANG: Baiklah jika itu yang menjadi kehendak kamu. Dengan penuh kesadaran dan keikhlasan yang seiklas-iklasnya, aku akan buktikan bahwa dalam istirahatku, dalam tidurku, sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur korupsi. Sekaligus aku akan buktikan bahwa sesungguhnya, akulah yang menjadi korban karena ada sesosok makhluk asing yang melibatkan aku ke dalam persoalan yang demikian pelik. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melawan. Apalagi untuk menghasut melakukan perlawanan. Jadi maafkan kalau ini nanti menyeret-nyeret dan melibatkan anda dalam persoalan ini. Sekali lagi aku hanya ingin membuktikan diriku sendiri. Inilah yang namanya pembuktian terbalik. Anda juga bisa melakukannya terhadap anda sendiri.

LAMPU BLACK OUT



BAGIAN KEDUA

MUSIK DAN TEMBANG BERTEMA KEBEBASAN. LAMPU FADE IN. NYANYIAN FADE OUT. PANGGUNG SISI KANAN SESEORANG MENGGENDONG GEDEBUK PISANG. MEMELUKNYA. MENGENDARAINYA. MENGAJAKNYA BICARA. BERGANTIAN.

SESEORANG: (SULUK) Kubayangkan bila orang selamat dari sebuah ancaman pembunuhan siapapun akan memiliki insting yang tinggi untuk giliran bernafsu membunuh. Tapi di sini bagaimana bila orang selamat dari begitu banyak ancaman pembunuhan.
SESEORANG: (SULUK) Bila orang yang selamat dari pembunuhan lalu berteriak-teriak minta senjata untuk membunuh siapa lagi, termasuk istri dan anaknya. Bagaimana di sini? Apakah tak menjadikan kita seperti babi yang buta?
SESEORANG: (SULUK) Bila setiap menulis maupun bicara membabi buta, kubayangkan negeri ini dipenuhi babi-babi buta yang bisa berbicara tanpa bisa didengarkan isi pembicaraannya. Karena orang sibuk mengatasi atau menikmati perbuatan yang juga membabi buta.

MENGHADAP KE DEPAN MEMIKUL BEBAN

SESEORANG: Kekuasaan ini entah milik siapa. Aku pernah mendengar perkataan Tuhan, manusia tidak akan bisa membanggakan kebesaran, kekuasaan Tuhan. Paranormal yang menyembuhkan penyakit kanker paling kronis dengan memindahkannya ke tubuh kambing pun berkata, ini jauh di luar batas kuasa manusia. Tapi aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri , bagaimana pembunuhan, saling bunuh itu terjadi jauh dari mimpi manusia. Betapa itu dilakukan oleh kecanggihan sistem yang di luar kuasa manusia. Aku menarik nafas panjang dan dalam, sedalam kuburanku sendiri yang sepertinya sudah menganga dalam tubuh aku. Betapa justru manusia sanggup melakukan suatu yang jauh di luar batas kemanusiaan? Mana yang benar?
SESEORANG: Tapi itu cuma membunuh. Tuhan dan juga manusia tak cuma mengurusi soal membunuh. Buktinya, biarpun begitu banyak pembunuhan orang oleh orang lain, nyatanya kasus bunuh diri masih tergolong bisa dihitung dengan jari.
SESEORANG: Apa pendapatmu tentang bunuh diri?
SESEORANG: Bunuh diri itu jalan yang paling mulia setidaknya untuk saat ini, sepanjang belum menemui jalan baru.
SESEORANG: Begitu?
SESEORANG: Ya untuk tidak menjadi pembunuh, itulah jalan. Itulah pilihan antara menjadi pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Begitu dahsyat bicaramu.
SESEORANG: Ya, kita diam-diam sudah digiring ke sana. Kemanusiaan, kebenaran, keadilan, persamaan itu sedang menuju kuburannya. Satu-satunya jalan kita jangan lagi bicara kesunyian, keadilan, kebenaran, persoalan seperti sebagaimana sekarang ini.
SESEORANG: Kedengaraannya memang mengasyikkan, membunuh, bunuh diri atau dibunuh, sama-sama mati. Biarpun sama-sama menuju mati.
SESEORANG: Kamu belum jawab pertanyaanku tentang bunuh diri yang memuaskan aku?

MEMBUNGKUK KARENA BEBAN YANG KIAN SARAT.

SESEORANG: Begini. Hidup kami ini, seperti juga kehidupan kamu sesungguhnya menggelisahkan apakah benar-benar disebut hidup. Sejak dari makan, minum, dan semuanya, juga pengetahuan yang ada pada kamu itu benar-benar menumpang kehidupan yang hanya itu-itu saja. Membebani kehidupan yang bahkan cenderung merosot karena kamu kian terpaksa bertahan sekalipun ditempuh dengan berbagai cara—ini tanda-tanda kemerosotanmu. Kemungkinannya hanya ada dua. Kamu mampu atau tidak. Bagiku keduanya sama saja. Bagiku kamu tidak benar-benar hidup. Kamu telah secara kebetulan dihidupkan oleh sesuatu yang sesungguhnya omong kosong. Jikapun kamu ulang, makin di situ sesungguhnya kamu telah mulai menjadi pembunuh dan dijauhkan dari kemanusiaan? Ah, yang satu ini aku susah untuk meyakininya. Lalu bila gagal kamu akan dibuat sekarat. Lalu dibunuh atau saling bunuh diantara orang-orang yang sekarat itu. Anehnya, kehidupan ini sebenarnya memperkenalkan pada kita bahwa itu bukan tindakan yang kejam atau lalim. Itu hanya suatu kebiasaan yang harus terjadi. Kalau mau jujur saat ini itulah yang telah terjadi. Eropa dan Amerika telah menggembar-gemborkan pembunuhan lebih dari yang ia bicarakan dan kita tinggal menunggu percepatan waktu bagai mereka.

TAK KUASA MENAHAN SAMPAI ROBOH DAN TERJENGKANG.

SESEORANG: Lalu?
SESEORANG: Ya, kita bisa temtukan sendiri waktu tepat dan jangan kita tak mau disebut pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Kamu seperti orang gila dan pikiranmu sesat.
SESEORANG: Tidak aku hanya bicara dengan penuh kelembutan.
SESEORANG: Kamu mencoba mempengaruhi aku?
SESEORANG: Lebih beruntung karena aku tidak membunuhmu.
SESEORANG: Benar-benar gila kamu Tidakkah kamu tahu bahwa pembunuh pun tahu orang-orang yang ingat? Dan pembunuhan juga menumbuhkan hasrat yang tinggi untuk bunuh diri.
SESEORANG: Itu bagianmu untuk menceritakan kepadaku. Bagianku sudah habis.
SESEORANG: Bukankah mungkin kalau terlalu banyak yang dibunuh, manusia itu lantas menikmati jalan akhir untuk membunuh diri, bila tak seorang pun yang kemudian kunjung sanggup membunuhnya?
SESEORANG: Bagi aku orang seperti itu akan menjadi gila. Dan orang gila jarang punya hasrat untuk bunuh diri. Seperti juga tak mampunyai hasrat untuk hidup waras.
SESEORANG: Lalu?
SESEORANG: Tapi orang yang sakit jiwa dan dalam sakitnya itu dia punya hasrat untuk bunuh diri, itu artinya dia tengah berharap menemukan jalan untuk sembuh.
SESEORANG: Lalu dimana kamu berada
SESEORANG: Ya, di situ. Gimana sih kamu ini?

