Senin, 14 September 2009

SUARA

“SUARA”
KARYA: SOSIAWAN LEAK

Oleh:
Kelompok Peron Surakarta
Mahasiswa Pekerja Teater FKIP UNS
Sanggar: Gedung UKM Lantai 1, Jln. Ir. Sutami 36 A 57126
Blog: teaterperon.blogspot.com, Email: teaterperon@gmail.com















“Suara”
Karya: Sosiawan Leak

Pengantar:

Biarlah
masing-masing kita
melepas kedahagaan
melepas kelelahan
pada dada kita
sebenarnya

ada yang harus kitabekaskan
tanpa keangkuhan
ada yang harus kitatorehkan di sini
tanpa belati

biarlah
semua kelelahan kita
berpulang kepadanya
seperti bentuk terakahir
yang lari menghampiri
pangkuan bunda

ada yang harus kita tanam
buat kubur kita







Adegan 1
Di balik tabir
Musik mengalun sakit, sedih dan tertindas. Lampu menyala malas di depan tabir. Di belakang tabir, lampu merah jelas menantang. Mula-mula kosong semuanya. Teapat ketika musik mulai menggesek pada kesedihan dan ketertindasan yang mendalam, terdengar suara-suara desah, tangis perlahan, salak anjing dan lolongan srigala. Semua suara beradu menjadi simphoni kekalahan yang amat.
Tepat di depan tabir, dengan perlahan turun tambang besar yang di ujung membentuk lingkaran yang biasa dipakai untuk menggantung leher orang pada pelaksanaan hukuman mati. Tali gantungan yang berlumur darah itu turun dengan perlahan mengikuti napas. Hingga ketika berada tepat pada ketinggian yang sesuai ia berhenti dan mati.
Desah napas, suara-suara kalah, tangisan pilu, dan jerit kesakitan mulai agak nampak dengan perlahan.

Tembang:
Suara-suara mati
Bersliweran di udara mati
Bersenggama dengan lorong-lorong mati
Menusuki nurani-nurani mati

Di balik tabir muncul berjuta orang yang kelihatan bergerak dengan susah payah, tanpa tenaga, lemas namun dipaksakan. Ada yang merangkak, ada yang berjalan dengan sempoyongan, sering terlihat mereka berjatuhan tanpa daya. Semuanya bergerak dalam irama kehidupan yang berat.
Sementara dari suatu arah muncul seorang yang yang didukung oleh bebrapa pengawal yang gagah-gagah. Mereka berhenti tepat di tengah tabir. Dan terlihat sang penguasa berdiri di antara pundak-pundak pengawalnya. Ia membawa cemeti yang dibunyikannya berkali-kali. Hingga suaranya menggelegar memenuhi arena. Setiap kali cemeti dibunyikan, selalu diikuti dengan gerakan bebrjuta orang berikut suara menderitanya yang bersama dan seragam.
Di depan tabir entah dari mana muncul sekelompok orang yang hilir mudik dengan riuhnya. Mereka bergerak dengan kesombongan yang seragam. Desah mereka nyata kelihatan mengalahkan desah sejuta orang yang kepayahan.
Di sudut lain telah nampak dengan tiba-tiba perempuan tua tanpa suara memanggil dan mencari-cari. Di tempat lain Bardal mengendap-endap.
Lampu mati dengan amat perlahan.
Suara-suara menghilang dengan amat perlahan.
Musik menghilang dengan amat perlahan.
Selanjutnya kesepian dan kebisuan yang sangat mencekam,
Berlangsung lama, hingga semua menjadi gelisahh dan gelisah.

ADEGAN 2
Panggung sepi, lampu masih mati. Musik mengalun syahdu, dalam gelap sayup terdengar tembang ritmis, yang makin lama makin jelas dan nyata. Ketika lampu berwarna manis menerangi tengah arena, nampak sekelompok orang sedang menari dengan mistis. Kelompok ini membentuk kesatuan gerakan yang harmonis seirama dengan alunan tembang yang mereka lantunkan.

Tembang:
Dengan cinta, Tuhan mencipta dunia
Hingga angkasa raya, luas tak terbatas
Dan lihatlah
Daratan yang mengubur intan, menyemburkan rimba
Senantiasa menjanjikan kehidupan
Dengan cinta, jaga dari nafsu kuras dan tebas.

Dengan cinta, TUhan merajut bumi
Hingga bergejolaklah samudra
Membangkitkan gerimis serta udara
Dan lihatlah
Kemilaunya menyelimuti kerang serta ikan
Melayarkan setiap asa ke pelabuhan
Dengan cinta, juga dari hasrat angkara.

Dengan cinta, Tuhan mencipta dunia
Dengan cinta, juga dari napsu kuras dan tebas
Dengan cinta, Tuhan merajut bumi
Dengan cinta, juga dari hasrat angkara

Dengan cinta,…………
Dengan cinta,………..


Di sisi lain Bardal mengintip semua kejadian itu, dan mengikutinya dengan kesungguhan. Tatkala suasana telah larut dalam tembang dan tarian ritmis itu, maka secara perlahan ketentraman dan kedamaian menyelimuti segala ada. Entah dari mana secara tiba-tiba muncul kelompok orang yang membentuk kesatuan gerakan menyeramkan. Gerakan orang ini mengerikan nampak merusak, menelan melindas, menghancurkan, merayap dengan perlahan dan kepastian. Bardal yang melihat kehadiran kelompok ini terkesima. Semula ia terpaku dengan muka pucat menampakkan kekhawatiran yang sangat. Kelompok ini mulai mendekati kelompok yang sedang bermain tersebut. Setiap ada yang berhasil di lindas, kemudian ditelan, dan masuklah ke dalam perut kelompok perusak tersebut. Bardal berteriak histeris, dan mencoba menghentikan.

001. Bardal : Huaaaaaaaaaa,……!!! Jangan! Jangan lagi ada yang dikorbankan!!Cukuppppppp! saya sudah jenuh menyaksikan!! Saya tidak tahan!!Huaaaaaaaaaaa!!(histeris, mengamuk, mencoba mencegah lajunya kelompok perusak).
002. Kelompok: Jeg……jeg….jeg,…..Juzzzzzzzzzzz,…..aiiiiikkkkkkk!!!
………………(meraung mengasak maju, sampil memunculkan suara-suara mekanik harmonis, namun menyeramkan).
003. Bardal : (mencoba mendorong) Huaaaaaaaaa,….!!! Aku sudah berulang kali menyaksikan! Berulangkali mendengarkan suaramu mahkuk laknat! Huaaaaaaaaa!
004. Komandan: (keluar dari dalam kelompok) o,,,….Katurrrr, Kathurrrrrr, Kathurrrrr……..ndligik! Minggir! Sundel! Mengganggu kerja orang lain! Ndlosor!!
005. Bardal : Kalian yang mengganggu orang lain. Kalian yang selalu merusak orang lain! Perusak!
006. Komandan: Apa?? Edan? Kamu yang edan!
007. Pentol : mesti ditulis, biar tahu siapa kita, Pak!
008. Pentul : Benar Pak, buka matanya yang merem itu agar ngerti siapa kita, Pak!
009. Pentil : Kadal ini arus digebuk agar tahu diri dan ngerti siapa kita Pak! Hei, mana matamu!? Kamu tak tahu ya,……..
010. Bardal : (Maju) aku tahu siapa kalian (Pentil mundur).
011. Komandan: Siapa?
012. Bardal : perusak! Tukang rusak!
013. Pentil : o………..Benar-benar kadal merem! Sundel! Siapa?
014. Bardal : Pemusnah! Pengacau!Tukang usik yang sudah baik! Perusak!
015. Pentul : O, mlentus,….mlentus,…..tak krawus! Kalau kamu tak bias melek melihat siapa kami, tentu kamu masih punya telinga yang sehat wal afiat untuk mendengar siapa kami! Mlenthus!
016. Bardal: Aku melihat! Berkali-kali melihat kalian membuat semuanya sekarat! Aku mendengar! Selalu mendengar raungan kalian membongkar.
Huaaaaaaaaa!!! (meraung, mengamuk)
Entah dari mana cahaya suram muncul perempuan tua membawa obor berjalan melintasi arena.
017. Inang : Bardal……..Bardal……… Di mana kau cah bagus? Di mana kau? Tak kau lihat perempuan tua yang renta ini memburumu, mengasihimu Bardal….jangan lagi kau susahkan aku cah bagus,……….telah beratus-ratus abad kau memberontak, selalu berteriak. Namun suaramu tak terdengar karena tak ada yang dapat menangkap maknanya. Selalu saja suaramu mengambang hialang tertelan kelam…….tak akau rasakan jeritnmu hancur bertebaran di udara terbuka tak tertangkap telinga-telinga, berjuta telinga yangtelah terlanjur tuli,…??? Bardal,…..Cah bagus,……pulanglah,….aku telah rindu untuk menyusuimu cah bagus, Bardal,……..
Suara anjing menyalak mendekati perempuan tua.
018. Inang : O,………Asu!! (berhenti)
019. Bardal : dari waktu ke waktu, dari semua kerusakan kalianlah yang menjadi biangnya!
020. Pentol : Wet,….teit.teit…………….., Teit……..! labatita! Wo, gundulmu abuh! Sungguh, demi demit, kamu benar-benar buta plus tuli!!
021. Komandan: Sudah, sudah, sudah! Anak-anak! Kembali ke pasukan!
022. Pentil : Siap!
023. Pentul : Siap!
024. Pentol : Siap!
025. Komandan : O,…..Kathurrrrr, ndligik! Ndlingik,,,,,……..ndligik!! Hei, cah edan, kamu ini sebenarnya mau apa, he? Mau nantang, mau nyabotase tugas, mau menghambas proses perombakan, atau mau jadi pahlawan? Hei! Ngomong yang cetho! Njeplak seng tata! Cangkemmu itu dbukak! Telakmu itu dibiak!! Hayo!!
026. Bardal : (memberontak) aku selalu menyaksikan kesewang-wenangan kalian! Membongkar, menelan, memporakporandakan semua yang sudah mapan. Kalian selalu mengusik ketenangan! Tak suka melihat damai di bumi, tentram di setiap nurani. Aku bosan , aku bosan melihat tingkah kalian, aku jenuh mendengar raungan kalian yang selalu jauh dari kebenaran! Bosan!!
027. Pentil : (maju) O, kadal merem! Tak thutuk cangkemmu!
028. Komandan: Pentil! (memberi isyarat)
029. Pentil : Siap!
030. Komandan: (kepada Bardal) Kamu memang pintar ngomong, tapi sayang utekmu mplonpong! Kamu ini ngomong apa kentut!? He? Akau khan sudah bilang, kamu harus ngomong cetho, jelas! Kamu tahu apa tentang semua ini? Berlagak ngerti permasalahan!
031. Bardal : Bukankah ini pengrusakan! Pemusnahan!
032. Pentol : O, tak gejlik lambemu, hancur brutumu!
033. Komandan: Pentol! (memberi isyarat)
034. Pentol : Siap!
035. Komandan: Pengrusakan ndligikmu! Pemusnahan kertumu!
Ini pemberontakan! Mudheng? Kamu harus bisa mikir pemberontakan selalu dibutuhkan sejalan dnegan jaman. Itu harus! Perlu! Supaya keadaan tidak statis. Mandeg! Uthekmu itu dipakai untuk mikir! Yang kita butuhkan sekarang ini adalah sistem kehidupan yang fresh, norma pergaulan yang bernilai strategis! Kultur budaya yang dinamis!
036. Pentul : maf Pak, kata pka Prof. Gymbal, kultur itu ya budaya itu Pak!
037. Komandan: Pentul!
038. Pentul : Siap!
039. Pentil : (berbisik pada pentul) Tul, kamu ini jangan lancing dlunyak-dluyuk begitu. Salah-salah dipolo Bapak baru klenger kamu!
040. Pentul : Dlunyak-dlunyuk gimana! La wong kultur itu ya budaya itu, kok!
041. Pentol : Iya, meskipun kamu benar, tapi caramu yang tidak benar.
042. Pentul : Lho, ini khan kritik membangun. Biar saling membangun. Biarsaling terbuka, kritik itu perlu!
043. Pentil : tapi jangan di depan orang banyak begini! Mosok atasan dikritik di depan orang banyak, ya malu!
044. Pentul : Tapi aku khan benar!?
045. Pentol : Meskipun kamu benar, kamu harus ngalah. Itu jalan yang paling selamat. Pokoknya ngalah! Kita harus bisa mendukung dan menunjukkan bahwa Bapaklah yang benar! Bapak selalu benar! Atasan itu tak pernah salah, bawahan wajib salah.
046. Pentul : Wa,….tapi saya yang benar, He,….
047. Pentil : Ingat! Sebagai bawahan, kita harus loyal kepada atasan.
048. Pentol : Nekad keminter dipecat sekarat kamu!
049. Pentul : Lho, saya tidak keminter, tapi dalam hal ini saya khan lebih pinter dari Bapak?!
050. Pentil : Kalau kamu lebih pinter, kamu ndak akan jadi bawahan kelas kambing begini!?
051. Komandan: Kathurrrrrrrrr……………….ndligik! Ndligik,………ndligik……!
052. Pentil : Siap!
053. Pentul : Siap!
054. Pentol : Siap!
055. Komandan: Kalian ini malah nrocos semau udel! Tahu ndak, situasi sedang gawat! Darurat!
056. Bersama : Siap!
057. Komandan : Siap lambemu!
(Perempuan tua berteriak memanggil-manggil, mencari. Anjing menyalak dan serigala melonglong semakin jelas).
058. Inang : Bardal,…….di mana kamu, cah bagus? Kau dengar suaraku menembus kabut, meraung-raung di sela angin dan udara? Mencari dirimu cah bagus,…. Jangan lagi hiraukan nuranimu,…tak usah kau turutkan kata hatimu, itu hanya akan menjelma suara-suara sumbang bagi yang mendengar,…hanya akan menyakitkan jiwamu,…Bardal….hanya akan menyiksamu,….lebih baik kau pulang, lihat simbok bawakan celana dan baju baru untukmu. Simbok bawakan selimut penutup dinginmu, jangan berontak cah bagus, tak usah berteriak,….percuma, tak ada yangbisa mendengar. Mereka tak akan mengerti kata-kata yang kau hamburkan. Hanya kau memahami bahasamu sendiri. Hanya kau yang memahami makna nuranimu. Kau lihat, suara nuranimu ruwet tak terbaca maknanya,tak tertangkap, melingkar-lingkar di telinga. Tak pernah sampai di jiwa-jiwa. Cah bagus…..sudah, pasrah, pasrah,…pasrah,…