MELEMPAR KEDEBUK PISANG. MEMBEBASKAN DIRI DARI SEGALA BEBAN.

SESEORANG: (SULUK) Kisah yang ditulis pada waktu malam hari, entah mengapa lebih banyak bertutur tentang kemuraman, kegelapan dan ketakutan, seolah lebih menakutkan dari nasib para calon korban kaum yahudi oleh nazi di kamp konsentrasi Jerman.

MENGISAHKAN KEGELAPAN SEPERTI SEDANG BERNOSTALGIA

SESEORANG: Tiap malam bagi aku kurasakan jauh lebih menakutkan. Orang sudah mengalami kesulitan untuk bermimpi lantaran semua mimpinya sudah muncul dengan gamblang di layar-layar TV. Aku justru sering bermimpi buruk di saat tidur pendekku karena sesungguhnya aku terhitung sulit untuk tidur bila malam hari tiba. Orangtua bilang mimpi itu kembangnya tidur, tapi orangtua juga bilang mimpi itu—mimpiku yang sering berjumpa orang tua berwajah lurus berambut putih berjenggot—kemudian mengajakku ngobrol adalah pertanda kemurahan, kesedihanku. Namun aku tidak bagitu meresahkan mimpi-mimpi itu jika aku tidak hendak mau lebih dibebani lagi hidupku. Biarkanlah mimpi itu hadir dan pergi semaunya, aku juga tidak pernah pedulikan apa isi pembicaraan orang tua dalam mimpiku sepenting apapun. Tapi kata katanya, dalam mimpi itu orangtua yang menjumpai anaknya jarang sekali buka suara. Ya, begitulah aku tak pedulikan apapun mimpi itu, atau sepenting apapun tentang akal bawah sadar manusia soal mimpi itu. Mimpi itu atau alam bawah sadar itu amat mengganggu gerak jantungku, nafasku dan kemudian keluarlah erangan hebat atau igauan dahsyat yang lebih hebat dari mimpiku sendiri. Ya, igauan yang kurasakan banyak misteri terkadung di dalamnya.
Misteri? Ya, sebut saja begitu. Betapa tidak, hanya itu satu-satunya yang mengingatkanku akan manusia, bila bangun pagi, sehabis gosok gigi atau bangun dari tidur. Sehingga malam bagiku tidak cuma berlalu dan sekadar malam. Tidur juga tak cuma tentang tidur. Demikian pula mimpi. Apalagi igauan, erangan tidak sadar, teriakan spontan mengingatkanku akan masih dan memang punya jantung dan hidup apapun maknanya dan bagaimanpun aku punya kesadaran atau tidak. Punya kesadaran atau tidak ini hanya masalah sepele dalam sepersekian detik, dalam sepersekian tarikan nafas. Pendeknya untuk menyebut kata Tuhan saja boleh jadi tak sempat lengkap. Jawaban pertanyaan itu hanya ada pada saat aku tidur yang sebenar-benarnya tidur, berapapun lamanya, semenit, sepuluh menit, satu jam sepuluh jam? Mengapa demikian? Sebab pada waktu tidur tidak ada yang terhenti sedikitpun. Kesadaran tentang apapun juga bahkan tentang kesadaran itu sendiri. Bahkan tentang berpikir, gerak jantung dan desah nafas. Tidur yang sebenar-benarnya sempurna ketenangan yang sungguh-sungguh nyaman. Tak ada teror urusan hidup mati, kebutuhan dunia akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Tidak ada. Bahkan Tuhan pun tidak terlintas hadir di situ. Rupanya inilah hidup yang bagiku benar-benar hidup. Bukan hidup apa yang disebut orang-orang tua sekadar mampir ngombe itu. Hidup ini begitu nyaman, tenang dan penuh kedamaian, tanpa mimpi—barangkali begini pula rasanya hidup orang-orang kaya, orang-orang yang tidak pernah punya persoalan duniawi, orang-orang yang sulit untuk bermimpi karena hidupnya sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV. Begitulah, perihal mimpi bagiku sudah kuceritakan padamu. Semenjak awal dan jujur saja aku benar-benar tidak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat. Yang sungguh kuperlukan adalah waktu untuk tidur dan bagiku siang dan malam bukan hal yang penting sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan aku atau tidak. Toh dia juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti aku yang tidak mempedulikannya. Kupikir apalah artinya matahari atau bulan bila aku tak benar-benar mempedulikannya. Bukankah aku bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu kuceritakan pada waktu aku bangun? Namun bukan hal itu sungguh yang menggelisahkan aku. Malam memang menakutkan, tapi bagi aku siang dan malam sama-sama menakutkan dan aku tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup kalau penuh ketakutan? Atau untuk apa mati kalau penuh ketakutan. Mati itu beda sedikit dengan hidup sebab hanya beda waktu, tempat dan alamat.
Lantas apa yang kamu bayangkan tentang aku, yang siang dan malam tiada beda lantaran terus menerus diselimuti ketakutan? Di mana satu-satunya bagian hidupku adalah pada saat tidur yang hanya sepersekian siang dan malam itu? Bedanya aku hanya diperkenalkan matahari pada keduanya dan ia tak memperkenalkan kehidupan. Tuhan yang memperkenalkan aku pada tidak saja kehidupan tapi juga keberanian dan di mataku ia selalu datang pada malam hari. Barangkali karena aku lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya aku sering bermimpi dengannya dalam rupa-rupa bentuk, kadang ia berseragam yang membunuh orang dengan senapan meriam, kadang ia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Tuhan rela menjadikan dirinya teroris dengan membawa bom ke sana kemari meledakkan hotel-hotel tempat tidur santai dan rekreasi orang mencari hidup. Namun pernah pula ia hadir dengan ramah dan berbaik hati berseragam putih dengan berkalung stateskop di lehernya, sembari mengucapkan “maafkan saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin” kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Ya, meskipun yang sering terjadi, orang berseragam putih itu diberi hak untuk tahu bahwa koruptor ini sedang sakit, koruptor itu perlu istirahat.

SESUATU TELAH MEMBUATNYA MENDADAK TERHENTI

SESEORANG: Sebentar! Sebentar! Tunggu Sebentar. Kelihatannya ini permainan yang tidak fair. Aku tidak melihat seorang juri pun yang menilai pledoi aku. Kalaupun ada boleh dong aku meragukan track recordnya? Karena itu mulai sekarang, biarpun gembel seperti aku yang bicara tetapi tetap harus dinilai. Demikian pula dengan kesaksian-kesaksian yang dihadirkan di ruang sidang ini. Tahukah Anda siapa salah satu saksi yang minta kuhadirkan? Diantaranya, setan dan kebudayaan. Aku juga minta kepada keduanya untuk dinilai apa dan bagaimana dirinya membuktikan secara terbalik kesaksiannya. Oke? Ini baru namanya pengadilan yang paling ciamikkk, paling keren abis! Karena itu, jangan dulu keburu pergi. Kita harus sama-sama mendengar kesaksian setan dan kebudayaan pada sesi berikutnya.

MUSIK PENGANTAR GANTI ADEGAN

SESEORANG: Kenapa kebudayaan dan mengapa setan? Karena antara keduanya aku benar-benar sulit membedakan. Kebudayaan sungguh sulit kutemukan. Juga setan. Tapi siapa yang meragukan keberadaan keduanya? Karena itu saya minta tolong kepada Yang Mulia untuk menghadirkan keduanya di sini, di depan kita semua pada pertemuan ini. Saya tunggu. Agar kita bisa saling membuktikan diri saat tepat menerapkan pembuktian terbalik ini. Baiklah, sambil menunggu aku akan lanjutkan pembelaanku.

MENGHADAP KE DEPAN. MENCURI WAKTU.

SESEORANG: Bagi saya, kebudayaan itu seperti kecantikan, maksud saya baik kebudayaan maupun kecantikan tidak dimulai dengan kata. Beda dengan sastra, mula-mula adalah kata. Terus terang saya sulit menemukan kebudayaan. Sejak mula saya menduga kebudayaan itu persis tarian, karena itu bila Anda ingin menjadi budayawan, belajarlah menari. Tetapi fatalnya tarian pertama yang saya kenal dan saya pelajari adalah tari tiban. Dengan cambuk setiap pasang diantara kami saling melukai dengan cambuk itu. Karena itu kebudayaan saya pun di kemudian hari selalu penuh dengan aroma dendam. Jadi untung-untung saja saya bisa hidup sampai sekarang, meskipun seringkali saya nyaris terbunuh oleh bekas lawan-lawan saya dari belakang. Siapa dia? Anehnya, sering saya jumpai sosok yang nyaris membunuh saya itupun juga bernama kebudayaan. Itulah yang saya maksud di tempat ini kebudayaan telah menyamar jadi kejahatan dan setan. Lalu, apakah saya ini orang baik sehingga harus dienyahkan? Ah, setidak-tidaknya sayalah yang berani menghadapinya dengan membuka baju celana dan telanjang dada seperti ini

BUKA BAJU MEMPERLIHATKAN KULITNYA PENUH BEKAS LUKA

SESEORANG: Hei! Lihat seperti inilah buah dari sikap budaya saya. Maaf kalau saya tak cukup menantang anda untuk menunjukkan dada. Mana dadamu, ini dadaku! Tapi saya harus katakan mana badanmu ini badan saya. Tapi itu bagi saya tidak cukuuuupppp!!!! Karena badan saya yang penuh luka ini tidak pantas saya perlihatkan pada kebudayaan yang sorri, seperti gadis cantik tadi. Malu aku ah, masak jeruk minum jeruk? Bagi saya kebudayaan itu spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Hidup lebih hidup. Jangan tunda esok apa yang lusa bisa kerjakan sekarang. Di situ, jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kehidupan kosmos. Untuk itulah saya perlu moral sebagai saksi kunci. Jadi saya harap dalam pertemuan ini cukup menghadirkan saksi-saksi atau tersangka demi proses hukum pembuktian terbalik ini, untuk membuktikan apakah korupsi itu budaya atau kejahatan. Sehingga tak perlu saya minta menghadirkan saksi kunci, si moral itu tadi. Kalau tidak? Apa boleh buat! Apa, sudah datang? Syukurlah permintaan saya pada Yang Mulia sudah dikabulkan.

MENDENGAR SESUATU. MELIRIK KE RUANGAN SEBELAH.

SESEORANG: Sssttt!!!! Jangan berisik, istriku. Sembunyilah di tempat aman yang kita siapkan seperti biasa. Jangan biarkan anak kita bermain lampu. Kalau perlu tidurlah. Aku sedang ada urusan. Sudah, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan ngintip, ah.

BERGEGAS MENDEKATI PINTU. MENYAMBAR BAJU DAN SEPATU. MENGENAKANNYA CEPAT-CEPAT. LALU BERSIAP PERGI.

SESEORANG: Begitu cara saya melindungi keluarga saya. Oh, ya anda belum tahu bagaimana cantiknya istri saya, bagaimana lucunya anak saya. Dia penurut dan sama sekali tidak pernah mempersulit saya untuk melindunginya dari bahaya di luar rumah. Karena tidak mungkin saya harus serahkan tanggungjawab saya pada orang lain, tetangga apalagi negara. Saya harus atasi sendiri. Syukurlah tidak ada kesulitan meskipun dengan cara apa adanya. Di sini apa-apa yang pernah saya dapatkan dari buku-buku bacaan amat membantu saya. Saya ajari istri dan anak saya untuk tidak mengkonsumsi daging seperti apa yang pernah dilakukan Mahatma Gandi. Segala kesulitan hidup betul-betul saya tanggung sendiri. Pendidikan anak-anak saya tangani sendiri tanpa harus bergantung pada negara. Ekonomi keluarga kami kelola sendiri demi menjaga diri bukan hasil korupsi. Baiklah, saya harus hentikan sementara ocehan saya.

LAMPU BLACK OUT.




BAGIAN KETIGA

LAMPU FADE IN. DI PANGGUNG SISI KANAN BERDIRI SESEORANG MENGENAKAN SERAGAM KANTOR. LENGKAP DENGAN SEPATU DAN DASI.

SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Nama saya Budiawan. Ya, kadang-kadang orang memanggil saya Budiman. Namun saya tidak merisaukan betul dengan panggilan itu. Satu hal yang tak saya ketahui mengapa ibu saya memberikan nama kecil seperti itu. Tapi saya bisa menduga kurang lebih kemana arahnya. Tak lain agar saya menjadi orang baik, pintar dan berakal sehat. Tapi apakah selama saya hidup di dunia ini sudah seperti apa yang tertulis pada nama saya? Saya tidak tahu persis karena seperti yang terjadi pada saat ini, saya juga tak tahu persis mengapa berada di tempat ini di hadapan Yang Mulia Hakim. Tidak seorang pun yang tidak mengharapkan keadilan di tempat ini. Demikian juga dengan saya. Saya datang kemari untuk mencari keadilan atas nama diri saya sendiri. Ya, saya sering mendengar tempat seperti ini sering diperjualbelikan. Hukum bisa diperdagangkan bahkan di pengadilan bukan rahasia lagi sering jadi target pemerasan. Tetapi untuk kasus saya ini, untuk kali ini saja saya betul-betul percaya dengan Yang Mulia Hakim. Habis sudah tidak ada jalan lain sih. Toh, di sini bukan hakim yang membuktikan saya bersalah atau tidak. Saya sendiri yang akan memastikan keadilan. Jadi mohon anda dengarkan apa pun pembuktian saya, oke Pak Hakim? Nah, seperti itu baru namanya hakim. Putuslah keadilan dengan santai, jangan tegang-tegang. Agar anak-istri anda juga tenang di rumah. Kalau anda tegang, ibu anda jangan-jangan ikut terserang jantungan.