Anjing menggonggong mendekat.
059. Simbok : O,…Asu (melempar)
060. Bardal : Gila! Edan! Mustahil! Pemberontakan gombal!
061. Komandan: Uthekmu itu yang gombal! Tak bisa memahami kemajuan jaman, perubahan jaman!
062. Bardal : tapi yang saya lihat bukan sekedar perombakan, apa lagi sekedar perubahan yang diperlukan, bukan! Aku menyaksikan semua ini. Kekuasaan untuk kepentingan kalian!
063. Komandan: O, Kathurrrrrrrr…ndligik! Benar-benar kadal ndligik kamu! Pikiranmu mbulet, buntet! Suaramu ruwet! Kamu bicara bagai orang gugu! Kamu ngomong persis orang bisu! Tanpa makna!! Nada bicaramu seperti kentut kerbau! Jelas berbau, tapi tak kenal arah, kau berontak tanpa dasar dan landasan!
064. Bardal : landasanku nurani!
065. Komandan: Nurani tai kebo! Nurani macam apa yang dipunyai oleh pengacau macam kamu, ha?
066. Pentil : Hajar saja!
067. Pentul : Jangan kasih kesempatan,…
068. Pentol : Tanpa komentar, sikat Pak,…
069. Komanadan: (kepada Bardal) pakai uthekmu!
(kepada pasukan) anak-anak!
070. Pentil : siap!
071. Pentul : siap!
072. Pentol : Siap!
073. Kelompok: Jeg,…jeg,…jeg….Juzzzz,….aik….!!
Jeg…jeg…, Juzzz….aik!!!
(mereka membentuk kesatuan kelompok dan menelan, menggasak serta melindas orang-orang yang ada. Hingga orang-orang habis tertelan oleh mahluk mengerikan itu, Bardal tetap mencoba menghalanginya. Akhirnya terjadilah pertarungan antara Bardal dengan mahluk itu. Sura dengus mahluk, raungan Bardal semakin memenuhi udara. Saat itu perempuan tua juga berteriak memanggil-manggil. Salak anjing, lolong serigala).
074. Bardal : Huaaaa!!!
075. Kelompok: Jeg..jeg…jeg…juzzzz, aik….!!
076. Simbok : Bardaaaaaaaaalll, cah bagus, di mana kau?
(Suara mereka saling beradu, saling menindih memenuhi angkasa, memekakan telinga. Setelah lama berjaga dengan mahluk gila itu, Bardal akhirnya kehabisan tenaga. Ia menggeliat-liat dengan dahsyatnya ketika mahluk itu mencabik-cabik tubuhnya dengan ganas. Hingga akhirnya…..)
077. Bardal : Huaaa…!!(teriak kesakitan amat keras, kemudian terkulai jatuh ke tanah)
078. Kelompok: (setelah mencabik-cabik, berhenti sejenak sambil tetap mendengus, kemudian berlalu pergi entah ke mana) jeg…jeg…juzzz,…aik!!
(Suasana sepi yang mencekam berlangsung agak lama. Bardal tergeletak. Perempuan tua mulau bergerak).
079. Inang : cah bagus,…mata jiwaku,…kemarilah jantung hatiku….akau sudah amat rindu mendekapmu. Jangan berontak…jangan berteriak,…tak guna..tak akan didengar,…Bardal….(melihat ada yang tergeletak, ia berjingkat mendekat. Matanya awas terpasang waspada. Setelah dekat, ia duduk dan mengamati dengan seksama. Betapa kagetnya ketika dilihatnya, tubuh itu adalah Bardal yang penuh luka).
Oalah, Cah bagus….(didekap dan diguncangnya) kenapa kau ngger, Bardal…bangun Nak,…bangun….sudah aku peringatkan berkali-kali, tak usah kau turuti kemamuanmu yang keluar dari nuranimu,….Bardal…bangun Nak….
(Perempuan tua itu memeluk, mendekap, dan menciumi Bardal dengan penuh kasih. Diusapnya rambutnya, dipandanginya dengan cinta dan rindu yang teramat dalam. Dalam kesedihan yang mendalam ia melantunkan tembang).



Tembang:
Mari tidurkan bulan
Dalam tikaman angin malam
Dan biarkan mentari mabuk
Di atas ranjang tidur siang
Sementara kau lupa
Mengusap wajahmu yang luka
Biarkanlah aku mengembara
Menyusuri kali, angkasa dan samudra
Mengeja rumputan, kerang serta karang
Yyang menarikan kesombongan
Kepadamu.

Suara perempuan tua itu syahdu memenuhi segala. Suasana menjadi sayup dan sayu oleh kesedihan dan kedukaannya. Ketika ia tengah larut dalam duka, Bardal perlahan membuaka mata dan bergerak dengan lemas.

080. Bardal : Inang…inang…
081. Simbok : Iya, cah bagus. Ada apa Bardal,….Inangmu di sini.
082. Bardal : sakit semua, inang….rasanya mau remuk seluruh badan…
083. Inang : khan simbok sudah bilang, tak usah kau pergi,….ini akibatnya Bardal…
084. Bardal : (memegangi dadanya) Aduh…aduh….Inang tak kuat aku mbok…rasanya seperti ditusuk-tusuk..aduh,…
085. Inang : Kuatkan cah bagus, mana yang sakit Inang pijit…
086. Bardal : Di sini, Inang…(memegang dada)
087. Inang : bukan dadamu ngger, tapi hatimu sakit, tempat nuranimu bergantung. Nuranimu sakit, karena kau lihat semua bertentangan dengan nuranimu, dengan hatimu.
088. Bardal : Sakit Inang, aduh…
089. Inang : karena kamu kurang pasrah, ngger….kurang terima, kurang bisa mengalah,….kamu sendirian cah bagus,…lebih baik diam dan mengalah.
090. Bardal : Sakit, Inang…
091. Inang : memang sakit kalau melihat semua yang tak sesuai dengan nurani, tapi kamu harus sadar bahwa kamu sendirian. Kamu tak punya teman. Semua orang telah mengalahkan nurani mereka. Semuanya telah pasra, telah terima dengan keadaan yang tercipta. Tabah, ngger…
092. Bardal : Sakit Inang…
093. Inang : Inag ngerti Bardal…sekarang tahanlah sakitmu, dan bangunlah. Inang akan ajri kamu supaya tidak kesakitan dengan nuranumi. Ayo bangun,…
(Bardal bangun) sekarang Inang bersihkan dulu badanmu (membersihkan badan Bardal). Kamu terlalu lusuh dan kotor. Lihat kamu juga terlalu banyak mempunyai koreng dan luka. Nanti Inang obati ya?
094. Bardal : He eh!(mengangguk dan berubah seperti anak kecil)
095. Inang : lain kali, kalau bermain hati-hati, ya? Jangan sampai terlalu kotor begini, ya?
096. Bardal : Iya, Inang.
097. Inang : Nah, sekarang lepas bajumu yang lusuh itu. (Bardal melepas baju dibantu oleh perempuan tua itu) ini, pakai bajumu yang baru biar tambah ganteng.
098. Bardal : Inang beli dari mana?
099. Inang : Sudah, tidak usah banyak tanya. Pakai biar bagus.
100. Bardal : Kalau pakai baju baru tambah genteng, Ya inang, Bardal? (sambil memakai baju dibantu perempuan tua).
101. Inang : Iya, tentu saja. Siapa, Bardal, kok.
102. Bardal : Itu apa Inang> (menunjuk celana baru yang dibawa perempuan tua)
103. Inang : Oh, Iya, Inang hampir lupa celana.
104. Bardal : Baru juga?
105. Inang : Tentu!
106. Bardal : Buat Bardal juga?
107. Inang : Pasti.
108. Bardal : kalau begitu celana Bardal yang lusuh ini buang saja ya, Inang? (sambil hendak melepas celana yang dikenakannya).
109. Inang : (cepat mencegah)Eit Bardal, mau apa?
110. Bardal : Lepas celana, ganti yang baru, Inang. Bias ganteng!
111. Inang : Jangan sekarang.
112. Bardal : Bardal ingin sekarang, Inang..(merengek).
113. Inang : tapi jangan sekarang.
114. Bardal : kenapa Inang?
115. Inang : malu khan kalau ketahuan orang?
116. Bardal : Oh, Iya ya,…he..he….yang itu apa Inang? (menunjuk kain yang dibawa perempuan tau).
117. Inang : Selimut, cah bagus..
118. Bardal : Baru juga?
119. Inang : Tentu!
120. Bardal : Buat Bardal?
121. Inang : Pasti.
122. Bardal : Kalu Bardal pakai bisa tambah ganteng, ya Inang?
123. Inang : Tidak, Le, selimut itu dipakai supaya tidak dingin.
124. Bardal : Tapi, Bardal tidak kedinginan Mbok!
125. Inang : Saat ini. Tapi nanti kamu akan membutuhkannya, Cah Bagus.
126. Bardal : Saya tidak mengerti, Inang?
127. Inang : Sudahlah, sekarang ayo kita berangkat!
128. Bardal : Ke mana Inang?
129. Inang : Mencari obat buat dadamu, nuranimu yang sering sakit itu.
130. Bardal : Siapa yang sakit, Inang?
131. Inang : Kamu memang tidak sakit sekarang. Tapi, sewaktu-waktu orang-orang akan menganggapmu sakit ketika kamu berteriak-teriakk dengan suaramu. Orang-orang akan menangkap suaramu sebagai suara sumbang yang tak enak didengar.
132. Bardal : Saya tidak mengerti Inang?
133. Inang : Sudahlah tak usah banyak tanya, ayo!
134. Bardal : Ke mana?
135. Inang : Apa itu perlu?
136. Bardal : Kalau kita tersesat?
137. Inang : Kamu akan mulai lagi dengan nuranimu.
138. Bardal : Aku cuma ingin tahu ke mana Inang akan membawaku?
139. Inang : Mencari pelabuhan buatmu!
140. Bardal : Ke mana?
141. Inang : Ayo, berangkat!
(Musik mengalun, lampu meremang. Semuanya mengikuti perjalanan perempuan tua yang menggandeng Bardal dengan kasih sayang. Mereka menghilang entah ke mana. Anjing menggonggong, perempuan tua menoleh)
142. Inang : O,…Asu..!
143. Bardal : Ada apa, Inang?
144. Inang : Oh, tidak aada apa-apa cah bagus.
145. Bardal : Inang kok ngomong lucu.
146. Inang : Sudahlah, ayo,…
Mereka berjalan dan menghilang. Anjing menggonggong, srigala meraung panjang.