SESEORANG: Perlu Yang Mulia Hakim ketahui, saya adalah orang yang sangat mencintai ibu saya. Saya adalah orang yang satu kali pun tak pernah membantah perintahnya dan saya menghormatinya lebih dari manusia biasa. Karena saya tahu ibu adalah perempuan pilihan dewa. Semenjak kecil hingga dewasa saya selalu memohon restu kepada ibu setiap melakukan tindakan apa saja. Karena saya jelas merasa beruntung masih memiliki ibu seperti dia. Dan saya sama sekali tak memiliki keberanian untuk membayangkan bagaimana bila kelak ibu saya tiada. Beda dengan apabila saya membayangkan orang lain dengan ibu-ibu mereka. Dari kepala desa sampai kepala negara, dari mantri hewan hingga menteri-menteri negara, dari penjahit sampai pejabat. Apakah mereka sudah tak lagi memiliki ibu sampai berbuat demikian merugikan orang? Apakah bukan mustahil mereka telah tak merasa memiliki ibu? Jika benar demikian apakah sebenarnya mereka-mereka ini anak haram jadah? Harapan saya semoga tak pernah betul terlintas di benak saya, bagaimana bila ibu saya tiada.

MENUTUP MULUTNYA

SESEORANG: Inilah bukti kejujuran saya, biarpun tak semestinya saya kemukakan ternyata keluar juga itu dari mulut saya. Ini sudah menjadi naluri saya yang mengatakan saya akan terus berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu jelas, biarpun saya jadi sakit. Tapi kebenaran di sini jadi absurd. Kebenaran di sini menyakitkan. Kebenaran jadi kejam. Bahkan kebenaran di sini jadi mengerikan. Anehnya, saya memilih semuanya. Apakah kemudian saya harus katakan kebenaran itu aneh? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Jadi aneh karena memang langka, tapi jadi tidak aneh setidak-tidaknya menurut ibu saya. Entahlah, saya begitu kukuh untuk percaya, bahwa ibulah satu-satunya yang bisa saya percaya. Ketika saya memutuskan keluar dari pekerjaan, dan melepas seragam ini, ibulah yang meluluskan permohonan saya dan mengerti penjelasan saya. Bahkan sebaliknya, ibu malah menyuntikkan sebagian sisa spirit hidupnya demi saya, anaknya yang baru saja sadar dan bangun dari kejahatan terbesar di negeri ini, yakni berpikir untuk diri sendiri dan bukan demi ilmu. Aku sekarang benar-benar menjadi anak ibu kembali. Ibuku mengajarkan kejarlah ilmu sampai tua. Tak cuma kata-kata, buktinya ibu telah membekali saya anaknya dengan ilmu hingga ibu tak memiliki apa-apa. Lalu betapa munafiknya saya bila ternyata di kemudian hari ilmu saya itu sungguh tak berguna. Sudah dapat saya duga, restu ibu membuat saya sadar kembali kebenaran ilmulah yang musti dipegang teguh. Tapi tentu ibunda tak mau menjawab pertanyaan saya, bahwa pilihannya untuk saya ternyata membuat keluarga saya berantakan karena jatuh dalam kemiskinan. Saya malu. Sungguh malu pada ibu. Tapi saya bangga. Sungguh bangga. Malu tapi bangga. Saya kira, semua yang hadir di sini bakal kelewat sulit mencari padanan kata malu tapi bangga. Hanya orang gila seperti saya yang bisa. Dan inilah keberanian saya sekarang. Membayangkan bagaimana bila bumi saat ini dipenuhi sesak dengan orang gila yang malu dengan bangga. Dugaan saya, evolusi akan bergerak lamban dan mengasyikkan kurang lebih seperti gadis jawa.

SESEORANG: Mohon Yang Mulia izinkan saya berhati-hati untuk mengucapkan “malu dengan bangga.” Tapi apa yang terjadi di sini? Betapa banyak pejabat dan para penguasa atasan saya yang sungguh “bangga dengan kemaluannya.” Mereka-mereka seperti inilah yang menurut ibu saya, orang-orang yang benar-benar gila. Gila kuasa dan gila wanita. Ya, saya sih beberapa kali diajak dan turut membantunya, tapi itu dulu. Sekarang kan saya sudah sadar seratus persen.

SENTIMENTIL

SESEORANG: Eh Pak Hakim suatu ketika saya diminta untuk mencarikan atasan saya seorang gadis Jawa, tapi sebelum itu tentu saja, saya diharuskan memastikan keberadaan istrinya secara aman. Begitu, saya pastikan aman. Langsung saya bawakan itu perempuan yang emh..sebut saya namanya Sri. Tak perlu saya ceritakan pada Pak Hakim bagaimana cantiknya dia. Yang perlu saya ceritakan adalah, bagaimana atasan saya itu minta saya tak lupa membawakan kaset lagu-lagu Jawa Didi Kempot, kesukaannya. Saya putar, lalu menyanyilah si Didi Kempot itu, (menyanyi). Sri kapan kowe bali. Lungamu ora pamit aku. Jarene menyang pasar pamit tuku trasi, tapi kowe lungo ora bali…Ndang balio Sri, ndang baliooo… Tapi betapa kagetnya saya dengar atasan saya itu menyanyi lagu lain.. ndang mlumaho Sri, ndangmlumahoo.

SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Kalau Yang Mulia sudi dan bersedia membaui mulut saya, barangkali saat ini masih sedikit tersisa aroma alkohol. Hanya sisa Yang Mulia, karena tak lain yang mengajari saya adalah atasan saya. Karena itu maafkan saya jika apa yang saya perankan tentang atasan saya ini kurang menjiwai dan jika Yang Mulia Hakim menghendaki, alangkah baiknya menghadirkan atasan saya. Tugas saya di sini hanya membuktikan bahwa atasan saya jelas-jelas orang yang melakukan kejahatan terhadap semesta. Bukan hanya melakukan kejahatan terhadap negara apalagi terhadap keluarga saya. Karena itu saya kira hukuman apa pun yang akan Yang Mulia jatuhkan padanya, saya kira kurang berat. Yang paling pantas menjatuhi hukuman adalah semesta.

MELEPAS SEPATU. JADI BOTOL MINUMAN KERAS. MENENGGAK ISINYA. MABUK.