Adegan 3
Bardal masih kelihatan kaku dalam posisi pemberontakannya yang terakhir. Bau obat-obatan menyengat semua hidung, bau itu menggiring suasana kepada keberadaan sebuah rumah sakit. Bunyi-bunyi tuts komputer, irama-irama peralatan rumah sakit yang modern memenuhi ruangan.
Lampu menyala di sebuah ruangan rumah sakit, lampu di tempat Bardalmeremang. Nampaklah peralatan yang serba sanggih dan ultra modern berjalan secara otomatis. Dengan tergesa-gesa masuk Prof. Gymbal mengepit map, dan beberapa kertas-kertas yang membuat ia menjadi sibuk. Di belakangnya menyususl dengan kecemasan, Sri Paduka Durgati. Segera Prof negeri sebrang itu mengambil tempat duduk di depan peralatannya, dan memulai memencet-mencet tuts-tuts peralatannya.
147. Prof. Gymbal : secara medis, ia tidak memiliki kelainan. Saya telah melakukan pemeriksaan yang intensif terhadap semua perangkat tubuhnya dengan menggunakan peralatan yang ekstracanggih dari metode yang memakai teknologi termodern.
148. Sri Paduka Durgati: Hasilnya Prof?
149. Prof. Gymbal: Seperti yang Anda lihat dalam rekaman komputer ini. (muncul komputer). Sama sekali sehat! Bahkan boleh dibilang fantastis keadaan tubuhnya. Ia seorang yang jenius, otaknya mempunyai volume yang relatif besar, sehingga memungkinkan ia menganalisa permasalahan dengan sintakmatis dan lancer. Jantungnya mempunyai degupan yang senatiasa terjaga sesuai dengan standart kesehatan yang ada. Bahkan, nyaris mempunyai frekwensi sempurna yang jarang dimiliki manusia biasa.
150. Sri Paduka Durgati: Jadi, menurut Prof Gymbal, ia bukan manusia biasa?
151. Prof. Gymbal : Maksud Anda, Ia termasuk manusia luar biasa?
152. Sri Paduka Durgati: Bisa dikatan begitu, Prof?
153. Prof. Gymbal : Ha,…ha…ha…(ketawa ngeper, khas). Anda terlalu perasa, terlalu berhati-hati.
154. Sri Paduka Durgati: Maksud Prof.?
155. Prof. Gymbal: Ia tetaplah manusia biasa. Sejauh mana yang kita ketahui sebagainama manusia lainnya. Anda tak perlu khawatir, tak perlu was-was.
156. Sri Paduka Durgati: Bagaimana tidak khawatir, Prof?
157. Prof. Gymbal: O,…O…maaf, pembicaraan kita agak melenceng jauh. Saya belum mengemukakan hasil pemeriksaan saya dengan rinci kepada Anda. Boleh saya lanjutkan agar kerja saya tidak sia-sia? Bagi saya dan Anda, tentu.
158. Sri Paduka Durgati: Oh, maaf Prof, Silahkan.
159. Prof. Gymbal: Ketika pertama kali melihatnya, saya telah terpikat oleh sorot matanya yang tajam serta menggairahkan. Pertanda ia memiliki daya hidup yang besar di balik sinar matanya, dan aha! Paduka, ternyata banar! Tidak sedikitpun zarah menempeli retinanya yang bening, sehingga memungkinkan ia memiliki pandangan yang objektif, selektif! Ini merupakan kekuatan tersendiri baginya untuk bisa memandang jauh ke depan, menerawang ke masa yang akan datang.
160. Sri Paduka Durgati: Jadi, benar? Ia memiliki kekuatan tersendiri yang potensial, Prof?
161. Prof. Gymbal: Maksud Anda?
162. Sri Paduka Durgati: Seperti yang Prof. ucapkan: Ini merupakan kekuatan tersendiri baginya untuk bisa memandang jauh ke depan, menerawang ke masa yang akan datang.
(menirukan persis) Apa maksud Prof. Gymbal???
163. Prof. Gymbal: Ha..ha…ha…(ketawa ngeper, khas) Maaf, saya lupa, bahwa Anda terlalu perasa, terlalu hati-hati,…
Maaf,…bukan itu maksud saya.
164. Sri Paduka Durgati: Dengan kata lain?
165. Prof. Gymbal: istilah lain sering menyebutnya dengan chykalimerisat, artinya keadaan mata yang sempurna yang didukung oleh kebersihan retina, sehingga daya tangkapnya terhadap keberadaan sinar ataupun benda menjadi lebih akurat.
166. Sri Paduka Durgati: Tidak ada kekuatan lain yang muncul dari keadaan matanya, Prof.?
167. Prof. Gymbal: Maksud Anda?
168. Sri Paduka Durgati: Ia memiliki atau menyimpan tenaga super dalam sorot matanya, misalnya?
169. Prof. Gymbal: Ha…ha…ha…(ketawa ngeper) Nonsens! Sama sekali tidak masuk akal!Anda terlalu dipengaruhi oleh cerita-cerita dongeng yang berkhayal dan berbau fiksi! Maaf, berapa buah buku cerita khayal yang Anda habiskan dalam satu hari ketika Anda mengenakan celana kodok?? Ha…ha…ha…
170. Sri Paduka Durgati: Saya kurang enak badan untuk bergurau, Prof.
171. Prof. Gymbal: Ha..ha…ha…(panjang terpingkal) hingga ia tersadar bahwa ia tertawa terlalu lama dan semakin sumbang).
172. Prof Gymbal : (gugup) Oh…eh…eh… maafkan saya, Sri Paduka. Saya akan lanjutkan, paduka Durgati?
173. Sri Paduka : Saya akan lebih suka demikian Prof. Gymbal.
174. Prof Gymbal : Baik. Kita akan melihat hasil tes lubang telinga, hingga gendang telingannya berdasarkan pada penyinaran laser dan data-data komputer. (memainkan computer dan melihat hasilnya dengan teliti dan mangamati sungguh). Hem…eh…em,,,(berpikir lama, mengerut jidatnya).
175. Sri Paduka: Ada masalah Prof?
176. Prof Gymbal : Em,….(semakin serius mengamati)
177. Sri Paduka: (penasaran) Ada kelainan yang Anda temukan??
178. Prof Gymbal : Persis seperti dugaan saya semula. Hypothesa yang tepat! Amat tepat!
179. Sri Paduka: Maksud Anada?
180. Prof Gymbal : Sama sekali tidak terdapat indikasi penyakit di dalammya. Semuanya ok! Tak ada kelainan senotahpun! Normall!!
181. Sri Paduka : (menarik napas lega) Anda yakin Prof?
182. Prof Gymbal : Sure! Tentu! Anda meragukan kemampuan medis saya, Sri Paduka?
183. Sri Paduka: Oh, tidak! Maaf, mungkin saya terlalu banyak praduga terhadap oknum yang satu ini. Sama sekali saya tidak meragukan analisa Anda. Saya harap Anda paham dengan posisi saya saat ini, Prof.
184. Prof Gymbal : oh Yech! Terima kasih atas kepercayaan Anda, Sri Paduka Durgati. Tapi, saya harap Anda tidak terlalu nervouse mendengarkan laporan-laporan klinis saya. Saya paham betul kedudukan Anda berikut kekuasaan Anda. Hingga oknum ini sangat menghawatirkan Anda, namun perlu saya sarankan kepada Anda untuk senantiasa menjaga stabilitas Anda, baik fisik maupun psikis! Saya kira Anda paham dan menerima usulan saya, Sri Paduka?
185. Sri Paduka: Terima kasih, Prof. Anda boleh meneruskan laporan Anda.
186. Prof Gymbal :Kita akan menginjak pada taraf analisa terakhir dari oknum yang mengoncangkan jiwa Anda ini, Sri Paduka.
187. Sri Paduka: Saya akan siaga mendengarkannya.
188. Prof Gymbal : Akan lebih baik kalau kita langsung memerikan pasien ini.
189. Sri Paduka: Alasan Prof?
190. Prof Gymbal : Di samping hal yang akan saya sampaikan ini bersifat pokok, juga karena saya inginkan agar Sri Paduka lebih yakin dengan menyaksikan sendiri cara kerja saya memeriksa menghypotesa, serta menganalisa dan mengambil konklusinya.
191. Sri Paduka: Maaf, kalau boleh tahu, kita akan melihat perangkat tubuh yangmana itu, Prof?
192. Prof Gymbal : Yang menurut Sri Paduka paling berbahaya.
193. Sri Paduka: Mulut??
194. Prof Gymbal : Tepat! Saya akan mencoba memriksa ulang kembali, untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, Sri Paduka. Silahkan! (mempersilahkan Sri Paduka Durgati keluar ruangan. Kemudian ia mengikutinya dengan segera, menuju ke tempat Bardal).



Adegan 4
Panggung masih gelap ketika musik dan nyanian bersal dari sejuta kanak-kanak menciptakan suasana riang gembira. Katika lampu menyala sejutakanak-kanak berlarian berhamburan dengan pakaian gemerlapan penuh warna. Sambil bernyanyi dan menari mereka menghiasi ruangan dengan hisan warna-warni. Mereka juga membawa kursi-kursi kecil dan menatanya dengan rapi. Masing-masing anak membawa perlengkapan sekolah.

Tembang
Ae…ae…ae….
Guna mulut untuk bicara
Kalau mendengar dengan telinga
Tapi awas kalau bicara
Jangan sampai sumbang terdengar
Hati-hati kalau mendengar
Cegah jangan sampai tangkap suara-suara liar
Ae…ae…ae…,…
Sobat kau harus lihat
Kawan kau harus pandang
Keseragaman diperlukan
Keteraturan diwajibkan
Kepatuhan jangan dilupakan
Ae…ae…ae…
Matikan nurani
Buanglah hati

Setelah semuanya siap, mereka mengambil tempat duduk dan duduk dengam teratur dan rapi. Semua gerakan mereka seragam dan bersamaan. Dating Simbok dan Bardal. Bardal memakai pakaian yang seragam dengan anak-anak itu.
195. Bardal : Sedang apa mereka Inang?
196. Inang : mereka sedang menjalani imunisasi dini.
197. Bardal : Semuanya rapi, Inang?
198. Inang : O, itu harus, Ngger. Di sini semuanya diatur, semuanya dibatasi. Tidak boleh sesuka hati. Sudah ada aturannya sendiri-sendiri, Ngger.
199. Bu Hiegine: (muncul dengan genit dan lincah). Aih..aih…aih…bebar sekali! Tepat sekali! Inilah diimunisai dari budi pekerti yang wajib dijalani kalau ingin bahagia di bumi.
200. Pasien2x : selamat datang Bu Hiegine….!!!
201. Bu Hiegine: Aih…aih…aih…!!! Selamat datang pasien-pasien. Kalian sudah siap?
202. Pasien2x : Siap Bu Hiegine!
203. Bu Hiegine: Bagus! Aih..aih…aih…!!! mulai! (aba-aba)