SESEORANG: Akulah manusia avantgard. Akulah mahkluk terkini yang mewakili dunia. Karena akulah yang sanggup mengejawantahkan ide-ide cemerlang dengan otak jeniusku ini untuk menjelaskan kepada umat manusia bahwa puncak dari segala puncak ekstase kehidupan adalah bila saat kita menemukan jawaban: Kejahatan bisa dilakukan bersama-sama dengan kebaikan. Bila saat kita menemukan sebuah jalan dimana tak perlu lagi kesulitan dan sibuk untuk membedakan antara kejahatan dan kebaikan. Jadilah kejahatan itu adalah saudara kandung kebaikan. Karena itu antara keduanya bisa saling bertukar pikiran dan bisa saling menggeser tempat. Siapapun manusia yang melampaui masa untuk itu, dialah manusia yang sungguh-sungguh manusia. Dialah manusia pilihan Tuhan untuk memimpin manusia lain. Karena Tuhan dengan demikian telah mengetahui sedikit jawaban untuk apa ia menciptakan itu semua. Ekstase hidup saya mampu membuat Tuhan istirahat sejenak sebelum akhirnya meneruskan kembali kebiasaannya untuk bermain dadu. Maafkan saya kalau saya harus sampaikan dengan demikian arogan, Tuhan. Oh, iya, saya juga temukan dalam perjalanan hidup saya bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus arogan. Pemimpin yang saya maksudkan adalah pemimpin yang benar-benar pemimpin dan bukan pemimpin gadungan. Ya itu tadi pemimpin yang telah sanggup membuat kejahatan dan kebaikan seperti gado-gado. Mengapa saya katakan kejeniusan jadi syarat mutlak? Karena antara arogan dan kejeniusan itu ibarat laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan demi kelestarian semesta. Kejeniusan adalah muatan isi otak untuk menjadi arogan. Demikian juga dengan arogan, adalah mustahil tanpa kejeniusan. Tahukah Tuhan, ini adalah gejala akhir mahkluk di bumi? Sayangnya, anda hanya tahu soal moral dalam kitab suci. Kalau itu sih, saya percaya seratus persen, tiada yang sanggup menandingi kehebatan Anda. Tapi yang lain-lain, saya kira anda hanya bermain dadu. Tahukah, derajat keilmuan terakhir di bumi ini bukan untuk kesejahteraan umat manusia? Bukan. Karena terbukti tujuan seperti itu banyak mengandung cacat dan banyak diselewengkan. Kesejahteraan umat hanya ada dalam dongeng. Kesejahteraan umat itu non-sense. Pertanyaan saya, salah siapa umat ini kamu buat berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkelompok dan bahkan kamu hidupkan sentimen SARA! Derajat keilmuan terakhir yang subur di semesta ini adalah yang berorientasi pada kejeniusan dan arogan itu tadi, yang berorientasi pada jiwa pimimpin. Maaf, saya harus beritahukan satu hal lagi kepada Tuhan. Kalau dulu masalah-masalah terakhir di semesta ini adalah masalah keilmuan dan bisa dipecahkan, kecuali masalah pribadi. Sekarang apa yang terjadi Tuhan. Seluruh masalah-masalah sampai masalah terakhir di semesta ini jadi buntu jika diselesaikan dengan keilmuan. Tapi berjalan mulus jika dituntaskan dengan kekuasaan. Jadi enteng bila diatasi dengan jiwa arogan. Apalagi hanya soal sepele semacan KKN dan sebangsanya itu. Enteng, Bung!

SESEORANG: Karena itu, saya adalah orang yang paling benci dengan pemimpin yang ia raih kekuasannya dengan jalan menjilat. Dia hanya setengah manusia, karena terbukti keberhasilannya itu sebagai upaya pembuktian dirinya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih dari seekor anjing. Kekuasaan yang ia raih dengan jalan seperti itu hanya menghasilkan penguasa yang tahu bagaimana KKN tanpa bisa menciptakan dan menjelaskan konsep-konsep KKN yang mendidik dan menyegarkan badan. Ibaratnya cuma bisa minum irek saja, tapi mandul! Apa yang terjadi jika pemimpin-pemimpin di negeri ini bisanya cuma minum irek saja tapi mandul? Yang terjadi kurang lebih ya seperti di negeri kita ini Yang Mulia. Maaf kalau saya harus katakan kurang tepat bila unsur-unsur KKN di negeri ini hanya disebut “Tindakan yang merugikan keuangan negara,” padahal penjelasan tentang perbuatan yang menguntungkan negara juga tak pernah tuntas dibicarakan. Maksud saya, kalau kami dituntut untuk menjadi warga negara, saya juga menuntut apapun perbuatan warga negara harus dihitung untung dan ruginya. Apalagi cuma KKN. Jangan hanya perbuatan subversif saja yang dihitung, Yang Mulia. Kasihan mereka itu masih muda tapi sudah dibonsai hidupnya. Yang sedikit sopanlah, biarkan anak-anak muda itu sampai tua baru nanti kita jelaskan bahwa ide-idenya sudah terlalu usang. Pasti mereka nanti timbul penyesalan. Penyesalan. Ya, rasanya penyesalan itu cukup mendidik bagi orang macam kita. Ya, setidak-tidaknya seperti apa yang terjadi pada bangsa kita ini. Penyesalan terus dijadikan pelajaran. Kiranya ini bisa lebih gawat. Kalau perlu ganti saja kurikulum pendidikan moral di sekolah-sekolah dengan mata pelajaran baru: Penyesalan. Jadi apa yang terjadi di sini, menurut saya hanya sia-sia saja dan sia-sia itu perbuatan korupsi juga lho, Yang Mulia.

SAMBIL TERUS MABUK MINUMAN DARI SEPASANG SEPATUNYA

SESEORANG: Yang terbaik adalah, dilihat dari sisi keilmuan tercanggih saat ini: Bertarung. Jangan bernostalgia dan jangan bersikap sentimentil. Bertarung satu lawan satu itu lebih fair, lebih menjanjikan, dan yang penting adalah lebih beradab. Berilah hak kepada setiap orang untuk membuktikan diri, seperti malam ini. Ajaklah beradu konsep dan perkenalkan diri masing-masing adalah calon pemimpin di dunia perhelatan. Ya, memang susah. Tapi usaha sekecil apapun harus dimulai, misalnya dengan menumbuhkan kebiasaan untuk membaca cerita silat. Betapa di situ penjahat dan pahlawan sama-sama punya kesempatan untuk membuktikan diri kecanggihan ilmunya. Tahu referensi saya? Barangkali orang segenerasi saya dan Yang Mulia Hakim itu sama: Ko Ping Hoo, Panji Tengkorak. Ya setidak-tidaknya kalau anak muda sekarang mustinya baca impecable twins-lah. Biar tahu bagaimana jurus-jurus di dunia kangow.

MELEMPAR SEPATU KE ATAS.

SESEORANG: Jujur saja saya akui. Memang benar, saya korupsi. Tapi, korupsi saya ini saya lakukan dengan tingkat kesadaran yang amat tinggi. Korupsi yang saya lakukan justru mempertontonkan bahwa saya adalah orang yang beradab. Korupsi yang saya lakukan tak lain adalah demi menjaga ekosistem dan demi kelangsungan hidup. Dan tahukah saudara-saudara jalan saya ini saya tempuh tidak dengan cara mudah. Sulit. Memang sulit jalan peradaban ini. Seperti sekarang ini barangkali anda mengira saya sedang mabuk. Tidak. Kemabukan hanyalah jalan untuk membongkar dinding bisu dan kemapanan pola pikir. Sekaligus saya membuktikan bahwa antara jiwa dan tubuh saya masih terikat dalam sebuah kesepakatan dan harus senantiasa terjaga. Inilah makna kesadaran yang sebenar-benarnya kesadaran: Menjaga kesepakatan tubuh dan jiwa. Kebutuhan tubuh boleh tinggi. Kebesaran jiwa boleh menghebat. Tapi kalau hal itu tak terjaga dalam sebuah kesadaran akan upaya untuk menjebol dinding-dinding kebekuan dan kemapanan tentu mustahil bermakna. Dan apa bedanya manusia dengan seekor sapi? Tentu Anda sekalian perlu tanyakan, lalu di mana arti sebotol minuman bagi saya? Jawaban pertanyaan ini tak cukup dengan kata-kata. Karena itu mabuklah. Saya akan jamin, kebebasan ini perlu ditempuh dengan satu jalan kecil dan murah. Seharga sebotol minuman. Kebebasan untuk menjebol kebekuan ini hanya perlu sedikit waktu dan satu ayat bahwa Tuhan tidak membenci makluknya untuk mengumpat sekalipun ke angkasa atau kepada diri-Nya kecuali bagi mereka yang teraniaya. Jadi kita hanya perlu sedikit waktu karena kita sudah punya persyaratan yang telanjur dibayar mahal, yakni teraniaya. Saya kira ini sudah lebih dari cukup! Cukup! Kalau tidak? Sedikit saja kita sudah berada di titik batas melangkah menuju mati. Ya, jutaan orang di negeri ini seperti itulah keadaannya. Jadi ini hanya soal kesempatan. Lalu apa yang saya lakukan dengan kekuasaan saya hanyalah mencuri kesempatan. Apa susahnya? Apa salahnya dibanding usahaku untuk menyelamatkan bawahan-anak buah dan kelompok saya yang bila salah langkah sedikit saja akan tergelincir menuju mati. Jadi bagi saya yang punya kejeniusan dan kecerdikan ini, melakukan korupsi itu tindakan yang amat mudah. Begitu mudahnya, sehingga kadang-kadang saya seperti tidak melakukan apa-apa. Karena terbiasa akibatnya dalam perasaan saya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi hasilnya ruarrr biasaa!!!!