Perempuan tua dan Bardal hanya terdiam menyaksikan semuanya.
204. Pasien I : (berdiri di tempat) Berdiri grak!
Semua murid berdiri
205. Pasien I : Berdoa grak!
206. Pasien 2 : Tuhanku, lindungilah aku
Ibuku, ayahku dan ibu guru. Tuhanku, aku cinta kepadamu. Amin!.
207. Pasien I: Duduk grak!
(Semua pasien duduk, dan diam seperti robot. Semuanya bermimik seragam.
208. Bu Hiegene: Pasien-pasien rupanya ibu guru ada tamu. Kalian belajar sebentar. Keluarkan buku dan baca!
(pasien-pasien bersama-sama mengeluarkan buku. Membaca bersama dan bersamaan
gelengan kepala mereka nampak seragam seperti tarian robot. Ibu hiegene mendekati
perempuan tua dan Bardal yang termangu-mangu menyaksikan).
209. Ibu Hiegene: Aih…aih…aih…!!! Ada tamu rupanya. Ada yang bisa saya Bantu, ehm, nyonya,….
210. Bardal : Inang! Saya biasa memanggilnya Inang!
211. Inang : Sssss.., Bardal, tidak boleh bicara sembarangan. Nanti kita tak boleh memasuki ruangan ini lagi!
212. Bu Hiegene: Aih,….tepat sekali! Sekali lagi tepat kata-kata anda nyonya. Tidak boleh bicara sembarangan di ruangan. Semuanya sudah ada aturan dan batasan, tidak boleh liar!
213. Inang : Maafkan anak saya, ibu,..
214. Bu guru : Hiegene. Sebut saja ibu Hiegene, Nyonya,…
215. Simbok : inang1 sebut saja Nyonya Inang, Ibu Hiegene.
216. Ibu Hiegene: Ada yang bisa saya Bantu, Nyonya?
(Bardal pergi mendekati pasien-pasien yang bergerak seragam seperti rombongan robot satu kendali. Ia mengamati mereka satu persatu dengan perasaan heran yang sangat. Tingkah laku Bardal ini tak diketahui oleh ibu guru maupun perempuan tua, yang asyik bicara).
217. Inang : Saya ingin anak saya dapat imunisasi di jawatan ini, Ibu.
218. Bu Hiegene: Aih,…tentu saja, tentu saja!
219. Inang : Ada persyaratan yang harus saya penuhi, Ibu? Misalnya administrasi, atau materi lainnya?
220. Bu Hiegene: Aih…aih…aih…tak perlu repot-repot Nyonya. Kalau ada saja Nyonya boleh memberikannya kepada saya, Ingat! Kalau ada saja!
221. Inang :Terima kasih atas kebaikannya, ibu.
222. Bu Hiegene: Aih..kembali,…kembali…
223. Inang : Terus apa ada persyaratan yang harus dipenuhi anak saya, Bu guru? Maksud saya, misalnya umur, jenis kelamin, latar belakang budaya, agama, latar belakang strata sosial? Ehm,…maksud saya, apakah ada pengkhususan dan pembatasan dari hal-hal yang saya sebutkan tersebut?
224. Bu Hiegene: Aih,..aih,…aih,…sama sekali keliru! Sama sekali tidak perlu yang Nyonya sebutkan tadi. Aih, maaf Cuma ada satu persyaratan di sekolahan ini.
225. Inang : Boleh tahu, Ibu Hiegene?
226. Bu Hiegene: Aih,..Of Course! Tentu! Begini nyonya, karena sekolah ini untuk mendidik keseragaman dan kesatuan, maka sangat dihindarkan sekali nirani yang liar. Yang tidak sesuai dengan aturan dan kebenaran bersama. Ingat Nyonya! Kebenaran bersama!
227. Inang : Saya kasihan dengan anak saya, ibu. Ia selalu kesakitan dengan dadanya, dengan hati dan nuraninya.
228. Bu Hiegene: tepat sekali Nyonya membawanya ke sini! Aih,…tepat sekali! Saya harap Nyonya bisa mengerti dengan persyaratan yang ada di sini.
229. Inang : Saya mengerti, Ibu Hiegene.
230. Bardal : (di empat dengan tiba-tiba) saya tidak mengerti, mbok!
231. Inang : (kaget) ssttt,…Bardal!
232. Bardal : mereka (pasien-pasien) seperti robot yang bergerak bersama dalam satu kendali, Nang!
233. Bu Hiegene: Aih,..aih..aih…anak manis,..mereka bukan robot!
234. Bardal : tapi Bu, mereka tidak bisa bicara ketika saya ajak bicara!
235. Bu Hiegene: tentu saja! Mereka tengah belajar bersama. Lihat gerakan mereka bersama, mimik mereka bersama, pikiran mereka bersama, semua yang ada pada mereka selalu bersama! Bukankah kamu ingin seperti mereka, anak manis? Kau lihat indah bukan?
236. Bardal : tapi, mereka tidak bisa bicara, Bu Hiegene!
237. Bu Higene: Aih,…! Keliru besar! Besar sekali kelirumu, anak manis,…kau ingin mendengarkans suara mereka yang merdu?
238. Pasien-pasien: ibu Hiegene (bersama)
239. Bu Hiegene: Aih,…denganr, suatu simphoni yang tertata rapi. Tak ada suara sumbang. Semua seragam, nikmat didengar!
240. Bardal : Mbo, Bardal nggak mau imunisasi.
241. Inang : Jangan ngger, kamu harus imunisasi di sini.
242. Bardal : Tapi, Bardal tidak suka!
243. Bu Hiegene: Aih,..aih,…kenapa tidak suka, sayang? Semuanya rapi, allright! Anything is oke! You know, you know??
244. Inang : coba dulu, Bardal. Lama-lama kau akan biasa. Lama-lama kau akan bisa. Kamu ingin dadamu sembuh, khan? Kamu ingin sakitmu hilang khan?
245. Bardal : He-em. (mengangguk manja)
246. Inang : Makanya kamu harus mencobanya. Mengerti cah bagus?
247. Bardal : Iya, mbok.
248. Bu Hiegene: aih,..aih,…aih,,!1 Anak manis! Siapa namamu?
249. Bardal : Bardal, Bu Hiegene!
250. Bu Hiegene: Bagus, Bardal! Oke? No problem1 semuanya baik-baik end allright! Yes?
251. Bardal: Yes, Bu Hiegene.
252. Bu Hiegene: Nah, sekarang, kamu boleh ambil kursi dan duduk bersama temanmu yang lain! Oke?
253. Bardal: Oke, Bu Hiegene.
(Bardal ke luar sebentar, dan masuk membawa kursi. Ia duduk bersama murid-murid semua. Tetapi ia kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan. Semua murid membaca dengan gerakan leher dan mata yang seragam. Bardal tidak dapat melakukannya. Ia berkali-kali mencoba tetapi selalu gagal.
254. Bu Hiegene: Sungguh anak-anak yang manis! Aih!
255. Inang : Apakah semuanya akan berjalan dengan baik, Bu Hiegene?
256. Bu Hiegene: Percayalah, Nyonya, Don’t worry be happy! Nyonya tak perlu khawatir, kwalitas sekolah ini oke!
257. Inang : Oke, Bu higene.
258. Bu Higene: Nah, baiklah, saya hendak memulai pelajaran. Nyonya bisa menunggu di luar! Untuk menjaga ketertiban, yang ada di ruanagan kelas hanya murid dan guru, plus tukang kebun bila perlu. Maaf Nyonya!
259. Inang : Oh, maafkan saya, Ibu Hiegene. Saya mohon pamit. Saya titip Bardal. Permisi Ibu Hiegene.
260. Bu Hiegene: ya, silahkan, silahkan. Jangan khawatirkan anak manis itu, Nyonya. Ia akan segera baik!
261. Inang : Mudah-mudahan Ibu Hiegene
262. Bu Hiegene: Tentu! Of course! Kalau tak ada kelainan yang something wrong!
263. Inang : Mohon pamit, Bu Hiegene!
264. Bu Hiegene: Silahkan, silahkan!
(Simbok berjalan meninggalkan ruangan. Anjing menyalak mengikutinya. Ia berhenti sejenak).
265. Inang : O,…asu! (menghilang di kegelapan)

(Ibu Hiegene memulai pelajaran)
266.. Bu Hiegene: Nah, anak-anak semua. Kita akan memulai program imunisasi. Tapi sebelum program kita mulai, ada baiknya kalian berkenalan dengan kawan kalian yang baru. Ayo, kalian masing-masing memperkenalkan diri.
(Mereka memperkenalkan diri mereka dengan cara yang sama. Gerakan yang sama, serta kata-kata yang sama. Setelah semuanya memperkenalkan satu per satu dengan urut, pada akhirnya mereka melakukannya serempak).
267. Pasien I : Nama saya Pasien imunisasi diri budi pekerti
268. Pasien II : Nama saya Pasien imunisasi diri budi pekerti
269. Bu Hiegene: (memperlihatkan kertas berwarbna merah) Ini?
270. Pasien II : Biru!
271. Bardal : Merah!
(Murid-murid menoleh kepada Bardal bersamaan)
272. Bu Hiegene: AIh…aih…!!! Bardal manis, tidak ada keterangan jalan data kesehatanmu bahwa kamu buta warna sayang.
273. Bardal : Saya dapat melihat dengan jelas Bu Hiegene.
274. Bu Hiegene: Ada masalah something wrong dengan warna?
275. Bardal : Tidak, Bu Guru.
276. Bu Hiegene: Oke! Ini? (kertas hitam)
277. Bardal : Hitam, Bu Hiegene!
278. Pasien II : (marah, mengaum menakutkan) Haummmm,…!!!
279. Bu Hiegene: (bersuara besar menakutkan, memandang tajam).Patih!!
280. Bardal : Ak,,,,ghe…agh….ghaf…(gagu, bersuara tak jelas)
281. Bu Hiegene: Oke! Ini? (kertas merah)
282. Bardal : merah, Bu Hiegene
283. Pasien-pasien: (marah, mengaum menakutkan) Haummmmmm….1!!
284. Bu Hiegene: Biru!! (bersuara besar, memandang menakutkan)
285. Bardal : Ghra,…dga…hagra,…(gagu tak jelas)
286. Bu Hiegene: Oke! Ternyata matamu kurang baik, Bardal. Di samping buta warna, kamu ternyata juga mempunyai penyakit gagu kambuhan. Suaramu tak bermakna, tak bisa dimengerti dengan sempurna. Padahal baru saja kamu bicara dengan suara yang tidak kalah merdu dengan teman-temanmu. Sejak kapan kamu buta warna, Bardal? Aih…aih…!! Sory,…I am sory,…tentu saja sejak bayi. Maaf!! Maksud saya, sejak kapan kamu menderita gagu kambuhan?
287. Bardal : saya tidak gagu, Bu Hiegene
288. Bu HIegene: Of Course! Tentu saja! (kaget dan tersadar) What? Kamu ternyata tidak gagu Bardal?
289. Bardal : Tidak, Bu guru.
290. Bu Hiegene: Bagus! Berarti O,…o,…O,…maafkan anak manis. Kamu masih gugup. Barangkali. Sehingga terkadang tak bisa bicara di depan teman-teman barumu?
291. Bardal : Tidak, Bu Guru.
292. Bu Hiegene: Aih…aih…aih…Bardal, lalu kenapa kamu tidak bisa bicara, tadi? Hem? Oke! Bagaimana kalau kita selesaikan saja pembicaraan kita? Karena masih akan panjang. You Know?

(Bardal mengangguk)
293. Bu Hiegene: End,…dengan catatan, bahwa kau terbukti mempunyai mata yang tidak normal!
(Murid-murid menoleh kepada Bardal yang gagu hendak memprotes kalimat Bu guru)
294. Bu Hiegene: Oke, anak-anak. Bisa kita lanjutkan? Sekarang imunisasi untuk fase berikutnya!
(Pasien-pasien berlari bersama dan menempatkan diridengan rapi. Bardal ketinggalan. Semua pasien melakukan gerakan dan tarian yang seragam, Bardal canggung dan kebingungan. Mereka menari dan menyanyi).
Tembang:
ae..ae….ae…
guna untuk bicara
kalau mendengar dengan telinga
tapi awas kalau bicara
jangan sampai sumbang terdengar
hati-hati kalau mendengar
cegah jangan tangkap suara liar
ae..ae…ae…
sobat kau harus lihat
kawan kau harus pandang
keseragaman diperlukan keteraturan diwajibkan
kepatuhan jangan dilupakan
ae…ae…ae…
matikan nurani
buanglah hati…………

(Melihat Bardal yang tidak bisa mengatur keseragaman, semuanya menjadi terganggu. Mereka akhirnya terhenti dan marah. Bu Hiegene dan seluruh murid mengaum marah dengan serentak. Mereka mengelilingi dan menggiring Bardal ke suatu tempat yang membuat ia terpojok dengan sangat. Musik suasana mencekam. Tiang gantungan yang besar turun dari langit. Bardal hendak menjerit, tapi tak berdaya. Ia hendak berontak tapi tak kuasa. Pada saat itulah semua orang sudah memegang tambang dan mengalungkannya satu per satu ke leher Bardal/ hingga leher itu penuh dengan tambang. Semuanya menarik tambang itu dengan kuat, Bardal semakin sekarat dalam ketakberdayaannya. Ia berontak tanpa suara. Ketika akhirnya ia mendapatkan tenaganya dan berhasil bergerak dengan kuat serta berteriak keras, orang-orang melepas tambangnya dengan sengaja. Lampu meremang. Orang-orang tertawa panjang dan terpingkal-pingkal. Pasien-pasien serta ibu Hiegene hilang entah ke mana. Tinggal Bardal terpaku berkalung seribu tambang.
Perempuan tua melintas, mencari-cari, memanggil-manggil dengan suara bisu).