MUSIK BERSAHAJA. BERGOYANG. KEMUDIAN MENARI

SESEORANG: Bagi anda yang belum pernah melakukan korupsi atau belum pernah melihat bagaimana asyiknya korupsi itu terjadi, ya beginilah kira-kira gambarannnya. Jangan ragu-ragu dan jangan bimbang. Jangan ada bagian tubuh kita yang tertahan. Bila Anda ingin bergoyang, ikuti irama sambil berdendang. Gendang gendut tali kecapi, Kenyang perut senanglah hati. Mari-mari Yang Mulia Hakim. Mari kita menari bersama-sama. Singkirkan sejenak kitab hukum dari meja dan tak perlu lagi anda baca berita acara. Acaranya sekarang adalah berjoget. Karena kita pada hakekatnya adalah sama. Barangkali anda belum menemukan jawabannya saja. Pasti-pasti ketemu, bahwa gaji anda itu hanyalah sedikit bagian dari uang saya, hasil kerja saya. Ya, saya tak perlu imbalan apa-apa. Melihat istri anda lebih dari dua dan melihat anak-anak anda ganteng dan cantik itu sudah lebih dari cukup. Ya, ya kita sama-sama tahu ini hanyalah urusan bagaimana bersandiwara. Jangan terlalu menjiwai nanti malah lucu. Kita malah jadi repot. Kita malah susah sendiri. Terlalu serius nanti malah jadi malapetaka. Susahnya main sandiwara itu kalau kita ketahuan punya peran ganda. Itu saja.

BERHENTI MENARI

SESEORANG: Serius. Dalam dunia nyata ini kita harus serius. Jangan hanya serius kalau sedang menderita. Jangan cuma punya tekad kalau lagi sengsara. Apalagi yang punya kuasa, sering lupa diri dan tak serius pegang kekuasannya. Kesenian juga harus serius dan jangan dalam dunia nyata kemudian berperan ganda. Inilah arti sebenarnya dari kepribadian. Yang jadi pejabat jangan kemudian berperan jadi penjahat. Jadi polisi jangan merangkap preman. Intelektual tak usah pura-pura jadi pecundang. Seniman nggak perlu jadi pedagang. Apa? Laki-laki berlagak perempuan? Ah, kalau itu sih bukan pilihan. Itu kutukan, Bung! Beda dengan koruptor seperti saya. Jelas ini pilihan. Sama dengan kenapa orang lain memilih jadi presiden. Karena jadi presiden itu tak bisa merangkap sekaligus jadi rakyat. Setidaknya itulah prinsip demokrasi. Soal presidennya itu korupsi kolusi dan nepotisme itu lain soal. Dia hanya coba-coba. Kalau pun berhasil saya yakin hanya sekali dua saja. Paling-paling tiga atau empat kali begitu. Suatu saat pasti tersesat. Saya bisa saja memilih jadi da’i atau kiai tapi hal itu tak saya lakukan. Karena saya percaya masing-masing punya azas kebebasan, kesamaan hak dan persaudaraan. Persaudaraan? Ya, karena seringkali saya dibutuhkan oleh mereka. Saya kirimkan bertumpuk-tumpuk uang yang tak seberapa jumlahnya itu pada mereka. Keuntungan malah ada pada saya. Karena dengan begitu saya jadi sedikit dekat dengan Tuhan. Lumayan juga, daya intelektual mereka. Pintar dan tahu moral. Sedikit saja dari mereka yang terpaksa berurusan dengan polisi karena kebodohannya dan karena tak bisa menerapkan ajaran moral secara benar. Ah, saya sendiri tak pernah bicara moral karena itu bukan bagian saya. Tapi bukan berarti tak boleh mengkritik bukan?

SESEORANG: Saya ini koruptor dan bukan kritikus korupsi. Kalau pribahasa mengatakan mengkritik itu gampang, berbuat itu susah. Bagi saya malah sebaliknya, mengkritik itu amat susah tapi berbuat itu gampang. Bedanya kalau di pengadilan, kritikus korupsi itu jadi saksi ahli yang tak pernah korupsi, sebetulnya beda sedikit dengan dukun. Tapi saya setiap kali di pengadilan duduk sebagai tersangka dan terdakwa. Jadi mengkritik sesama koruptor itu bagi saya sesungguhnya susah. Hanya satu yang membuat gampang saya mengkritik. Yakni karena usaha saya menjadikan korupsi sebagai ilmu telah berhasil gemilang. Buktinya, doktor korupsi seperti George Junus Aditjondro tak segan berguru pada saya. Memang itu ia lakukan secara diam-diam. Sebab andaikata ia lakukan secara terbuka, betapa malu seisi dunia ini bila seorang doktor belajar pada penggangguran macam saya. Jadi jelek-jelek begini, saya ini sebetulnya seorang pendidik yang ulung. Sebagai pendidik saya tentu tak keberatan mengkritik. Saya iklas, biarpun kritik saya atas korupsi ini tak jadi karya monumental karena karya saya yang sesungguhnya adalah korupsi itu sendiri. Begini. Presiden bisa korupsi, kiai pun bisa korupsi, lalu apakah korupsi mereka sudah sesuai dengan ilmu korupsi? Jawabnya, belum.