Adegan 5
(Prof Gymbal berjalan bersama beririnagan sambil terus berbicara menuju ke tempat bardal yang kaku dengan kalungan sejuta tali gantungan di lehernya. Muncul mendekati Bardal).
295. Sri Paduka: Suaranya terlalu kuat dan menggetarkan. Ini selalu terjadi ketika program-program perombakan yang saya laksanakan sedang berjalan. Beberapa laporan mengatakan, ia semakin berani berteriak. Meskipun sampai saat ini belum banyak yang bisa menangkap makna-makna suaranya, namun saya secara pribadi merasa khawatir dengan lontaran kata-katanya yang selalu menggema setiap kali ia marah.
296. Prof. Gymbal: Ada fakta lain yang Anda dapatkan Sri Paduka? Eng,..maksud saya sehubungan dengan perkemebangan kejiwaannya.
(Prof Gymbal mengambil kaca pembesarnya dan mendekati bibir Bardal dengan seksama. Sementara nampak mimic Bardal kebingungan, namun ia tak dapat sama sekali bergerak. Hanya matanya yang berbicara dengan liar).
297. Prof. Gymbal: sepasang bibir yang sempurna. Pemiliknya telah mendapatkan anugerah yang tak kan mengecewakan selam hidupnya. Benar-benar lentur dan plastis, sehingga memungkinkan segala ucapan, segala kata keluar dengan artikulasi dan tekanan sempurna.
298. Sri Paduka: Ada Anda temukan sesuatu kelainan yang dapat menguatkan laporan yang saya terima darin oknum ini, Prof.
299. Prof Gymbal: sementara belum, Paduka. Tapi, untuk lebih mengarahkan pemerikasaan ini pada standar medis, saya akan beranjak ke hal yang lebih urgan lagi, Sri paduka.
300. Sri Paduka: silahkan Prof.
301. Prof. Gymbal: Buka mulutmu anak manis. (memerintah Bardal, yang menurut). Uhhh…uhhh…bau busuk mulutmu! Tak pernah sikat gigi ya? Ah,…lebih baik segera tutp mulutmu kembali! Bardal menutup mulut)
302. Sri Paduka: mengapa urung, Prof?
303. Prof. Gymabal: Maaf, Paduka Durgati. Saya tidak tahan dengan bau mulut anak ini.
304. Sri Paduka: Busuk?
305. Prof Gymbal: Belum pernah saya menghirup bau semacam itu. Spesifik!
306. Sri Paduka: Minuman keras barangkali?
307. Prof Gymbal: Saya tidak yakin, Paduka. Ini bukan aroma yang biasa.
308. Sri Paduka: lagi-lagi keadaan di luar yang biasa, tapi kalau saya katakana luar biasa, Prof. tidak menyetujuinya. Sebenarnya apa maksud Anda Prof?
309. Prof. Gymbal: Maaf Paduka, sesuai dengan kode etik medis, setiap analisa terhadap hypotesa harus dijalani dengan hati-hati dan teliti, sehingga kita akan mendapatkan konklusi yang benar-benar bearrti.
310. Sri Paduka: Tapi, Prof. nampaknya kurang yakin dalam menentukan kesimpulan dari yang kita hadapi.
311. Prof Gymbal: ketelitian, Sri Paduka! Sekali lagi ketelitian! Saya tidak ingin mempermalukan almamater saya karena kerja saya yang tidak professional. Apalagi saya memahami bahwa penelitian terhadap kasus ini sangat penting bagi Anda sehubungan dengan kekuasaan Anda, sehingga tidak mengherankan, Anda mendatangkan saya jauh dari sebrang untuk suatu kepercayaan ini!
312. Sri Paduka: Anda terlalu berbelit, Prof. Gymbal.
313. Prof. Gymbal: Saya cuma tidak ingin anda kecewa, Sri Paduka Durgati.
(Suasana canggung. Keduanya merasa tersinggung. Sepi sejenak, hanya suara mesin-mesin kedokteran. Hingga akhirnya secara bersamaan mereka berkata).
314. Prof & Sri: Maafkan saya. (tertawa ramah bersama) Ha…ha…ha…
315. Prof. Gymbal: Maafkan, sya Sri Paduka Durgati. Saya tidak sadar bahwa saya berhadapan dengan orang nomor satu di negeri ini. Maafkan saya, Sri Paduka.
316. Sri Paduka: Saya juga, Prof. Gymbal. Saya agak terganggu dengan oknum yang satu ini, sehingga berlaku kurang hormat terhadap seorang ahli medis negeri seberang. Maafkan saya, Prof. Gymbal.
317. Prof. Gymbal: Ternyata manusia yang satu ini telah membuat persahabatan kita agak terganggu sejenak tadi, Paduka.
318. Sri Paduka: Benar, bagaimanapun juga ia telah menimbulkan permasalahan yang besar dan mendasar dalam hidup saya.
319. Prof Gymbal: untuk itu, Paduka, ijinkan saya melanjutkan pemeriksaan saya.
320. Sri Paduka: oh, silahkan, Prof,…silahkan!
(Kembali Prof, melanjutkan pengamatannya. Sri Paduka mengikutinya dengan perhatian yang lebih).
321. Prof Gymbal: Perlihatkan gigimu, anak manis! (memerintah Bardal yang segera petuh menjalankannya). Uh…uh…uh….sederetan gigi yang rapi! Teramat rapi! Seperti deretan seribu bukit tertutup salju di musim dingin. Tak sedikitpun ternoda oleh kotoran. Sri Paduka? Lihatlah, kembali ia menunjukkan kesempurnaan perangkat tubuhnya. Barisan gigi yang manis!
(ia memegang-megang gigi Bardal, menguji kekuatannya). Kokoh! Buka mulut! (memerintah Bardal yang segera membuka mulutnya. Prof Itu kemudian memasukkan tangan di antara celah mulut. Dan dengan tiba-tiba Bardal mengatupkan mulutnnya, sehingga tangan Prof itu terjepit dengan kuat, hingga jeritan sang Prof. keluar melengking). Auuuw,…!!lepaskan, anak setan! Lepas! Godyer Domzekh!! Huaww…!! Auuuw…!!! Lepas! Setan Edan!!
322. Sri Paduka: Benar-benar cari penyakit, anak jadah ini! Boleh saya tolong Prof?
323. Prof. Gymbal: Tentu saja. Itu yang saya harapkand ari Paduka!
(Sri Paduka mencoba menolong Prof. keduanya berusaha sekuat tenaga membuka mulut Bardal yang menggigit ketat. Lama mereka berkutat! Hingga akhirnya Sri Paduka menemukan akal, manarik salah satu tambang yang melilit di leher Bardal. Maka terbukalah mulut Bardal dengan paksa).
324. Prof Gymbal: Hua…hua…ah..!! (menarik tangannya dengan segera). Benar-benar kekuatan yang ekstra kuat dalam giginya (memijit-mijit tangannya yang kesakitan sambil cengar-cengir).
325. Sri Paduka: Prof. baik-baik saja?
326. Prof Gymbal: Seperti yang Anda lihat! Saya hampir saja kehilangan jari-jari saya!
327. Sri Paduka: Kenapa Anda malah tersenyum? Tidak marah?
328. Prof Gymbal: Ouw! Pandanngan bagi saya, Paduka! Ini adalah salah satu konsep saya dalam menjalankan tugas. Pantang emosi dalam menjalankan misi. Sri Paduka, justru dengan demikian saya benar-benar tahu keadaan medis gigi-giginya.
329. Sri Paduka: Tentu, anda telah merasakannya.
330. Prof Gymbal: Lagi-lagi fantastis! Bocah ini benar-benar sehat, tanpa cela sedikitpun, Paduka.
331. Sri Paduka: Saya ingin, Anda segera menyelidiki lebih jauh lagi, Prof! sehubungan dengan suara-suara yang dia keluarkan dengan liar!
332. Prof. Gymbal: baik, Sri Paduka Durganti!
Buka mulutmu anak amanis. ( memerintah dnegan lembut dan lebih berhati-hati. Ketika Bardal membuka mulutnya Prof. mengganjal mulutnya dengan alatnya secara hati-hati). (kemudian mulai memeriksa dengan seksama). (dengan memakai senter kecil ia mengamati ke dalam mulut Bardal). (Ia banyak berganti-ganti alat dan memasukkannya ke mulut Bardal secara bergantian). ( kemudian setelah selesai, ia mencatat semua hasil pangamatannya).
333. Sri Paduka: bagaimana, Prof?
334. Prof. Gymbal: Nihil! Kalau Sri Paduka Durgati ingin mengenal kelemahan kondisi kesehatan bocah ini secara fisik.
335. Sri Paduka: Jadi?
336. Prof. Gymbal: Secara medis, sampai dengan pemeriksaan saya yang terakhir, ia adalah seorang dengan standart manusia normal 100%! Bahkan saya, kalau boleh, kalau paduka mengijinkan, saya mempunyai penilaian bahwa ia seorang yang sempurna sebagai manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan, fantastis selaku pribadi!
337. Sri Paduka: Anda belum menerangkan kepada saya hasil pemeriksaan Anda yang terakhir Prof.
338. Prof. Gymbal: oh, maaf….hampir lupa, saya. Keadaan langit-langit dalam mulutnya memberi kesempatan kepada setiap napas angin, serta suara berjalan lancar. Saluran trakheanya mulus, sehingga tidak akan mengalami permasalahan yang berarti dalam kesehariannya. Ia juga memiliki pita suara yang, maaf, luar biasa kuat. Sehingga batas ambang kekendorannya dapat paduka bayangkan sendiri. Dengan keadaan mulut serta perangkat-perangkat tenggorok yang sedemikian baik ini, maka akan dimungkinkan muncuknya suara yang bening, merdu, panjang, serta berkekuatan (sesuai dengan dugaan Sri Paduka?
339. Sri Paduka: (mendesah perlahan)
340. Prof. Gymbal: Jadi, dapat saya tarik kesimpulan, bahwa bocah ini bicara fisik berdasarkan pemeriksaan medis yang saya lakukan, adalah bocah yang sehat, normal sebagai manusia!
341. Sri Paduka: maaf, prof. saya kurang enak badan, rasanya!
342. Prof. Gymbal: Oh, Maaf, kalau begitu kita teruskan pembicaraan di kamar kerja saya, paduka. Maafkan, saya, mungkin paduka Durgati kurang terbiasa berada di kamar pasien. Kalau diperkenankan, sekalian nanti saya periksa Paduka Durgati.
343. Sri Paduka: Saya cuman menginginkan penjelasan terhadap oknum ini!
344. Prof. Gymbal: Oh, tentu. Maaf ,…..(gugup) silahkan Paduka!
(Sri Paduka beranjak diikuti oleh Prof. Gymbal yang kelihatan canggung. Keduanya mengilang meninggalkan Bardal yang sendirian dengan mulut yang masih terganjal akat Prof Gymbal. Beberapa saat kemudian, Prof Gymbal kembali mendapatkan Bardal dan mengambil pengganjal yang ditinggalkannya, terlupa).
345. Prof Gymbal : Maaf, anak manis! (menarik salah satu tambang, sehingga mulut Bardal ternganga lebar. Saat itulah pengganjal itu diambilnya dengan segera). Terimakasih (out)
(Suasana kembali sepi. Bardal sendirian mencoba berteriak, hendak berontak, tapi tetap tak keluar suaranya, tak bergerak tubuhnya. Muncul perempuan tua yang bernyanyi berulang-ulang dengan sendu. Sambil menyanyi ia melepaskan semua tambang yang melingkar di leher Bardal. Hingga Bardal terlepas dari siksanya. Kemudian pakain Bardal diganti dengan seragam yang lain, juga dikenakan padanya sepatu buat untuknya. Semuanya dilakukan oleh perempuan tua denagan kasih sayang yang tulus, dan terus menyanyi merdu).

Tembang:
Mari tidurkan bulan
Dalam tikaman angin malam
Dan biarkan mentari mabuk
Di atas ranjang tidur siang
Sementara kau lupa
Mengusap wajahmu yang luka
Biarkanlah aku mengembara
Menyusuri kali, angkasa dan samudra
Mengeja rumputan, kerang serta karang
Yang menarikan kesombongan
Kepadamu

(Kemudian keduanya hilang dan berlalu dengan saling kasih. Perempuan tua tetap menyanyi sendu dengan menggandeng tangan Bardal. Ketika suara menggonggong begitu dekat, ia berhenti sejenak. Tanpa sepatah kat, ia pun segera menggandeng Bardal pergi).

Adegan 6
Ruangan kantor seuah perusahaan. Meja, kursi, kertas-kertas, map-map serta beberapa surat nampak menumpuk tak teratur. Sekretaris sedang mengentik. Manager masuk dengan tergesa, mukanya cemberut. Membanting pintu dan menghembaskan tubuhnya di kursi dengan amarah.

346. Sekretaris: Ada yang dapat saya Bantu, Pak?
347. Manager : (sambil melepas dasinya dengan paksa)Ada!
348. Sekretaris: (Beranjak mendekati Direktur).
349. Manager : Mau apa, kau?!
350. Sekretaris: Kata Bapak, saya bisa membantu Bapak?
351. Manager : Kata siapa?
352. Sekretaris: Maaf, baru saja Bapak mengatakannya kepadaa saya.
353. Manager : Masak?
354. Sekretaris: Bapak terlalu lelah, lebih baik Bapak istirahat, refresing, Ke puncak, barangkali.
355. Manager: Aku justru tak mau istirahat pada keadaan begini! Gawat!
356. Sekretaris: saya sekretaris Bapak. Kalau ada masalah, saya mohon saya Bapak ijinkan membantu.
357. Manager: Tentu! Buat apa aku menggajimu kalau tidak untuk membantuku? Bantu aku!
358. Sekretaris: Baik, Pak. Apa itu Pak?
359. Manager: Mendengarkan.
360. Sekretaris: (mengambil tempat duduk) baik, Pak! (Mencatat dan mendengarkan)
361. Manager: (berdiri) Kau tahu buruh yang baru itu?
362. Sekretaris: Bardal, maksud Bapak?
363. Manager: Entah siapa namanya, tak penting bagiku! Yang jelas kau tahu, mencatat dalam daftarmu ketika dia masuk ke sini tiga bulan yang lalu, khan?
364. Sekretaris: Saya, Pak Direktur?
365. Manager: Kau tahu apa yang telah dilakukannya?
366. Sekretaris: Saya mencatat semua data pegawai, karyawan dan buruh secara lengkap dan menyuluruh, sesuai petujuk yang Bapak memeberikan.
367. Manager: Juga buruh baru itu?
368. Sekretaris: Tentu saja, Pak. Mengapa Bapak menaruh minat yang berlebihaan terhadap Bardal?
369. Manager: Bardal? Siapa lagi pemilik nama aneh itu? Kamu jangan memepermainkan aku?
370. Sekretaris: eh, maaf, Pak.. maksud saya buruh baru itu, yang sedang kita bicarakan saat ini, Pak.
371. Manager: Oh, ya..ya…saya mengerti. Dia setan licik!
372. Sekretaris: apa maksud Bapak? Ada masalah dengan dia?
373. Manager: bukan sekedar masalah! Tapi kasaus! Skandal ultra dahsyat yang bisa menggoncang masa depan perusahaan multi kita ini. Kau tahu tentang dia?
374. Sekretaris: (mencari-cari map, dan mengambil salah satu, membukanya) ia termasuk buruh yang rajin, disiplin, konsekuen serta ulet! Prestasi kerjanya tidak pernah mengecewakan. Setiap tugas yang dibebankan kepadanya selalu selesa tepat waktu dan sesuai dengan azas efektifitas dan efisiensi.
375. Manager: Terus?
376. Sekretars: Tidak ada saya dapatkan data tantang pelanggaran yang di lakukannya. Bersih! Sama sekali bersih dari sikap yang merugikan perusahaan multi kita.
377. Manager: Sama sekali bertolak dengan fakta.
378. Sekretaris: Maaf, Bapak bicara apa?
379. Manager: Datamu nonsense! Cuma deretan angka-angka serta penilaian rasional berdasarkan standart kwantitas.
380. Sekretaris: saya tidak mengerti maksud Bapak.
381. Manager: Tentu saja! Itu sebabnya kamu tidak akan pernah naik apngkat jadi direktur.
382. Sekretaris: (marujuk) Bapak menyinggung saya.
383. Manager: Oh, maaf! Kau cantik, manis, dan menggairahkan,..(rayu)..
384. Sekretaris: Tentu, seperti yang Bapak lihat.
385. Manager: Tapi kamu juga bodoh! Kamu selalu terlabat menangkap kerangka berpikirku, pola piker seorang direktur! Itulah sebabnya, meskipun cantik tapi kamu tak akan dapat menggantikan saya! (Sekretaris mau marajuk) sudahlah! Tak usah merajuk! Bukan saatnya bercinta! Aku sedang pusing! Ayo, baca lagi datamu tentang penghasut busuk itu!
386. Sekretaris: (dengan agak malas) terakhir kali, karena prestasi kerjanya yang selalu berhasil di segala bidang ia dipromosikan untuk menduduki jabatan asisten mandor.
387. Manager: Kemudian?
388. Sekretaris: (mencari-cari, membuka-buka tak ketemu) eh,…e..e…a…
389. Manager: kemudian ia telah dapoat menggeser kedudukan mandor seniornya hanya dalam waktu seminggu. Ini semua berkat prestasi kerjanya! Berkat keuletanny! Berkat kedisiplinannya! Berkat efektifitasnya dan efesiensinya! Sehingga samam sekali perusahaan multi kita tidak akan pernah dirugikannya! (kepada sekretaris) itu khan, catatanmu yang hilang tentang penimu itu?
390. Sekretaris: Bapak tahu betul tentang dia?
391. Manager: Pasti! Tapi, aku juga tahu, dan ini tak kau ketahui bahwa dedata de facto, semua itu nonsense! Omong kosong besar!
392. Sekretaris: Bapak tidak mengakui prestasi kerjanya?
393. Manager: sama sekali tidak aku pungkiri kamampuan tehnisnya! Sklinya! Ia memanag luar biasa. Maniak kerja. Mungkin!
394. Sekretaris: Tapi, Pak,…
395. Manager: Di balik semua itu, ..oh…grrrr (geram) inilah awal bencana perusahanmulti kita!
396. Sekretaris: saya tidak mengerti maksud Bapak?
397. Manager: Kamu memang cantik, tapi bodoh!
(Nampak di tempat lain seluruh buruh. Karyawan sertapegawai dari segala lapisan yang ada di perusahaan mengadakan pemogokan besar. Mereka berteriak-teriak menuntut sesuatu, namun suara mereka tidak jelas benar. Tangan mereka mengaacung-acung, dan diaa natara mereka nampaklaah Bardal sedangberpidato dengan suara yangtak tertangkap jelas. Hanya gemuruh mereka ang sampa ke setiap telinga. Ada juga spanduk serta beberapa poster ang mereka acungkan namun tak jelas pula tulisan dan gambar yang terpampang di dalamnya. (lampu mati)

Di ruangan kantor
398. Manager: luar biasa kekuatan yang dapat dikerahkannya, sebagaimana semangatnya mengahadapi kerja dan kemauannya! Setelah kedudukan secara hirarki telah dapat diraihnya dalam perusahaan, ia mulai jadi penghasut, tukang kasak –kusuk! Ia berbicara kepada setiap orangdi perusahaan tentang kebebasan, hak, kewajiban, serta segala tetek bengek yangkatanya sesuai dengan hubungan kerja kamanusiaan! Huaman Relatioan! Ia membujuk dengan ulet setiap orangtentangperlunya menyuarakannurani, meneriakan hati! Ah,….grrrrrrr,…sama sekali keluar dari kebijaksanaan kebersamaan dan kekompakan yang selama ini ada ! ia membuat semua orang lupa dengan kepentingan kolektif yang harus dicapai dengan kepatuhan! Kerja! Kerja dan taat perintah!
Gila! Tak sangka ia punya keahlian agitasi dan propaganda yang luar biasa!
399. Sekretaris: apa yang telah dilakukannya, Pak? (mencatat)
400. Manager: kamu bodoh! Tapi lumayan bisa mencatat! Kau tahu? Dia telah mendirikan sekaligus memimpin serikat buruh yangselama ini adalah hal yang mustahil dan tak diperlukan dalam kehidupan kita! Lagi pula telah terbukti cukup lama, bahwa tanpa serikat-serikat tai kamret itu pun semua orang bisa hidup, makan, tidur dengan perempuan dan kakus! Itu sudah cukup! Apalagi yang sebenarnya di butuhkan di sini? Ia mempunyai pikiran gila!
401. Manager: Hak, kemanusiaan, nurani, hati, suara, bicara!!! Ahhhh,…semuanya gombal! Aap orang bisa hidup dengan hanya bersuara? Dengan hanya bicara? Bicara! Bicara! Bicara! Ahhh,….non-equilibrium! Sama sekali tidak realistis!
(berhenti)

Di tampat pemogokan.
Riuh rendah suara mereka nampak mulai berhenti. Bardal mulai berpidato.
402. Bardal: sangat menyedihkan! Teramat menyedihkan! Bila kita terlalu lama mengalami perbudakan secara demikian! Mungkin kita semua, termasuk saya, masih bisa menerima kalau memang harus menjadi orang yangdi bawah! Tapi ingat, untuk menjadi budak! Sama sekali bukan takdir manusia angpaling dasar! Hakekat kahidupan yang palingmendasar!!
Saudara-saudara, saat ini adalah saat kebangkitan bagi kita semua! Era kesadaran bagi kita semua! Saudara-saudara telah ketahui sendiri! Tealalh merasakan sendiri! Bahwa selama ini kita bukan saja menjadi budak, tetapi telah berubah menjadi robot! Mesin-mesin bisu yang Cuma harus bergerak! Gerombolan robot dan boneka yangbergerak serempak di bawah satu tombol! Di bawah satu perintah yyang bagi kita tak jelas ke mana arahnya! Karena kita tak dianggap punya mata yang bisa melihat! Telinga yang bisa mendengar dan suara kita yang selalu dibungkam!
(berhenti)

Di kantor
403. Manager: Bungkam! Bungkam segera! Harus ditindak sebelum menyebar !
404. Sekretaris: Menyebar Ke mana Pak?
405. Manager: Pakai otakmu supaa bisa berpikir,…
406. Sekretaris: Pikir saya, ia sama sekali tak merugikan kita,…

Di pemogokan
407. Bardal: Kita dianggap tak punya hati! Nurani-nurani kita dirampas dan mereka sembunyikan di peti-peti mati yang terkunci!
Hingga jiwa kita dibunuh! Namun raga kita terus dianiaya! Apaakah kita akan tetap menyerah untuk menjadi mesin tanpa mata? Boneka tanpa telinga? Robot tanpa suara? Apakah kita akan merelakan hati dan nurani kita mati??
408. Orang-orang : tidaa….k..!!! (gemuruh)

Di kantor
409. Manager: tiada boleh dibiarkan! Kau tahu,…
410. Sekretaris: tidak, Pak!
411. Manager: (membentak) Aku belum selesai ngomong!
412. Sekretaris: Maafkan saya.
413. Manager: saya tidak rela bila perusahaan multi kita yang memasok semua kebutuahan hidup di sini! Satu-satunya penghasil barang konsumsi di negeri ini, akan hancur gara-gara kecoak busuk itu! Ia tak berpikir bahwa ini merugikan perusahaan! Dan merugikan perusahaan berarti menghambat kemajuanku, yang mengusik lagi amarahku!! Grrrrr,…!!! Tidak,…..(tertelan suara di pemogokan)

Di pemogokan
414. Orang-orang: (Bergemmuruh, riuh rendah,…Tidak,…!!!

Di kantor
415. Manager: (bergegas menengok ke pemogokan) Diam!! Akau belum selesai ngomong!!
416. Aku belum selesai bicara! Goblok! (ke sekretaris) kau tidak ingin bicara?

Di pemogokan
417. Bardal : Bicara, saudara-saudara! Dengan nurani! Dengan hati! Kita akan menikmati kebebasan bersaudara! Hakekat berbicara!
418. Orang-orang: (bergemuruh)
Mana hak kami! Kami ingin bicara! Kami manusia yang puna jiwa! Mana hati kami! Mana nurani kami! Kami menuntut!!! Kami menuntut! Kami menuntut! (gemuruh riuh, rendah).

Di kantor
419. Manager: Diammmmmmmmmm,..!!!
420. Sekretaris: ada yang bisa saya Bantu, Pak?
421. Manager: pakaian dasiku!
422. Sekretaris: (membenahi dasi direktur) Bapak harus istirahat.
423. Manager: hati-hati kalau ngomong! Simpan kata-kata itu!

Di pemogokan
424. Bardal : itulah yang harus kita sadari saudara-saudara! Bahwa kita punya mata, telinga! Punya hati, nurani! Bahwa kita berjiwa, yang hahrus kita wujudkan dalam suara-sauara.

Di kantor
425. Manager: suaramu semakin tak enak didengar.

Di pemogokan
426. Bardal: Dengar, saudara-saudara! Sura kita lepas dengan lega,….dengar,…!!!

Di kantor
427. Manager: Dengar! Aku tuntut,… (menegok dan menantang ke pemogokan), tapi keburu terputus kata-katanya)

Di pemogokan
428. Orang-orang: Tuntut,…!!! Tuntut,…!!! Kami menuntut!!!
Mana hak kami!! Kami ingin bicara! Kami berjiwa! Mana hati kami! Mana nurani kami! (gemuruh riuh rendah).

(Lampu meremang. Di temapat lain muncul Kelompok perusak yang menyeret perempuan tua dengan paksa. Anjing menggonggong, srigala dikejauhan. Meskipun terseret ia masih sempat menoleh kea rah suara anjing. Kelompok perusak menyeretnya ke kegelapan).



Adegan 7
(Arena sepi, bersih dari segala macam benda, sehingga ruangan kelihatan luas dan mencekam. Suasana dingin menyelimuti udara. Tanpa suara. Ketika lampu arena menyala, nampak Bardal diseret oleh Pentil, Pentul, dan Pentol dengan paksa. Di belakangnya Komandan yang congkak.Bardal cuma bercelana).
429. Bardal : (berontak di jalan) saya tidak sudi! Saya tidak bersalah! Mau kalian apakan saya? Ini benar-benar kesewenangan! Penindasan!
430. Pentil : Berteriakalah sepuas udelmu, kadal merem! Tak akan ada lagi yang mendengarkan kamu di sini!
431. Pentul : Sudah harus berakhir tindakanmu yang akacau itu! Ngerti!
432. Pentol : Daripada teriak-teriak begitu. Lebih baik kamu mulai memikirkan nasibmu!
433. Komandan: anak-anak!
434. Pentil : Siap!
435. Pentul : Siap!
436. Pentol : Siap!
437. Bardal : (lepas dan hendak lari). Edan, kalian semua!
438. Komandan: Haduh! Tangka…pp..! kathuruur!Ndligik!
(Mereka menangkap Bardal secepat kilat dan mengikat tangan, merantai kakinya).
439. Pentol : Weit,..teit,…teit,….teit,,,! Mau minggat ke mana kau!
440. Pentul : Mau coba-coba ngacrit, tak graji dengkulmu!
441. Pentil : (menempeleng kepala Bardal) Hiiii! Jangkrik balap mau minggat!
442. Bardal : jangan sewenang-wenang kalian!
443. Komandan: Sudah! Simpan khotbahmu! Kalau sampai aku tuli karena kupingku polusi lantaran ababmu, ooo,ooo tak popor ndasmu!
444. Bardal : Apa salah saya?
445. Komandan: Sudah! Simpan khotbahmu! Kalau ngomong saja gembar-gembor seperti mau nguras lautan, mbelah awan! Tapi tingkah laku sendiri tidak ngerti! Anak-anak, seret!
(Bardal diseret ke tengah arena. Didudukan paksa di tanah).
446. Pentil : Nyoh! Garuk itu tanah sampai lecet! Baru kamu bicara!
447. Pentul : lagaknya sok pahlawan! Baru digebuki sehari saja sudah tak bisa melawan!
448. Pentol : Pakai kembali popokmu! Hisap kembali kempongmu! Baru kamu belajar ngomong yang benar!
449. Bardal : Kalian yang harus belajar ngomong benar! Tingkah kalian seperti binataang lapar!
450. Komandan: Kathurrrrrrrrrkai eang lapar, ndligik! Dan berharap agar segera nggorok lehermuuu!!! (gemas sangat)
451. Bardal : Kalian akan menyesal seumur hidup!
452. Komandan: Aku justru sudah mulai menyesal sumur modar, telah mebiarkan kamu keluyuran!!!
453. Pentil : Perlu dijejeli alu, Pak, mulutnya? Biar ndak ngobral abad!
454. Pentul : Saya ambilkan palu untuk natah giginya, Pak?
455. Pentol : Kalau belum diobras lambemu, sementara tak ganjel bedhel mulutmu ya?? (ke Bardal)
456. Komandan: Anak-anak! (memberi isyarat pergi)
457. Pentil : Siap!
458. Pentul : Siap!
459. Pentol : Siap!
(Mereka beranjak hendak pergi. Bardal tak bedaya di tanah, mencoba berontak.
460. Bardal : He! Selesaikan dulu urusan ini! )
461. Komandan: Buat apa ngurusi Kethurrrrrr macam kamu!
462. Bardal : Tapi ini benar-benar penyiksaan!
463. Pentil : Siapa yang bilang ini kopi tubruk!
464. Komandan: Sudahlah, tak usah cari kerja lembur! (Beranjak)
465. Bardal : Mau ke mana kalian?
466. Pentul : Terserah gue!
467. Pentol : Mau ngentot, mau mbolot, mau nyrobot, tak ada urusan denganmu!
468. Bardal : Tapi lepaskan dulu, aku!
469. Komandan: (kembali mendekati muka Bardal) minta tolonglah pada nuranimu! Hatimu! Cuhh! (meludahi muka Bardal)
470. Semua : Ha,…ha,…ha,… (terpingkal sangat)
471. Komandan: Anak-anak!
472. Pentil : Siap!
473. Pentul : Siap!
474. Pentol : Siap!