SESEORANG: Tuan-tuan dan Nyonya koruptor. Kritik saya pada anda adalah, anda seorang koruptor tapi tak pernah mengaku berterus terang bahwa andalah koruptor itu. Anda tak mau bersikap tegas mengakui diri anda koruptor, penguasa atau pengusaha. Anda pengusaha tapi bersembunyi di balik ketiak penguasa. Sebaliknya, penguasa malah berdalih demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Tahukah akibat perbuatan tuan-tuan dan nyonya, sesuatu yang amat berbahaya telah merasuki jiwa rakyat, setiap detik, jam, hari dan sampai bertahun-tahun. Tahu apa itu, tuan-tuan dan nyonya? Rakyat jadi tidak iklas menjalani hidupnya. Rakyat jadi putus asa. Frustasi. Rakyat menjalani hidupnya dengan dendam, amarah dan amuk di mana-mana. Tahukah satu-satunya yang kini masih tersimpan baik di jiwa rakyat? Adalah kesabaran untuk tidak menggunakan pedang dan parang. Betapa hebat jiwa rakyat di balik perasaan dendam, masih sanggup berpikir bahwa pedang dan parang lebih berguna bila digunakan untuk panen kacang ketimbang untuk menebas leher orang. Rakyat masih segar berpikir bahwa kejahatan tak harus dibalas dengan kejahatan. Karena itu bagi saya, tuan-tuan dan nyonya tak lebih dari seorang yang munafik. Jadi kejahatan tuan-tuan dan nyonya di mata saya, bukan murni karena korupsi itu, melainkan justru karena anda munafik. Akibatnya, anda tak mau bertanggungjawab untuk menjalani profesi anda sendiri, karena dalam prakteknya anda melibatkan banyak orang. Di situ sering saya perhatikan anda membeli orang lain untuk kemudian melibatkannya. Saya tidak mempersoalkan mereka yang mau anda libatkan. Tapi yang tidak mau, kemudian anda paksa ini berarti tuan-tuan dan nyonya melanggar etika persamaan hak dan kebebasan. Bahkan yang menjijikkan saya adalah cara anda menyewa mahal orang untuk menyiasati undang-undang. Jujur saja, melihat kelakuan anda, sebagai pendidik saya jadi tersinggung. La wong, undang-undang itu dibuat oleh yang terhormat para wakil rakyat, tapi tuan dan nyonya malah merancang usaha untuk menyepelekan hasil kerja mereka. Bagaimana ini sudah tak menghargai diri sendiri, masih juga menyepelekan wakil rakyat. Jujur saja, satu-satunya yang saya kagumi dari tuan-tuan dan nyonya adalah pandangan anda yang sama sekali baru terhadap nasionalisme. Apa hubungannya? Lho, andalah yang memperkenalkan internasionalisme kepada kami karena anda leluasa keluar masuk negeri asing, hidup bebas di luar negeri meski jadi buron di dalam negeri. Ah, kata orang, itu sih karena kebodohan polisi saja. Lalu saya jawab, bukan. Bukan. Polisi kita tidak bodoh karena memang banyak akalnya. Kalau pura-pura bodoh mungkin saja. Atau justru karena kebanyakan akal itu kemudian polisi bingung sendiri. Ha..ha… Ya, mungkin saja. Hal itu, terlihat dari cara polisi menerapkan azas praduga tak bersalah. Buktinya, karena terlalu kuat berpegang pada azas itu, akhirnya polisi pun tak pernah melakukan apa-apa. Kejaksaan juga setali tiga uang. Fatalnya, itu terjadi pada kasus-kasus besar. Tapi pada kasus-kasus kecil, tuan-tuan dan nyonya tentu baru tahu bagaimana gambar-gambar di TV itu mempertontonkan ternyata polisi itu lebih garang dari preman. Lebih hebat dari penjahat. Jangan-jangan lebih sadis dari residivis. Di mata saya ini hanya soal keberanian, tuan-tuan. Banyak akal itu nomor dua, tapi keberanian itulah yang utama.

MUSIK PARODI MENGIRINGI.

SESEORANG: Karena ini kritik, maka janganlah hal itu tuan-tuan dan nyonya tanyakan kepada saya tentang diri saya. Itulah sebabnya mengapa saya senantiasa mengingatkan bahwa mengkritik itu susah.

BERLAGAK SOPAN

SESEORANG: He, Pak Kiai….Assallamualaikum. Ahlan Wasahllan, Pak Kiai. Ahlan Biq. Tentu Pak Kiai masih ingat saya santri yang urakan dan nggak punya aturan itu. Bukan. Bukan. Jangan kuatir. Saya tak termasuk santri yang murtad kok. Saya masih Islam, tapi Liberal alias lihat-lihat berapa nilainya. Ah, saya tak bermaksud menyindir Pak Kiai. Saya hanya guyon saja, bermaksud memecahkan kebekuan saja. Ini masih tahap pertama. Nanti, nanti akan saya ajarkan Pak Kiai untuk tahu bagaiamana nikmatnya bermain chatting. He...he…he.. Sambil saya belajar adakah itu aturannya dalam kitab kuning. Ah, sekali lagi mohon untuk jangan tanggapi serius ocehan saya. Jujur saja saya hanya bercanda. Satu hal yang mau saya kemukakan dan serius adalah saya kagum pada anda. Saya hormat pada anda. Bukan saja karena Anda manusia pilihan dan tokoh terpandang. Tapi juga karena darah biru anda. Kesimpulannya Pak Kiai nyata-nyata bukan orang biasa. Kalau boleh saya berkata siapa orang terhebat di dunia ini setelah Mahatma Gandi? Tentu saya jawab Andalah orangnya. Santri anda banyak dan tak satupun yang buta urusan dunia-akhirat. Kecuali saya. Ya, kecuali saya. Sebetulnya saya malu. Malu. Tapi saya beruntung masih punya malu sehingga punya kesibukan untuk menutupi malu saya dengan bicara yang menyejukkan hati saya sendiri. Saya tahu, meski saya diberi hak untuk mengumpat tapi hal itu tak pernah saya lakukan. Apalagi untuk menakut-nakuti orang. Saya tertindas tapi pada gilirannya tak pernah saya menindas orang lain, Pak Kiai. Maafkan saya kalau karena itu saya tak pernah lagi berjalan kaki mendatangi masjid-masjid. Saya takut. Para pengkhotbah itu telah menakut-nakuti saya dengan dongeng-dongeng mengerikan dan setiap kali sorot matanya jatuh pada saya, saya merasa bukan lagi manusia. Saya merasa jadi setan. Tapi lupakanlah, ini Pak Kiai. Karena saya hanya bicara tentang perasaan bukan kenyataan. Mungkin benar mungkin juga salah. Bisa jadi salah tapi bukan mustahil itu suatu kebenaran. Ironisnya, saya tak pernah diberikan kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan saja. Apakah kehidupan surga yang engkau janjikan itu juga berlaku bagi orang macam saya? Setan ini? Lalu apakah juga berlaku bagi orang yang memilih berada di luar karena ia tahu hanya sejengkal saja lantai masjid itu yang bukan hasil dari korupsi? Kalau demikian alangkah pemurahnya Tuhan kamu itu. Semuanya dihargai murah. Tapi bagi Tuhanku kenapa segalanya jadi mahal. Ya, salah saya sendiri, sih. Harga beras mahal. Harga susu mahal. Harga diri pun harus dijual mahal. Setelah bermalam-malam saya melekan, dan akhirnya dapat ilham. Tahukah apa jawabnya Pak Kiai. Satu-satunya jalan menuju keselamatan, saya harus memilih untuk kembali menjadi orang primitif. Tahukah Pak Kiai bahwa pilihan saya ini hanya beda sedikit dengan cara yang anda tempuh? Bedanya, kalau anda bersikap keras anda bakal dituding sesat atau teroris. Tapi saya dituding pembangkang. Kalau anda bersikap kritis kemudian banyak pejabat datang dan kasih uang apalagi menjelang pemilu seperti sekarang. Sebaliknya, bila saya yang berteriak lantang jelas buntutnya saya tak bisa dapatkan makan. Lalu, jika Pak Kiai sanggup menjaga kebersihan dan menepis segala godaan sudah pasti akan panen pujian. Kalau itu terjadi pada saya, orang akan berbondong-bondong untuk mengucapkan belasungkawa dan kasihan. Menyedihkan. Betul-betul menyedihkan.

TABLAU BEBERAPA SAAT

SESEORANG: Memang sudah menjadi tekad saya di tempat ini untuk pamer kesedihan. Sudah jadi niat saya untuk mengatakan bahwa menjadi seekor simpanse lebih nikmat ketimbang jadi makluk setengah manusia tanpa otak, hati dan perasaan. Alangkah asyiknya bila tempat ini untuk malam ini dipenuhi sesak para simpanse. Tentu saya tak perlu tegang menyembunyikan rokok ideologi saya di lipatan baju seperti ini (mengobrak-abrik baju kusut dan kumal). Kalau harus kutawarkan: Bos rokok! Paling-paling si kumpulan simpanse itu cuma meringis saja. Seekor simpanse cukup makan pisang tanpa perlu membaca undang-undang! Seekor simpanse tak butuh gelar penghargaan apalagi bintang jasa, tapi seekor simpanse untuk malam ini ia rupanya perlu membaca naskah karena lupa.

SIBUK MENCARI SESUATU. KEMUDIAN MEMBACA NASKAH

SESEORANG: Saya hanya ingin membela hidup keluarga saya apapun resikonya. Saya cuma ingin hidup terhormat di mata saya sendiri, anak serta istri saya. Satu-satunya kehormatan bagi saya adalah menjamin apa yang kami makan ini betul-betul bukan hasil menjarah. Memilih mati ketimbang menyantap masakan hasil korupsi dan kolusi. Apalagi, pantangan bagi saya bila menyimpan barang yang bukan hak keluarga saya. Saya membela kehormatan hidup keluarga saya karena itu adalah hak hidup saya sebelum mati. Saya harus ambil resiko meskipun saya juga sibuk menghitung sisa umur saya dengan jari tangan karena saya tahu kehormatan di luar rumah itu sangat beda artinya. Sebab itu, saya tak perlu menyampaikan kata maaf bila tak menerima tamu dari luar rumah. Siapa pun dia. Saya sudah tahu gelagat dan maksudnya. Pejabat? Kiai? Konglomerat? Cendikiawan? Ilmuwan? Menteri? Bahkan Presiden?

SESEORANG: Sekalipun mereka datang bersama-sama ke rumah saya ini, saya akan lebih memilih mengurusi anak yang mencret ketimbang menjamu tamu-tamu seperti mereka.
SESEORANG: Apa? Ada yang belum saya sebut? Siapa? Tentara?
SESEORANG: Ah, untuk apa tentara kemari? Tapi dia tak mungkin berani masuk karena pintu saya kunci dengan paku sebesar ini.
SESEORANG: Tapi ini orang hebat. Pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dan merangkap kiai, gelarnya Profesor Doktor Insinyur Kiai Haji nekad datang kemari.
SESEORANG: Untuk apa? Belajar? Belajar Ilmu apa? Tidak bisa! Tidak bisa. Tahu apa yang nanti ia kerjakan? Dia akan menjual hasil penelitiannya kepada asing dan kita tetap saja miskin.
SESEORANG: Tapi ini ia cuma penelitian soal korupsi. Hanya untuk dia sendiri. Dia ngaku sudah korupsi tapi meski gelarnya banyak, korupsinya masih juga belum sempurna.
SESEORANG: Apa? Ngaku korupsi? Tangkap saja! Ada-ada saja. Jangan bikin saya pusing.
SESEORANG: Hei wanita. Siapa lagi itu. Jangan goda saya. Saya belum pernah ambil sikap bagaimana kalau tamu saya wanita. Tukang kredit! Sebetulnya ini urusan dapur. Tapi kukatakan saja istriku tak ada di rumah. Ha? Masih saja tanya? Istriku sembunyi di lubang tanah.

KEMBALI MENDEKATI PINTU. KEMUDIAN MENGINTIP KELUAR LAGI.

SESEORANG: Wow cantiknya dia! Pitzaaaaa!!!!

MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU SEBENTUK BABI-BABIAN. HINGGA SESUATU MENGHENTIKANNYA.

SESEORANG: Bukan. Bukan. Itu ibu! Oh, tunggu sebentar ibu!

SIBUK MEMPERBAIKI ISI RUANGAN YANG KACAU

SESEORANG: Mengapa ibu datang malam-malam begini? Apa? Bapak sudah ketemu? Hidup atau mati, Bu? Ah, sudahlah, ibu istirahatlah. Bagi aku sama saja bapak hidup atau mati. Jangan ibu repot-repot mencari bapak sialan itu untuk anakmu. Ibu sudah tua dan itu cuma nostalgia. Cuma masa lalu buruk untuk ibu. Tapi sekarang, tidak ada kehadiran di sini bagi aku yang lebih penting kecuali ibu. Biar susah sungguh. Aku tahu ibu susah dan aku sedemikian kesusahan. Aku tahu itu karena bertahun-tahun ibu menanggung malu dan percayalah ibu, bila kutemukan bapak ia akan aku lumat habis. Aku mencintai ibu tanpa sejengkal pun yang tersisa. Ya, tanpa sisa sejengkal pun. Seperti juga aku mencintai negeri ini, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi. Sekalipun aku anak jadah, lahir dari rahim pelacur seperti ibu, tidak ada seorang pun yang sanggup membebaskan jiwa dari fisik perempuan semacam ibu kecuali ibu sendiri. Hanya ruh ibulah yang mengerti bahwa seorang ibu tetaplah ibu. Perempuan tetaplah perempuan. Kalah maupun menang. Pelacur atau bukan. Hanya ruh ibulah yang tahu akan kebenaran dan omong kosong. Istirahatlah, ibu. Meski engkau tahu di sini, ruh ibu itu telah dikorup sampai ke akar-akarnya. Meski bangsa ini begitu bangga dan sedikit pun tak sungkan menyebut dirinya Ibu Pertiwi padahal di sana-sini demikian menganga borok dan kebobrokan. Istirahatlah ibu, dan jangan pedulikan anakmu ini. Sekalipun harus yatim piatu.

KEMBALI MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU BABI-BABIAN. DIIRINGI MUSIK MEMBAHANA. LAYAR DITARIK KUAT-KUAT. BERPUTAR-PUTAR. LAYAR RUNTUH MENUTUP SEKUJUR TUBUH. MENGGELIAT-GELIAT. BERTERIAK-TERIAK.

Tolong! Tolong aku.!! Aku nggak bisa bernafas. Tolooong!!!!. Aku takut kehabisan darah. Aku bisa mati percuma.

LAMPU BLACK OUT

SELESAI
Surabaya, Mei 2004