(Bersama-sama sebelum pergi, mereka kentut di depan hidung Bardal. Gong berbunyi beberapa kali dengan suara yang menggelegar. Kemudian menyusul lengkingan seruling yang panjang. Di tempat lain yang terpisah, muncul kelompok perusak dengan irama dengausnya yang spesifik. Mereka berhenti di suatu tempat dengan kompak. Kelompok yang terdiri dari kumpulan orang itu bicara satu per satu dengan runtut dan berurutan bergantian).
475. Orang 1: sudah berkali-kali ia selalu menghambat perjalanan kami yang mempunyai misi mulai ini!
476. Orang 2: ia meraung-raung, berteriak-teriak serta mengumpat memekak telinga.
477. Orang 3: kesalahannya yang paling fatal adalah kesadarannya! Ia melakukannya dengan penuh kesadaran!
478. Orang 4: dan tak menganggapnya sebagai satu pelanggaran terhadap norma kebersamaan!
479. Orang 5: Nurani! Hati! Segala macam seribu kalimat sejuta kata-katanya didasarkan pada alas an yang sama sekali tidak masuk otak!
480. Orang 6: ia menganggap dirinyalah yang paling benar! Ia juga berharap menyandang gelar pahlawan! Pembaharu penyadaran yang kesiangan!
481. Orang 7: Pasien gila yang lepas dari selnya akan teramat berbahaya badak yang berani merusak kandangnya harus dipancung kepalanya!
482. Orang 8: Tapi, ia bukan pasien gila! Juga tak badak yang tak berotak! Ia manusia biasa, tapi hakikat dasar hidupnya adalah penyelewengan yang besar! Pembelokan jiwa tak termaafkan!
483. Orang 9: Kalau dibiarkan dalam mimpinya, ia akan mengganggu prinsip dasar hidup bersama, yang senantiasa menjunjung tingi norma kepatuhan dalam kebersamaan keseragaman! Berbahaya!
484. Orang 10: ia sumbang! Harus segera dibuang, disingkirkan1 ia adalah bangau kelaparan yang tak menyadari berada dalam ribuan gagak yang gagah.
485. Kelompok: Jeg,…jeg,…jeg…jeg…Juz…juzz….aik,…!
Gilas! Gilas! Gilas!
Jeg,…jeg,…jeg…jeg…Juz…juzz….aik,…!
Lindas! Lindas! Lindas!
Jeg,…jeg,…jeg…jeg…Juz…juzz….aik,…!…

(Bardal kedinginan tak berdaya. Di tempat lain yang terpisah, muncul ibu Hiegene dan pasien-pasien).
486. Ibu Hiegene: suaranya sumbang nada bicaranya tak jelas benar maknanya. Matanya buta warna! Tapi saya yakin ia memiliki pandangan yang lebih buruk dari keledai buta! Ia tak dapat membedakan antara aturan dan tindakan liar! Sehingga tiedaklah mengherankan bila egoistis merasuki pikirannya subur berkembang! Penilaian terhadap kecerdesannya hanyalah akan sia-sia, karena rasionya jauh berebelok dan tak masuk standart sebenarnya dengan demikian tentu tidak akan berlebihan bila ia harus lebih diamankan untuk menjaga ketertiban bersama!
(Di tempat lain yang terpisah, muncul perempuan tua dengan mulut yang disumbat kain. Di tangannya ada batu serta selimut Bardal. Ia berdiri terpaku, air matanya berlinang. Bardal kedinginan).

Di tempat lain muncul Prof. Gymbal dengan kertas kerjanya.
487. Prof. Gymbal: secara fisik tak pernah ditemukan kelainan yang berarti bahkan bisa dipastikan dengan pemerikasaan medis, ia bebas dari segala macam gejala ketidaksehatan! Hypotesa saya, berdasar analisa klinis yang tentu saja bisa dibuktikan dengan metode ilmiah serta eksperimen mendalam, ia mengalami scok psikis! Hingga mengakibatkan perkembangan kejiwaannya terbelakang dari perkembangan manusia umumnya. Souse of adaptatifnya negatif! Sosialisasi terhadap nilai-nilai bersama terhambat, karena super egonya yang meledak-ledak jelas! Menurut pandangan kesehatan serta prinsip yang berlaku di dunia medis, ia adalah manusia sakit yang harus segera diobati!

(Bardal kedinginan. Perempuan tua mendekatinya, serta memakaikan bajunya, namun tak bisa, karena tangan Bardal terikat kuat. Baju itu ditutupkannya ke tubuhnya. Kemudian ia kembali ke tempat semula).

(Di tempat lain muncul manager dan sekretaris)
488. Manager: Kerugian perusahaan tak terkira besarnya. Produksi tak berjalan! Padahal barang-barang konsumsi harus selalu didistribusikan untuk memasok kehidupan pasar. Proses produksi yang terhenti sama sekali mengakibatkan sumber-sumber prosuksi yang telah dipersiapkan mengalami penurunan mutu yang drastic karena penundaan yang tiba-tiba. Yang tak bisa dimaafkan adalah kelicikannya menghasut dan mempengaruhi semua orang hingga terjadi pemogokan masal! Agitasinya telah mengguncangkan aktifitas pasar! Propagannya berakibat memperburuk situasi perekonomian! Semua gara-gara kelicikannya menilai kemanusiaan yang sama sekali jauh dari motiv kehidupan kolektif! Jauh dari rancangan kerja sama dan azas-azas mitra usaha! Ia harus dipaksa untuk memahami siapa dirinya!
(Bardal kedinginan sangat. Perempuan tua mendekat dan menyelimutinya. Kemudian kembali ke tempatnya. Di tempat lain muncul Sri Paduka Durgati).
489. Sri Paduka: Aku telah mendengarkan semua apa yang kalian resahkan. Memang manusia ini amat patut untuk mempunyai fungsi yang demikian. Namun demi keadilan yang mendasari kebersamaan kita, demi kemanusiaan yang mendasari kseragaman kita. Dan demi kesinambungan keadaan serta suasana ketentraman bersama, aku masih mempunyai keajiban untuk mendengarkan.
(Perempuan tua terpaku, mencoba menggeak-gerakkan mulutnya yang tersumbat. Bardal kedinginan, menengadah mencoba bicara, namun ia gagu tak ada suara. Kemudian perempuan tua menghampirinya dan melepas kain penutup mulutnya digunakannya meunutup mulut Bardal. Perempuan tua kembali ke tempatnya. Tali gantungan turun dari langit, tepat di atas kepala Bardal, berhenti. Dengan susah payah akhirnya ia bisa berteriak. Hanya berteriak!)
490. Bardal: Huaaaaaaaaa!! (panjang menyayat)
(Anjing menggongong, srigala menyalak panjang! Semuanya terpaku).
491. Sri Paduka: Kau hanyalah seorang perenung! Kau letakkan dunia di atas kepalamu yang terlalu tebal dengan tulang tengkorak, tanpa isi yang memadai! Kau tak sadar, ini adalah jaman perombakan, yang membutuhkan kekompakan, kebersamaan kepatuhan! Sepandai-pandai ikiranmu melaju, kau terus tahu bah!
492. Sri Paduka: ,…wa kau harus mengabdi kepada kepatuhan. Adalah terlalu kurang bijaksana bagimu menganganggap kepatuhan ini adalah penindasan. Dan sebagai seorang ahli bedah dalam impianmu, kau hendak membedah kepatuhan kebersamaan yang kau anggap mengandung penyakit yang haruss segera diketemukan. Adakah kau sadar bahwa penyakit itu ada dalam darahmu yang mengalir ke seluruh ragamu! Hingga kau lupa jantungmu adalah markas kesombonganmu! Hatimu adalah sumber kelinglunganmu! Nuranimu adalah kesumbanganmu! Negeri ini tidak sakit dalam genggamanku, tidak tidur, apalagi pingsan. Awas-awaslah kau, bisa terpental!!!
(Semua menghilang entah ke mana, kecuali Bardal yang tetap tertutup mulutnya. Tali gantungnya masih berada di atas kepalanya. Ia menegadah dengan sinar mata yang tajam).

Tembang:
Biarlah
Masing-masing kita
Melepas kedahagaan
Melepas kelelahan
Pada dada kita
Sebenarnya

Ada yang harus kita bekaskan
Tanpa keangkuhan
Ada yang harus kita torehkan di sini
Tanpa belati

Biarlah
Semua kesalahan kita
Berulang kepadanya
Seperti kantuk terakhir
Yang lari
Menghampiri
Pangkuan bunda

Ada yang harus kita tanam
Buat kubur kita


Adegan 8
(Di istana Sri Paduka Durgati, dihadap Prof Gymbal, beliau marah besar pada ahli negeri seberang itu).
493. Sri paduka: Bagaimana Prof? (sinis)
494. Prof, Gymbal: (agak kaku) eh, maaf bagaimana yang mana Sri Paduka?
495. Sri Paduka: Pemeriksaan Anda terhadap manusia gila itu beberapa waktu yang lalu.
496. Prof Gymbal: Saya sudah berusaha menjalankan seperti paduka inginkan.
497. Sri Paduka: Ya! Dan kesimpulan Anda saat itu, jauh dari perkiraan kejadian yang berlangsung saat ini. Tidak seperti hasil penelitian Anda, pemeriksaan Anda, yang kata Anda berdasar prinsip-prinsip medis(sinis). Anda baru yakin, kini Prof? bahwa ia manusia yang berbahaya! Manusia luar biasa! Dan ini nyata! Bukan khayal atau fiktif! Bukan sekedar dongeng! Maaf, Prof, boleh saya tahu?
498. Prof. Gymbal: Tentang apa paduka?
499. Sri Paduka: Berapa buah buku cerita khayal yang Anda habiskan dalam satu hari ketika Anda masih mengenakan celan kodok?
500. Prof. Gymbal: Maafkan, saya sedang tidak enak badan untuk bergurau, Paduka.
501. Sri Paduka: Inilah yang harus dibedakan, Prof. di negeri Anda, mungkin kasus semacam ini tidak pernah anda jumpai, sehingga anda keliru menyimpulkan persoalan ini beberapa waktu yang lalu.
502. Prof Gymbal: Tapi secara medis dan analisa kedokteran, memang semuanya normal, Paduka. Bahkan paduka sendiri saat itu tidak menyangsikan pemeriksaan saya.
503. Sri Paduka: saat itu! Tapi apa yang kita saksikan? Setelah saya yakin dengan pekerjaan Anda, akhirnya semuanya meleset dari pemikiran Anda!
504. Prof Gymbal: Tapi toh akhirnya saya katakana juga di pengadilan, bahwa manusia itu sakit.
505. Sri Paduka: (menyambung) dan harus diobati! He…he…he…(sinis) suatu keputusan yang controversial, menurut rasional yang Anda dewakan, Prof!
506. Prof Gymbal: Saya terpaksa melakukannya demi Anda paduka, demi kemenangan Anda.
507. Sri Paduka: Ada perasaan menyesal dalam nada bicara Anda, Prof?
508. Prof Gymbal: mungkin
509. Sri Paduka: Atau mungkin Prof. Gymbal sudah tak tertarik lagi dengan kerjasama yang kita jalin selama ini?
510. Prof Gymbal: Maaf, Sri Paduka. Saya kira Anda salah menafsirkan sikap saya.
511. Sri Paduka: Sikap yang mana, Prof? Anda mulai nervous, gugup! Saya sarankan Anda tidak perasa, Prof? (sinis)
512. Prof Gymbal: oh, Maaf. Sikap saya yang Paduka anggap kotroversial. Keputusan saya untuk bicara di siding, bahwa manusia itu sakit! Bukankah paduka tidak merasakan bahwa itu adalah sikap pembelaan saya yang amat paduka harapkan sebenarnya? Sehingga Paduka tidak akan lagi merasa was-was dengan kekuasaan Paduka, hanya karena kekhawatiran paduka terhadap kecoak macam begitu?
513. Sri Paduka: Sekarang Anda berani mengatakannya sebagai kecoak? Bebrapa waktu lalu, saya yang secara resmi menjadi majikan Anda berkata sedikit kasar kepadanya saja, anda buru-buru membantahnya!
514. Prof Gymbal: Maaf, paduka, saya harus berpijak pada data yang factual yang ada pada saat itu.
515. Sri Paduka: dan kalau data factual yang anda punyai ternyata menghasilkan kesimpulan yang melenceng sangat jauh???
516. Prof Gymbal: Oke! Baik! Saya mohon maaf atas kesalahan dan kebodohan saya, Paduka.
517. Sri Paduka: saya minta anda dapat memperoleh pelajaran dari kasus ini, prof.
518. Prof Gymbal: Saya, Paduka..
(Pembicaaan itu terputus dengan kehadiran komandan, Pentil, Pentul dan Pentol)
519. Komandan: Tabik, Paduka yang Mulia Sri Paduka Durgati
520. Pentil : Tabik Sri Paduka yang Mulia Durgati!
521. Pentul : Tabik Sri Paduka yang Mulia Durgati!
522. Pentol : Tabik Sri Paduka yang Mulia Durgati!
523. Komandan: Tabik, Prof!
524. Pentil : Tabik, Prof!
525. Pentul : Tabik, Prof!
526. Pentol : Tabik, Prof!
527. Komandan: Anak-anak!
528. Pentil : Siap!
529. Pentul : Siap!
530. Pentol : Siap!
531. Sri Paduka: Komandan!
532. Komandan: Siap! Sri Paduka yang mulia Durgati!
533. Sri Paduka: Terlambat???
534. Komandan: Eh,..oh…(cengar-cengir),….maaf paduka,…e….
535. Pentil : Wah, bakal kena damrat, kita1
536. Pentul : Hus! Diam dulu! Kamu malah mbacot!
537. Pentol : Alah, kamu juga nyocot!!
538. Komandan:Ssssssssssssttt,…Anak-anak!.........kathuuuuuuuuuuurrrr, ndligik!!(kepada anak-anak)
539. Sri Paduka: Ngigau apa kam. Ndan?
540. Komandan: Eh,,..oh…e…maaf, paduka,….anu…engggg(kepada anak-anak) lihat! Gara-gara kalian! Awas! Kalau mbacot lagi ku pindahkan mulut kalian ke pantat!
541. Pentil : Siap!
542. Pentul : Siap!
543. Pentol : Siap!
544. Sri Paduka: (kepada anak-anak) ada apa kalian?
545. Pentil : pantat, Paduka!
546. Pentul : pantat, Paduka!
547. Pentol : pantat, Paduka!
548. Komandan: (kesetanan) hasy! Kathurrrrrrrrrr,…ndligik! Modar aku!
549. Sri Paduka: apa kamu bilang, Komandan?
550. Komandan: Siap! Sri Paduka yang Mulia Durgati!
551. Sri Paduka: Tidak pernah kamu ajari mereka bersikap sopan?
552. Komandan: Hamba, paduka sudah!
553. Sri Paduka: Baik lain kali aku akan mengajari kamu bagaimana cara menggunnakan mulut yang benar! Dan mulut coro-coromu itu, besok perlu diperbaiki!
554. Komandan: Hamba, Paduka! Maafkan kesalahan hamba! (kepada anak-anak) Ayo,…minta maaf.
555. Pentil : kepada siapa Pak?
556. Pentul : Ada apa Til?
557. Pentol : Minta maaf sama siapa? Oh, kepada Prof Gymbal?
558. Komandan: Ndligik! Memukul mereka satu per satu)
559. Pentil : (ketika dipukul) ndligik!
560. Pentul : (ketika dipukul) ndligik!
561. Pentol : (ketika dipukul) ndligik!
562. Komandan: Memalukan!
563. Sri Paduka: kamu yang memalukan
564. Komandan: Siap! hamba Sri Paduka Yang Mulia Durgati!
565. Sri Paduka: mengatur anak buah saja tidak pecus! Apalagi mengatur urusan dalam negeri! Apa kamu tidak mengerti hakekat dasar kehidupan negeri ini?
566. Komandan: Hamba, Sri Paduka Yang Mulia Durgati!
567. Sri Paduka: Semuanya harus didasarkan pada keseragaman1 kepatuhan! Kesatuan pandangan! Kebersamaan! Apa mesti aku yang khotbahkan semua ini setiap hari? Ha?!
568. Komandan: Hamba, Sri Paduka yang mul,…
569. Sri Paduka: (memotong) Komandan!
570. Komandan: Siap! Sri Paduka Yang mul,…
571. Sri Paduka: (memotong) Aku menyayangkan kecerobohanmu!
572. Komandan: Maaf, Paduka, kecerobohan yang man…
573. Sri paduka: Wah,….kau sudah mulai berani melupakan kesalahan yang kau lakukan! Bardal!! Manusia itu! Kau tak pernah melaporkannya kepadaku. Ini semua sebenarnya tanggungjawabmu1 apa saja yang kau lakukan selama ini, Ha? Memalukan! percuma aku aku menaruh kepercayaan kepadamu selama ini! Ternyata kau tak lebih dari seekor keledai minta dikawinkan! Cuma teriak-teriak! Memberi perintah, tapi tak pernah becus menjalankan tugas.
574. Komandan: Maafkan hamba, Paduka. Hamba memang bersalah tidak pernah melaporkan kepada Paduka…
575. Sri Paduka: (memberi umpan) Tapi,…
576. Komandan: (melanjutkan dengan enak) saya kira saat itu Cuma insiden kecil,…
577. Sri Paduka: (mengumpan) Yang,…
578. Komandan: (melanjutkan dengan enak) menurut hemat saya tidak akan berkelanjutan
579. Sri Pasuka: (mengumpan) sehingga,….
580. Komandan: (melanjutkan dengan enak) segera saja saya singkirkan dari peta permasalahan negeri. (berhenti)
(Sepi sejenak, Sri Paduka amat marah dan melotot kea rah komandan dan anak buahnya).
581. Sri Paduka: Prof,…
582. Prof Gymbal: saya, paduka
583. Sri Paduka: Anda melihat kepandaian Komandan dalam menghamburkan kata-kata? Saya, kira, ia lebih tepat menduduki jabatan sebagai direktur lembaga propaganda! Ia ternyata seorang orator yang terpendam!!! (mengejek sinis) apa pendapat Anda?
584. Prof Gymbal: Maaf, Sri Paduka. Saya kira, Anda selaku atasannya akan lebih bijaksana kalau memberinya kesempatan bicara, serta menelaah secara rasional alas an yang diajukannya. Maafkan saya, Paduka.
585. Sri Paduka: (marah yang ditahan) Anda tidak melihat saya memberikan kesempatan kepadanya untuk berkata-kata?
586. Prof. Gymbal: Juga mempercauainya, kalau itu memang masuk logika?
587. Sri Paduka: saya hanya minta pendapat Anda, Prof! Bukan menceramahi saya! Sekali lagi Anda telah mengecewakan saya dengan dewa Anda. Rasio!
588. Prof. Gymbal: maafkan, saya paduka. Saya lupa. Di negeri saya orang terbiasa mendengarkan suara-suara orang lain, walau,…
589. Sri Paduka: Inilah soalnya! (memotong) Ini negeri saya tuan Prof. Gymbal! Bukan negeri Anda!
590. Prof. Gymbal: Maafkan kelancangan saya, Paduka.
591. Sri Paduka: Atau Anda sudah rindu dengan negeri Anda, barangkali? Sehingga harus menghentikan kerjasama ini?
592. Prof. Gymbal: Oh, Maaf, bukan itu maksud saya. Saya mohon maaf, Paduka Durgati.
593. Sri Paduka: Kalian lihat! Inilah kegoncangan itu! Hari ini rasanya semua pikiran telah berbelok mengikuti pikiran yang rusak dan keliru! Aku tidak tahu! Mungkin manusia laknat itu telah menyebarkan sindrom kepada kalian semua!
594. Prof Gymbal: Saya,…
595. Sri Paduka: Maaf, Prof! saya tidak mau berdebat dengan Anda! Komandan!
596. Komandan: Hamba Sri Paduka Yang Mulia Durgati!
597. Sri Paduka: Kau tak perlu banyak omongan dan alasan! Yang jelas, kehadiran manusia laknat, Sri Bardal itu tidak akan membikin goncangan negeri ini kalau sebelumnya dapat kau temukan bibitnya dengan dini!
598. Komandan: e,,………oh,…
599. Pentil : e,,………oh,…
600. Pentul : e,,………oh,…
601. Pentol : e,,………oh,…
602. Sri Paduka: Tidak suara selain suaraku!!!
(Semuanya diam. Semuanya terpaku dalam sunyi. Amarah sri Paduka Surgati meluap)
603. Sri Paduka: Akhirnya sekarang jelas! Bahwa keteledoran! Ketidakwaspadaan dari kita semua membuahkan kegoncangan yang merugikan! Saya tidak ingin manusia-manusia yang bersuara sumbang menghiasi negeri ini! Semua suara harus lahir dengan seragam, teratur, dan tidak liar! Semuanya harus bersama dalam kepatuhan! Ingat! Saya akan bertindak tegas untuk senantiasa menyamakan nada! Menyeragamkan kata! Menyatukan suara! Kalian dengar! Tidak ada suara yang liar! Tidak boleh ada suara sumbang! Semuanya harus sadar! Ini kepatuhan! Ingat! Kepatuhan! Saya tidak akan pernah membiarkan suara lain menandingi suara saya! Semua keseragaman berasal dari suara saya! Kalian dengar!! Semua kepatuhan berasal dari suara saya! Kalian dengar! Tidak ada suara lain kecuali suara saya! Suara saya!
(Semuanya terdiam. Semuanya terpaku. Dalam tunduk dalam kepatuhan. Lampu meremang. Sri Paduka Durgati berubah wujud menjadi seekor Singa Betina yang besar dan menyeramkan. Suaranya menggelegar memnuhi semesta. Ia mengaum dan mengaum tak henti!!!) Semua orang masuk ke arena dan tunduk sujud dihadapan singa betina itu. Semuanya sujud. Semuanya tunduk. Singa betina mengaum menantang. Perempuan tua berlalu dengan mulut tertutup kain, tangan kakinya dirantai. Bardal muncul dalam kerangkeng besi, mulutnya ditutup kain, tangan dan kakinya dirantai).

Adegan 9
(Mr. Gymbal dan komandan mengendap-endap dengan perlahan keluar dari rombongan dan menyelinap mendekati kerangkeng Bardal. Mereka membuka kerangkeng itu, melepas rantai Bardal serta kain penumbat mulut Bardal. Mr. Gymbal memberi Bardal sebuah busur berikut anak panah berapi yang besar, setelah menuntun Bardal ke luar dari kerangkengnya. Ketika Kelompok perusak lewat, Bardal membidikkan anak panahnya setelah nyulut ujungnya denga api. Mr. Gymbal dan komandan berpencar menyaksikan dari kejauhan. Anak panah meluncur membakar kelompok perusak yang jadi kocar-kacir berantakan.
Mr. Gymbal dan komandan terbahak panjang, menggelegar.
Singa betina mengaum dan menari-nari. Bardal membidikkan anak panah berapinya.
Anak panah meluncur mengenai tepat kepala singa betina yang segera menggeliat mengaum kesakitan setelah bebeapa saat mengamuk dengan tubuh terbakar.
Mr. Gymbal dan komandan terbahak panjang.
Katika api di tubuh singa betina padam, nampaklah ia malih rupa menjadi Sri Paduka Durgati yang sedang sekarat menemui ajalnya. Ia menemui ajal dengan diiringi tawa panjang Mr Gymbal dan Komandan.
Bardal segera mengarahkan anak panahnya ke langit, lama, seakan ia menyerahkan segalanya kepada yang bertahta di atas. Segala zikir dan suara alam menggema bersahut-sahutan ditikam suara panjang yang menyerupai suara azan panjang dan mencekam

Tepat sebelum anak panah itu lepas dari busurnya, Komandan Mr. Gymbal menembak Bardal secara bersamaan dan berulang-ulang. Bardal menggeliat roboh, menemui maut diiringi bahak panjang Komandan dan Mr. Gymbal.

Kemudian sepi.
Muncul perempuan tua yang kelihatan amat payah, compang-camping dan luka. Ia menghampiri dan mendekap Bardal dengan cinta yang amat.
Tembang:
Mari tidurkan bulan
Dalam tikaman angin malam
Dan biarkan mentari mabuk
Di atas ranjang tidur siang
Sementara kau lupa
Mengusap wajahmu yang luka
Biarkanlah aku mengembara
Menyusuri kali, angkasa dan samudra
Mengeja rumputan, kerang serta karang
Yyang menarikan kesombongan
Kepadamu.

Muncul seribu kembang yang menari mengelilingi Bardal dan membawanya pergi entah ke mana.

Tembang:
dengan cinta, Tuhan mencipta dunia
Hingga angkasa raya luas tak terbatas
Dan lihatlah…………….
……………….

Dalam sepi, dalam dingin, dalam luka perempuan tua sendiri mengeja luka.

-TAMAT-
(Solo, Januari 1992-Jakarta Februari 1992)

Surakarta, 16 April 2009
Diketik ulang oleh
Kelompok Peron Surakarta
Mahasiswa Pekerja Teater FKIP UNS

Tidak ada komentar: