tag:blogger.com,1999:blog-52704745390951433212023-12-01T18:39:10.152-08:00naskah-naskahteaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.comBlogger36125tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-1153629988419086532010-03-29T19:11:00.000-07:002010-03-29T19:14:07.580-07:00NASKAH-NASKAH DRAMA 4<h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2010/02/pada-suatu-hari.html">PADA SUATU HARI</a> </h2> <span class="post-author"> </span> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya : <span style="font-weight: bold;">ARIFIN C. NOOR</span></span><br /><br />Kakek dan Nenek duduk berhadapan.<br />Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum. Suatu saat mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang pemuda dan pemudi. Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu beberapa saat saling memandang, tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan, seperti pepasang pengantin, malu-malu dan sebagainya, demikian seterusnya....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/8658036/LakonpadasuatuhariARIFINC.NOOR.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post uncustomized-post-template"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p><br /><div id="post-head"> <a name="8235235736005865327"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2010/02/lakbok.html">LAKBOK</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Lakon<br /><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Aoh K. Hadimaja</span></span><br /><br />Keselarasan itu yang kucari, yang semua kita cari, Zahra. Baik di Timur maupun di Barat sesudah perang dunia II itu. alangkah bahagianya manusia, kalau didapatkannya sebuah jalan dan dapat dipraktekannya dengan sungguh dalam hidupnya sehari-hari; dunia dan akhirat itu satu garis lurus dan oleh karenanya tiada terpisah dalam menempuh hidupnya.....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/8658035/LakonLAKBOKAohK.Hadimaja.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5952050801559340061"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/12/obrok-owok-owok-ebreg-ewek-ewek.html">OBROK OWOK - OWOK, EBREG EWEK - EWEK</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Oleh : D A N A R T O<br /><br />MASA LALU, MASA KINI, MASA YANG AKAN DATANG MENJADI SATU, RUANG DAN WAKTU KEMPAL DALAM SATU SUASANA DAN KEADAAN: PASAR BERINGHARJO YOGYAKARTA ADALAH RUANG UJIAN ADALAH KAMAR TIDUR ADALAH TEMPAT NGAMEN ADALAH HARI KETUAAN MENANTI MAUT… ADALAH… ADALAH…<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/7712616/INDRATRANGGONOmonumen.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5970227308973023014"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/12/lawan-catur.html">Lawan Catur</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Karya <span style="font-weight: bold;">Kenneth Arthur (Kenneth Sawyer Goodman)</span><br />Terjemahan <span style="font-weight: bold;">WS RENDRA</span><br />Diketik ulang oleh <span style="font-weight: bold;">Giri Ratomo</span><br /><br />Begitulah. Ini adalah tipu muslihat Timur. Kalau kau mau tahu, seseorang dalam keadaan terus menerus takut akan diracuni, lama kelamaan, sedikit demi sedikit akan tumbuh kekuatan di dalam dirinya untuk melawan racun yang bagi orang lain menimbulkan kematian. Demikian juga aku. Kebiasaan berhati-hati yang sangat fantastis, sudah menjadi kebiasaanku berhubung jabatanku ini. Setiap saat aku selalu berhati-hati dan bersiap-siap terhadap racun. Kebiasan yang bertahun-tahun itu mendatangkan kekuatan dalam tubuhku. Kau masih mendengar suaraku, bukan ? Inilah gunanya mengetahu pengetahuan Timur. Aku bisa menyombongkan diri padamu bahwa aku bisa menghabiskan dua-tiga gelas lagi tanpa mengalami gangguan apa-apa. Tetapi satu gelas saja sudah dapat membunuhmu.....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/7712611/LakonLawanCatur.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2214497058662199079"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/12/fajar-siddiq.html">Fajar Siddiq</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>karya <span style="font-weight: bold;">Emil Sanossa</span><br /><br />Tuhanku, inilah pertanda datangnya fajar kemenangan. Kemerdekaan bangsa dan negaraku.....<br /><br /><span style="font-size: 130%;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7712612/EMILSANOSAfajarsiddiq.rtf.html"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></a></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6131309096636468545"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/12/bila-malam-bertambah-malam.html">BILA MALAM BERTAMBAH MALAM</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-weight: bold;">karya PUTU WIJAYA</span><br /><br />Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah berbaring di kandangnya menembang seperti orang kasmaran pura-pura tidak mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaan ..... Wayaaaaan tuaaaa.....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/7712614/PUTUWIJAYABMBM.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3830029585217224649"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/12/aljabar.html">Aljabar</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Naskah Karya<span style="font-weight: bold;"> Zak Sorga</span><br /><br />Ayo kita melukis lagi. Kita lukis kegelisahan kita. Kita lukis risau kita. Kita lukis galau kita. Kita lukis kacau. Kecambah dimana-mana, jamur dimana-mana. Ayo kita lukis kehidupan, kita lukis kematian. Itu tugas kita sebagai manusia....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/7712613/ZAKSORGAALJABAR.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="866016439689926703"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/12/monumen.html">Monumen</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Karya <span style="font-weight: bold;">Indra Tranggono</span><br /><br />KISAH RINGKAS<br /><br />Sebuah Monumen Pahlawan berdiri di tengah kota Banjar Sari. Monumen itu didirikan untuk mengenang jasa pahlawan lokal yang pada masa penjajahan Belanda, gugur dalam pertempuran di kota itu. Monumen tiu dalam keadaan terlantar, tak terawat. Sehingga justru menjadi seorang gelandangan. Di situ ’bermukim’ Yu Seblak (pelacur senior), Kalur (pencopet), Ajeng (pelacur junior), Karep (gelandangan intelek),dll.<br />Persoalan muncul ketika Kepala Kota Praja Lama, RM Picis merencanakan memugar monumen tiu, seiring dengan bakal dikabulkannya usulan soal peningkatan status para pahlawan dalam monumen itu, dari pahlawan lokal menjadi pahlawan nasional. Pemugaran itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan daerah: kelak monumen itu akan dijadikan objek wisata unggulan. Yu Seblak dkk, gelisah, karena terancam terusir dari kompleks monumen itu.<br />Namun sebaliknya, para pahlawan yang dipatungkan itu, justru berdebat sengit soal hakekat kepahlawanan. Untuk merealisasikan pemugaran dan usulan perubahan status menjadi pahlawan nasional, RM Picis –bersama asistennya, meninjau dan memilih pahlawan mana yang layak mendapat anugerah menjadi pahlawan nasional. Hanya dua pahlawan yang dipilih, yakni Wibagso dan Ratri. Masalah ini menimbulkan kecemburuan sosial bagi (arwah) pahlawan dalam monumen itu. Mereka –Sidik, Durmo dan Cempluk- tidak bisa menerima keputusan yang dipandang sangat tidak adil itu. Terjadilah apa yang disebut ”disintegrasi pahlawan” dalam monumen itu. Sidik hendak memisahkan diri –berdiri sebagai monumen-, namun ditolak oleh Wibagso dkk.<br />Belum terwujud pemugaran monumen itu, terjadi perubahan politik dan perubahan kepemimpinan nasional. RM Picis lengser dan digantikan Drs.Gingsir. sebagai Kepala Kota Praja Baru, Drs.Gingsir, meninjau kembali dan bahkan membatalkan rencana pemugaran monumen itu. Keputusan ini, menimbulkan kegembiraan bagi Yu Seblak dkk. Namun di balik itu, ternyata Drs.Gingsir punya keputusan lain. Yakni, menggusur monumen itu. Dan di lahan bekas monumen itu didirikan mall.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/7712618/Lakonobrokowok2DANARTO.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="549249241210170278"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/12/matahari-di-atas-jalan-kecil.html">Matahari di Atas Jalan Kecil</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Karya <span style="font-weight: bold;">Arifin C. Noor</span><br /><br />Seumur hidup baru pagi ini saya menjumpainya. Tapi peristiwa semacam ini kerap kualami. Dulu saya percaya ada orang yang betul-betul ketinggalan uangnya tetapi orang-orang sebangsa itu tidak pernah kembali. Seminggu yang lalu saya tertipu dua puluh rupiah. Tampangnya gagah dan meyakinkan sekali, waktu itu ia bilang uangnya tertinggal di rumah. Tapi sampai hari ini pecel yang dimakannya belum dibayar. Benar dua puluh itu tidak banyak, tetapi dua puluh kali sepuluh adalah tidak sedikit. Sekarang saya sudah kapok dan cukup pengalaman...<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/7712615/ARIFINC.NOERMATAHARIDISEBUAHJALANKECIL.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2864949190565940685"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/11/hamil.html">Hamil</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Sebuah naskah adaptasi karya Puthut Buchori<br />Ditulis ulang oleh: AUF Sahid<br /><br /><span style="font-size: 100%;"><span style="font-weight: bold;">Jangan menjual diri kalau tidak terpaksa dan tak ada tempat pulang....<br /><br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/7712617/hamil-Adaptasi.doc.html"><span style="font-size: 130%;">Download Naskah Drama</span></a><br /></span></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4340899521137646701"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/07/kopral-woyzeck.html">KOPRAL WOYZECK</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">George Buchner </span><br />Alih Bahasa <span style="font-weight: bold;">Drs. Muslich</span></span><br /><br />Mengerti, Kapten. Bagi kami orang-orang miskin, yang diperlukan ialah uang, uang. Jika uang tak ada, yah tak ada moral untuk mewujudkan orang seperti tuan di dunia. Kami hanyalah darah dan daging. Orang-orang seperti kami tak mungkin bersih di dunia atau di mana pun. Andai kata kami masuk surga, kami juga akan diperlakukan dengan cara yang sama.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5696888/lakonkopralwoyzeck.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2644020929425864000"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/07/rekaman-terakhir-krapp.html">Rekaman Terakhir Krapp</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-weight: bold;">(Krapp’s Last Tape)</span><br /><span style="font-style: italic;">karya </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Samuel Beckett</span><br /><br />Baru saja mendengarkan masa lalu yang melintas tak sengaja. Aku tidak melihat dalam buku harian, tapi mestinya paling sedikit sepuluh atau dua belas tahun lalu, kukira pada waktu itu aku berjuang bertahan hidup dan kadang masih bersama Bianca di jalan Kedar. Diluar itu semua, ya Tuhan! Bisnis Sia-sia.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5696885/SamuelBeckettKrapp.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7479040042090651992"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/07/napas.html">NAPAS</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><b>Breath</b><br /><i>karya<b> Samuel Beckett<br /><br /></b></i><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5696886/SamuelBeckettNAPAS.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7542064114812109567"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/07/malam-dan-mimpi-mimpinya.html">MALAM DAN MIMPI-MIMPINYA</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><b>(Nacht und Treume)<br /></b><span style="font-style: italic;">karya </span><style type="text/css"><!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --></style><span style="font-style: italic;"></span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Samuel Beckett</span><br /><b><br /></b><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5696887/SamuelBeckettMALAMdanMIMPI-MIMPINYA.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5166911430002944177"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/07/tanda-silang.html">TANDA SILANG</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya : <span style="font-weight: bold;">EUGENE O’NEILL</span></span><br /><span style="font-style: italic;">Saduran : <span style="font-weight: bold;">W.S. RENDRA</span></span><br /><br />Ayah adalah seorang kapten kapal pengangkut kopra, sebagaimana ayahnya, yaitu kakek saya. Pelayaran terakhir yang dibuatnya kira-kiratujuh tahun yang lalu. Menurut rencana ia akan berlayar 2 tahun. Tapi ternyata perpisahan kami menjadi 4 tahun. Kapalnya telah terdampar di lautan teduh. Ia dan enam orang lainnya, berusaha mencari pulau kecil, sebuah pulau tandus seperti neraka. Dokter, sesudah tujuh hari berlayar diatas biduk kecil yang tak beratap, anak buah lainnya tak ada beritanya sampai sekarang lenyap ditelan hiu. Dan diantara enam orang yang mengikuti ayah mencari pulau hanya empat orang saja yang hidup, waktu sebuah perahu dari Hawaii menolong mereka. Empat orang ini, akhirnya bisa pulang juga ke Jawa. Mereka itu adalah ayah, Ilyas, Karto, dan Kanaka. Tak lebih dari empat orang. Itulah kebenaran bagi tuan. Cerita ayah waktu ditulis orang disurat kabar.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5447430/LakonTandaSilang.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5363115049770054932"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/07/pesta-terakhir.html">PESTA TERAKHIR</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Ratna Sarumpaet</span></span><br /><br />Sudah puluhan tahun BAPAK SEPUH dikenal sebagai pemimpin yang sukses di sebuah<br />wilayah. Isterinya, yang meninggal beberapa tahun lalu, dikenal sebagai salah satu kunci keberhasilan Bapak Sepuh. Sebagai Pemimpin, Pak SEPUH terkenal sangat murah<br />senyum. Budi bahasanya lembut dan manis dalam menghadapi siapapun. Ia dikenal<br />berhasil memimpin wilayahnya menjadi wilayah yang makmur. Namun dalam perjalanan<br />kemakmuran itulah kemudian ia terus berubah menjadi seorang pemimpin yang tamak,<br />kejam dan tidak adil. Kelembutan dan senyumnya dinilai orang sebagai tameng yang<br />ditata untuk menutupi kebusukan2 serta siasat yang tersimpan dalam dirinya.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5447434/LakonPestaTerakhir.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4807449528229361135"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/07/wanita-yang-diselamatkan.html">WANITA YANG DISELAMATKAN</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya : <span style="font-weight: bold;">Arthur S.Nalan</span></span><br /><br />Bosan dan jenuh itu biasa. Memang bahagia harus selalu diikuti dengan pengorbanan. Kalau kau bicara tentang kebosanan, kita semua selalu mengalaminya, kita semua merasakannya. Yang penting sekarang, bagaimana kita membesarkan anak kita, supaya menjadi anak yang pintar dan soleh....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5447428/LakonWanitaYgDiselamatkan.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="702232826130552743"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/syekh-siti-jenar-babad-geger-pengging.html">Syekh Siti Jenar; Babad Geger Pengging</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">SAINI KM</span></span><br /><br />Mengapa Tuhan meremukan kaki gadis kecil itu? Sunan melihat bagaimana kaki gadis kecil yang baru berumur lima tahun itu remuk. Seandainya dia mati, keadaan akan lebih baik. Malangnya dia hidup. Dan ia tidak akan paham apa yang dimaksud dengan tawakal. Ia hanya akan dapat merasakan denyut kesakitan dan urat-urat dan otot-otot yang putus. Tusukan pecahan tulang kaki yang remuk. Sunan tidak akan dapat mengatakan padanya bahwa ketawakalan akan menghilangkan rasa sakit. Di samping itu, ia aan mengutui hidupnya di masa akil balig. Ia mungkin akan menjadi ejekan bagi dirinya. Cacat itu akan merampas masa depan dan peluangnya untuk bahagia di kemudian hari.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5344703/LakonSyekhSitiJenar.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2483502067506621453"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/setan-bla-bla-bla-di-atas-kursi-goyang.html">Setan Bla Bla Bla di Atas Kursi Goyang</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">ARTHUR S NALAN</span></span><br /><br />Selamat datang. Cerita yang akan Anda saksikan agak berbeda dari biasanya, karena akan melihat sosok musuh manusia, yakni setan sebagai tokoh yang dilaknat. Kalau setan sering mengeksploitasi setanyang dilaknat. Kalau setan sering mengeksploitasi setan, malam ini di sini, di panggung ini. Setan-setan yang akan tampil bukanlah setan yang sesungguhnya, tetapi manusia yang berperan sebagai setan. Menceritakan setan, bukan berarti saya mengajak anda untuk menjadi pengikut setan. Cerita tiga episode ini ingin mengajak Anda i’tibar, bahwa setan ada di sekitar kita, mengepung kita, setiap hari, setiap saat. Ia diam dalam sisi gelap manusia. Maka siapkanlah diri Anda untuk melihat sepak terjangnya.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5344702/LakonSetanblablabla.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><br /><div id="post-head"> <a name="3191950355469481002"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/balada-sahdi-sahdia.html">BALADA SAHDI- SAHDIA</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">MAX ARIFIN</span></span><br /><br />Ingin kukabarkan padamu, tapi aku tidak tahu di mana kau.<br />Sekarang aku sendirian di desa.<br />Inaq meninggal tiga bulan yang lalu.<br />Amaq berangkat dengan rombongan sebulan yang lalu. Katanya mau ke Sulawesi selatan. Atau ke Irian jaya.<br />Aku tidak tahu tepatnya.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5216338/baladaSahdi-sahdia.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a>teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-30129445120842368122010-03-29T19:09:00.000-07:002010-03-29T19:10:28.380-07:00NASKAH-NASKAH MONOLOG<div style="color: black;"><span style="font-size: small;">Berikut ini beberapa naskah monolog. Silahkan Anda unduh.</span></div><div class="widget LinkList" id="LinkList3" style="color: black;"><div class="widget-content"><ul><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3716067/MonologAENG.rtf.html">Aeng</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550068/MonologAksioma.rtf.html">Aksioma</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3716062/MonologAlibi.rtf.html">Alibi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550069/MonologAnakKabut.rtf.html">Anak Kabut</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269722/monologATASNAMADOAatawaSENYUMLASTRI.rtf.html">Atas Nama Doa</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633173/MonologBaju.doc.html">Baju</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550148/MonologBangsat.rtf.html">Bangsat</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633178/MonologBlackJack.rtf.html">Black Jack</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3549920/MonologBonekaSangPertapa.rtf.html">Boneka Sang Pertapa</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550147/MonologBubuyBulan.rtf.htmlhttp://www.ziddu.com/download/3550147/MonologBubuyBulan.rtf.html">Bubuy Bulan</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633180/monologbukanevabiasa.doc.html">Bukan Eva Biasa</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550192/MonologBungadiAtasAwan.rtf.html">Bunga di atas awan</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4897503/MonologDEMOKRASI.rtf.html">Demokrasi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633175/MonologDEWAMABUK.doc.html">Dewa Mabuk</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6163345/MonologEPISODEDAUNKERING.doc.html">Episode Daun Kering</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4897486/MonologIbukitaRaminten.rtf.html">Ibu Kita Raminten</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269721/MonologKAPAKBERHALANAMRUDZ.rtf.html">Kapak Berhala Namrudz</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3549919/MonologKasirkitaarifinc.noer.doc.html">Kasir Kita</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3716065/MonologKoruptorygBudiman.rtf.html">Koruptor Yg Budiman</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550191/MonologKromoKronik.rtf.html">Kromokronik</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550358/MonologKucingHitam.rtf.html">Kucing Hitam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923161/MonologKunciKontak.doc.html">Kunci Kontak</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3716064/MonologKupu-kupuTidur.doc.html">Kupu-kupu Tidur</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550231/MonologMarkendos.rtf.html">Markendos</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4481530/MonologMARSINAHMENGGUGAT.rtf.html">Marsinah Menggugat</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3549917/MonologMatinyaToekangKritik.rtf.html">Matinya Toekang Krotik</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4363962/LakonMayatTerhormat.doc.html">Mayat Terhormat</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269724/Monologmesintikyangmati.doc.html">Mesin Tik Yg Mati</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6939081/MONOLOGMULUTrevisi.rtf.html">Mulut</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633174/MonologNamakuSkizo.doc.html">Namaku Skizo</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923159/MonologNyanyianAngsa.rtf.html">Nyanyian Angsa</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3549916/MonologPenislilin.doc.html">Penis Lilin</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633179/MonologPidato.doc.html">Pidato</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.4shared.com/file/93963089/74a2bae9/Monolog_Pohon_Tanpa_Akar.html">Pohon Tanpa Akar</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550357/MonologRacuntembakau.rtf.html">Racun Tembakau</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633176/MonologRahim.doc.html">Rahim</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4734856/MonologSangOrator.rtf.html">Sang Orator</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3549918/MonologSarimin.rtf.html">Sarimin</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633177/Monologsebuahmakam.doc.html">Sebuah Makam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6048320/MonologSiKOR.rtf.html">Si Kor</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6048320/MonologSiKOR.rtf.html">Si Kor</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550271/MonologSiRabin.rtf.html">Si Rabin</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3716066/MonologSsstDiam.doc.html">Ssst..Diam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550232/MonologSURATKEPADAORANGTERKASIH.rtf.html">Surat Pada Orang Terkasih</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3550270/MonologTerkapar.rtf.html">Terkapar</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3716063/MonologTheHood.doc.html">The Hood</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5075613/Monologtigaunggas.rtf.html">Tiga Unggas</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923160/MonologTopeng-topeng.doc.html">Topeng-topeng</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7633181/MonologWanita.doc.html">Wanita</a></span></li></ul></div></div>teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-61585488349328038912010-03-29T19:08:00.000-07:002010-03-29T19:09:37.559-07:00NASKAH DRAMA SEMUA<div style="color: black;"><span style="font-size: small;">Berikut ini adalah beberapa naskah drama yang dapat Anda download:<br /></span></div><div style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div class="sidebar section" id="sidebar-right" style="color: black;"><div class="widget LinkList" id="LinkList1"><div class="widget-content"><ul><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8978280/LakonAljabar.rtf.html">Aljabar</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8058205/LakonANTIGONE.rtf.html">Antigone</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4363961/Lakonarwah-arwah.doc.html">Arwah-arwah</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267184/Lakonbadaisepanjangmalam.doc.html">Badai Sepanjang Malam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8955138/LakonBadak-badak.rtf.html">Badak-badak</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267185/LakonBaladaSahdi.doc.html">Balada Sahdi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592036/SamuelBeckettBARA.rtf.html">Bara Samuel Beckett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592041/SamuelBeckettBENCANA.rtf.html">Bencana Samuel Beckett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8978276/LakonBMBM.rtf.html">Bila Malam Bertambah Malam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7677075/LakonBilamula.doc.html">Bila Mula</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3580783/lakon%20BIUS.rtf.html">Bius</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267181/LakonBungaRumahMakan.doc.html">Bunga Rumah Makan</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6964844/LakonCabik.rtf.html">Cabik</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6964844/LakonCabik.rtf.html">Cabik</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6427342/Lakoncaligula.rtf.html">CALIGULA</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267183/LakonCermin.doc.html">Cermin</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5524333/LakonCIUTPASS.rtf.html">Ciut Pas Sesak Pas</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592035/SamuelBeckettCOMEANDGO.rtf.html">Datang dan Pergi Samuel Beckett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6356434/LakonDhemit.rtf.html">Dhemit</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267182/LakonDuniaSeolah-olah.rtf.html">Dunia Seolah-olah</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4414659/LakonElegiMusimPanas.doc.html">Elegi Musim Panas</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8978278/LakonFajarSidiq.rtf.html">Fajar Sidiq</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269756/LakonFESTIVALTOPENG.rtf.html">Festival Topeng</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269755/LAKONFRAGMENCINTA.rtf.html">Fragmen Cinta</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6234650/LakonGambarCintadariAtjeh.rtf.html">Gambar Cinta dari Atjeh</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267218/LakonGODLOB.rtf.html">GodLob</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5075614/lakonHalooAdaCintaDiSini.pdf.html">Hallo Ada Cinta Di sini</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3976737/LakonINTRIK.doc.html">Intrik</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4414662/LakonJakaTarub.doc.html">Jaka Tarub</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4414660/LakonJengMenul.doc.html">Jeng Menul</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4414663/LakonJokoSemprul.doc.html">Joko Semprul</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4829504/LakonJULIUSCAESAR.rtf.html">JULIUS CAESAR</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923117/LakonKapai-kapai.doc.html">Kapai-kapai</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3899954/LakonKARAM.doc.html">Karam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267222/LakonKeretaKencana.rtf.html">Kereta Kencana</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3675363/LakonKetikaIblisMenikahiPerempuan.rtf.html">Ketika Iblis Mengawini Perempuan</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6529235/LakonKiayiBerumbung.rtf.html">Kiayi Berumbung</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267219/Lakonkiblattanahnegeri.doc.html">Kiblat Tanah Negeri</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6234495/LakonKISAHCINTA.rtf.html">Kisah Cinta</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4414950/kisah_cinta_hari_rabu.pdf.html">Kisah cinta hari Sabtu</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269786/lakonKOOR.rtf.html">KOOR</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5524470/lakonkopralwoyzeck.rtf.html">Kopral Woyzeck</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7921654/Lakonkoran.doc.html">Koran</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592040/SamuelBeckettKrapp.rtf.html">Krapp Samuel Bekett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592042/SamuelBeckettKURSIGOYANG.rtf.html">Kursi Goyang Samuel Beckett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267221/LakonLAKBOK.rtf.html">Lakbok</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592039/SamuelBeckettLAKUTANPAKATA.rtf.html">Laku Tanpa Kata 1 Samuel Bekcett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592044/SamuelBeckettLAKUTANPAKATA2.rtf.html">Laku Tanpa Kata 2 Samuel</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6529236/LakonLautanBernyanyi.rtf.html">Lautan Bernyanyi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267220/LakonLawanCatur.doc.html">Lawan Catur</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592227/LakonMalaikatTersesat.doc.html">Malaikat Tersesat</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592037/SamuelBeckettMALAMdanMIMPI-MIMPINYA.rtf.html">Malam dan mimpi Samuel Beckett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6900330/malamjahanam.Doc.html">Malam Jahanam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3976736/LakonMalamTerakhir.rtf.html">Malam Terakhir</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269787/LakonMangir.rtf.html">Mangir</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7921655/LakonMATAHARIDISEBUAHJALANKECIL.rtf.html">Matahari di sebuah jalan</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4829505/Lakon_Mayat2_Cinta.doc.html">Mayat-mayat Cinta</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7921657/Lakonmencarikeadilan.doc.html">Mencari Keadilan</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8955139/LakonMonumen.rtf.html">Monumen</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6900329/LakonMusuhMasyarakat.rtf.html">Musuh Masyarakat</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923109/Lakonnabikembar.doc.html">Nabi Kembar</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592043/SamuelBeckettNAPAS.rtf.html">Napas Samuel Beckett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7677074/LakonNyaOntosoroh.doc.html">Nyai Ontosoroh</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267135/LakonNyanyianAngsa.rtf.html">Nyanyian Angsa</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3976241/LakonNyanyianJaiman.doc.html">Nyanyian Jaiman</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5075616/lakonNyanyianRIMBAYANA.pdf.html">Nyanyian Rimbayana</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4601472/LakonNyonya-nyonya.rtf.html">Nyonya-nyonya</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267134/Lakonobrok_owok_2.doc.html">Obrok Owok-Owok</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7921656/Lakonoperasi.doc.html">Operasi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6048319/LakonORANGKASAR.doc.html">Orang Kasar</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3976240/LakonOrangMalam.doc.html">Orang Malam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3498388/LakonOrang-orangBiadab.rtf.html">Orang-orang Biadab</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7677078/LakonOrdeMimpi.doc.html">Orde Mimpi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5754409/LakonORKESMADUNI.rtf.html">Orkes Madun I</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5754408/lakonORKESMADUNII.rtf.html">Orkes Madun II</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5808547/lakonORKESMADUNIII.rtf.html">Orkes Madun III</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3939482/LakonOZONEOrkesMadunVI.rtf.html">Orkes Madun IV</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5808726/magma.rtf.html">Orkes Madun V</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5075615/LakonPanggilakuAzisa.doc.html">Panggil Aku Azisa</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923111/LakonParaPenjudi.doc.html">Para Penjudi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923108/Lakonpatungdanayam.doc.html">Patung Dan Ayam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269788/LakonPatungKekasih.doc.html">Patung Kekasih</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4481529/LakonPelacurdanPresiden.rtf.html">Pelacur dan Presiden</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923110/LakonPelajaranII.doc.html">Pelajaran II</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6234493/LakonPersimpangan.rtf.html">Persimpangan</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6813823/LakonPestaParaPencuri.doc.html">Pesta Para Pencuri</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4363959/LakonPetrukDadiPresiden.rtf.html">Petruk Dadi Presiden</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7621020/PISPOT.rtf.html">Pispot</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6161209/LakonPRABUMAHAANU.doc.html">Prabu Maha Anu</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6356433/LakonPus-pus.rtf.html">Pus-pus</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6048321/LakonRASHOMON.rtf.html">Rashomon</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5075617/RENUNGANLUKISANKOPI.pdf.html">Renungan Lukisan Kopi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5269757/LakonROH.rtf.html">ROH</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923115/LakonRTRWNOL.doc.html">RT NOL RW NOL</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6234649/LakonRumahBoneka.rtf.html">Rumah Boneka</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6048317/LakonSARASWATI.rtf.html">Saraswati</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6163670/SEMENTARAMENUNGGUGODOT.rtf.html">Sementara Menunggu Godot</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923113/LakonSetandalambahaya.doc.html">Setan Dalam Bahaya</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8058204/LakonSiJantuk.rtf.html">Si Jantuk</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3592038/SamuelBeckettSKETSATEATER.rtf.html">Sketsa Teater Samuel Beckett</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4414661/LakonSobrat.rtf.html">SOBRAT</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8978277/LakonSuarasuaraMati.rtf.html">Suara-suara mati</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923116/LakonSumbidangigiemas.doc.html">Sumbi</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6356435/LakonSumurTanpaDasar.rtf.html">Sumur Tanpa Dasar</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5246451/LakonSyekhSitiJenar.rtf.html">Syekh Siti Jenar</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267303/LakonTAMAN.rtf.html">Taman</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4414733/LakonTandaSilang.doc.html">Tanda Silang</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7621021/LakonTARIANKULITHITAM.rtf.html">Tarian Kulit Hitam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/8923114/LakonTempatIstirahat.doc.html">Tempat Istirahat</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4414732/LakonTheLightofKendedes.doc.html">The Light of Kendedes</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267348/LakonTitik-titikHitam.doc.html">Titik-Titik Hitam</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/7921658/LakonTongseng.doc.html">Tongseng</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/6048322/LakonWabah.RTF.html">Wabah</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3580784/lakon%20wafatnya%20Rasulullah.rtf.html">Wafatnya Rasulullah</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3498499/LakonWanitaYgDiselamatkan.doc.html">Wanita Yg Diselamatkan</a></span></li><li><span style="font-size: small;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3267299/LakonWEK_WEK.rtf.html">Wek-wek</a></span></li></ul></div></div></div>teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-58121773887610419642010-03-29T19:03:00.000-07:002010-03-29T19:05:51.140-07:00NASKAH-NASKAH DRAMA 3<h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/syekh-siti-jenar-babad-geger-pengging.html">Syekh Siti Jenar; Babad Geger Pengging</a> </h2> <span class="post-author"> </span> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">SAINI KM</span></span><br /><br />Mengapa Tuhan meremukan kaki gadis kecil itu? Sunan melihat bagaimana kaki gadis kecil yang baru berumur lima tahun itu remuk. Seandainya dia mati, keadaan akan lebih baik. Malangnya dia hidup. Dan ia tidak akan paham apa yang dimaksud dengan tawakal. Ia hanya akan dapat merasakan denyut kesakitan dan urat-urat dan otot-otot yang putus. Tusukan pecahan tulang kaki yang remuk. Sunan tidak akan dapat mengatakan padanya bahwa ketawakalan akan menghilangkan rasa sakit. Di samping itu, ia aan mengutui hidupnya di masa akil balig. Ia mungkin akan menjadi ejekan bagi dirinya. Cacat itu akan merampas masa depan dan peluangnya untuk bahagia di kemudian hari.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5344703/LakonSyekhSitiJenar.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p> </div> <div class="post uncustomized-post-template"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p><div id="post-head"> <a name="2483502067506621453"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/setan-bla-bla-bla-di-atas-kursi-goyang.html">Setan Bla Bla Bla di Atas Kursi Goyang</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">ARTHUR S NALAN</span></span><br /><br />Selamat datang. Cerita yang akan Anda saksikan agak berbeda dari biasanya, karena akan melihat sosok musuh manusia, yakni setan sebagai tokoh yang dilaknat. Kalau setan sering mengeksploitasi setanyang dilaknat. Kalau setan sering mengeksploitasi setan, malam ini di sini, di panggung ini. Setan-setan yang akan tampil bukanlah setan yang sesungguhnya, tetapi manusia yang berperan sebagai setan. Menceritakan setan, bukan berarti saya mengajak anda untuk menjadi pengikut setan. Cerita tiga episode ini ingin mengajak Anda i’tibar, bahwa setan ada di sekitar kita, mengepung kita, setiap hari, setiap saat. Ia diam dalam sisi gelap manusia. Maka siapkanlah diri Anda untuk melihat sepak terjangnya.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5344702/LakonSetanblablabla.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3191950355469481002"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/balada-sahdi-sahdia.html">BALADA SAHDI- SAHDIA</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">MAX ARIFIN</span></span><br /><br />Ingin kukabarkan padamu, tapi aku tidak tahu di mana kau.<br />Sekarang aku sendirian di desa.<br />Inaq meninggal tiga bulan yang lalu.<br />Amaq berangkat dengan rombongan sebulan yang lalu. Katanya mau ke Sulawesi selatan. Atau ke Irian jaya.<br />Aku tidak tahu tepatnya.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5216338/baladaSahdi-sahdia.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7503525140443322683"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/sebuah-salah-paham.html">SEBUAH SALAH PAHAM</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p style="margin-bottom: 0in; font-style: italic;">KARYA : <span style="font-weight: bold;">SAMUEL BECKETT</span><br />ALIHBAHASA :<span style="font-weight: bold;">MAX ARIFIN</span></p><br /><br />Siang….malam…<br />Kadang-kadang tampak bagiku dunia ini begitu angkuh dan sombong;<br />diberikannya kita siang tanpa matahari,<br />di tengah-tengah jantung musim dingin,<br />di suatu malam yang kelabu.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5216337/SEBUAHSALAHPAHAM.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3992570984289158061"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/patung-kekasih.html">Patung Kekasih</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya : <span style="font-weight: bold;">Simon Hate</span></span><br /><br />Pasti saudara-saudara menyesal kenapa ia tidak menghadapkan wajahnya ke arah saudara-saudara! Tapi justru bersyukurlah, karena apabila sempat saudara-saudara menatap matahari wajahnya serta roh yang menjadi rahasia matanya, saudara-saudara akan tiba-tiba menjadi penyair! Lihatlah, ia duduk mematung. Tetapi seseorang akan menjadi sangat dungu apabila berani menyangkanya sebagai benar-benar patung.<br />Ia, untuk waktu seperti yang tak terbatas, diam saja menatapi ruang hampa, dan sekedar seserpih senyumannya saja cukuplah untuk menyodorkan segala nomor musik, puisi, kembang, atau langit semesta, yang membuat kita tergagap karena merasa terkepung.<br />Hm. Edan! Saudara-saudara tahu sendiri, sayapun telah menjadi seorang penyair remaja!<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5215932/PatungKekasih.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6459055695532874688"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/kebebasan-abadi.html">“ KEBEBASAN ABADI “</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>SEBUAH TRAGEDI KEPAHLAWANAN<br /><span style="font-style: italic;">Karya : <span style="font-weight: bold;">C.M. Nas</span></span><br /><br />Kematian sama dimana-mana Kopral! Hidup ini adalah jajahan segala kehendak . Orang-orang bebas pun masih dijajah kebebasannya sendiri, kebebasan yang mutlak akan datang setelah kita tidak hidup lagi, mati! Mati itulah kebebasan, kebebasan perseorangan yang abadi. Karenanya, kematian sama dimana–mana Kopral!!<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5215933/KEBEBASANABADI.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4184128511403908654"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/r-d-i-s-i.html">R a d i a s i</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya: <span style="font-weight: bold;">wong dzolim</span></span><br /><br />Di setiap era terjadi ledakan. Ada yang menyebutnya big bang. Tapi bukan sekedar big bang. Bisa jadi ledakan itu adalah ledakan kultural, ledakan peradaban, ledakan kosmis, ledakan ideologis, bahkan ledakan spiritual.<br />Sebagaimana nuklir, setiap ledakan meninggalkan radiasi. Radiasi yang tersisa akan menyebar, merembet, menjalar ke setiap sendi hidup dan kehidupan. Radiasi itu merayap melalui vibrasi-vibrasi. Dalam vibrasi terdapat atom, dalam atom terdapat partikel, dalam partikel terdapat ion, dalam ion terdapat rasa, dan dalam rasa terdapat esensi....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5215931/radiasi.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7620704301947945377"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/demokrasi.html">DEMOKRASI</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">Putu Wijaya</span></span><br /><br />Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai pejuang, apalagi pahlawan. Namun, saya tak pernah masuk koran. Potret saya tak jadi tontonan orang. Saya hanya berjuang di lingkungan RT gang Gugus Depan.<br />Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pro demokrasi. Mereka mendukung tanpa syarat pelaksanaan demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada yang anti demokrasi. Dengan gampang saya bisa mengerahkan mereka untuk maju demi mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi...<br /><br /><span style="font-size: 130%;"><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/5161772/MonologDEMOKRASI.rtf.html">Download Naskah Drama</a></span><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="1390087143041477401"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/kupu-kupu-tidur.html">KUPU-KUPU TIDUR</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Aufa A. Ifada</span></span><br /><span style="font-style: italic;">disadur dari Cerpen <span style="font-weight: bold;">Wawan Setiawan</span></span><br /><br />Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang kesana kemari di tanah samping.<br />Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, dibalik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya.<br />Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong.<br />Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5161774/MonologKupu-kupuTidur.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="382847568687159617"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/markendos.html">MARKENDOS</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Sebuah monolog<br />Karya <span style="font-weight: bold;">Yusef Muldiyana</span></span><br /><br />Memang susah juga menjadi wanita cantik, menarik dan sekaligus seksi kayak gue. Suka membuat nekad syahwat laki-laki. Seringkali gue alami peristiwa seperti apa yang terjadi pada malam suram, dikejar-kejar lelaki penuh nafsu yang ingin meremas-remas “Luisfigo” gue, ingin mengobok-obok “Jamhuro”gue, dia juga ingin mengelus-elus “Ahapedeg”gue yang amat mulus dan dia pengen makan “sondrow” gue yang rimbunnya minta ampun bagai lautan pedalaman Afrika, yang bisa membuat laki-laki CERDAS alias ngacer bodas. Tegasnya dia ingin sekali markendos ama gue.....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5161773/MonologMarkendos.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5418516627388800918"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/aksioma.html">AKSIOMA</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Taufan S. Chandranegara</span></span><br /><br />Sebuah bibir. Senyum. Beragam rupa dalam hati Sang. Entah siapa dia. Entah. Persoalannya bukan tersirat atau tersurat. Saudara paham maksud saya? Tidak?! Pasti tidak. Anda pasti menduga tentang sebuah hati yang terluka atau cemburu, membara, pedih, gembira, suka, duka, nestapa, lara, ceria, nostalgia, birthday, valentine, atau berhubungan dengan hal-hal yang bersifat positif-negatif. Hahaha…. Sangat konservatif, kalau hanya itu. Kuno, bodoh, tidak cerdas. Atau, saudara menduga hubungan: Bibir dan hati. Umumnya terkait dengan inner-mind Anda, orang, massa. Tidak!?<br /><br /><span style="font-size: 130%;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5121434/MonologAksioma.rtf.html"><span style="font-weight: bold;">DOWNLOAD NASKAH DRAMA</span></a></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3314465011934493107"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/bunga-di-atas-awan-awan-atawa-cinta.html">Bunga di Atas Awan-Awan Atawa Cinta Dibalut Hitam</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Taufan S. Chandranegara</span></span><br /><br />Cinta. Cinta. Cinta. Subjektif. Irasional. Objektif. Rasional. Cinta. Cinta.cinta. kuasa. Naïf. Egomania. Cinta. Cinta. Cinta. Oral. Sacral. Mesum. Pornoaksi. Pornografi. Cinta. Cinta. Cinta. Sepotong zaman yang dipotong seperti roti dibagi-bagi lewat sentra media-multi-promo-aksi. Globalisme. Isu. Cinta. Cinta. Cinta. Naziisme. Fasisme. Feodalisme. Kapitalisme. Anarkisme. Chaos. Cinta. Cinta. Cinta.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5121439/MonologBungadiAtasAwan.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">DOWNLOAD NASKAH DRAMA</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="438019401918090956"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/telah-pergi-ia.html">Telah Pergi Ia, Telah Kembali Ia</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Arifin C. Noer</span></span><br /><br />Dan pada Hajjatul Wada’ dimana telah hadir umat yang beribu-ribu membanjiri keluasan padang Arafah dengan semangat dan iman yang ketat. Sekonyong-konyong dikejutkan ketakutan dan kecemasan sebab lelaki yang baik itu bersabda, seraya duduk di atas ontanya,<br />“Wahai manusia, dengarkanlah perkataan ini. Sebab tak dapat kupastikan apakah pertemuan semacam ini akan terjadi lagi di tempat ini sesudah tahun ini atau kapan jua. Tak dapat kupastikan…”<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5121441/tlahPergiIatlahKembaliIa.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">DOWNLOAD NASKAH DRAMA</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7040675201768435505"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/karya-edgar-allan-poe-untuk-cerita-amat.html">KUCING HITAM</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;"> Karya : <span style="font-weight: bold;">Edgar Allan Poe</span></span><br /><br />Untuk cerita amat ajaib ini, yang terjadi dalam rumahku dan hendak kami paparkan, sama sekali aku tidak mengharap bahwa orang-orang akan percaya. Gila rasanya mengharap begitu, dimana aku sendiri tidak percaya dengan indraku sendir. Namun gila pun aku tidak sama sekali aku tidak bermimpi. Tapi besok, besok aku akan mati, maka sekarang harus kubuang beban yang menghimpit jiwaku ini. Tak ada keinginanku untuk memaparkan pada dunia serangkaian peristiwa dirumah secara sederhana dan pendek, tanpa dibumbui.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5121440/MonologKucingHitam.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">DOWNLOAD NASKAH DRAMA</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4893840388530084720"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/anak-kabut.html">Anak Kabut</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Oleh: <span style="font-weight: bold;">Soni Farid Maulana</span></span><br /><br />Tatolah aku, kekasihku, dengan segenap cintamu. Janganlah ragu, gambarlah seekor naga mungil pada kedua belah payudaraku. Sungguh aku tidak suka gambar kupu-kupu atau bunga. Keduanya tidak melambangkan jiwa kita yang liar—keluar masuk nilai-nilai dari malam ke malam, dari pintu ke pintu diskotik. Disergap asap rokok. Irisan cahaya melambungkan jiwa kita pada impian Amerika atau impian apa saja.<br />Tatolah aku, kasihku, jangan ragu walau ayah dan ibuku tidak setuju. Dulu, ya, dulu. Tato memang simbol napi tapi sekarang lain maknanya....<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5121438/MonologAnakKabut.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">DOWNLOAD NASKAH DRAMA</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3733203703671889992"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/koruptor-budiman.html">KORUPTOR BUDIMAN</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>‘’Saya ingin memberi contoh kepada rekan-rekan koruptor lain, tak baik melarikan diri. Lebih baik duduk tenang di pengadilan. Kalau pingin sembunyi, bukankah persembunyian paling aman bagi koruptor justru ada di pengadilan. Kita nggak bakalan diperlakukan macam maling ayam. Paling ditanyai sedikit-sedikit basa-basi minta bagian hasil korupsi. Tak ada ruginya kalau kita berbagai rezeki sama hakim jaksa polisi. Anggap saja zakat buat mereka. Toh itu juga bukan uang kita.’’<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5121443/MonologKoruptorygBudiman.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">DOWLOAD NASKAH DRAMA</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7925063184254543796"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/ibu-kita-raminten.html">Ibu kita Raminten</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Diangkat dari novel karya Muhamad Ali</span><br /><span style="font-style: italic;">Teks Pra- lakon: <span style="font-weight: bold;">Ikun Sri Kuncoro</span></span><br /><br />Trima-kasih. Sebagaimana dinyatakan kepada saya dan telah saya jawab, saya tidak akan menambahkan atau mengurangi. Saya... hanya akan melihatnya dan mengatakannya dari sisi diri saya tentang peristiwa apa yang telah saya jalani dan tentang apa yang telah bapak dan ibu simpulkan atas diri saya.<br />Saya, malam itu, tanggal 22 Desember 2004 memang berada di kamar bapak Prihartono di jalan Ahmad Yani no. 1. Tetapi seperti yang telah saya katakan, kenapa saya di rumah itu? ... Saya, ... dipaksa Stambul ... Anak saya.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5121437/MonologIbukitaRaminten.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">DOWNLOAD NASKAH DRAMA</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6495149880399525462"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/hood.html">“The Hood”</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">Sahud Sabeni</span></span><br /><br />Selamat pagi Indonesia! Hari ini pukul dua pagi Bank Indonesia dinyatakan telah dirampok! Pihak kepolisian menduga perampokan ini dilakukan oleh SAHUD SABENI alias Bang Hood atau The Hood, Robin Hoodnya Indonesia perampok legendaris yang konon selalu mendonasikan hasil rampokannya kepada para korban bencana alam. Perampok dermawan ini telah melakukan perampokan di hampir 20 bank terbesar Indonesia sebelumnya dan belum pernah tertangkap, penjahat bersama komplotannya ini selalu lolos sebelum polisi datang ke tempat kejadian. Tapi hari ini kita akan melihat keberhasilan para polisi dalam penangkapan The Hood! Kami akan terus menyiarkan perkembangan ini kedalam layar kaca anda!<br /><br /><span style="font-size: 130%;"><a href="http://www.ziddu.com/download/5121436/MonologTheHood.doc.html"><span style="font-weight: bold;">DOWNLOAD NASKAH DRAMA</span></a></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="391192317312310901"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/surat-kepada-orang-terkasih.html">SURAT KEPADA ORANG TERKASIH</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Taufan S. Chandranegara</span></span><br /><br />Kepada A moral yang terkasih.<br />Baru saja aku menerima suratmu. Tentang musibah yang melanda umat manusia di negerimu. Kau Tanya aku tentang bagaimana mangatasi akibat dari itu semua. Umumnya manusia menyalahkan Tuhan. Padahal menurutmu, ini bencana al. Alam bergeser dari taksirnya menuju takdir yang baru dalam kurun ruang dan waktu.<br /><br />Kalau boleh kujawab; bisa. Bisa saja itu. Kalau menurut keyakinanmu begitu. tapi bolehkah aku bertanya satu hal saja: manakah yang lebih dulu ada? Tuhan atau alam?<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5121435/MonologSURATKEPADAORANGTERKASIH.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">DOWNLOAD NASKAH DRAMA</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2983517829663075566"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/penis-lilin.html">PENIS LILIN</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya </span><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Dadi Pujiadi Reza</span><br /><br />Jangan tanya saya buat apa di sini… Siapa tak kenal Satrio Welang… nggak berani tanya khan? Mau gua stuut? Saya sudah keliling kemana-mana… nyari anu… Saya cari anu. Anu saya mana? Tempat itu memang harus digusur! Apa-apa di situ mahal. Malah bikin penyakitan lagi… tempat itu sudah sepantasnya digusur…<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5121442/MonologPenislilin.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="8568141534512706896"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/julius-caesar.html">JULIUS CAESAR</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">William Shakespears</span></span><br /><br />Seri PJ 428 01 79<br />Judul Asli : Julius Caesar<br />Naskah terjemahan ini merupakan usaha penerjemahan sastra dunia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 1976. Diterbitkan atas kerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta oleh Pustaka Jaya<br />Jl. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat<br />Anggota IKAPI<br />Cetakan pertama: 1979<br />Hak Cipta Dilindungi Undang-undang<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5049330/LakonJULIUSCAESAR.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7678241963707995512"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/nyonya-nyonya.html">NYONYA-NYONYA</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Wisran Hadi</span></span><br /><span style="font-style: italic;">Juara 2 Sayembara Menulis Naskah Drama DKJ 2003</span><br /><br />Drastis! Perubahan cuaca memang sulit dipastikan, walau pun televisi setiap malam mengumumkan ramalannya. Sulitnya di sini, mereka meramal tanpa memperhitungkan kondisi-kondisi lain. Akibatnya, yang jadi korban selalu saja orang-orang seperti saya. Berdiri berjam-jam sejak senja, taksi tak ada yang lewat, dan malam tiba-tiba saja turun!<br /><br />Mestinya pedagang barang antic seperti saya harus dilindungi dari bencana alam yang datang mendadak. Bukan hanya karena langkanya pedagang barang antic, tapi karena barang antik itu sendiri yang sudah langka sekarang.<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5049002/LakonNyonya-nyonya.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2032413481447790846"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/sobrat.html">SOBRAT</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Arthur S. Nalan</span></span><br /><span style="font-style: italic;">Naskah Juara 1 sayembara naskah drama DKJ 2003</span><br /><br />Beginilah hidupku di Tapak dara ini! Jauh dari kampong Lisung dating ke bukit Kemilau hanya untuk mengadu nasib menjadi kuli kontrak penambang emas. Padahal aku cukup bahagia bersama Mimi, ibuku. Mimi yang sangat telaten, suka memasak sayur asem untukku, suka membuatkan pepes ikan dan sambal pedas untukku. Semuanya itu kutinggalkan demi emas. Kalau aku beruntung, upah yang kudapat, lalu habis di lantai judi dan biti-biti. Lalu aku kontrak lagi. Aku selalu tergoda, sejak pergi tinggalkan kampong, sejak pergi dari tanah yang sebenarnya subur, sawah yang <span style="font-style: italic;">ledok </span>dan Kebo yang <span style="font-style: italic;">montok</span>.<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5048999/LakonSobrat.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3285711412802737284"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/ketika-iblis-menikahi-seorang-perempuan.html">Ketika Iblis Menikahi Seorang Perempuan</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Dari sebuah cerita rakyat Firenze.<br /><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">Nicolo Machiavelli</span></span><br /><span style="font-style: italic;">Disadur Oleh: <span style="font-weight: bold;">T. Arief</span></span><br /><br />Apa jadinya bila semua pria di neraka mengeluhkan keluhan yang sama, dan terdengar unik?<br />Yang pasti, konon tak ada yang bisa seenaknya mengeluarkan pendapat di sana.<br />Namun begitulah, yang terjadi adalah sebaliknya, neraka tiba-tiba dapat berlaku arif dan adil dalam menimbang alasan pada manusia. Machiavelli bercerita dengan segenap ironi dan dengan satirenya.<br /><br />Adalah Belfagor, yang dulu, ketika sebelum menjadi setan adalah malaikat yang paling baik, menjadi proyek eksperimental pengisi neraka.<br />Demokratis sekali penguasa neraka, ketika menunjuk Belfagor untuk menjadi seorang utusan dalam mengemban tugas berat....<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5049331/LakonKetikaIblisMenikahiPerempuan.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5558796786660433548"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/nyanyian-rimbayana.html">Nyanyian Rimbayana</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Sebuah Opera Binatang<br /><span style="font-style: italic;">Oleh <span style="font-weight: bold;">M. Ahmad Jalidu</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Heey,,, Daun-daun dan bunga bernyanyi</span><br /><span style="font-style: italic;">Heey... bersatu nada dalam harmoni</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Heey.. Sungai rimbaku dan matahari</span><br /><span style="font-style: italic;">Heyy.. indah bagai selaksa puisi</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Tak kan ada, sedetikpun hidup kan mendera</span><br /><span style="font-style: italic;">Karna kita semua bersama untuk berbagi cinta</span><br /><br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5049005/Nyanyian20RIMBAYANA.pdf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5616749927690445838"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/koor.html">KOOR</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">Orang Teater Lembaga</span></span><br /><br />Koor? Kedengerannya aneh gak, sih? Tapi di sini, di negeri kami yang bernama Negri Durjanasia ini, anda boleh bilang kalo setiap kami semua adalah penganut koor yang taat. Karena koor adalah nilai luhur warisan para leluhur. Anda bisa buktikan semua itu dengan melihat bagaimana cara kami memelihara dan membuncitkan perut-perut kami. Karena perut buncit adalah lambang kegagahan kami, kewibawaan, kesuksesan, kesejahteraan dan kesempurnaan hidup kami. Jadi sudah sewajarnya kalo kami mengarahkan semua tindakan-tindakan kami- tanpa terkecuali, demi perut-perut buncit kami ini. Lantas, anda semua mungkin akan bertanya... bagaimana cara kami melestarikan koor yang luhur itu secara turun-temurun? Ahaa...inilah negeri kami, rumah kami...kami akan terus ada dan berkembang dalam...tradisi!<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5049001/KOORVERSIGUA.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><br /><div id="post-head"> <a name="384808493332388931"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/06/sidang-susila.html">SIDANG SUSILA</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <span style="font-style: italic;">karya: <span style="font-weight: bold;">Ayu Utami & Agus Noor</span></span><br /><br />Tayuban sedang berlangsung di sebuah tempat di pingiran kota…<br /><br />Para penari tayub asik ngibing. Orang-orang yang yanggembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki goyang para penari. Mira, seorang penari tayub bergerak sensual, mengundang gairah para lelaki yang ikut berjoget. Suasana meriah dan bergairah.<br /><br />Muncul Susila, membawa pikulan berisi dagangannya: mainan anak-anak. Bermacam mainan anak-anak. Ada mobil-mobilan, wayang, balon yang dibentuk dilekuk-lekuk aneka bentuk, kitiran, dll. Begitu melihat sesila muncul, Mira langsung menyambut dengan genit........<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/5049004/sidang-susila.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></span>teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-82771250265650354812010-03-29T18:58:00.000-07:002010-03-29T19:01:32.166-07:00NASKAH-NASKAH DRAMA 2<h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/g-o-d-l-o-b.html">G O D L O B</a> </h2> <span class="post-author"> </span> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Danarto</span></span><br />Dinaskahkan <span style="font-weight: bold;">Uje Lelono</span><br /><br />Yah, seperti mereka, sebelum Ayah mendapatkan kau. Berhari-hari tanganmu yang lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir burung-burung gagak yang mengerumunimu karena mengira kau sudah jadi bangkai. Hidungmu yang mewarisi hidung ibumu itu sudah kebal untuk bau busuk bangkai kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu Dan, udara mengantarkan kuman-kuman untuk mengunyah sedikit demi sedikit luka yang parah itu.<br /><span id="fullpost"><br /><span style="font-size: 130%;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4802605/LakonGODLOB.rtf.html"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></a></span><br /></span></p> </div> <div class="post uncustomized-post-template"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p><div id="post-head"> <a name="532417839281952908"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/renungan-lukisan-kopi.html">Renungan Lukisan Kopi</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">Dimas Timus Setyo</span></span><br /><br />Pemenang III Bidang Penulisan Naskah<br /><span style="font-weight: bold;">PEKAN SENI MAHASISWA NASIONAL 2008</span><br /><br />Yung bisakah kau tidak membuat suara itu, bunyi harmonica mu itu membuat aku pusing. Ini<br />sudah keseratus kalinya aku kehilangan akal. Kalau begini terus aku tak kanpernah bisa menggambar! Yung tolong hentikan suara harmonika itu...<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802604/RENUNGAN20LUKISAN20KOPI.pdf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4642169653632803029"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/dunia-seolah-olah.html">DUNIA SEOLAH-OLAH...</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya: <span style="font-weight: bold;">Yoyo C.Durachman</span></span><br /><br />Ini adalah kisah dari negeri yang bisa terjadi apa saja. Warna hitam bisa dibuat menjadi warna putih, siang sekonyong-konyong bisa menjadi malam, orang miskin dalam sekejap bisa menjadi MILLIONER, pesakitan tak berdosa bisa jadi terpidana, pedagang bisa jadi politikus, seniman bermetafora menjadi birokrat dan penguasa, pejabat pintar bisa menjadi dungu … ahhh …mungkin tidak cukup semua saya sampaikan dalam pementasan malam ini. Anda tidak akan menontonnya lebih dari dua jam...<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802603/LakonDuniaSeolah-olah.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="1565499509061417313"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/elegi-musim-panas.html">ELEGI MUSIM PANAS</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya : <span style="font-weight: bold;">Chandra Kudapawana</span></span><br /><br />Nita, Nita. Kau ini ada-ada saja, anggur selezat itu hanya sekedar pajangan? Menurutku, anggur itu ibarat seorang wanita cantik. Tidak akan puas kalau hanya dilihat saja, ada trik-trik tertentu untuk menikmatinya. Pertama buka dulu seluruh pakaiannya agar kita bisa melihat halus kulitnya, kedua biarkan menari-nari erotis, ketiga sentuh dia dengan lembut dan yang keempat kau juga sering merasakannya, bukan?<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802602/LakonElegiMusimPanas.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="8653502082614388947"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/bius.html">Bius</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Benny Yohanes</span></span><br /><br />Sebuah sudut di kamar periksa dokter, di latar belakang Nampak kamar-kamar sempit, tiang-tiang kokoh dan pintu-pintu berkaca buram. Sebuah rumah sakit yang sudah sangat lama digunakan,namun tidak dirawat.<br /><br />Tuna S masuk ruangannya, diseputar dinding Nampak terjejer rapih gambar-gambar manusia yang tersenyum. Amin dan seorang tua berjejer duduk diruang tunggu. Tuna s Nampak baru bangun tidur. Dia duduk di atas sebuah peti mati, yang dijadikannya meja untuk menerima dan memeriksa pasien.<br /><br />Tuna S membuat tanda salib , lalu membuka peti mati. Dari dalam petinya lalu diambil gayung, odol, sikat, lalu menggosok gigi. Lalu setelah itu menelan sebutir pil, dan dia bersendawa. Ditutupnya peti mati lalu membuat tanda salib lagi. Diruang tunggu terdengar orang tua terbatik-batuk. Amin membantu melegakan nafasnya....<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802601/lakonBIUS.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Downlaod Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="8031998670748140083"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/mangir.html">Mangir</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya <span style="font-weight: bold;">Pramoedya Ananta Toer</span></span><br /><br />Tinggal sejengkal lidah<br />Dijadikannya tombak pusaka<br />Itulah konon tombak pusaka<br />Si Baru Klinting...<br /><br />DRAMA ini mengisahkan perjalanan hidup tragis yang dialami Ki Ageng Mangir atau Wanabaya muda di suatu wilayah perdikan di bagian selatan Yogyakarta. Kisaran waktu sekitar Abad 18 atau pada masa pemerintahan Pangeran Senopati yang dinobatkan menjadi raja pertama Keraton Mataram di Yogyakarta.<br /><br />Mangir merupakan pemuda yang memiliki pusaka sakti Tombak Kyai Plered yang disegani Senopati sampai ia menjadi raja Mataram yang pertama. Suatu ketika Raja Senopati ini berulah dengan menetapkan rakyat yang menetap di daerah yang dikuasai Mangir harus memberikan upeti ke Keraton Mataram.<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802600/Mangir.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="8504515487418641005"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/kisah-cinta-hari-rabu.html">Kisah Cinta Hari Rabu</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">naskah drama karya: </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Anton Chekov</span><br /><br />Itulah! Tiap hari Rabu aku akan harus di rumah. Hari Rabu adalah hari<br />bicaraku, sebab menurut astrologi, hari Rabu sangat cocok bagiku. Aku terima<br />tamu sampai sore, ingat?<br /><br />....saya jadi sedih Ngung, sudah berpuluh-puluh hari Rabu ini tak ada<br />seorang tamupun yang datang....<br /><br />Seorang gadis, umur selalu rahasia. Yang kau boleh tahu adalah bahwa aku<br />telah memasukkan namaku ke dalam lebih dari sepuluh biro perkawinan,<br />lengkap dengan foto-foto dengan pose serta riwayat hidupku. Tapi rupanya tak<br />ada yang memperhatikan....<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802599/kisah_cinta_hari_rabu.rar.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3189917109602978369"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/nyanyian-jaiman.html">Nyanyian Jaiman</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">naskah drama Karya: <span style="font-weight: bold;">NN</span></span><br /><br />Selama ini aku masih bisa sabar, sebab kamu tahu kan, aku begitu mencintaimu. Mana tega aku menghabisimu. Toh aku sudah ribuan kali minta maaf. Berapa ribu kali lagi aku harus minta ampun? Ribuan kali sudah aku katakan, aku khilaf saat itu. Aku benar-benar tak punya niat menyakitimu. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Sampai mati aku cinta. Jadi, tolong pertimbangkan ini. Aku sudah capek terus-terusan begini, biarkan aku menikmati tidur nyaman seperti dulu lagi.....<br /><br /></p><p align="center">Naskah ini diangkat dari syair lagu karya <span style="font-size: 180%;"><i>grass roots </i></span>Bojonegoro yang berjudul <span style="font-size: 180%;"><i>: "Jaiman"</i></span></p><br /><span style="font-weight: bold;">nb</span>: Kami mendapatkan naskah ini tanpa disertai nama pengarang. Bila ada yang tahu mohon menghubungi <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold;">Bank Naskah FS</span></a> lewat form Komentar.<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802598/NyanyianJaiman.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah</span></span></a><br /></span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4732833155453208572"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/bunga-rumah-makan.html">BUNGA RUMAH MAKAN</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">nsakah drama Karya : <span style="font-weight: bold;">UTUY T. SONTANI</span></span><br /><br />Diketik ulang dari Naskah Terbitan<br />Perpustakaan Perguruan Kementrian P.P. DAN K.<br />Jakarta 1954<br /><br />Saya tidak mengatakan, bahwa saya lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, mas. Tapi saya belum hendak memikirkan berumah tangga, sebab saya masih senang bekerja.....<br /><br />....ketika saya datang di sini dulu, saya tiada ingin lebih dari jadi pelayan, jadi pegawai sebagaimana kesanggupannya orang miskin di dalam mencari sesuap nasi....<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802597/LakonBungaRumahMakan.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah</span></span></a><br /><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6706482605235396507"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/cermin.html">Cermin</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">nsakah drama karya: <span style="font-weight: bold;">NANO RIANTIARNO<br /><br /></span></span>Jangan! Jangan tinggalkan saya! Tolong! Tolong! Tolong! Nyalakan lampu, saya takut gelap! Saya takut sendirian! Tolong! Jangan tinggalkan saya! Cahaya, saya butuh cahaya! Saya butuh terang! Tolong…….cahaya…….cahaya.<br /><br />Hee……….. Ya! Masih ada. Kukira sudah pergi bersama yang lain-lain. He, aku senang kau masih ada. Di depan situ menatapku. Temanku Cuma kamu sekarang. Di sini pengap. Keringat tak henti-hentinya menyembul dari pori-pori kulit. Aku khawatir kalau persediaan air dalam tubuhku habis, pasti bukan keringat lagi yang keluar tapi darah. Dan kalau darah sudah habis……..<br /><br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4802596/LakonCermin.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5987421334463022331"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/cinta-is-not-game.html">“Cinta Is (Not) A Game”</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">naskah drama Karya: Hermanjoyo</span><br /><span style="font-weight: bold;">SMU Kolese De Brito Yogyakarta</span><br /><br />Empat orang pelajar di empat tempat yang berbeda sedang melakukan ritual ‘melepaskan hasrat’ muda remaja mereka, membuang gundah - mengusir gelisah pada khayalan yang memabukan atas nama satu perempuan pujaan – Cinta.<br /><br />Di kamar mandi Bogi menuntaskan hasratnya dengan menggunakan sabun.<br />Di tempat tidur Anto bergulat melepaskan resah pada guling yang diapit kedua kaki persis di selangkangannya.<br />Dono di ruang belajar duduk di depan meja belajar dengan satu tangan menggaruk-garuk selangkangannya sambil memandangi foto seorang model yang dipegangi tangan lainnya.<br />Sementara Jonny memacu geloranya dengan mengusap-usap seluruh tubuhnya, sambil sebelah tangannya memegangi gagang telpon di telinga.<br /><br />Lenguhan dan sesekali kata “Cinta” mendesis dari mulut-mulut mereka. Tapak demi setapak mereka mendaki kenikmatan ala seks swalayan tersebut. Ketika puncak-puncak itu sudah mulai mendekat kata-kata “Cinta, Cinta. Cinta, Cinta….” Semakin cepat terlafalkan dan mulai tidak beraturan. Dan kemudian berakhir pada lenguhan panjang, “Cinnntaaaaa….”<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4787745/cinta-is-not-a-game.doc.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah Drama</span></span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2147934071288940480"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/becik-nitik-ala-pilara.html">Becik Nitik, Ala Pilara</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Sandiwara Kampung<br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Karya : M. Ahmad Jalidu</span><br /><br />“Malingg.. malingg.. malingg….”<br />“Pateni wae kang...”<br />“Golek bensin, njikuk nggon Yu Suti..”<br />"Wis rasah nunggu kesuwen..”<br />“maling nin mejid, Ngluwihi bajingan Penjajahan!”<br />“Wis.. dientekke wae”<br /><span id="fullpost"><br /><span style="font-size: 130%;"><a href="http://www.ziddu.com/download/4787747/Becik20Nitik20Ala20Pilara.rtf.html"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah</span></a></span><br /><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2170962064111560809"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/adila.html">Adila</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Disadur dari Cerpen : Laila S. Chudori<br /><br />Gadis, aku tak mengerti mengapa aku lahir untuk harus menjadi bayang-bayang ibuku. Semua tindakan dan pemikiran yang lahir dari diriku selalu salah. Karena itu , aku pikir kamar tidur ini adalah tempat yang paling membahagiakanku. Kasur, bantal, guling,boneka, dan bahkan cicak-cicak yang menempel di dinding tak akan berteriak-teriak sekalipun aku telanjang berjam-jam. Mereka mentolerir keganjilanku.<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4787746/Adila.rtf.html"><span style="font-size: 130%;"><span style="font-weight: bold;">Download Naskah</span></span></a><br /><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7688143512909694272"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/pesta-terakhir.html">Pesta Terakhir</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>karya <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Ratna Sarumpaet<br /><br /></span>Sudah puluhan tahun BAPAK SEPUH dikenal sebagai pemimpin yang sukses di sebuah wilayah. Isterinya, yang meninggal beberapa tahun lalu, dikenal sebagai salah satu kunci keberhasilan Bapak Sepuh. Sebagai Pemimpin, Pak SEPUH terkenal sangat murah senyum. Budi bahasanya lembut dan manis dalam menghadapi siapapun. Ia dikenal berhasil memimpin wilayahnya menjadi wilayah yang makmur. Namun dalam perjalanan kemakmuran itulah kemudian ia terus berubah menjadi seorang pemimpin yang tamak, kejam dan tidak adil. Kelembutan dan senyumnya dinilai orang sebagai tameng yang ditata untuk menutupi kebusukan2 serta siasat yang tersimpan dalam dirinya. </p><p>Sebagai penentu kebijakan ia dikenal sangat otoriter, bahkan absolut. Tidak ada satu alasanpun yang boleh menggagalkan pikiran atau gagasan yang menjadi obsesinya. Semua cita-citanya harus jadi kenyataan dan dia mendapatkan semua dengan menghalalkan segala cara.</p> <p>Drama satu babak ini terjadi pada hari BAPAK SEPUH menghembuskan nafas terahirnya. Kematian Bapak SEPUH, membuat membuat anak-cucunya yang selama ini sangat manja dan sangat bergantung pada kekuasaannya, mendadak terguncang. Mereka panik dan merasa tidak aman. Sebagian besar memutuskan melarikan diri, kecuali HARYATI.</p><br /><span id="fullpost"><p><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/downloadlink/4653526/PESTATERAKHIR.zip">Download Naskah</a><br /></p></span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3522709746955127431"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/marsinah-menggugat-1-dan-2.html">MARSINAH MENGGUGAT 1 DAN 2</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>karya <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Ratna Sarumpaet<br /><br /></span>MARSINAH SEORANG PEREMPUAN MUDA, USIA 24 TAHUN, SEORANG BURUH KECIL DARI SEBUAH PABRIK ARLOJI DI PORONG, JAWA TIMUR, TANGGAL 9 MEI 1993 DITEMUKAN MATI TERBUNUH., DIHUTAN JATI DI MADIUN. DARI HASIL PEMERIKSAAN OTOPSI, DIKETAHUI KEMATIAN PEREMPUAN MALANG INI DIDAHULUI PENJARAHAN KEJI, PENGANIAYAAN DAN PEMERKOSAAN DENGAN MENGGUNAKAN BENDA TAJAM </p><p>KASUS KEMATIAN PEREMPUAN INI KEMUDIAN RAMAI DIBICARAKAN. BANYAK HAL TERJADI. ADA KEPRIHATINAN YANG TINGGI YANG MELAHIRKAN BERBAGAI PENGHARGAAN. TAPI PADA SAAT BERSAMAAN BERBAGAI PELECEHAN JUGA TERJADI DALAM PROSES MENGUNGKAP SIAPA PEMBUNUHNYA.</p> <p>SETELAH MELALUI PROSES YANG AMAT PANJANG DAN TAK MEMBUAHKAN APA-APA, KASUS UNTUK JANGKA WAKTU CUKUP PANJANG, DAN SEKARANG., SETELAH MARSINAH SEBENARNYA SUDAH MENGIKHLASKAN KEMATIANNYA MENJADI KEMATIAN YANG SIA-SIA, TIBA-TIBA SAJA KASUS INI DIANGKAT KEMBALI. MENDENGAR HAL ITU MARSINAH SANGAT TERGANGGU, DAN MEMUTUSKAN UNTUK MENENGOK SEBENTAR KE ALAM KEHIDUPAN, TEPATNYA, PADA SEBUAH ACARA PELUNCURAN SEBUAH BUKU YANG DI TULIS BERDASARKAN KEMATIANNYA.</p> <p>INILAH UNTUK PERTAMA KALINYA MARSINAH MENGUNJUNGI ALAM KEHIDUPAN. KAWAN-KAWAN SENASIB DI ALAM KUBUR TAMPAKNYA KEBERATAN. DAN DARI SITULAH MONOLOG INI DIMULAI.</p><br /><span id="fullpost"><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/downloadlink/4653550/MarsinahMenggugat12.zip">Download Naskah</a><br /></span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><br /><div id="post-head"> <a name="5769753020249296131"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/05/pelacur-dan-sang-presiden.html">Pelacur dan Sang Presiden</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <p>karya <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Ratna Sarumpaet<br /><br /></span>Pelacuran adalah salah satu budaya tertua umat manusia. Ia bagian tak terlepaskan dari naluri manusia yang memiliki sisi gelap seperti ketamakan, kemunafikan, yang mustahil bisa dihapus secara keseluruhan </p><p>Pelacur dikecam sebagai sampah masyarakat. Perusak moral. Pencari nafkah dengan cara tidak bermoral …. </p> <p>“Nafsu birahi lelaki jauh lebih besar” adalah sebuah pemakluman perbedaan gender umum pada masyarakat. Pemakluman ini membuat perempuan selalu diposisikan sebagai yang bersalah setiap kali kasus amoral jenis ini mengemuka. Perempuanlah yang dihakimi ketika kasus aborsi terjadi. Tubuh perempuanlah yang harus dibungkus rapat-rapat, untuk mencegah terjadinya pemerkosaan. Pemakluman serupalah juga yang semakin menyudutkan para pelacur pada posisi yang paling disalahkan, yang dianggap paling tidak bermoral.</p> <p>Masyarakat serta penyelenggara negara yang yang tidak mau membuka matanya untuk melihat apa masalah mendasar ‘pelacuran’, membuat bangsa ini tidak kunjung menemukan jalan mengatasinya dan pelacuran semakin terjerat dalam lingkaran setan antara dosa, kemiskinan, pembodohan, gender dan seterusnya ….</p><br /><span id="fullpost"><br /><span style="font-size:78%;"><span style="font-size: 180%;"><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/downloadlink/4653527/NASKAHDRAMA-PELACURDANSANGPRESIDEN.zip">Download naskah</a></span></span></span>teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-88056639114455810902010-03-29T18:44:00.000-07:002010-03-29T18:57:01.351-07:00NASKAH-NASKAH DRAMA 1<div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><div id="post-head"> <a name="3678772618278224936"></a><span style="font-size:180%;"><a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/kereta-kencana.html">Kereta Kencana</a></span><h2 class="post-title"> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Karya : Eugene Ionesco<br />Terjemahan : W.S. Rendra<br /><br /><br />Wahai, Wahai………………..<br />Dengarlah engkau dua orang tua yang selalu bergandengan, dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya.<br />Wahai, wahai dengarlah !<br />Aku memanggilmu. Datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin, musim gugur menampari pepohonan dan daun-daun yang rebah berpusingan.<br />Wahai, wahai !<br />Di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Kereta kencana, 10 kuda 1 warna.........<br /><span id="fullpost"><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/4212470/kereta-kencana.doc.html">Download Naskah</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3487630744217540230"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/kiblat-tanah-negeri.html">Kiblat Tanah Negeri</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya: Gondhol Sumargiyono</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Penyelaras:</span><br /><span style="font-style: italic;">Sugita Hadi Supadma</span><br /><span style="font-style: italic;">M. Ahmad Jalidu</span><br /><br /><br />Jangankan hanya delapan! Beribu-ribu sesepuh, aku takkan sudi menghadap ke Unggul Pawenang. Aku bukan budak. Aku tidak sudi diperintah. Sejak mentari menampakkan sinarnya aku sudah hidup di antara langit dan bumi ini. Aku dan para sesepuh itu sama, hanya seonggok daging yang berupa bangkai yang tidak lama lagi akan busuk. Menjadi tanah. Tapi hari ini kalian kumalungkung para sesepuh. Beraninya mengundang aku yang sebenarnya sudah manunggal dengan Ywang Sukma......<br /><span id="fullpost"><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/4212472/pagi-bening.doc.html">Download Naskah</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><span style="font-size:180%;"><a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/pagi-bening.html">Pagi Bening</a></span><div id="post-head"><h2 class="post-title"> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero</span><br /><span style="font-style: italic;">Terjemahan Drs. Sapardi Joko Damono</span><br /><br /><br />Akan saya ceritakan segalanya kepada nyonya.<br />Anak muda – Don Gonzalo itu – bersembunyi di rumah saya, takut menanggung akibatnya yang buruk sehabis menang duel itu. Dari rumah saya ia terus lari ke Madrid. Ia kirim surat-surat kepada Laura, di antaranya sajak-sajak. Tapi tentunya surat-surat itu jatuh ke tangan orang tuanya. Buktinya tak ada balasan. Kemudian Gonzalo pergi ke Afrika, sebab cintanya telah gagal sama sekali, masuk tentara dan terbunuh di sebuah selokan sambil menyebut berulangkali nama Lauranya yang sangat tercinta.....<br /><span id="fullpost"><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/4212472/pagi-bening.doc.html">Download Naskah</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="235453594204788638"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/pinangan.html">Pinangan</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya: Anton Chekov</span><br /><span style="font-style: italic;">Saduran Jim Lim Suyatna Anirun</span><br /><br />Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. Kalau orang berpikir terlalu lama, aku ragu untuk membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidup-semati akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr ... Aku kedinginan, Ratna Rukmana gadis yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek, terpelajar, tamatan SKP ... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu pening. Aku gugup.<br />Chh ... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut. Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi tidur lagi. Tapi kalau aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini berulang sampai dua puluh kali.<br /><span id="fullpost"><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/4212473/pinangan.doc.html">Download Naskah</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6112941315339697527"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/sang-mandor.html">Sang Mandor</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic; font-size: 100%;"> </span><span style="font-style: italic; font-size: 100%;">Karya : Rahman Arge</span><br /><br />Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku Cuma disini.<br />Inikah akhir riwayatku?<br />Sebagai Mandor? Sebagai Ayah? Sebagai Suami? Sebagai Laki-laki? Sebagai...Manusia?.....<br /><br />Lautan luas aku jelajahi. Aku kenal kapal-kapal. Begitu banyak kapal...<br />Aku akrab dengan pelabuhan-pelabuhan. Begitu banyak pelabuhan...<br />Aku bersahabat dengan begitu banyak bangsa. Laki-laki... Perempuan...<br /><span id="fullpost"><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/4212474/sang-mandor.doc.html">Dowload Naskah Lengkapnya</a><br /></span><br /></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><div id="post-head"> <a name="1991368382834554957"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/episode-daun-kering.html">EPISODE DAUN KERING</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <pre><span style="font-size: 130%;">Sebuah drama monolog<br />oleh Zulfikri Sasma<br /><br />ADAPTASI DARI CERPEN KARYA LARSI DE ISRAL<br /><br />Saudara-saudara, sampai hari ini, saya masih mempercayai Tuhan dengan segala skenario-Nya.<br />Pergantian siang dan malam. Kehidupan dan kematian. Untung dan rugi. Marah dan cinta.<br />Di dalam semua itu kita melingkar, menjalar bahkan kadang terpaku tanpa daya. Beragam<br />kisah dilakoni dengan bermacam rasa yang terkadang menjelma benang kusut. Dibutuhkan<br />kesabaran untuk mengurainya. Dan, manakala kesabaran yang kita miliki kian menipis<br />atau sama sekali sirna, adakah orang lain akan datang menawarkan pertolongan? Memberi<br />kesejukan pada pikiran dan perasaan seperti benang kusut? Teramat berat bagi saya<br />untuk berbagi kisah ini.<br />Kisah yang saya sebut sebagai episode daun kering!<br /><br /></span><span id="fullpost" style="font-size: 130%;"><br />======================================================================================<br />Download naskah lengkapnya <a href="http://www.ziddu.com/download/3570774/Episodedaunkering.doc.html">di sini.</a><br /></span></pre> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7482959606847869509"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/aeng.html">AENG</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya:Putu Wijaya</span><br /><br />IA BERBARING DI LANTAI DENGAN KAKI NAIK KE KURSI. DI MEJA KECIL, DEKAT KURSI, ADA BOTOL BIR KOSONG SEDANG DI LANTAI ADA PIRING SENG. MUKANYA DITANGKUP TOPI KAIN. DI KAMAR SEBELAH TERDENGAR SESEORANG MEMUKUL DINDING BERKALI-KALI<br /><span id="fullpost"><br />Ya, siapa itu. Jangan ganggu, aku sedang tidur<br /><br />GEDORAN KEMBALI BERTUBI<br /><br />Yaaaa! Siapaaa? Jangan ganggu aku sedang tidur<br /><br />GEDORAN BERTAMBAH KERAS. ORANG ITU MENGANGKAT TUBUHNYA<br /><br />Ya! Diam kamu kerbau! Sudah aku bilang, aku tidur. Masak aku tidak boleh tidur sebentar. Kapan lagi aku bisa tidur kalau tidak sekarang. Nah begitu. Diam-diam sajalah dulu. Tenangkan saja dulu kepalamu yang kacau itu. Hormati sedikit kemauan tetangga kamu ini<br /><br />=====================================================================================<br />Download lengkap naskahnya <a href="http://www.ziddu.com/download/3570777/Aeng.doc.html">di sini!</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3918032371934933441"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/matinya-toekang-kritik.html">MATINYA TOEKANG KRITIK</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>– Sebuah Teater Monolog –<br /><br /><span style="font-style: italic;">Karya Agus Noor</span><br /><br />Terdengar detak nafas waktu…<br /><br />Sebelum pertunjukan – sebelum dunia diciptakan – denyut waktu itu mengambang memenuhi ruang – semesta yang hampa. Seperti denyut jantung. Terdengar detak-detik waktu bergerak. Seperti merembes dari balik dinding. Seperti muncul dan mengalir menyebar di antara kursi-kursi yang (masih) kosong…<span id="fullpost"><br />=====================================================================<br />Download lengkap naskah ini <a href="http://www.ziddu.com/download/3570771/MATINYATOEKANGKRITIK.doc.html">di sini</a>. Don't shy to say Thank's!<br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="2139555349349612195"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/lidah-pingsan.html">LIDAH PINGSAN</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>S e b u a h M o n o l o g<br /><span style="font-style: italic;">karya: Agus Noor & Indra Tranggono</span><br /><br />SEORANG wartawan mencoba memberikan kesaksiannya, tentang Pak Mardiko yang pepe di Balai Desa Menangan. Sudah hampir 30 tahun Pak Mardiko, seorang buruh tani, pepe seperti itu, digerus hujan dan debu. Pak Mardiko pepe menuntut kejelasan nasib anaknya yang dituduh mengerakkan kerusuhan, dan hilang tak tentu rimbanya.<span id="fullpost"><br />=====================================================================<br />Download naskah lengkapnya <a href="http://h1.ripway.com/halapana/Naskah%20Drama/LIDAH%20PINGSAN.doc">di sini</a>. Don't shy to say Thank's!<br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="1207922228580414982"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/mayat-terhormat.html">MAYAT TERHORMAT</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Monolog<br /><br /><span style="font-style: italic;">karya: Agus Noor dan Indra Tranggono</span><br /><br />PROLOG:<br />Selamat malam,…bla,bla,bla…..<br />Sebelum pertunjukan ini dimulai, marilah ada baiknya kita membangun kesepakatan, yaitu hendaknya pertunjukan kita malam ini tidak diganggu bunyi tu-la-lit-tu-la-lit ponsel anda atau pager. Bunyi-bunyi ilegal untuk sementara diharamkan. Maka saya memberi kesempatan kepada anda untuk mengeksplorasi naluri-naluri purba anda: segeralah anda menjadi pembunuh. Bunuhlah pager dan handphone anda ! Ini jauh lebih baik katimbang anda membunuh orang, atau membacok, hanya karena perbedaan visi atau perbedaan pendapat. Kalau nanti ternyata masih tu-la-lit-tu-la-lit, nikmatilah risikonya dipisuhi penonton lain.<span id="fullpost"><br />====================================================================<br />Download naskah lengkapnya<a href="http://www.ziddu.com/download/3570776/MAYATTERHORMAT.doc.html"> </a><a href="http://www.ziddu.com/download/3570776/MAYATTERHORMAT.doc.html">di sini</a><a href="http://www.ziddu.com/download/3570776/MAYATTERHORMAT.doc.html">.</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4961774222347427196"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/s-r-i-m-i-n.html">S A R I M I N</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya Agus Noor </span><br /><br />Malam ini, saya akan bercerita tentang Sarimin. Perlu Anda ketahui, nama Sarimin ini bukanlah nama asli. Tapi nama paraban. Nama panggilan. Nama aslinya sendiri sebenarnya cukup keren: Butet Kartaredjasa..1 Mungkin nama ini kurang membawa berkah. Meski pun ada juga lho orang yang memakai nama Butet Kartaredjasa, lah kok nasibnya malah mujur: tersesat jadi Raja Monolog. Atau istilah yang lebih populisnya: pengecer jasa cangkem.....<span id="fullpost"><br />======================================================================================<br /><a href="http://www.ziddu.com/download/3595340/MonologSarimin.rtf.html"><span style="font-weight: bold;">Download</span></a></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6846833777664080494"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/kasir-kita.html">Kasir Kita</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p style="font-style: italic;" class="MsoNormal"><b><span style=""></span></b>karya: Arifin C Noer</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;">Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya, maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya; ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah........</p> <span id="fullpost"><br />======================================================================================<br /><a href="http://www.ziddu.com/download/3595339/KasirKita.doc.html"><span style="font-weight: bold;">Download</span></a></span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3091455291226763156"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/light-of-ken-dedes.html">The Light of Ken Dedes</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Naskah Drama oleh<br />M Ahmad Jalidu<br /><br />Kenapa harus aku. Aku tak tahu bahwa sinar di kelaminku ini ada artinya. Kupikir semua orang juga begitu. Kupikir karena semua orang begitu maka tak perlu dibicarakan lagi.<br />Aku masih ingat ketika kakekku mendongeng baratayuda. Aswatama yang ingin membalas dendam kedamaian ayahnya resi Durna terpaksa menggali terowongan dalam tanah menuju ke keraton Amarta. Dia ditemani ibunya yang membuka kain hingga kelaminnya terbuka dan memancarkan sinar untuk menerangi dendam suci sang putra.<br />Kupikir itu tidak aneh.....<br /><br />Hak Cipta Dilindungi Undang-undang<br />Dilarang mementaskan naskah ini tanpa ijin dari penulis.<br />M. Ahmad Jalidu<br />GMT on Stage Production<br />08175486266<br />masjali@yahoo.com / zonagamblank@yahoo.com<br /><br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4212192/TheLightofKenDedes.doc.html">Dowload naskah lengkap</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3711417643360407403"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/gemuruh-perang.html">GEMURUH PERANG</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya: Sugito HS</span><br /><br />Naskah ini adalah buah inspirasi atas pembacaan Serat Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV. Konsep pertunjukan Wayang ini sesungguhnya adalah imitasi dari konsep pertunjukan Wayang Sandosa dan Pakeliran Padat. Kisah perang Baratayuda, bagian dari epos Mahabarata, bukan sesuatu yang baru, namun bukan sesuatu yang usang.<br /><br />Untuk menggunakan naskah ini, mohon menghubungi penulis.<br />Kontak : 08562856610. email : komunitas_slenk@yahoo.co.id<br /><span id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/4212193/GemuruhPerang.doc.html">Dowload lengkap naskah</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4472936796213836617"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/racun-tembakau.html">RACUN TEMBAKAU</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya <span style="font-weight: bold;">Anton Chekov</span></span><br /><span style="font-style: italic;">Terjemahan <span style="font-weight: bold;">Jim Lin</span></span></p><p style="margin-bottom: 0in;"> </p><p style="margin-bottom: 0in;">Untuk ceramah hari ini; omong-omong saya mengambil sebuah pokok tentang bahaya yang disebabkan pada bangsa manusia oleh menghisap tembakau. Saya sendiri merokok, tapi istri saya yang menyuruh ceramah tentang bahaya tembakau pada hari ini, dan karena itu, tidak ada jalan lain. Tentang tembakau. Ya sudah tembakaulah...</p><span id="fullpost"><p style="margin-bottom: 0in;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3615115/RACUN%20TEMBAKAU.doc.html"><span style="font-weight: bold;">Download naskah</span></a><br /></p> </span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="230619999184735209"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/nimok-aku-cinta-kamu.html">Nimok, Aku Cinta Kamu.</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-weight: bold;">Karya </span>: <span style="font-style: italic;">I n u l.</span><br /><span style="font-style: italic;">( <span style="font-weight: bold;">Hardjono Wiryosoetrisno </span>)</span><br /><br /><br />Awalnya, Nimok menolong Momon yang menjadi korban pengguna narkoba hanya karena keduanya adalah sahabat. Momon berhasil lepas dari persoalan itu tetapi mencintai Nimok dan Nimok menolaknya.<br />Akibatnya, Momon makin parah terjerumus dalam persoalan itu kembali. Nimok kembali datang, tetapi tetap tidak ingin menerima cinta Momon.<br />Mengapa Nimok kembali datang ?<span id="fullpost"><br /><br />Download lengkap naskah ini <a href="http://www.ziddu.com/download/3571081/NimokAkucintakamu.doc.html">di sini.</a><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;"><br /></span></div></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="631039180106250151"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/para-jahanam.html">PARA JAHANAM!</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Naskah: Zulfikri Sasma<br /></p><p courier=""><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><span style="font-size: 100%;">Bagi masyarakat yang bermukim di tepi kali comberan, yang hanya terdiri dari puluhan gubuk-gubuk reot, parade hingar bingar adalah hal yang biasa terjadi. Terlebih pada saat matahari mulai menciumi bau busuk pada tepian kali comber yang dipenuhi bermacam-macam sampah. Sumpah serapah, caci maki, suara bantingan piring yang sering berakhir dengan saling cakar, ternyata telah menjadi upacara bangun pagi yang mengasyikkan. Hingga, tak ada satupun yang menarik untuk didengar, apalagi ditonton.</span></span></p> <p courier=""><span style="font-size: 100%;">Inilah kisah tentang kaum comberan, kisah tentang orang-orang yang mengatakan bahwa hidup adalah untuk makan dan senang-senang!</span></p><span id="fullpost"><p courier=""><span style="color: rgb(102, 51, 51);"><span style="font-size: 100%;">Download lengkap naskah ini <a href="http://www.ziddu.com/download/3570772/ParaJahanam.doc.html">di sini.</a><br /></span></span></p> </span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6465058291109486784"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/jaka-tarub.html">Jaka Tarub</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Naskah ini adalah pemenang ketiga dalam sayembara naskah lakon Dewan Kesenian Jakarta yang ke III/1974.<br /><br />Diketik ulang oleh Studio PPPG Kesenian Yogyakarta.<br />Yogyakarta , juni 2007.<span id="fullpost"><br /><br />Berikut ini adalah link downloadnya (.doc)<br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/3570778/JAKA_TARUB.doc.html"><span style="font-weight: bold;">Jaka Tarub</span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="4886558964337181226"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/berdiri-di-atas-badai.html">BERDIRI DI ATAS BADAI</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya Rini Fardhiah</span><br /><br />Mirna, seorang perempuan muda usia, seorang eks-tkw hong kong yang<br />pulang ke tanah kelahirannya, malang jawa timur, karena tidak tahan<br />melihat berbagai ketidakadilan yang dialami TKI.<br /><br />Sebelumnya, ketika masih belia ia bekerja sebagai pembantu rumah<br />tangga di sebuah rumah seorang eks-pejabat yang pesakitan di Jakarta.<br />Lalu ia diperkosa oleh anak eks-pejabat tersebut hingga mengandung.<br /><span id="fullpost"><br />Mirna kemudian diusir, karena ia tidak mau menuruti perintah<br />majikannya untuk menggugurkan kandungannya itu. Mirna pulang ke<br />kampungnya dan melahirkan di sana. Lalu memutuskan pergi ke luar<br />negeri, hong kong, untuk menjadi tki dengan harapan kehidupan<br />ekonominya menjadi lebih baik.<br /><br />Hidup di luar negeri sebagai buruh migran tidaklah mudah. Banyak hal<br />dan kebijakan pemerintah yang merugikan buruh migran. Mirna dan buruh-<br />buruh migran lainnya kerap kali melakukan unjuk rasa membela hak-hak<br />mereka sebagai kaum buruh.<br /><br />Lalu pada akhirnya di sinilah Mirna, di kampung kelahirannya, malang<br />jawa timur, membuka sebuah home industry kecil-kecilan dengan<br />memperkerjakan para eks-pekerja seks komersial dan TKW. Home industry<br />ini kemudian berkembang dan menjadi inspirasi bagi kaumnya bahwa<br />perjuangan, persamaan hak, intinya bukan berteriak-teriak, tetapi<br />dengan sikap dan tindakan untuk membuat diri setara dengan kaum laki-<br />laki.<br /><br />Download naskah lengkap Berdiri di Atas Badai <a href="http://www.ziddu.com/download/3570775/BERDIRIDIATASBADAI.doc.html">di sini</a>.<br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3135701360966673803"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/joko-semprul.html">JOKO SEMPRUL</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;" lang="IN">Karya: Puthut Buchori<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 100%;"><b style=""><span style="line-height: 150%;" lang="IN">DI SEBUAH EMPERAN PAGAR SEKOLAH, DUDUK SEORANG PEMUDA BERPAKAIAN SERAGAM SEKOLAH (SMU), DIA TAMPAK MURUNG, SEDIH, GELISAH. DITEMANI SEBUAH WALKMAN YANG SEDANG MEMUTAR LAGU SEDIH, DIA MULAI BERKISAH TENTANG PERJALANAN HIDUPNYA.<o:p></o:p></span></b></span></p><span style="font-size: 100%;"><span id="fullpost"> Download naskah lengkapnya <a href="http://www.ziddu.com/download/3571074/JOKOSEMPRUL.doc.html">di sini</a>.<br /></span></span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3217061057317880241"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/badai-sepanjang-malam.html">Badai Sepanjang Malam</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p style="margin-bottom: 0in; font-style: italic;">Karya MAX ARIFIN</p><br /><p style="margin-bottom: 0in;">“Sudah setahun aku bertugas di Klaulan. Suatu tempat yang terpacak tegak seperti karang di tengah lautan, sejak desa ini tertera dalam peta bumi. Dari jauh dia angker, tidak bersahabat, panas dan debu melecut tubuh.Ia kering kerontang, gersang. Apakah aku akan menjadi bagian dari alam yang tidak bersahabat ini? Menjadi penonton yang diombangkan ambingkan oleh…barang tontonannya. Setahun telah lewat dan selama itu manusia ditelan oleh alam. </p><p style="margin-bottom: 0in;">Aku belum menemukan kejantanan di sini. Orang-orang seperti sulit berbicara tentang hubungan dirinya dengan alam. Sampai di mana kebisuan ini bisa diderita? Dan apakah akan diteruskan oleh generasi generasi yang setiap pagi kuhadapai? Apakah di sini tidak dapat dikatakan adanya kekejaman.”</p><p style="margin-bottom: 0in;">Sebuah kisah guru muda yang berjuang memerdekakan masyarakat dari kebodohan di pulau terpencil.<br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;"> </p><p style="margin-bottom: 0in;">Naskah ini pernah dimuat dalam buku Kumpulan Drama Remaja, editor A.Rumadi.Penerbit PT Gramedia Jakarta,1988,halaman 25-33</p><span id="fullpost"><p style="margin-bottom: 0in;">Download naskah ini <a href="http://www.ziddu.com/download/3570773/badai-sepanjang-malam.doc.html">di sini.</a> Don't shy to say Thank's!<br /></p></span> </div> </div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><div id="post-head"> <a name="8640918983424430043"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/lit.html">Lit</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p style="margin-bottom: 0in; font-style: italic;"><span style="font-size: 100%;">Oleh : Viddy AD Daery</span></p><br />Di tengah kesemrawutan hukum Di REPUBLIK JOMBROT , Lit, pemimpin non-formal dari kaum terpelajar miskin, menantang kekuasaan semena-mena sistem pendidikan yang mahal dan mencekik rakyat, juga melawan polisi dan hamba-hamba hukum yang justru mempermainkan hukum.<br /><br />Tapi, alam selalu mempunyai hukumnya sendiri.<span id="fullpost"><br /><br />Download lengkap naskahnya <a href="http://www.ziddu.com/download/3571077/LIT.doc.html">di sini.</a> Don't shy to say Thank's!</span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7317351335823113577"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/naskah-drama-remaja-taman-budaya-jatim.html">Naskah Drama Remaja Taman Budaya Jatim 2008</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p>Berikut ini adalah daftar pemenang lomba Nakah Drama Remaja Taman Budaya Jatim 2008. Sebagai bahan referensi kami juga mengikutsertakan naskah para pemenang.<br /><br />Pemenang Lomba:<span id="fullpost"><br /><br />1.Kartini Berdarah, Amanatia Junda S (Sidoarjo), <a href="http://www.ziddu.com/download/3571078/KARTINIBERDARAHJuara1.doc.html">Donwload</a><br /><br />2.Hamil, Puthut Buchori (yogyakarta),<a href="http://www.ziddu.com/download/3571076/HM1LJuara2.doc.html">Donwload</a><br /><br />3.Wewe gombel, MS Nugroho (Mojoagung), <a href="http://www.ziddu.com/download/3571098/WeweGombelJuara3M.S.Nugroho.doc.html">Donwload</a><br /><br /><br />Juara Harapan:<br /><br />1.Kotak Surat Terakhir, M Asrori (kabupaten Mojokerto),<a href="http://www.ziddu.com/download/3571079/KotakSuratTerakhirHarapan1.doc.html">Donwload</a><br /><br />2.Melawan Kutukan, Hardjono WS (kabupaten Mojokerto),<a href="http://www.ziddu.com/download/3571099/MelawanKutukanHarapan2.doc.html">Donwload</a><br /><br />Nominator:<br /><br />1. MALIN-TheEndScene, M.S. Nugroho,<a href="http://www.ziddu.com/download/3571100/MALIN-TheEndSceneNominatorM.S.Nugroho.doc.html">Download</a><br /><br />2. TAK ADA BINTANG DI DADANYA, Hamdy Salad,<a href="http://www.ziddu.com/download/3571097/TAKADABINTANGDIDADANYANominator.doc.html">Download</a><br /><br />3. TAPLAK MEJA, Herlina Syarifudin, <a href="http://www.ziddu.com/download/3571096/TAPLAKMEJANominator.rtf.html">Download</a><br /><br />4. Inside1, Juma’ali, <a href="http://www.ziddu.com/download/3571082/Inside1Nominator.doc.html">Download</a><br /><br />5. Kebo Nyusu Gudel, Dheny Jatmiko, <a href="http://www.ziddu.com/download/3571073/kebonyusugudelNominator.rtf.html">Download</a><br /></span><br /></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><div id="post-head"> <a name="5920810132738141448"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/nyanyian-angsa.html">Nyanyian Angsa</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">karya: Anton P.Chekov</span><br /><br />Skene ini terjadi di atas sebuah teater daerah. Malam hari setelah pementasan. Si sebelah kanan keadaannya tidak teratur dan ada pintu usang tak bercat ke kamar-kamar pakaian. Di sebelah kiri dan latar belakang pentas diseraki oleh bermacam-macam barang usang. Di bagian tengah ada sebuah kursi polos terjungkir.<span id="fullpost"><br /><br />Download lengkap naskah ini <a href="http://www.ziddu.com/download/3570770/NyanyianAngsa.doc.html">di sini.</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7325593268666593890"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/lawan-catur.html">LAWAN CATUR</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="font-size: 23pt; color: black;"></span></b>Karya Kenneth Arthur (<b>Kenneth Sawyer Goodman)</b><br />Terjemahan WS RENDRA<br /><br /></p> Aku tidak pernah bosan main catur. Dengar, Antonio. Apabila aku bosan main catur, itu artinya aku bosan hidup. Permainan catur adalah tantangan bagi ketajaman otak dan kekuatan sikap jiwa manusia : sebagaimana taktik cinta, taktik perang, politik dan lain sebagainya. Apabila permainan caturku buruk, aku akan berhenti......<span id="fullpost"><br /><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/3595338/LakonLawanCatur.doc.html">Download</a><br /></span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6540692805171964193"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/arwah-arwah.html">ARWAH-ARWAH</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">KARYA </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">W.B. YEATS</span><br /><span style="font-style: italic;">TERJEMAHAN </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">SUYATNA ANIRUN</span><br /><br />Setengah pintu, pintu tengah<br /><br />Kesana kemari siang dan malam<br /><br />Memikul beban, ke bukit dan ke lembah<br /><br />Mendengar kau bicara saja......<br /><span id="fullpost"><br /><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/3615108/arwah-arwah.doc.html">Download naskah</a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7082697485818512335"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/bara-embers.html">BARA (Embers)</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Lakon pendek Samuel Beckett</span> </p><p> Laut hampir tak terdengar. Sepatu boot Henry di atas bebatuan/koral. Ia berhenti. Suara laut sedikit mengeras........</p> <span id="fullpost"><a href="http://www.ziddu.com/download/3615109/BARA.doc.html"><span style="font-weight: bold;">Download naskah</span></a><br /></span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="6779991297716461330"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/datang-dan-pergi-come-and-go.html">DATANG DAN PERGI (Come And Go)</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Lakon pendek </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Samuel Beckett</span><br /><br />Flo,"Bisa kurasakan lingkaran-lingkarannya."<br /><span id="fullpost"><br /><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/3615110/DATANG%20DAN%20PERGI.doc.html">Download naskah</a></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="7600442859635048681"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/malam-jahanam.html">MALAM JAHANAM</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"> <p><span style="font-style: italic; font-size: 100%;">KARYA : MOTINGGO BOESJE</span> </p><p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><br />DIPINGGIRAN LAUT KOTA KAMI, PARA NELAYAN TAMPAK SELALU GEMBIRA MESKIPUN MISKIN. RUMAH MEREKA TERDIRI DARI GUBUK, TIANG BAMBU BERATAP DAUN KELAPA. SUARA MEREKA YANG KERAS DAN GURAUAN KASAR MEREKA, SEOLAH MENGESANKAN BAHWA MEREKA KURANG AJAR. BEGITU PULA PAKAIAN MEREKA, YANG LELAKI BERCELANA KATOK DAN BERBAJU KAOS HITAM DENANG GOLOK DIIKAT DI PINGGANG.</p><span id="fullpost"><p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/3615112/malam%20jahanam.Doc.html">Donwload naskah</a></p></span><br /><div id="post-head"> <a name="4861026822057857159"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/orang-orang-biadab.html">Orang-orang Biadab</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;">Karya </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Christopher Hampton</span><br /><span style="font-style: italic;">Penerjemah </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Asrul Sani</span><br /><br />Asal api. Dahulu kala manusia makan daging mentah dan tidak kenal api. Mereka juga tak kenal senjata dan membunuh buruan mereka dengan tangan.<br /><br />Pada suatu hari seorang anak laki-laki pergi berburu bersama iparnya, mereka melihat sarang burung di atas tebing. Mereka membuat tangga lalu anak itu naik ke atas. Dalam sarang itu ada dua butir telur. Anak itu mengambil telur lalu melemparkannya pada iparnya.<span id="fullpost"><br /><br /><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/5344701/LakonOrang-orangBiadab.rtf.html">Download Naskah Drama</a></span></p><p><br /></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><div id="post-head"> <a name="2294031430412450315"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/petruk-dadi-presiden.html">Petruk Dadi Presiden</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;"> Komedi <span style="font-weight: bold;">Puthut Buchori</span></span><br /><br />Ontran-ontran perebutan kekuasaan. Konon katanya atas nama rakyat, namun sebenarnya atas nama perut melarat, yang haus kekuasaan, lapar kekayaan. Petruk kanthong bolong berhasil ngibuli rakyat untuk mendukungnya. Bersama rakyat menggulingkan kekuasaan mbak mega....<span id="fullpost"><br /><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/3615114/Petruk%20dadi%20presiden.doc.html"><span style="font-weight: bold;">Download naskah</span></a><br /></span></p> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="3045022150046389971"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/sementara-menunggu-godot.html">SEMENTARA MENUNGGU GODOT</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;"><span style="font-size: 100%;">Karya <span style="font-weight: bold;">Samuel Beckett</span></span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-size: 100%;"><br />Terjemahan <span style="font-weight: bold;">B. Very Handayani</span></span></span></p><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="en-US"> </p><p style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-size: 100%;">Penantian itu menjadi penantian panjang. Dan sementara menunggu godot, mereka melewatkan waktu dengan memperdebatkan hal-hal di sekitar mereka; sepatu, topi, pohon, peristiwa penyaliban ataupun kisah penyelamatan. Tetapi bukan godot kemudian yang datang, melainkan Pozzo dan Lucky, sang tuan dan budaknya. Kemudian datang pula seorang utusan godot yang mengatakan bahwa godot tidak bisa datang sekarang melainkan besok...........</span></p><span id="fullpost"><p style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-size: 100%;"><a href="http://www.ziddu.com/download/3615116/SEMENTARAMENUNGGUGODOT.rtf.html"><span style="font-weight: bold;">Dowload naskah</span></a><br /></span></p> </span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><div style="font-family: lucida grande;" class="post uncustomized-post-template"><br /><div id="post-head"> <a name="5902996045039840230"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/suara-suara-mati.html">Suara-suara Mati</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <div class="post-body"> <p><span style="font-style: italic;"><span style="font-size: 100%;"><b>Karya Manuel Van Loggem</b></span></span> </p><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="en-US"><span style="font-size: 100%;">Yang menjadi teka-teki bagiku ialah, mengapa manusia itu mesti menjadi musuh dirinya sendiri? Mengapa dalam satu tubuh bersarang harapan damai bersama dengan kekuatan yang membawa kebinasaan. Dan lambat laun kau tenggelam dalam kesangsian, dalam ketakutan…..</span></p><span id="fullpost"><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="en-US"><span style="font-size: 100%;"><br /></span></p><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="en-US"><span style="font-size: 100%;"><a style="font-weight: bold;" href="http://www.ziddu.com/download/3615113/Suara-suaraMati.rtf.html">Download naskah</a><br /></span></p> </span> </div> <div class="post-footer"> <p class="post-footer-line post-footer-line-1"> <span class="post-comment-link"> </span> <span class="post-backlinks post-comment-link"> </span> <span class="post-icons"> </span> </p></div></div><br /><div style="font-family: lucida grande;" id="post-head"> <a name="1380315203562060237"></a> <h2 class="post-title"> <a href="http://banknaskah-fs.blogspot.com/2009/04/wek-wek.html">Wek Wek</a> </h2> <span class="post-author"> </span> </div> <p style="font-family: lucida grande;"><b>karya Iwan Simatupang</b><br /><br />"Saya jadi lurah sejaak awal sejarah, sudaah lama kepingin berhenti tapi tak adaa yang mau mengganti. Sudah bosan, jemu, capek, lelah. Otot kendor, mata kabur, mau mundur dengan teratur, mau ngaso di atas kasur. Saya kembung bukan karena busung, mata berair bukan karena banjir, tapi karena menjadi tong sampah. Serobotan tanah, pak lurah. Curi air sawah, pak lurah. Beras susah, pak lurah. Semua masalah, pak lurah, tapi kalau rejeki melimpah, pak lurah…tak usah…payah...."<br /><br /></p><span style="font-family: lucida grande;">Semar</span><br /><span style="font-family: lucida grande;" id="fullpost"><br /><a href="http://www.ziddu.com/download/3615117/WEKWEK.doc.html"><span style="font-weight: bold;">Download naskah</span></a></span>teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-50531465001879835522009-09-14T22:48:00.000-07:002009-09-14T22:49:19.260-07:00MERDEKAPMERDEKA<br />Karya: Angga Rr.<br /> <br />1. Plonto : E….. jaman saiki kuwi bedo karo jaman londo.<br />2. Plenton : Yo jelas bedo kang. Ndisik awake dewe di jajah saiki wis merdeko.<br />3. Plonto : Merdiko….yak- merdiko gombal.<br />4. Plenton : Lhoh nyatane kang, awake dewe wis oleh nyanyeke Indonesia Tanah Airku.<br />5. Plonto : alah Indonesia tanah airku mbil.. nyatane opo kowe kuwi nduwe tanah ning Indonesia buktine kowe isih nyewo neng lemahe wong liyo, dadine kowe ora pantes nyanyi Indonesia tanah airku pantese Indonesia tanah sewaku… ngono kuwi. Kowe kuwi ojo percoyo marang lagu. Sing jare Indonesia kuwi tanahe subur. Kaya akan rempah-rempah, minyak bumi, buktine awake dewe ora isoh nduweni kuwi kabeh malah awake dewe ora kuwat tuku kabeh kuwi mau.. lah yo ora to.. dadine ora kacek.. <br />6. Plenton : we… awake dewe ora keno ngono kuwi kang, isoh di cekel aparat lho kowe.<br />7. Plonto : lha iki opo ora di cekel aparat.. opo kuwi yo sing di kandakke yen wis merdiko, lha wong kuwi kasus nyata sing tak rasake.. opo yo salah nek aku ngomongle isi atiku.. opo aku kon meneng wae ngrasakke kahanan koyo ngene..<br />8. Plenton : wis.. wis rasah dibacutke… luwih becik kowe ngandakke babagan wisata kuliner wae sing ono kutone dewe.<br />9. Plonto : wo ngono… oh iyo aku kuwi paling ora seneng mangan karo jangan tumpang..<br />10. Plenton : weh.. jangan tumpang kuwi enak loh kang.. aku kuwi nek esuk sarapane jangan tumpang..<br />11. Plonto : weh opo kowe gelem jangan tumpang?<br />12. Plenton : gelem no.. mbok tak pangane.<br />13. Plonto : jangan tumpangi…<br />14. Plenton : gelem.<br />15. Plonto : tumpang lho..?<br />16. Plenton : gelem.<br />17. Plonto : tumpangi?<br />18. Plenton : gelem.<br />19. Plonto : tumpangi batang tikus?<br />20. Plenton : lho kok tumpangi batang tikus?<br />21. Plonto : yo nek ngono tumpangi batang jaran.<br />22. Plenton : lho kok tumpangi batang terus?<br />23. Plonto : lha gelem ora?<br />24. Plenton : yo emoh..<br />25. Plonto : lha iyo kok kowe ngeyel.<br />26. Plenton : nek mung ngono aku yo isoh.. aku kuwi paling gilo karo dodolane Pak Sutris.<br />27. Plonto : opo kuwi? <br />28. Plenton : alah kuwi tahu kopet. Opo kowe gelem? <br />29. Plonto : kuwi tahu kupat yo ton.. dudu tahu kopet… <br />30. Plenton : wah sori kang maklum wae ilat ku ilat inggris dadi ora isoh muni hurup “A” isone “E” kupat dadi kopet.<br />31. Plonto : aku kuwi paling seneng ngombe es campur.<br />32. Plenton : bang bayik kowe gelem ngombe es campur?<br />33. Plonto : yo gelem, mong seger banget.<br />34. Plenton : es campuri?<br />35. Plonto : hiyo..<br />36. Plenton : es campuri batang tikus?<br />37. Plonto : yo ra sudi kok campuri batang… we..e..e.. mbales.<br />38. Plenton : aku kuwi kang paling getting lan anyel nek kon ngombe es pak mbolon sing ono sekaten.<br />39. Plonto : lha opo?<br />40. Plenton : lha lambeku isoh nyonyor kabeh.<br />41. Plonto : lha kuwi es opo to kok medeni?<br />42. Plenton : e.. jenenge es cawet.. dadi ben ngombe lambeku koyo di jebret kolor..<br />43. Plonto : kuwi isih mending lagi es cawet. Lha nek aku lagi pisan neng Jawa Barat weteng ku luwe di suguh nasi uduk. <br />44. Plenton : wa yo langsung mbok pangan no kang. <br />45. Plonto : langsung pangan piye? Bayang no nasi uduk kuwi jebule sego ditumpangi knalpot ben nyuworo uduk-uduk 3x koyo motor. Lha lambeku padhakke barang brompit piye?<br />46. Plenton : nanging wong solo kuwi ugo terkenal sekti tur ampuh.. <br />47. Plonto : lha buktine opo?<br />48. Plenton : wong solo ki pakanane sego pecѐl padahal nggonku ngono sing jenenge pecѐl kuwi yo nggo meceli kayu. Lha nek neng solo kok yo nggo meceli lambe. Mulane nek wong solo nyuworo kasar kuwi atos banget.<br />49. Plonto : lambemu nek ngomong di atur. Kuwi dudu pecѐl ning pecel.<br />50. Pak RT : ono opo kok yo ribut-ribut?<br />51. Plonto : wo pak RT monggo pak.. monggo.. niki le kulo nembe gojek.<br />52. Pak RT : yo sukur nek mung gojek. . amargo ngegrejekan karo tonggo kuwi ora becik.<br />53. Plenton : alah pak.. pak RT.. teng kampung niki lah sampun adat. Bileh ngrasani tonggone niku sampun biasa. Nek tonggone sugih di rasani gadhah pesugihan lha nek tonggone mlarat dirasani ora sregep nyambut gawe.. lho niku pripun..<br />54. Plonto : alah pak RT niku lak nyindir kulo, lak yo ngono to di?<br />55. Pak RT : wis.. wis.. wis.. ora sah digawe perkoro marai molo. Kowe ngerti ora nek iki malem 17an awake dewe kudu podho nyeng kuyung kewibowone bongso lan negoro.<br />56. Plenton : lah pripun carane pak RT?<br />57. Pak RT : 1 kowe kudu isoh ngatur keluargomu dewe, 2 dadiyo conto tuladhane poro tonggo sing tegese yo podho dhisik-dhisikan tumindak kang becik. Contone kerja bakti, rewang, nyinom, lan podho bebarengan tetulung marang tonggo sing nandhang kesusahan. Ojo malah diguyu lan disukurke. Nek enek tonggo sek sukses ayo piye carane awake dewe niru supoyo biso sukses. Ora malah dirasani.<br />58. Plonto : rungokno le.<br />59. Plenton : kowe kuwi loh kang sing di sindir, kook malah nduding aku.<br />60. Plonto : mengko dhisik pak RT, lah pripun tanggapane pak RT bab bom-boman sak wulan kepungkur? Sanjangipun niku kagem mbelani Allah lan njejegke dalan Allah.<br />61. Pak RT : owh kosek to, ojo sok sembrono migunakake asma Allah kanggo urusan kepribaden sing aku dewe kurang mangerti. Sing penting awake dewe kudu eling lan waspodo elingo Allah kuwi sopo kok ndadak di belani lah wong Allah kuwi sektine ora umum. Allah kuwi ora butuh dibelo amargo Allah kuwi Maha linuwih katimbang kowe mbelani Allah mbok kowe mbelani keluargamu, tonggomu lan bongsomu.<br />62. Plonto : lha nek njejegke dalan Allah niku pripun pak RT?<br />63. Pak RT : hahahaha… kowe kudu eling maneh sopo to Allah kuwi. Kowe ngerti insinyur sing gawe dalan layang ono Jakarta? kuwi ora ono apa-apane disbanding pintere Gusti Allah. Lha kok kowe uwong sing wingi sore arep njejegke dalan Allah, opo ora malah kuwalik? Sek perlu dijejegke kuwi dalan uripmu sing saben dino mekso tonggo, sing mbendinane gawe serik atine tonggo. Dalan Allah kuwi ora ono sek salah, amargo kuwi mau wis kodrat perkoro wong sing lakune nyimpang yow is ben.mesti besoke bakal ngunduh amargo Gusti Allah ora sare.<br />64. Plenton : leres ngendikane pak RT, malah-malah lelagon kados mekaten saged ndamel pecah persatuan lan kesatuan bongso nggih pak RT?<br />65. Pak RT : bener kowe kabeh kudu podho ngilingi opo kang dadi sumpahe poro mudo-mudi pas tanggal 28 Oktober 1928, yoiku sumpah pemuda sing isine “poro nom-noman Indonesia kudu nyawiji. <br />66. Plenton : kudu akur nggih pak RT? Senadyan bedo suku, agomo utawi ras.<br />67. Pak RT : bener awake dewe kudu tansah manunggal lan nyawiji eling-elingen BHINNEKA TUNGGAL IKA.<br />68. Semua : berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Dirgahayu Republikku Indonesia yang ke-64. MERDEKA!!!<br /><br />………………………………Rampung……………………………………………..…………….teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-53946855727155632902009-09-14T22:47:00.000-07:002009-09-14T22:48:12.999-07:00NDARI”Ndari”<br />(di antara skripsi dan rabi)<br /> Karya: Angga Rr<br />Adegan I (Lagu: pembukaan Ndari I)<br />1. Ibu : Ada apa to Pak… Tak lihatin dari tadi Bapak ngelamun terus… Mbok yo cerita pada saya, siapa tahu aku bisa membantu Bapak.<br />2. Bapak : Wealah… Aku itu kalau ngobrol sama kamu pasti tidak pernah gatuk.. Mesti nggak pernah menemukan solusisnya. Dladrah sampai ke mana-mana. Buntut dari pembicaraan ngajaknya rame.. Dikit-dikit ngambek, manja! <br />3. Ibu : Ya sudah kalau begitu… Ra caturan…mending ngladeni omongananya wong waras tapi agak gila daripada ngladeni omongannya wong edan tapi rodok waras.<br />4. Bapak : Lha lak tenan to.. Ngambek to… Mbok ya sudah jangan ngambek, kayak ABG…kalau gitu ya sorry Bu..a lap you lho Bu sama kamu…sudah tak usah ngambek….<br />5. Ibu : Lha Bapak yang mulai…bikin aku nggak mut ngobrol sama Bapak <br />6. Bapak : Sudah-sudah… Baiklah aku mau cerita, gini lho Bu… Kamu tahu sendiri to. Anak kita yang cantik semledut…anak kita yang bahendol rasa jengkol…anak kita yang imut kaya marmot. Anak kita itu… Yang paling ndablek sak dunia.<br />7. Ibu : Maksudmu si Ndari?<br />8. Bapak : Benar. Coba bayangkan to Bu. Sudah berapa tahun dia kuliah?<br />9. IBu : Ya baru 7 tahun…<br />10. Bapak : Walah baru 7 tahun kok baru… Itu namanya patak bangkrong alias patak warak atau bahasa intelektualnya dedengkot.<br />11. Ibu : Lah kok dedengkot.?<br />12. Bapak : Ya dedengkot. Coba bune bayangkan, mosok semester 14 kok ya belum lulus-lulus… Padahal teman-teman seangkatannya sudah lulus semua., bahkan banyak yang sudah berumah tangga. <br />13. Ibu : E..e…e… Masih ada yang belum lulus Pak.<br />14. Bapak : Siapa coba yang belum lulus?<br />15. Ibu : Itu lho Si Bebek.<br />16. Bapak : Anak kita kok disamakan dengan si Bebek. Si Bebek itu wajar kalau tidak lulus-lulus, sebab kalau di kampus dia suka mabuk-mabukan dan juga membolos.<br />17. Ibu : Bapak lah yang seharusnya mengerti anak kita itu kan jurusannya FKIP Seni Rupa…UNS…UNS lho Pak, tidak baen-baen.<br />18. Bapak : Lha terus hubungannya apa? Apa kalau seni rupa pelajarannya lebih sulit?<br />19. Ibu : ya, bukan begitu maksudku. Tapi…anak kita itu orang seni. Orang seni itu apa-apa pakai perasaan. Ya wajar kalaunkuliahnya itu lama. Sekarangkan wajar bila orang kuliah hanya sebentar saja 3 atau 4 tahun dah lulus. Lha anak kita kan seni jadi dia bikin sensasi dan berpegang teguh pada prinsip begini “kuliah sampai titik darah penghabisan. Alias kuliah sak modare…<br />20. Bapak : Maksudmu kuliah lama itu kamu anggap seni.<br />21. Ibu : Ya jelas, lha wong itu sensasi anak dan penuh karakteristik…<br />22. Bapak : Berarti Bapak baru nyadar, kalau ibu penuh penghayatan. Bisa dikatakan ibu termasuk ragam seni.<br />23. Ibu : Tepat. Saya itu memang penuh aura sensitif.<br />24. Bapak : Aura sensitif itu apa?<br />25. Ibu : Aura yang penuh gairah dan menarik itu lo Pak<br />26. Bapak : Itu namanya aura eksotis dan erotis<br />27. Ibu : Walah kok kayak tanah longsor<br />28. Bapak : Itu erosi.. Itu sama halnya Bapak ingin misui kamu<br />29. Ibu : Wo itu emosi. Sudah-sudah kembali pengamatan Bakak tentang saya. Sebentar(praktik) begini…apa minta yang begini..begini juga bisa aku begini…<br />30. Bapak : Ibu itu tergolong masuk dalam aliran seniwan. Senine kewan<br />31. Ibu : Ya..ya…ya…ya…ya… Mulai to kayak gitu.. Kok tidak boleh marah-marah… Sudah sebaiknya Bapak urusin saja dagangan kita di pasar Nusukan ini. Yang semakin hari semakin banyak saingan. Kalau ini dibiarkan berlarut-larut bisa bangkrut dan kukot kita<br />32. Bapak : Memang saya rasakan banyak perubahan, semenjak banyak pedagang baru yang ikut jualan di sini..<br />33. Ibu : Apa sebaiknya Bapak cari dukun saja biar laris atau ikut yang kayak di televisi yang KETIK REG spasi Mama Loreng atau ketik Joko Plontho itu lho Pak<br />34. Bapak : Astagfirullah.. Nyebut.. Nyebut Bu. Jangan sekali-kali percaya sama dukun. Itu namanya musyrik, aliran sesat . harom Bu…hukumnya harom<br />35. Ibu : Alah sok alim. Lha kemarin sore Bapak kok nyebar kembang dan nyebar garam di depan toko kita. Apa itu namanya tidak percaya dukun? Apa itu tidak musryik? Apa itu tidak harom? <br />36. Bapak : Aku itu paling alergi dengan yang namanya dukun. Kupingku sumpek, kepalaku semprepet bila dengar nama dukun. Masyaallah….<br />37. Ibu : Tapi kok di kamar kita ada kerisnya<br />38. Bapak : Wo itu lain. Itu yang ngasih Mbah Prawiro<br />39. Ibu : Lha lak KOBIS sama saja. Mbah Prawiro itu kan dukun. Sama saja Pak- Pak.<br />40. Bapak : Yo beda, Mbah Prawiro itu bukan dukun lha wong dia itu paranormal.<br />41. Ibu : Lha iyo itu namanya dukun<br />42. Bapak : Bukan namanya Mbah Prawiro. Dia itu paranormal<br />43. Ibu : Lha iyo, itu namanya dukun<br />44. Bapak: Bukan Bukan namanya Mbah Prawiro. Dia itu paranormal<br />45. Ibu : Lha iyo Pak-Pak paranormal itu sama dengan dukun<br />46. Bapak : Tapi kan dukun tidak sama dengan Mbah Prawiro. Kalau dukun itu senengnya semedi, kalau Mbah Prawiro senengnya nonton kethoprak. Kalau duku itu senengnya berpuasa, kalau Mbah Prawiro senengnya jajan. Kalau dukun seringnya semedi di gua, kalau Mbah Prawiro nongkrong di wedangan, nongkrang-nongkrong, udat-udut, klepas-klepus, setelah kenyang utang.<br />47. Ibu : As terserah Bapak. Sana keburu siang. Dah sana ambil cepat ambil setok yang ada di gudang. Jangan sampai kalah duluan sama Tikijan….Hati-hati ya Pak…<br /> Ah punya suami seperti dia memang harus sabar. Tapi bagaimanapun aku tetap sayang , meskipun bau keringatnya apek dan ledis karena jarang mandi, tetap saja ngangeni. Pokoknya aku cinta sama dia. Tapi jangan-jangan aku didukunnkannya jadi terkintil-kintil sama suamiku. Jane yo elek tapi aku kok cinta, jane yo nganyelke, tapi aku kok ya suka…jane nggilani, tapi kok yo ngangeni. Mungkin ini yang dinamakan jodo..<br />48. Ndari : Ada apa to Bu. Kok pagi-pagi dah ndekmimil sendiri? Ibu habis cek-cok lagi ya saman bapak? Kayak anjing sama kucing saja. <br />49. Ibu : Itu lho tadi bapakmu ngomongin tentang kamu. Oh iya Nduk. Sebenarnya sudah saatnya kamu hidup berumah tangga. Seperti layaknya wannita lain yang ada dim pasar Nusukan ini. coba bayangkan gadis seusia 27 tahun belum juga punya pacar. Apa to Ri, yang kamu pikirkan, dan apa yang kamu takutkan. Coba kamu lihat kakakmu, Si Tanti, Mereka hidup bahagia. Apa kamu tidak ingin seperti mereka, hidup bahagia..<br />50. Ndari : Ya pengen Bu.. Tapi Ndari kan harus nyelesaiin kuliah dulu, ini kan tinggal skripsi dan ngurus perpanjangan kuliah <br />51. Ibu : Alah, kuliah dijadikan alasan. Kamu bila menikah kan bisa kelanjutin kuliah..opo yo masih kurang panjang to nduk..kuliah 7 tahun itu, mending kamu nikah nyambi kuliah<br />52. Ndari : Wa yo repot to Bu. Lha wong Ndari kuliah aja nggak kelar-kelar, apalagi nikah nyambi kuliah ya semakin bubrah. Berumah tangga itu tidak mudah harus kerja dulu. <br />53. Ibu : Lha terus. Apa kamu nanti setelah wisuda bisa langsung dapat kerja.. Paling-paling si Kentut.. <br />54. Ndari : memangnya kenapa? Ada apa dengan Mas Kenthut..<br />55. Bapak : Dia itu kan dulu skripsi kayak kamu, minta tanda tangan sana sini ditolak dosen. Tapi apa, setelah lulus dia klontang-klantung. Tidak ada dosen yang mencarikan pekerjaan untuknya.<br />56. Ndari : tapi kan dia suadah enjadi guru, Bu…<br />57. Ibu : jadi guru itu kan baru saja,, itu pun karena dulu ikutkegiatan UKMM di kampus…apa itu namanya tetek…eh, teter..<br />58. Ndari : teterapa Bu?<br />59. Ibu : ituloh teter Perot<br />60. Ndari : wo alah teaterPeron maksud Ibu..<br />61. Ibu : lha benar<br />62. Ndari : kalau itu aku dulu jugaiku, tapi tidak aktif<br />63. Ibu : lha itu karenakamu tidak aktif, kammu tidak lulus-lulus.<br />64. Ndari : kok bisa?<br />65. Ibu : lha kamu tidak bisa acting melas. Andaikata kamu aktif, pasti kamu sudah jago acting dan dosenmu bisa kena pengaruh ektingmu,, lalu kasian padamu, terus diluluskan.<br />66. Ndari : Ah, dosa itu Bu, nipu dosennya…<br />67. Ibu : alah dosenmu ya nipu kamu. Apa kamutahu apakah dosenmu benar-benar neliti kesalahanmu? Paling-paling dia revisinya cumaorak-oreksana sini..lak yo gitu to..<br />68. Ndari : ya tidak tahu, Bu.<br />69. Ibu : nda gara-gara teater itu Si Kenthut punya pengalaman pentas di mana-mana, terus kepala sekolah di sekolahan yang dimasuki Kenthut tertarik, maka Kentut disuruh jadi guru di sana. Tapi ya kasihan, sebab gajinyacuma250 ribu saja. La wong dia GTT. Buat apa uang segitu, buat beli rokok saja kurang. Kalau tidak Kentut, ya kayak Mas Wir<br />70. Ndari : Mas Wir siapa Bu?<br />71. Ibu : alah Mas Wir guru SMA 6, pelanggan ibu itu lho<br />72. Ndari : Oalah yang sering ke sini ngecer rokok itu to?<br />73. Ibu : benar, dia suka ngecer..dia kan sudah PNIS<br />74. Ndari : lho kok PNIS<br />75. Ibu : lha Pegawai Negeri Indonesia Sipil<br />76. Ndari : wo, itu PNS bukan PNIS. Ada apa dengan Mas Wir?<br />77. Ibu : tak hanya gajinya Cuma2,5juta, mosok kalah sama ibu yang Cuma bakul pasar. Aku itu tak perlu gelar Ndok, bahkan aku bisacari pegawai yang punya gelar S1 atau S2. Lha wing penghasilanku tak kurang dari 10juta per bulan. Apalagi kalau pas habis lebaran, wo banyak yang mantu, terus beli kebutuhannya di sini..<br />78. Ndari : sudah to Bu…jangan ngomongi orang, dosa Bu. Baiklah karena sudah hampir siang, Ndari berangkat ke kampus dulu ya. Mau cari Pak Parno biar di acc perpanjanganku. Assalamualaikum<br />79. Ibu : Waalaikumsalam. Ndari..Ndari..kuliah di FKIP UNS Seni Rupa, padahal anak itu nggambar saja tidak bisa lho. Apa Cuma buat patut-patut ya.. <br /><br />Adegan II (lagu skripsi)<br />80. Ndari : dari pagi sampai siang Pak Parno kok ya belum datang-datang. Apa dia lupa kalau sudah kencan mau ngerevisi skripsi saya…apa…ada bisnis lain ya..<br />81. Ndari : hei Nastiti…<br />82. Nastiti : hei Ndari..<br />83. Ndari : kamu tadi tahu tidak Pak Parno di pengajaran?<br />84. Nastiti : belum datang. Waduh bisa di DO aku nanti<br />85. Ndari : sama…tadi aku bel, katanya baru dalam perjalanan. <br />(Angga masuk)<br />86. Nastiti : perjalanan ke mana? Perjalanan kemari atau perjalann piknik?<br />87. Ndari : ya tidak tahu. Coba kamu tanya Mas-nya itu..<br />88. Nastiti : kamu saja Ri.<br />89. Ndari : Mas..mas..<br />90. Angga : Eh, kamu to dik?<br />91. Ndari : eh, Mase to..ngapain Mas ke kampus lagi..<br />92. Angga : ini lho aku mau ke sanggar teater Peron..<br />93. Ndari : untuk apa Mas?<br />94. Angga : begini aku kan mau buat film indi. Aku kan butuh pemeran ibu..<br />95. Ndari :Oh begitu…sekarangkerja di mana Mas?<br />96. Angga : ya di SMP 10, di SD Tripusakadan kerja di SMK 2<br />97. Ndari : Wa, banyak gajinya dong..<br />98. Angga : kok banyak gajinya..<br />99. Ndari : lha dobel-dobel kayak gitu..<br />100. Angga : lha kamu kerja di mana Dik?<br />101. Ndari : kerja…lha wong skripsi saja belum selesai..<br />102. Angga : masak. Kamukan sudah lama kuliah. Kalau ndak salah kamu sudah semester…<br />103. Ndari : semester15 perpanjangan..<br />104. Angga : wah, yo marem no..<br />105. Ndari : Mas..Mas…kamu tadi lihat Pak Parno tidak<br />106. Angga : Pak Parno…ndak itu, emang ada apa?<br />107. Ndari : ya minta tanda tangan.<br />108. Angga : kamu programnya apasih?<br />109. Nastiti : aku Seni Rupa<br />110. Angga : maaf, bukan kamu tapi dia<br />111. Ndari : aku jugaSeni Rupa<br />112. Angga : wah, kebetulan. Aku kan baru saja keluar dari SMK. Di sana kan aku ngajar Seni Budaya. Mau ndak kamu nggantiin aku ngajar di sana?<br />113. Nastiti : mau..mau..Mas<br />114. Angga : maaf, bukan kamu, tapi dia..<br />115. Ndari : waduh Mas, aku kan belum selesai kuliah..<br />116. Angga : tenang saja, nanti biar aku yang ngomong sama kepala sekolahnya.<br />117. Ndari : kalau begitu, saya minta nomer HP nya Mas…<br />118. Angga : okey 085740119940..nah sekarang nomor HPmu berapa?<br />119. Nastiti : 0857…<br />120. Angga : maaf bukan kamu, tapi dia<br />121. Ndari : 085647060547. Oh iya, maaf Mas siapa sih namamu Mas, aku dah lupa.<br />122. Angga : namaku Angga Rr…tapi, maaf juga siapasih namamu Dik?<br />123. Nastiti : Nastiti<br />124. Angga : maaf, bukan kamu tapi dia..<br />125. Ndari : Ndari.. Mas..<br />126. Angga : lha gini aja, dari pada aku repotcari pemain filmku, bagaimana kalau Dik Ndari jadi pemeran ibunya. Saya rasa pas dan cocok. Selain cantik, sopan, berwibawa dan bersahaja..<br />127. Ndari : tapi Mas, aku ndak bisa acting<br />128. Angga : alah mudah kok Dik, film itu, tekniknyacat tu cat..alias ptong-potong<br />129. Nastiti : kalau aku mau Mas. Kira-kira peran apa yang cocok buatku Mas?<br />130. Angga : kamu itu paling cocok buat peran setan.<br />131. Nastiti : ya ampun Mas Angga. Mosok aku disamain dengan setan.<br />132. Angga : la kamu maenclonong pembicaraan saja. Gimana Dik Ndari mau tidak?<br />133. Ndari : baiklah mas, biar aku pikir-pikir dulu ya..<br />134. Nastiti : Ri, lihat itu Pak Parno datang. Ayo keburu pergi<br />135. Ndari : ya udah Mas, maaf aku ke pangajaran dulu, assalamualaikum<br />136. Angga : waalaikumsalam. Ah, lumayan juga Si Ndari..<br /><br /> Adegan III (lagu Smsan (Ndari II)<br />Ndari (smsan)<br />137. Ibu : Gimana kuliahmu Ri? Apa sudah beres? Kemarin apa sudah ketemu dengan Pak parno dan bagaimana tanggapannya Pak Parno..Ri..Ri…RI…<br />138. Ndari : e..eg..iya bu, ada yang bisa saya bantu? Atau ada yang masih kurang? <br />139. Ibu : walah ditanya kok malah tidak memperhatikan, sedang apa to kamu Nduk sampai lupa diri<br />140. Ndari : ini lho Bu sedang mbalesi smsan<br />141. Ibu : ya sudah kalau sedang mbalesi smsan. Ibu sempet deg-degan, tak pikir kamu stress gara-gara mikir skripsi itu. Ibu sempat degdegan. <br />142. Ndari : memangnya ada pa to Bu? <br />143. Ibu : orang tua mana to Ri yang tidak ketar-ketir yang lihat anaknya meganging kalkulator sambil cengar-cengir, jebule itu HP to Nduk? <br />144. Ndari : Ah, ibu bisa saja. Ya sudah Bu, karena ini sudah jam Sembilan saya ke kampus takut Pak Parno pergi ngajar ke fakultas lain atau rapat atau…pkpknya dosen itu super sibuk. Baiklah Bu, saya berangkat dulu. Asssalamualaikum.<br />145. Ibu : waalaikumsalam. Ndari-ndari, aneh smsan kira-kira siapanya yang sms tadi, lakok sampai Ndari cengar-cengir, senyam-senyum jangan-jangan Ndari….Pak..Pak…cepat kemari Pak…cepat ke mari Pak…Cepat.. cepat to Pak, ke mari..<br />146. Bapak : ada apa to, ada apa to… bilang pada baapak biar semuanya pada beres. Jangan takut to Bu, meskipun dulu Bapak ikut karate Cuma sampai sabuk kuning lantaran belum iuran kumbakan<br />147. Ibu : lhoh…lho..lho.. bapak kok bawa ciduk segala, kok pakai sarung segala<br />148. Bapak : ada apa to Bu……bu orang baru beol kok diganggu. Marai ra penak tok.<br />149. Ibu : anu pak, ,,anakmu,,,ndari kelihatannya dia mulai smsan sama cowok Pak. Gawat, sungguh gawat. Ini harus dicegah dari pada keblabasan.<br />150. Bapak: Oh ya bagus berarti si Ndari masih punya rasa cinta sama sesama jenis<br />151. Ibu : lho kok sama sesama jenis. <br />152. Bapak : Ndari manusia jenisnya jadi harus dapat jenis manusia. Mosok dapat jenis hewan. Kayak aku saja dapat lawan jenis.<br />153. Ibu : maksudmu?<br />154. Bapak : jenisku kan manusia dapat jenis lelembut<br />155. Ibu : apa? Kamu bilang aku setan<br />156. Bapak : ya tidak dong Bu..<br />157. Ibu : lho tadi bilang kalau aku jenis lelembut.<br />158. Bapak: lelembut itu sesuatu yang halus, missal tutur kata, tutur perbuatan, halus<br />159. Ibu : wo tak pikir setan<br />160. Bapak: nggak usah dipikir, emang setan<br />161. Ibu : alah Bapak ini lho bercanda terus..gimana Pak dengan Si Ndari?<br />162. Bapak : Ya bagus to Bune kalau Ndari itu punya pacar, kan dia itu terbukti normal<br />163. Ibu : normal-normal yang tidak normal itu kamu. Bukankah Bapak telah mencarikan jodoh untuk Ndari yang katanya anaknya teman Bapak sendiri….sama Si Riskan..eh kliru SI Ris…Ris…Ris… e…e….e…<br />164. Bapak : Si Risnan maksudmu?<br />165. Ibu : betul Si Risnan…gimana coba kalau gagal<br />166. Bapak : Masyaallah hampir lupa..wah untung-untung ibu mengingatkan, bila tidak mau kutaruh di mana mukaku ini andaikan pertunangan ini sampai gagal. Mas Prayogo tentu marah pada kita dan pasti dia tidak mau nyetori beras dan gandumnya pada kita. <br />167. Ibu : lalu kita harus bagaimana Pak? Apa yang kita perbuat…aduh aku takut lho Pak..takut..takut…takut. kalau tidak lagi disetori berasdan gandum. Bisa cotho no aku…<br />168. Bapak : aku akan bilang pada Ndari supaya dia bisa jaga diri agar dia tidak jatuh cinta. Karena aku takut pabilla salah pilih orang tuk jadi suaminya kelak. Aku tidak mau kalau dia jatuh cinta pada sembarang orang. Bune aku pamit, aku harus ke rumah Mbah prawiro.<br />169. Ibu : Benar Pak diputer giling saja atau dipelet biar tidak cinta pada orang lain.<br />170. Bapak : puter giling brutumu. Aku mau ambil rokokku yang ketinggalan di rumah mbah Prawiro. Lagi pula aku tidak percaya dukun.<br />171. Ibu : tapi paranormal. Ora kacek. Dah sana.. pokoknya jangan lupa ya Pak…Ndari harus bisa kita jodohkan…Ndari…Ndari…manungso kok bisanya cuma nyusahin orang tua…kurang apa to aku ini…sekolah tak ragati..makan dan minu tak sediani…lha ini dikawinkan saja kok susah…jane cua tinggal ngaplak-ngaplak karo njebabah…angele koyo opo to Ri…Ri… tobat aku jan..tobat…<br /><br />Adegan IV (Lagu kangen rindu)<br />172. Angga : gimana sih ni..sudah dua jam tak tunggu kok belum juga datang. Padahal aku dari ja 10 nunggu di sini hingga Cuma ninggali tugas LKS pada urid-urisku kok ya belu datang padahal 1 ja lalu aku sudah pesan sama Mbak Sri kantin, supaya Ndari datang suruh ke sanggar Peron…selak kangen berat aku..Ndari..Ndari…ndang balio to Ri…Ri… lebih baik nyantai dulu… mungkin dia dala perjalanan kemari…memang cinta butuh pengorbanan oh Ndari aku rela nuggu kamu 1000 tahun lagi..wah elok kayak penyair cairil Guevara<br />173. Ndari :Mas Angga dah lama nunggu mas, maaf tadi aku baru masak dan bersih-bersih rumah, jadi Ndari minta maaf ya Mas….jangan marah..senyu dong…<br />174. Angga :tidak apa-apa tuk menunggu dirimu meskipun 1000 tahun ku tetap sabar menanti…bahkan 1000 abad akan ku tunggu khususu untuk dirimu Dik Ndari jarak dan waktu tak akan mampu menepis rasa setiaku tuk nunggu dirimu<br />175. Ndari : ah masa…oh iya mas, tadi tahu pak parno tidak?<br />176. Angga: Lho kok malah ngomomgin Pak Parno..hes sebel aku. Tapi tidak apa khusus buatmu. Tadi sih di pengajaran.<br />177. Ndari :o..begitu. baiklah mas, saya ke pengajaran dulu ya.<br />178. Angga: weit…malah au pergi…tunggu dulu Dik Ndari…sabar..sabar..sebentar dik..aku minta sedikit waktumu boleh kah? Sedikit saja Cuma sak crit..crit..icrit..icrit…icrit…pl sak cangkir<br />179. Ndari : oh boleh-boleh..ada apa mas? Apa ada masalah yang penting?<br />180. Angga : masalah ini penting sekali, lebih penting dari skripsi. Masalah hidup dan matiku. Bahkan urusan ini sangat mendesak. Kalau terlalu lama disimpan aku bisa jadi akik, alias jadi udun.<br />181. Ndari : weitetetetete masalah apa itu mas? Kok ganas sekali coba mas Angga ceritakan . mungki aku bisa bantu njenengan.<br />182. Angga: begini aku baru kali ini merasakan gejolak yang begitu hebat di dalam dada ini. setiap rasa menghinggap . hidungku jadi snetrap-sentrup serasa au nangis. Gini lho dik (praktik)<br />183. Ndari : wah gawat. Harus diperiksakan itu mas.. jangan-jangan rabies lho Mas<br />184. Angga : wah Dik Ndari ini lho mosok ganteng-ganteng kayak gini dipadakke kirek. Begini lho kata dokter aku harus beli obat yang anehnya yang jual cuma kamu. Dik bayangkan sak donyo dan akherat yang jual obatnya Cuma kau tok til…<br />185. Ndari : aneh…sayakan jualnya gandum, gula, beras dan sembako bukan obat-obatan Mas<br />186. Angga : Dik Ndari ini kok ngeyel..lha wong dokternya bilang begitu. Kalau ndak percaya coba Dik Ndari baca sendiri serep ini…kalau tidak percaya nih resepnya..dik Ndari baca sendiri saja…<br />187. Ndari :OBAT NEOKANGEN DAN OBAT PANARINDEKPLUS. ANEH. Emang mas Angga sakit apa..?<br />188. Angga:itu namanya Virus Influ CINTA. Koplikasi demam asmara, penyebabnya nyamuk malarindu atau ngetrennya nyamuk AIDES AI LOVE YOU<br />189. Ndari :hahaha…hahaha…bisa saja mas Angga ini, mentang-mentang punya kelompok humor. Emang apa yang menarik dari saya..?<br />190. Angga :sebenarnya kamu itu tidak cantik, tapi kok bisa membuat aku selalu kangen. Kalau ku perhatikan wajah kau sayup koyo pitik kaliren. Bila ku tatap tajam, aku jadi klepek-klepek. Bahkan bila mendengar namamu disebut seakan aliran darahku deras mengalir bahkan setiap kata yang ku dengar, pasti sebut-sebut namamnu. Begini ndarimana mas…o..ndari Jakarta dan dalam hitungan detik, seketika itu juga jantungku serasa terhenti degupnya… gini mak deg..beg..beg..beg..klepek..<br />191. Ndari :mengapa bisa begitu mas?<br />192. Angga :aku sendiri juga tak tau, bahkan kalau ditanya dan ditawari suruh merasakan seperti ini jelas aku tidak mau..siapa sih orangnya yang mau tersiksa seperti ini. makan tidak enak, tidur tidak nyenyak bahkan saat berak pun aku harus teriak panggil namamu…begini NDARI heg…eg..eg..mak ndlondeng..begitu!! dan juga setiap hari kayak orang bingung dan was-was bahkan terselip rasa takut yang amat sangat…apalagi smsan ku tidak segera kamu balesi..wah mending mati saja aku…Ri..Ri….<br />193. Ndari :aduh jangan mas..tapi maaf ya mas, aku tidak mau menyakiti dirimu dan tak tahu harus berbuat apa untuk semua inikarena hidupku ingin bebas seperti burung pipit yang berkicau di pagi hari…aku takut sakit hati mas. Sekali lagi maaf yam as..bila aku…<br />194. Angga : Ssstttt…sudahlah aku tahu aku tidak mau menyakiti burung pipit kesayanganku, biarlha ia terbang ke angkasa raya. Kamu tidak slah ri, tapi aku sadar bahwa aku tak layak untuk mendapatkanmu dengan segala kekurangan dan keterbatasanku.<br />195. Ndari :kenapa mas?<br />196. Angga:kamu terlalu cantik untuk ku kotori dengan rasa yang ku alami, aku tak ingin kamu terluka akibat kobaran api cintaku. Biarlah aku sendiri yang mengalami rasa itu biarkanlah rasa kerinduan slalu menghinggapiku…biarlah aku bercinta bersama angan semu. <br />197. Ndari :maaf mas, dari tadi mas yang mengungkapkan rasa sekarang biarlah aku yang menjawab tentang rasa yang abadi di dalam hati ini, dengan rasa hormat dengarlah, tapi sekali lagi maaf sebelumnya mas….aku…..<br />198. Angga : cukup jangan diteruskan, aku tak ingin membencimu hanya karna mendengar jawaban darimu…Okey….ya baiklah saya kira sudah cukup tentang semua ini dan terimakasih atas waktumu yang diberikan padaku.semoga cepat kelar skripsimu dan selamat tinggal<br />199. Ndari : mas….tunggu, dengar mas selama ini aku tak pernah pacaran jangankan bercinta, jatuh cinta pun aku tak pernah. Tapi aku juga merasakan rasa yang seperti mas rasakan. Mungkin inikah yang dinamakan cinta…. Memang aku jarang langsung membalas smsmu bukan karena aku tak suka, tapi sebaliknya..aku ingin sengar smsmu yang lainnya, yang intinya sanjungan kata-kata untukku<br />200. Angga : ndari, oh dik ndari…<br />201. Ndari : mas Angga…..<br />202. Angga: Lihatlah DIk pohon akasia itu.. ibaratkan itu adalah dirimu, meskipun sesek, slamet, Tono sering mengencinginya, tapi dia tetap kuat dan rindangnya bisa melindungi dari sengatan terik matahari,, meskipun baunya agak pesing.<br />203. Ndari: persis kata pepatah Mas…biarlah anjing menggonggong, Ndari tetap berlalu<br /><br />Adegan V<br />204. Bapak : skripsi….ah…masak sampai jam 4 sore belum juga pulang….anak muda sekarang paling pintar cari alas an untuk pacaran…awas kalau sampai di rumah tak siding kamu<br />205. Ndari :ndari pulang pak.<br />206. Bapak :ndari….kamu dari mana? Anak perempuan pergi dari pagi sampai sore baru pulang. Kemana saja kamu..?<br />207. Ndari :skripsi pak.<br />208. Bapak :skripsi gombal, tadi saja wati datang ke mari, katanya kamu sudah pulang. Mau cari alas an apalagi kamu?<br />209. Ndari :tapi pak Parno saya tunggu tidak ada…<br />210. Bapak :jangan kau buat alasan nama dosenmu itu, untuk kamu jadikan alasan hubungan asmara kamu..<br />211. Ndari :tapi tadi saya benar-benar nunggu pak Parno.<br />212. Bapak :cukup, kamun ngaku saja kalau dirimu tadi pacaran. Iya to!!<br />213. Ndari :bapak, ndari kan sudah besar dan ndari baru kali ini mau dekat dengan laki-laki. Bapak tidak mengizinkannya….? Bapak tega. Bapak senang kalau Ndari tidakpunya jodoh. Bapak senangya bila Ndari dikatakan perawan tua. Ndari juga pengen berkeluarga, Pak.<br />214. Bapak :masalahnya bukan itu masalahnya kamu sudah bapak jodohkan dengan Risnan putranya pak Prayogo.<br />215. Ndari :tapi pak, ndari tidak cinta sama si Risnan. Jangankan ngobrol bertemu saja ndari belum pernah.<br />216. Bapak :cinta….cinta itu bisa dinegosiasi kalau kamu sering bertemu dia.<br />217. Ndari :tapi pak…<br />218. Bapak :cukup! Pokoknya kamu tak boleh pacaran dengan orang lain. Sudah tak perlu diperpanjang lebar. Bapak mau pergi ambil setoran beras.<br />219. Ndari :bapak….(nangis)<br />220. Ibu :susahlah ri…kamu tidak usah sedih, apalagi nangis. Di dunia ini tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Baiklah, karena sudah sore kamu mandi dulu sana. Dan yakinlah semua yang bapakmu lakukan hanya demi membahagiakanmu, tidak ada orang tua di dunia ini yang ingin melihat anaknya sengsara… lagi pula bahtera rumah tangga tak akan cukup bila mengandalkan cinta. Tapi materi dan ekonomilah yang menjadi penentu. Cobalah berfikir yang normal jangan asal cinta buta.. buta itu gelap, tidak tahu apa-apa. Biasanya Cuma nabrak bila nabrak kamu akan sakit camkanlah itu nduk….<br /><br />Adegan VI<br />221. Ndari :sudah jam 3 sore mas Angga belum juga datang. Katanya mau nemenin nonton pameran seni rupa di TBS. apa dia lupa ya??ah gimana sih HP nya tidak di aktifkan. Huh… jangan terjadi apa-apa dengan mas Angga. aduh…. Kenapa ya…kenapa aku jadi khawatir seperti ini, apa aku benar-benar cinta sama mas Angga? Ya Allah lindungilah mas Angga..<br />222. Nastiti: loh ri ada apa? Kok kamu di sini sendiri mau ngapain? Kan para dosen juga sudah pulang.<br />223. Ndari : aku baru nunggu mas Angga untuk lihat pameran di TBS, tapi kok dia belum datang ya,,?? Aku takut terjadi apa-apa dengan dia.<br />224. Nastiti: mas Angga yang cerewet itu…? Tadi aku ketemu di terminal dia baru menjemput istrinya, kan istrinya kerja di dinas perhubungan….. itu loh…a….a….DLLAJ<br />225. Ndari : apa??kamu jangan mengada-ada loh, masak mas Angga menjemput istrinya, emang dia sudah punya istri?<br />226. Nastiti: kamu belum tahu ya? Anaknya ja sudah masuk SD.<br />227. Ndari : kok kamu bisa tahu semuanya?<br />228. Nastiti: we..e…e… dia kan tetangga saudaraku yang ada di Semanggi.<br />229. Ndari :AH DASAR LELAKI RACUN DUNIA..!!<br />230. Nastiti: loh kok marah? Jangan-jangan kamu kena jebakan asmaranya mas Angga ya?<br />231. Ndari :ah tidak.<br />232. Nastiti: tidak salah kan? Kamu itu harusnya nyadar dia kan sutradara jadi paling-paling kisahmu ini juga di buat scenario mending kamu tunggu saja tanggal mainnya pasti kisahmu ini besok jadi naskah yang menarik bahkan banyak gadis yang jadi korban pembuatan naskah.<br />233. Ndari :ya memang sudah jadi nasibku, jadi korban pembuatan naskah dan scenario. Dasar!!!<br />234. Nastiti: tapi aku yakin mas Angga juga punya maksud tersendiri dari semua ini dan saya juga yakin kalau kamu bisa mengambil hikmah dari kejadian ini, daripada susah mending lihat pameran sama aku saja.<br />235. Ndari : baiklah.<br />(Adegan: Angga membuat naskah dan Ndari sholat menangis) <br />Lagu sholatullah<br /><br />Adegan VII<br />236. Ibu :pak…pak… mengapa kamu tega pada anak kita? Tuh kasian dia jadi sering nangis.<br />237. Bapak :lho bukannya yang suruh mencari jodoh itu kamu. Kok sekarang aku yang jadi kamu salahkan?<br />238. Ibu : As, mbuh, Pak. Aku jadi budreg, aku juga bingung sendiri.<br />239. Bapak : Ya, sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Kita pasrah pada Tuhan yang Maha Esa. Saya yakin Ndari akan diberi jalan yang terbaik. <br />240. Ndari : Pak…Bu…(ngrangkul sujud) maafkan Ndari. <br />241. Ibu : Lho, Nduk ada apa? Ini kok tiba-tiba nangis? <br />242. Ndari : Mas Angga…aku ….aku…di…<br />243. Ibu : Apa Nduk, siapa Mas Angga itu? Dan kamu diapakan? <br />244. Ndari : Aku…aku….di….<br />245. Bapak : Kamu dihamili Angga? Jahanam! Cepat, katakan rumahnya jahanam itu. Biar kulumat, dasar keparat!!!<br />246. Ibu : Sabar, Pak…sabar…<br />247. Bapak : Sabar sabar! Bagaimana? Anak dihamili orang tuanya suruh sabar!!! Gimana to kamu, Bu!!! Andai kata diseluruh dunia apabila anaknya dihamili orang tuanya Cuma diam pasti dah kebak bayi di dunia ini, Bu…Bu…<br />248. Ndari : Jangan, Pak…jangan…<br />249. Bapak : Apa kamu bilang???? Lepas kataku!!biar kuhajar dia!!!karena sudah menghamili anakku.( lepas)<br />250. Ibu : Lho, pak…Pak aduh, gimana ini padahal bapakmu itu tidak bisa kungfu. He, Nduk ciloko. Tapi, biarlah dia kan seorang ayah, harus tanggung jawab.<br />251. Ndari : Tapi, saya tidak hamil, Bu…<br />252. Ibu : Heh?? tidak hamil?? Waduh…. Lalu apa, Nduk? Apa yang terjadi sesungguhnya?<br />253. Ndari : Aku diputus sama Mas Angga. <br />254. Ibu : Putus…Alhamdulillah…terima kasih, ya Allah…Kau telah jalan terang buat Ndari anakku. Tapi, ciloko. Ciloko bapakmu, Ri. Bapakmu salah njotosi orang yang baik seperti Mas Angga, ayo kita susul dia.<br />255. Ndari : Lho, itu dia dah pulang, Bu.<br />256. Ibu : Gimana, Pak? <br />257. Bapak : Gimana? Gimana ? gimana apanya? Aku yang dijotosi karaena aku salah orang. <br />258. Ibu : Lha, kamu tidak Tanya alamatnya, terus potonya, bila perlu KTPnya.<br />259. Bapak : Oya, mana, Nduk?<br />260. Ibu : Hus, cukup sudah…kita harusnya berterima kasih sama Mas Angga. <br />261. Bapak : Lho, gendheng, anak dihamili, kok malah terima kasih?<br />262. Ibu : Yang hamil itu siapa?<br />263. Bapak : Lha, itu Ndari nangis-nangis. Biasanya kalau di sinetron anaknya nangis itu bila perempuan pasti habis dihamili.<br />264. Ibu : Wo…bapak ini gimana? Orang yang hidup itu tidak kayak sinetron. Ndari itu nangis karena habis diputusin Mas Angga.<br />265. Bapak : Alhamdulillah…<br />266. Ndaru: Lho, bapak sama ibu ini gimana, to? Aku baru diputusin sama pacar, kok Alhamdulillah?<br />267. Bapak : Sebabnya, kamu jadi takjodohkan dengan Risnan. Lha, yo gitu, to Bu?<br />268. Ndari : As..tidak mau pokoknya! Aku tidak mau mikir itu. Aku mau mikir skripsi dulu titik. <br />269. Ibu dan bapak : Lho….Ri…Ri…Ri…<br />270. Bapak : Ini gara-gara dia keturunanmu, keras kepala.<br />271. Ibu : Kamu juga.<br />272. Bapak : Kamu.<br />273. Ibu : kamu.<br />274. Bapak : Kamu.<br />275. Ibu : kamu.<br />276. Bapak : Kamu.<br />277. Ibu : Kamu.<br />278. Bapak : Kamu.<br />279. Ibu : Kamu.<br />280. Bapak : Kamu.<br />281. Ibu : Kamu.<br />282. Bapak : Kamu.<br /><br /> Adegan VIII<br /> Ndari (duduk di taman sambil melihat hasil skripsi)<br />283. Angga : Ri… ri…. Maaf kemarin aku nggak bisa nemenin kamu nonton pameran di TBS.. karena aku ada acara penting banget, juga mendesak dan mendadak.. jadi sorry ya… ri di ajak ngomong kok diam saja….. ri…..?? oiya ri kemarin aku juga lihat si Bebek ditangkap polisi loh kena mokmen lah salahnya sendiri dia tidak pakai helm seh… ri….??? Oiya ri, kemarin toh aku jajan di Galabo, yang ada di jalan Slamet Riyadi itu loh ri, mosok jualannya nasi tumpang, aku yo nggak mau no ya ri ya??kalau kamu mau ri??? Mosok mau?? Nasi tumpang loh ri tumpang`i batang tikus.. itu mash mending loh ri, kalau di daerah Jogja itu lebih nggilani lagi makanannya, bayangkan namanya saja sego gudik jogja. Opo ra nggilani?? La wong gudiknya adekku cuma sak ndulit laler`e sak tenggok,, apalagi gudik`e wong sak nyogjo jo di bayangke loh ri kamu nanti ndak mutah-mutah. Ri…?? Ri..?? Ri..?? kok kamu diam ja to ri…???kamu masih marah ya..?? oiya ri, kemarin aku ketemu pak Parno loh.. dia nyariin kamu loh, dah ketemu belum..?? loh kok masih diam… kemarin aku ketemu dengan…. Loh kok dari tadi aku ketemu terus to ri.. ri.. sudah dong senyum dong…<br />284. Nastiti: yo ri aku sudah selesai, kita pulang… <br />285. Ndari : yok.. di sini udaranya panas, aku pengen nyantai di rumah aja..<br />286. Angga : Loh..loh..loh.. kok pergi..?? ri tunggu aku ri, aku ingin bicara padamu..<br />287. Ndari : sudah tidak ada yang perlu di bicarakan lagi mas…<br />288. Angga : tapi ri..tapi ri.. ni lebih penting loh ri..<br />289. Ndari : maaf mas, aku harus pulang..<br />290. Angga : lalu hubungan kita bagaimana???<br />291. Ndari : hubungan apa ya..??<br />292. Angga : alah…hubungan itu tuh..dari hati ke hati..my hot to you hot..you and me hot-hotan…<br />293. Ndari : sudah lupa tuh.. ayo Nastiti kita pulang.. Assalamu`alaikum..<br />294. Angga : Wa`alaikumsalam dik.. loh kok pergi.. ri..Ndari..ndari..ndari..ndari… as ra masalah.. mbok tinggal yo ra masalah.. mending nggarap pentas promosi di Teater Peron aja, sapa tahu dapat ilham buat bikin naskah lagi.. RI…NDARI…..BIARKAN ANJING MENGGONGGONG MAS ANGGA TETAP BERLALU… (nangis) Huaaaaa…huaaaaa…<br /><br />TAMATteaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-9373151786690941332009-09-14T22:44:00.000-07:002009-09-14T22:46:33.345-07:00SUARA“SUARA”<br />KARYA: SOSIAWAN LEAK<br /><br />Oleh:<br />Kelompok Peron Surakarta<br />Mahasiswa Pekerja Teater FKIP UNS<br />Sanggar: Gedung UKM Lantai 1, Jln. Ir. Sutami 36 A 57126<br />Blog: teaterperon.blogspot.com, Email: teaterperon@gmail.com<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />“Suara”<br />Karya: Sosiawan Leak<br /><br />Pengantar:<br /><br />Biarlah<br />masing-masing kita<br />melepas kedahagaan<br />melepas kelelahan<br />pada dada kita <br />sebenarnya<br /><br />ada yang harus kitabekaskan<br />tanpa keangkuhan<br />ada yang harus kitatorehkan di sini<br />tanpa belati<br /><br />biarlah<br />semua kelelahan kita<br />berpulang kepadanya<br />seperti bentuk terakahir<br />yang lari menghampiri<br />pangkuan bunda<br /><br />ada yang harus kita tanam <br />buat kubur kita<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Adegan 1<br />Di balik tabir<br />Musik mengalun sakit, sedih dan tertindas. Lampu menyala malas di depan tabir. Di belakang tabir, lampu merah jelas menantang. Mula-mula kosong semuanya. Teapat ketika musik mulai menggesek pada kesedihan dan ketertindasan yang mendalam, terdengar suara-suara desah, tangis perlahan, salak anjing dan lolongan srigala. Semua suara beradu menjadi simphoni kekalahan yang amat. <br />Tepat di depan tabir, dengan perlahan turun tambang besar yang di ujung membentuk lingkaran yang biasa dipakai untuk menggantung leher orang pada pelaksanaan hukuman mati. Tali gantungan yang berlumur darah itu turun dengan perlahan mengikuti napas. Hingga ketika berada tepat pada ketinggian yang sesuai ia berhenti dan mati.<br />Desah napas, suara-suara kalah, tangisan pilu, dan jerit kesakitan mulai agak nampak dengan perlahan. <br /><br />Tembang: <br />Suara-suara mati<br />Bersliweran di udara mati<br />Bersenggama dengan lorong-lorong mati<br />Menusuki nurani-nurani mati<br /><br />Di balik tabir muncul berjuta orang yang kelihatan bergerak dengan susah payah, tanpa tenaga, lemas namun dipaksakan. Ada yang merangkak, ada yang berjalan dengan sempoyongan, sering terlihat mereka berjatuhan tanpa daya. Semuanya bergerak dalam irama kehidupan yang berat.<br />Sementara dari suatu arah muncul seorang yang yang didukung oleh bebrapa pengawal yang gagah-gagah. Mereka berhenti tepat di tengah tabir. Dan terlihat sang penguasa berdiri di antara pundak-pundak pengawalnya. Ia membawa cemeti yang dibunyikannya berkali-kali. Hingga suaranya menggelegar memenuhi arena. Setiap kali cemeti dibunyikan, selalu diikuti dengan gerakan bebrjuta orang berikut suara menderitanya yang bersama dan seragam. <br />Di depan tabir entah dari mana muncul sekelompok orang yang hilir mudik dengan riuhnya. Mereka bergerak dengan kesombongan yang seragam. Desah mereka nyata kelihatan mengalahkan desah sejuta orang yang kepayahan. <br />Di sudut lain telah nampak dengan tiba-tiba perempuan tua tanpa suara memanggil dan mencari-cari. Di tempat lain Bardal mengendap-endap.<br />Lampu mati dengan amat perlahan.<br />Suara-suara menghilang dengan amat perlahan.<br />Musik menghilang dengan amat perlahan.<br />Selanjutnya kesepian dan kebisuan yang sangat mencekam,<br />Berlangsung lama, hingga semua menjadi gelisahh dan gelisah.<br /><br />ADEGAN 2<br />Panggung sepi, lampu masih mati. Musik mengalun syahdu, dalam gelap sayup terdengar tembang ritmis, yang makin lama makin jelas dan nyata. Ketika lampu berwarna manis menerangi tengah arena, nampak sekelompok orang sedang menari dengan mistis. Kelompok ini membentuk kesatuan gerakan yang harmonis seirama dengan alunan tembang yang mereka lantunkan. <br /><br />Tembang:<br />Dengan cinta, Tuhan mencipta dunia<br />Hingga angkasa raya, luas tak terbatas<br />Dan lihatlah <br />Daratan yang mengubur intan, menyemburkan rimba<br />Senantiasa menjanjikan kehidupan<br />Dengan cinta, jaga dari nafsu kuras dan tebas.<br /><br />Dengan cinta, TUhan merajut bumi<br />Hingga bergejolaklah samudra<br />Membangkitkan gerimis serta udara<br />Dan lihatlah<br />Kemilaunya menyelimuti kerang serta ikan<br />Melayarkan setiap asa ke pelabuhan<br />Dengan cinta, juga dari hasrat angkara.<br /><br />Dengan cinta, Tuhan mencipta dunia<br />Dengan cinta, juga dari napsu kuras dan tebas<br />Dengan cinta, Tuhan merajut bumi<br />Dengan cinta, juga dari hasrat angkara<br /><br />Dengan cinta,…………<br />Dengan cinta,………..<br /><br /><br />Di sisi lain Bardal mengintip semua kejadian itu, dan mengikutinya dengan kesungguhan. Tatkala suasana telah larut dalam tembang dan tarian ritmis itu, maka secara perlahan ketentraman dan kedamaian menyelimuti segala ada. Entah dari mana secara tiba-tiba muncul kelompok orang yang membentuk kesatuan gerakan menyeramkan. Gerakan orang ini mengerikan nampak merusak, menelan melindas, menghancurkan, merayap dengan perlahan dan kepastian. Bardal yang melihat kehadiran kelompok ini terkesima. Semula ia terpaku dengan muka pucat menampakkan kekhawatiran yang sangat. Kelompok ini mulai mendekati kelompok yang sedang bermain tersebut. Setiap ada yang berhasil di lindas, kemudian ditelan, dan masuklah ke dalam perut kelompok perusak tersebut. Bardal berteriak histeris, dan mencoba menghentikan. <br /><br />001. Bardal : Huaaaaaaaaaa,……!!! Jangan! Jangan lagi ada yang dikorbankan!!Cukuppppppp! saya sudah jenuh menyaksikan!! Saya tidak tahan!!Huaaaaaaaaaaa!!(histeris, mengamuk, mencoba mencegah lajunya kelompok perusak). <br />002. Kelompok: Jeg……jeg….jeg,…..Juzzzzzzzzzzz,…..aiiiiikkkkkkk!!!<br /> ………………(meraung mengasak maju, sampil memunculkan suara-suara mekanik harmonis, namun menyeramkan). <br />003. Bardal : (mencoba mendorong) Huaaaaaaaaa,….!!! Aku sudah berulang kali menyaksikan! Berulangkali mendengarkan suaramu mahkuk laknat! Huaaaaaaaaa!<br />004. Komandan: (keluar dari dalam kelompok) o,,,….Katurrrr, Kathurrrrrr, Kathurrrrr……..ndligik! Minggir! Sundel! Mengganggu kerja orang lain! Ndlosor!!<br />005. Bardal : Kalian yang mengganggu orang lain. Kalian yang selalu merusak orang lain! Perusak! <br />006. Komandan: Apa?? Edan? Kamu yang edan!<br />007. Pentol : mesti ditulis, biar tahu siapa kita, Pak!<br />008. Pentul : Benar Pak, buka matanya yang merem itu agar ngerti siapa kita, Pak!<br />009. Pentil : Kadal ini arus digebuk agar tahu diri dan ngerti siapa kita Pak! Hei, mana matamu!? Kamu tak tahu ya,…….. <br />010. Bardal : (Maju) aku tahu siapa kalian (Pentil mundur).<br />011. Komandan: Siapa? <br />012. Bardal : perusak! Tukang rusak!<br />013. Pentil : o………..Benar-benar kadal merem! Sundel! Siapa?<br />014. Bardal : Pemusnah! Pengacau!Tukang usik yang sudah baik! Perusak!<br />015. Pentul : O, mlentus,….mlentus,…..tak krawus! Kalau kamu tak bias melek melihat siapa kami, tentu kamu masih punya telinga yang sehat wal afiat untuk mendengar siapa kami! Mlenthus! <br />016. Bardal: Aku melihat! Berkali-kali melihat kalian membuat semuanya sekarat! Aku mendengar! Selalu mendengar raungan kalian membongkar. <br />Huaaaaaaaaa!!! (meraung, mengamuk)<br />Entah dari mana cahaya suram muncul perempuan tua membawa obor berjalan melintasi arena. <br />017. Inang : Bardal……..Bardal……… Di mana kau cah bagus? Di mana kau? Tak kau lihat perempuan tua yang renta ini memburumu, mengasihimu Bardal….jangan lagi kau susahkan aku cah bagus,……….telah beratus-ratus abad kau memberontak, selalu berteriak. Namun suaramu tak terdengar karena tak ada yang dapat menangkap maknanya. Selalu saja suaramu mengambang hialang tertelan kelam…….tak akau rasakan jeritnmu hancur bertebaran di udara terbuka tak tertangkap telinga-telinga, berjuta telinga yangtelah terlanjur tuli,…??? Bardal,…..Cah bagus,……pulanglah,….aku telah rindu untuk menyusuimu cah bagus, Bardal,……..<br />Suara anjing menyalak mendekati perempuan tua.<br />018. Inang : O,………Asu!! (berhenti)<br />019. Bardal : dari waktu ke waktu, dari semua kerusakan kalianlah yang menjadi biangnya!<br />020. Pentol : Wet,….teit.teit…………….., Teit……..! labatita! Wo, gundulmu abuh! Sungguh, demi demit, kamu benar-benar buta plus tuli!!<br />021. Komandan: Sudah, sudah, sudah! Anak-anak! Kembali ke pasukan!<br />022. Pentil : Siap!<br />023. Pentul : Siap!<br />024. Pentol : Siap!<br />025. Komandan : O,…..Kathurrrrr, ndligik! Ndlingik,,,,,……..ndligik!! Hei, cah edan, kamu ini sebenarnya mau apa, he? Mau nantang, mau nyabotase tugas, mau menghambas proses perombakan, atau mau jadi pahlawan? Hei! Ngomong yang cetho! Njeplak seng tata! Cangkemmu itu dbukak! Telakmu itu dibiak!! Hayo!!<br />026. Bardal : (memberontak) aku selalu menyaksikan kesewang-wenangan kalian! Membongkar, menelan, memporakporandakan semua yang sudah mapan. Kalian selalu mengusik ketenangan! Tak suka melihat damai di bumi, tentram di setiap nurani. Aku bosan , aku bosan melihat tingkah kalian, aku jenuh mendengar raungan kalian yang selalu jauh dari kebenaran! Bosan!!<br />027. Pentil : (maju) O, kadal merem! Tak thutuk cangkemmu!<br />028. Komandan: Pentil! (memberi isyarat)<br />029. Pentil : Siap!<br />030. Komandan: (kepada Bardal) Kamu memang pintar ngomong, tapi sayang utekmu mplonpong! Kamu ini ngomong apa kentut!? He? Akau khan sudah bilang, kamu harus ngomong cetho, jelas! Kamu tahu apa tentang semua ini? Berlagak ngerti permasalahan!<br />031. Bardal : Bukankah ini pengrusakan! Pemusnahan!<br />032. Pentol : O, tak gejlik lambemu, hancur brutumu!<br />033. Komandan: Pentol! (memberi isyarat)<br />034. Pentol : Siap!<br />035. Komandan: Pengrusakan ndligikmu! Pemusnahan kertumu!<br />Ini pemberontakan! Mudheng? Kamu harus bisa mikir pemberontakan selalu dibutuhkan sejalan dnegan jaman. Itu harus! Perlu! Supaya keadaan tidak statis. Mandeg! Uthekmu itu dipakai untuk mikir! Yang kita butuhkan sekarang ini adalah sistem kehidupan yang fresh, norma pergaulan yang bernilai strategis! Kultur budaya yang dinamis!<br />036. Pentul : maf Pak, kata pka Prof. Gymbal, kultur itu ya budaya itu Pak!<br />037. Komandan: Pentul!<br />038. Pentul : Siap!<br />039. Pentil : (berbisik pada pentul) Tul, kamu ini jangan lancing dlunyak-dluyuk begitu. Salah-salah dipolo Bapak baru klenger kamu!<br />040. Pentul : Dlunyak-dlunyuk gimana! La wong kultur itu ya budaya itu, kok!<br />041. Pentol : Iya, meskipun kamu benar, tapi caramu yang tidak benar.<br />042. Pentul : Lho, ini khan kritik membangun. Biar saling membangun. Biarsaling terbuka, kritik itu perlu!<br />043. Pentil : tapi jangan di depan orang banyak begini! Mosok atasan dikritik di depan orang banyak, ya malu!<br />044. Pentul : Tapi aku khan benar!?<br />045. Pentol : Meskipun kamu benar, kamu harus ngalah. Itu jalan yang paling selamat. Pokoknya ngalah! Kita harus bisa mendukung dan menunjukkan bahwa Bapaklah yang benar! Bapak selalu benar! Atasan itu tak pernah salah, bawahan wajib salah.<br />046. Pentul : Wa,….tapi saya yang benar, He,….<br />047. Pentil : Ingat! Sebagai bawahan, kita harus loyal kepada atasan.<br />048. Pentol : Nekad keminter dipecat sekarat kamu!<br />049. Pentul : Lho, saya tidak keminter, tapi dalam hal ini saya khan lebih pinter dari Bapak?!<br />050. Pentil : Kalau kamu lebih pinter, kamu ndak akan jadi bawahan kelas kambing begini!?<br />051. Komandan: Kathurrrrrrrrr……………….ndligik! Ndligik,………ndligik……!<br />052. Pentil : Siap!<br />053. Pentul : Siap!<br />054. Pentol : Siap!<br />055. Komandan: Kalian ini malah nrocos semau udel! Tahu ndak, situasi sedang gawat! Darurat!<br />056. Bersama : Siap!<br />057. Komandan : Siap lambemu!<br />(Perempuan tua berteriak memanggil-manggil, mencari. Anjing menyalak dan serigala melonglong semakin jelas).<br />058. Inang : Bardal,…….di mana kamu, cah bagus? Kau dengar suaraku menembus kabut, meraung-raung di sela angin dan udara? Mencari dirimu cah bagus,…. Jangan lagi hiraukan nuranimu,…tak usah kau turutkan kata hatimu, itu hanya akan menjelma suara-suara sumbang bagi yang mendengar,…hanya akan menyakitkan jiwamu,…Bardal….hanya akan menyiksamu,….lebih baik kau pulang, lihat simbok bawakan celana dan baju baru untukmu. Simbok bawakan selimut penutup dinginmu, jangan berontak cah bagus, tak usah berteriak,….percuma, tak ada yangbisa mendengar. Mereka tak akan mengerti kata-kata yang kau hamburkan. Hanya kau memahami bahasamu sendiri. Hanya kau yang memahami makna nuranimu. Kau lihat, suara nuranimu ruwet tak terbaca maknanya,tak tertangkap, melingkar-lingkar di telinga. Tak pernah sampai di jiwa-jiwa. Cah bagus…..sudah, pasrah, pasrah,…pasrah,…<br /><br />Anjing menggonggong mendekat.<br />059. Simbok : O,…Asu (melempar)<br />060. Bardal : Gila! Edan! Mustahil! Pemberontakan gombal!<br />061. Komandan: Uthekmu itu yang gombal! Tak bisa memahami kemajuan jaman, perubahan jaman!<br />062. Bardal : tapi yang saya lihat bukan sekedar perombakan, apa lagi sekedar perubahan yang diperlukan, bukan! Aku menyaksikan semua ini. Kekuasaan untuk kepentingan kalian!<br />063. Komandan: O, Kathurrrrrrrr…ndligik! Benar-benar kadal ndligik kamu! Pikiranmu mbulet, buntet! Suaramu ruwet! Kamu bicara bagai orang gugu! Kamu ngomong persis orang bisu! Tanpa makna!! Nada bicaramu seperti kentut kerbau! Jelas berbau, tapi tak kenal arah, kau berontak tanpa dasar dan landasan! <br />064. Bardal : landasanku nurani!<br />065. Komandan: Nurani tai kebo! Nurani macam apa yang dipunyai oleh pengacau macam kamu, ha? <br />066. Pentil : Hajar saja!<br />067. Pentul : Jangan kasih kesempatan,…<br />068. Pentol : Tanpa komentar, sikat Pak,…<br />069. Komanadan: (kepada Bardal) pakai uthekmu!<br />(kepada pasukan) anak-anak!<br />070. Pentil : siap!<br />071. Pentul : siap!<br />072. Pentol : Siap!<br />073. Kelompok: Jeg,…jeg,…jeg….Juzzzz,….aik….!!<br />Jeg…jeg…, Juzzz….aik!!! <br />(mereka membentuk kesatuan kelompok dan menelan, menggasak serta melindas orang-orang yang ada. Hingga orang-orang habis tertelan oleh mahluk mengerikan itu, Bardal tetap mencoba menghalanginya. Akhirnya terjadilah pertarungan antara Bardal dengan mahluk itu. Sura dengus mahluk, raungan Bardal semakin memenuhi udara. Saat itu perempuan tua juga berteriak memanggil-manggil. Salak anjing, lolong serigala). <br />074. Bardal : Huaaaa!!!<br />075. Kelompok: Jeg..jeg…jeg…juzzzz, aik….!!<br />076. Simbok : Bardaaaaaaaaalll, cah bagus, di mana kau?<br />(Suara mereka saling beradu, saling menindih memenuhi angkasa, memekakan telinga. Setelah lama berjaga dengan mahluk gila itu, Bardal akhirnya kehabisan tenaga. Ia menggeliat-liat dengan dahsyatnya ketika mahluk itu mencabik-cabik tubuhnya dengan ganas. Hingga akhirnya…..)<br />077. Bardal : Huaaa…!!(teriak kesakitan amat keras, kemudian terkulai jatuh ke tanah)<br />078. Kelompok: (setelah mencabik-cabik, berhenti sejenak sambil tetap mendengus, kemudian berlalu pergi entah ke mana) jeg…jeg…juzzz,…aik!!<br />(Suasana sepi yang mencekam berlangsung agak lama. Bardal tergeletak. Perempuan tua mulau bergerak).<br />079. Inang : cah bagus,…mata jiwaku,…kemarilah jantung hatiku….akau sudah amat rindu mendekapmu. Jangan berontak…jangan berteriak,…tak guna..tak akan didengar,…Bardal….(melihat ada yang tergeletak, ia berjingkat mendekat. Matanya awas terpasang waspada. Setelah dekat, ia duduk dan mengamati dengan seksama. Betapa kagetnya ketika dilihatnya, tubuh itu adalah Bardal yang penuh luka). <br />Oalah, Cah bagus….(didekap dan diguncangnya) kenapa kau ngger, Bardal…bangun Nak,…bangun….sudah aku peringatkan berkali-kali, tak usah kau turuti kemamuanmu yang keluar dari nuranimu,….Bardal…bangun Nak….<br />(Perempuan tua itu memeluk, mendekap, dan menciumi Bardal dengan penuh kasih. Diusapnya rambutnya, dipandanginya dengan cinta dan rindu yang teramat dalam. Dalam kesedihan yang mendalam ia melantunkan tembang). <br /><br /><br /><br />Tembang:<br />Mari tidurkan bulan<br />Dalam tikaman angin malam<br />Dan biarkan mentari mabuk<br />Di atas ranjang tidur siang<br />Sementara kau lupa<br />Mengusap wajahmu yang luka<br />Biarkanlah aku mengembara<br />Menyusuri kali, angkasa dan samudra<br />Mengeja rumputan, kerang serta karang<br />Yyang menarikan kesombongan<br />Kepadamu.<br /><br />Suara perempuan tua itu syahdu memenuhi segala. Suasana menjadi sayup dan sayu oleh kesedihan dan kedukaannya. Ketika ia tengah larut dalam duka, Bardal perlahan membuaka mata dan bergerak dengan lemas. <br /><br /> 080. Bardal : Inang…inang…<br />081. Simbok : Iya, cah bagus. Ada apa Bardal,….Inangmu di sini.<br />082. Bardal : sakit semua, inang….rasanya mau remuk seluruh badan…<br />083. Inang : khan simbok sudah bilang, tak usah kau pergi,….ini akibatnya Bardal…<br />084. Bardal : (memegangi dadanya) Aduh…aduh….Inang tak kuat aku mbok…rasanya seperti ditusuk-tusuk..aduh,…<br />085. Inang : Kuatkan cah bagus, mana yang sakit Inang pijit…<br />086. Bardal : Di sini, Inang…(memegang dada)<br />087. Inang : bukan dadamu ngger, tapi hatimu sakit, tempat nuranimu bergantung. Nuranimu sakit, karena kau lihat semua bertentangan dengan nuranimu, dengan hatimu.<br />088. Bardal : Sakit Inang, aduh…<br />089. Inang : karena kamu kurang pasrah, ngger….kurang terima, kurang bisa mengalah,….kamu sendirian cah bagus,…lebih baik diam dan mengalah.<br />090. Bardal : Sakit, Inang…<br />091. Inang : memang sakit kalau melihat semua yang tak sesuai dengan nurani, tapi kamu harus sadar bahwa kamu sendirian. Kamu tak punya teman. Semua orang telah mengalahkan nurani mereka. Semuanya telah pasra, telah terima dengan keadaan yang tercipta. Tabah, ngger…<br />092. Bardal : Sakit Inang…<br />093. Inang : Inag ngerti Bardal…sekarang tahanlah sakitmu, dan bangunlah. Inang akan ajri kamu supaya tidak kesakitan dengan nuranumi. Ayo bangun,…<br />(Bardal bangun) sekarang Inang bersihkan dulu badanmu (membersihkan badan Bardal). Kamu terlalu lusuh dan kotor. Lihat kamu juga terlalu banyak mempunyai koreng dan luka. Nanti Inang obati ya?<br />094. Bardal : He eh!(mengangguk dan berubah seperti anak kecil)<br />095. Inang : lain kali, kalau bermain hati-hati, ya? Jangan sampai terlalu kotor begini, ya?<br />096. Bardal : Iya, Inang.<br />097. Inang : Nah, sekarang lepas bajumu yang lusuh itu. (Bardal melepas baju dibantu oleh perempuan tua itu) ini, pakai bajumu yang baru biar tambah ganteng.<br />098. Bardal : Inang beli dari mana?<br />099. Inang : Sudah, tidak usah banyak tanya. Pakai biar bagus.<br />100. Bardal : Kalau pakai baju baru tambah genteng, Ya inang, Bardal? (sambil memakai baju dibantu perempuan tua). <br />101. Inang : Iya, tentu saja. Siapa, Bardal, kok.<br />102. Bardal : Itu apa Inang> (menunjuk celana baru yang dibawa perempuan tua)<br />103. Inang : Oh, Iya, Inang hampir lupa celana.<br />104. Bardal : Baru juga?<br />105. Inang : Tentu!<br />106. Bardal : Buat Bardal juga?<br />107. Inang : Pasti.<br />108. Bardal : kalau begitu celana Bardal yang lusuh ini buang saja ya, Inang? (sambil hendak melepas celana yang dikenakannya).<br />109. Inang : (cepat mencegah)Eit Bardal, mau apa?<br />110. Bardal : Lepas celana, ganti yang baru, Inang. Bias ganteng!<br />111. Inang : Jangan sekarang.<br />112. Bardal : Bardal ingin sekarang, Inang..(merengek).<br />113. Inang : tapi jangan sekarang.<br />114. Bardal : kenapa Inang?<br />115. Inang : malu khan kalau ketahuan orang?<br />116. Bardal : Oh, Iya ya,…he..he….yang itu apa Inang? (menunjuk kain yang dibawa perempuan tau).<br />117. Inang : Selimut, cah bagus..<br />118. Bardal : Baru juga?<br />119. Inang : Tentu!<br />120. Bardal : Buat Bardal?<br />121. Inang : Pasti.<br />122. Bardal : Kalu Bardal pakai bisa tambah ganteng, ya Inang?<br />123. Inang : Tidak, Le, selimut itu dipakai supaya tidak dingin.<br />124. Bardal : Tapi, Bardal tidak kedinginan Mbok!<br />125. Inang : Saat ini. Tapi nanti kamu akan membutuhkannya, Cah Bagus.<br />126. Bardal : Saya tidak mengerti, Inang?<br />127. Inang : Sudahlah, sekarang ayo kita berangkat!<br />128. Bardal : Ke mana Inang?<br />129. Inang : Mencari obat buat dadamu, nuranimu yang sering sakit itu.<br />130. Bardal : Siapa yang sakit, Inang?<br />131. Inang : Kamu memang tidak sakit sekarang. Tapi, sewaktu-waktu orang-orang akan menganggapmu sakit ketika kamu berteriak-teriakk dengan suaramu. Orang-orang akan menangkap suaramu sebagai suara sumbang yang tak enak didengar.<br />132. Bardal : Saya tidak mengerti Inang?<br />133. Inang : Sudahlah tak usah banyak tanya, ayo!<br />134. Bardal : Ke mana?<br />135. Inang : Apa itu perlu?<br />136. Bardal : Kalau kita tersesat?<br />137. Inang : Kamu akan mulai lagi dengan nuranimu.<br />138. Bardal : Aku cuma ingin tahu ke mana Inang akan membawaku?<br />139. Inang : Mencari pelabuhan buatmu!<br />140. Bardal : Ke mana?<br />141. Inang : Ayo, berangkat!<br />(Musik mengalun, lampu meremang. Semuanya mengikuti perjalanan perempuan tua yang menggandeng Bardal dengan kasih sayang. Mereka menghilang entah ke mana. Anjing menggonggong, perempuan tua menoleh)<br />142. Inang : O,…Asu..!<br />143. Bardal : Ada apa, Inang?<br />144. Inang : Oh, tidak aada apa-apa cah bagus.<br />145. Bardal : Inang kok ngomong lucu.<br />146. Inang : Sudahlah, ayo,…<br />Mereka berjalan dan menghilang. Anjing menggonggong, srigala meraung panjang. <br /><br />Adegan 3<br />Bardal masih kelihatan kaku dalam posisi pemberontakannya yang terakhir. Bau obat-obatan menyengat semua hidung, bau itu menggiring suasana kepada keberadaan sebuah rumah sakit. Bunyi-bunyi tuts komputer, irama-irama peralatan rumah sakit yang modern memenuhi ruangan. <br />Lampu menyala di sebuah ruangan rumah sakit, lampu di tempat Bardalmeremang. Nampaklah peralatan yang serba sanggih dan ultra modern berjalan secara otomatis. Dengan tergesa-gesa masuk Prof. Gymbal mengepit map, dan beberapa kertas-kertas yang membuat ia menjadi sibuk. Di belakangnya menyususl dengan kecemasan, Sri Paduka Durgati. Segera Prof negeri sebrang itu mengambil tempat duduk di depan peralatannya, dan memulai memencet-mencet tuts-tuts peralatannya. <br />147. Prof. Gymbal : secara medis, ia tidak memiliki kelainan. Saya telah melakukan pemeriksaan yang intensif terhadap semua perangkat tubuhnya dengan menggunakan peralatan yang ekstracanggih dari metode yang memakai teknologi termodern. <br />148. Sri Paduka Durgati: Hasilnya Prof?<br />149. Prof. Gymbal: Seperti yang Anda lihat dalam rekaman komputer ini. (muncul komputer). Sama sekali sehat! Bahkan boleh dibilang fantastis keadaan tubuhnya. Ia seorang yang jenius, otaknya mempunyai volume yang relatif besar, sehingga memungkinkan ia menganalisa permasalahan dengan sintakmatis dan lancer. Jantungnya mempunyai degupan yang senatiasa terjaga sesuai dengan standart kesehatan yang ada. Bahkan, nyaris mempunyai frekwensi sempurna yang jarang dimiliki manusia biasa.<br />150. Sri Paduka Durgati: Jadi, menurut Prof Gymbal, ia bukan manusia biasa?<br />151. Prof. Gymbal : Maksud Anda, Ia termasuk manusia luar biasa?<br />152. Sri Paduka Durgati: Bisa dikatan begitu, Prof?<br />153. Prof. Gymbal : Ha,…ha…ha…(ketawa ngeper, khas). Anda terlalu perasa, terlalu berhati-hati.<br />154. Sri Paduka Durgati: Maksud Prof.?<br />155. Prof. Gymbal: Ia tetaplah manusia biasa. Sejauh mana yang kita ketahui sebagainama manusia lainnya. Anda tak perlu khawatir, tak perlu was-was.<br />156. Sri Paduka Durgati: Bagaimana tidak khawatir, Prof?<br />157. Prof. Gymbal: O,…O…maaf, pembicaraan kita agak melenceng jauh. Saya belum mengemukakan hasil pemeriksaan saya dengan rinci kepada Anda. Boleh saya lanjutkan agar kerja saya tidak sia-sia? Bagi saya dan Anda, tentu.<br />158. Sri Paduka Durgati: Oh, maaf Prof, Silahkan.<br />159. Prof. Gymbal: Ketika pertama kali melihatnya, saya telah terpikat oleh sorot matanya yang tajam serta menggairahkan. Pertanda ia memiliki daya hidup yang besar di balik sinar matanya, dan aha! Paduka, ternyata banar! Tidak sedikitpun zarah menempeli retinanya yang bening, sehingga memungkinkan ia memiliki pandangan yang objektif, selektif! Ini merupakan kekuatan tersendiri baginya untuk bisa memandang jauh ke depan, menerawang ke masa yang akan datang.<br />160. Sri Paduka Durgati: Jadi, benar? Ia memiliki kekuatan tersendiri yang potensial, Prof?<br />161. Prof. Gymbal: Maksud Anda?<br />162. Sri Paduka Durgati: Seperti yang Prof. ucapkan: Ini merupakan kekuatan tersendiri baginya untuk bisa memandang jauh ke depan, menerawang ke masa yang akan datang.<br />(menirukan persis) Apa maksud Prof. Gymbal???<br />163. Prof. Gymbal: Ha..ha…ha…(ketawa ngeper, khas) Maaf, saya lupa, bahwa Anda terlalu perasa, terlalu hati-hati,…<br />Maaf,…bukan itu maksud saya.<br />164. Sri Paduka Durgati: Dengan kata lain? <br />165. Prof. Gymbal: istilah lain sering menyebutnya dengan chykalimerisat, artinya keadaan mata yang sempurna yang didukung oleh kebersihan retina, sehingga daya tangkapnya terhadap keberadaan sinar ataupun benda menjadi lebih akurat.<br />166. Sri Paduka Durgati: Tidak ada kekuatan lain yang muncul dari keadaan matanya, Prof.?<br />167. Prof. Gymbal: Maksud Anda? <br />168. Sri Paduka Durgati: Ia memiliki atau menyimpan tenaga super dalam sorot matanya, misalnya? <br />169. Prof. Gymbal: Ha…ha…ha…(ketawa ngeper) Nonsens! Sama sekali tidak masuk akal!Anda terlalu dipengaruhi oleh cerita-cerita dongeng yang berkhayal dan berbau fiksi! Maaf, berapa buah buku cerita khayal yang Anda habiskan dalam satu hari ketika Anda mengenakan celana kodok?? Ha…ha…ha…<br />170. Sri Paduka Durgati: Saya kurang enak badan untuk bergurau, Prof.<br />171. Prof. Gymbal: Ha..ha…ha…(panjang terpingkal) hingga ia tersadar bahwa ia tertawa terlalu lama dan semakin sumbang). <br />172. Prof Gymbal : (gugup) Oh…eh…eh… maafkan saya, Sri Paduka. Saya akan lanjutkan, paduka Durgati?<br />173. Sri Paduka : Saya akan lebih suka demikian Prof. Gymbal.<br />174. Prof Gymbal : Baik. Kita akan melihat hasil tes lubang telinga, hingga gendang telingannya berdasarkan pada penyinaran laser dan data-data komputer. (memainkan computer dan melihat hasilnya dengan teliti dan mangamati sungguh). Hem…eh…em,,,(berpikir lama, mengerut jidatnya).<br />175. Sri Paduka: Ada masalah Prof?<br />176. Prof Gymbal : Em,….(semakin serius mengamati)<br />177. Sri Paduka: (penasaran) Ada kelainan yang Anda temukan??<br />178. Prof Gymbal : Persis seperti dugaan saya semula. Hypothesa yang tepat! Amat tepat!<br />179. Sri Paduka: Maksud Anada?<br />180. Prof Gymbal : Sama sekali tidak terdapat indikasi penyakit di dalammya. Semuanya ok! Tak ada kelainan senotahpun! Normall!!<br />181. Sri Paduka : (menarik napas lega) Anda yakin Prof?<br />182. Prof Gymbal : Sure! Tentu! Anda meragukan kemampuan medis saya, Sri Paduka?<br />183. Sri Paduka: Oh, tidak! Maaf, mungkin saya terlalu banyak praduga terhadap oknum yang satu ini. Sama sekali saya tidak meragukan analisa Anda. Saya harap Anda paham dengan posisi saya saat ini, Prof. <br />184. Prof Gymbal : oh Yech! Terima kasih atas kepercayaan Anda, Sri Paduka Durgati. Tapi, saya harap Anda tidak terlalu nervouse mendengarkan laporan-laporan klinis saya. Saya paham betul kedudukan Anda berikut kekuasaan Anda. Hingga oknum ini sangat menghawatirkan Anda, namun perlu saya sarankan kepada Anda untuk senantiasa menjaga stabilitas Anda, baik fisik maupun psikis! Saya kira Anda paham dan menerima usulan saya, Sri Paduka? <br />185. Sri Paduka: Terima kasih, Prof. Anda boleh meneruskan laporan Anda.<br />186. Prof Gymbal :Kita akan menginjak pada taraf analisa terakhir dari oknum yang mengoncangkan jiwa Anda ini, Sri Paduka.<br />187. Sri Paduka: Saya akan siaga mendengarkannya.<br />188. Prof Gymbal : Akan lebih baik kalau kita langsung memerikan pasien ini.<br />189. Sri Paduka: Alasan Prof?<br />190. Prof Gymbal : Di samping hal yang akan saya sampaikan ini bersifat pokok, juga karena saya inginkan agar Sri Paduka lebih yakin dengan menyaksikan sendiri cara kerja saya memeriksa menghypotesa, serta menganalisa dan mengambil konklusinya. <br />191. Sri Paduka: Maaf, kalau boleh tahu, kita akan melihat perangkat tubuh yangmana itu, Prof?<br />192. Prof Gymbal : Yang menurut Sri Paduka paling berbahaya. <br />193. Sri Paduka: Mulut??<br />194. Prof Gymbal : Tepat! Saya akan mencoba memriksa ulang kembali, untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, Sri Paduka. Silahkan! (mempersilahkan Sri Paduka Durgati keluar ruangan. Kemudian ia mengikutinya dengan segera, menuju ke tempat Bardal).<br /><br /><br /><br />Adegan 4<br />Panggung masih gelap ketika musik dan nyanian bersal dari sejuta kanak-kanak menciptakan suasana riang gembira. Katika lampu menyala sejutakanak-kanak berlarian berhamburan dengan pakaian gemerlapan penuh warna. Sambil bernyanyi dan menari mereka menghiasi ruangan dengan hisan warna-warni. Mereka juga membawa kursi-kursi kecil dan menatanya dengan rapi. Masing-masing anak membawa perlengkapan sekolah. <br /><br />Tembang<br />Ae…ae…ae….<br />Guna mulut untuk bicara<br />Kalau mendengar dengan telinga<br />Tapi awas kalau bicara<br />Jangan sampai sumbang terdengar<br />Hati-hati kalau mendengar<br />Cegah jangan sampai tangkap suara-suara liar<br />Ae…ae…ae…,…<br />Sobat kau harus lihat<br />Kawan kau harus pandang<br />Keseragaman diperlukan<br />Keteraturan diwajibkan<br />Kepatuhan jangan dilupakan<br />Ae…ae…ae…<br />Matikan nurani<br />Buanglah hati<br /><br />Setelah semuanya siap, mereka mengambil tempat duduk dan duduk dengam teratur dan rapi. Semua gerakan mereka seragam dan bersamaan. Dating Simbok dan Bardal. Bardal memakai pakaian yang seragam dengan anak-anak itu. <br />195. Bardal : Sedang apa mereka Inang?<br />196. Inang : mereka sedang menjalani imunisasi dini.<br />197. Bardal : Semuanya rapi, Inang?<br />198. Inang : O, itu harus, Ngger. Di sini semuanya diatur, semuanya dibatasi. Tidak boleh sesuka hati. Sudah ada aturannya sendiri-sendiri, Ngger. <br />199. Bu Hiegine: (muncul dengan genit dan lincah). Aih..aih…aih…bebar sekali! Tepat sekali! Inilah diimunisai dari budi pekerti yang wajib dijalani kalau ingin bahagia di bumi. <br />200. Pasien2x : selamat datang Bu Hiegine….!!!<br />201. Bu Hiegine: Aih…aih…aih…!!! Selamat datang pasien-pasien. Kalian sudah siap? <br />202. Pasien2x : Siap Bu Hiegine!<br />203. Bu Hiegine: Bagus! Aih..aih…aih…!!! mulai! (aba-aba)<br /><br />Perempuan tua dan Bardal hanya terdiam menyaksikan semuanya.<br />204. Pasien I : (berdiri di tempat) Berdiri grak!<br />Semua murid berdiri<br />205. Pasien I : Berdoa grak!<br />206. Pasien 2 : Tuhanku, lindungilah aku<br />Ibuku, ayahku dan ibu guru. Tuhanku, aku cinta kepadamu. Amin!. <br />207. Pasien I: Duduk grak!<br />(Semua pasien duduk, dan diam seperti robot. Semuanya bermimik seragam. <br />208. Bu Hiegene: Pasien-pasien rupanya ibu guru ada tamu. Kalian belajar sebentar. Keluarkan buku dan baca!<br />(pasien-pasien bersama-sama mengeluarkan buku. Membaca bersama dan bersamaan<br />gelengan kepala mereka nampak seragam seperti tarian robot. Ibu hiegene mendekati<br />perempuan tua dan Bardal yang termangu-mangu menyaksikan). <br />209. Ibu Hiegene: Aih…aih…aih…!!! Ada tamu rupanya. Ada yang bisa saya Bantu, ehm, nyonya,….<br />210. Bardal : Inang! Saya biasa memanggilnya Inang!<br />211. Inang : Sssss.., Bardal, tidak boleh bicara sembarangan. Nanti kita tak boleh memasuki ruangan ini lagi! <br />212. Bu Hiegene: Aih,….tepat sekali! Sekali lagi tepat kata-kata anda nyonya. Tidak boleh bicara sembarangan di ruangan. Semuanya sudah ada aturan dan batasan, tidak boleh liar!<br />213. Inang : Maafkan anak saya, ibu,..<br />214. Bu guru : Hiegene. Sebut saja ibu Hiegene, Nyonya,…<br />215. Simbok : inang1 sebut saja Nyonya Inang, Ibu Hiegene.<br />216. Ibu Hiegene: Ada yang bisa saya Bantu, Nyonya?<br />(Bardal pergi mendekati pasien-pasien yang bergerak seragam seperti rombongan robot satu kendali. Ia mengamati mereka satu persatu dengan perasaan heran yang sangat. Tingkah laku Bardal ini tak diketahui oleh ibu guru maupun perempuan tua, yang asyik bicara). <br />217. Inang : Saya ingin anak saya dapat imunisasi di jawatan ini, Ibu. <br />218. Bu Hiegene: Aih,…tentu saja, tentu saja!<br />219. Inang : Ada persyaratan yang harus saya penuhi, Ibu? Misalnya administrasi, atau materi lainnya?<br />220. Bu Hiegene: Aih…aih…aih…tak perlu repot-repot Nyonya. Kalau ada saja Nyonya boleh memberikannya kepada saya, Ingat! Kalau ada saja! <br />221. Inang :Terima kasih atas kebaikannya, ibu.<br />222. Bu Hiegene: Aih..kembali,…kembali…<br />223. Inang : Terus apa ada persyaratan yang harus dipenuhi anak saya, Bu guru? Maksud saya, misalnya umur, jenis kelamin, latar belakang budaya, agama, latar belakang strata sosial? Ehm,…maksud saya, apakah ada pengkhususan dan pembatasan dari hal-hal yang saya sebutkan tersebut?<br />224. Bu Hiegene: Aih,..aih,…aih,…sama sekali keliru! Sama sekali tidak perlu yang Nyonya sebutkan tadi. Aih, maaf Cuma ada satu persyaratan di sekolahan ini.<br />225. Inang : Boleh tahu, Ibu Hiegene?<br />226. Bu Hiegene: Aih,..Of Course! Tentu! Begini nyonya, karena sekolah ini untuk mendidik keseragaman dan kesatuan, maka sangat dihindarkan sekali nirani yang liar. Yang tidak sesuai dengan aturan dan kebenaran bersama. Ingat Nyonya! Kebenaran bersama!<br />227. Inang : Saya kasihan dengan anak saya, ibu. Ia selalu kesakitan dengan dadanya, dengan hati dan nuraninya.<br />228. Bu Hiegene: tepat sekali Nyonya membawanya ke sini! Aih,…tepat sekali! Saya harap Nyonya bisa mengerti dengan persyaratan yang ada di sini.<br />229. Inang : Saya mengerti, Ibu Hiegene.<br />230. Bardal : (di empat dengan tiba-tiba) saya tidak mengerti, mbok!<br />231. Inang : (kaget) ssttt,…Bardal! <br />232. Bardal : mereka (pasien-pasien) seperti robot yang bergerak bersama dalam satu kendali, Nang!<br />233. Bu Hiegene: Aih,..aih..aih…anak manis,..mereka bukan robot!<br />234. Bardal : tapi Bu, mereka tidak bisa bicara ketika saya ajak bicara! <br />235. Bu Hiegene: tentu saja! Mereka tengah belajar bersama. Lihat gerakan mereka bersama, mimik mereka bersama, pikiran mereka bersama, semua yang ada pada mereka selalu bersama! Bukankah kamu ingin seperti mereka, anak manis? Kau lihat indah bukan?<br />236. Bardal : tapi, mereka tidak bisa bicara, Bu Hiegene! <br />237. Bu Higene: Aih,…! Keliru besar! Besar sekali kelirumu, anak manis,…kau ingin mendengarkans suara mereka yang merdu? <br />238. Pasien-pasien: ibu Hiegene (bersama)<br />239. Bu Hiegene: Aih,…denganr, suatu simphoni yang tertata rapi. Tak ada suara sumbang. Semua seragam, nikmat didengar! <br />240. Bardal : Mbo, Bardal nggak mau imunisasi.<br />241. Inang : Jangan ngger, kamu harus imunisasi di sini.<br />242. Bardal : Tapi, Bardal tidak suka!<br />243. Bu Hiegene: Aih,..aih,…kenapa tidak suka, sayang? Semuanya rapi, allright! Anything is oke! You know, you know?? <br />244. Inang : coba dulu, Bardal. Lama-lama kau akan biasa. Lama-lama kau akan bisa. Kamu ingin dadamu sembuh, khan? Kamu ingin sakitmu hilang khan? <br />245. Bardal : He-em. (mengangguk manja)<br />246. Inang : Makanya kamu harus mencobanya. Mengerti cah bagus?<br />247. Bardal : Iya, mbok.<br />248. Bu Hiegene: aih,..aih,…aih,,!1 Anak manis! Siapa namamu?<br />249. Bardal : Bardal, Bu Hiegene! <br />250. Bu Hiegene: Bagus, Bardal! Oke? No problem1 semuanya baik-baik end allright! Yes? <br />251. Bardal: Yes, Bu Hiegene.<br />252. Bu Hiegene: Nah, sekarang, kamu boleh ambil kursi dan duduk bersama temanmu yang lain! Oke?<br />253. Bardal: Oke, Bu Hiegene. <br />(Bardal ke luar sebentar, dan masuk membawa kursi. Ia duduk bersama murid-murid semua. Tetapi ia kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan. Semua murid membaca dengan gerakan leher dan mata yang seragam. Bardal tidak dapat melakukannya. Ia berkali-kali mencoba tetapi selalu gagal. <br />254. Bu Hiegene: Sungguh anak-anak yang manis! Aih!<br />255. Inang : Apakah semuanya akan berjalan dengan baik, Bu Hiegene? <br />256. Bu Hiegene: Percayalah, Nyonya, Don’t worry be happy! Nyonya tak perlu khawatir, kwalitas sekolah ini oke!<br />257. Inang : Oke, Bu higene.<br />258. Bu Higene: Nah, baiklah, saya hendak memulai pelajaran. Nyonya bisa menunggu di luar! Untuk menjaga ketertiban, yang ada di ruanagan kelas hanya murid dan guru, plus tukang kebun bila perlu. Maaf Nyonya!<br />259. Inang : Oh, maafkan saya, Ibu Hiegene. Saya mohon pamit. Saya titip Bardal. Permisi Ibu Hiegene.<br />260. Bu Hiegene: ya, silahkan, silahkan. Jangan khawatirkan anak manis itu, Nyonya. Ia akan segera baik!<br />261. Inang : Mudah-mudahan Ibu Hiegene<br />262. Bu Hiegene: Tentu! Of course! Kalau tak ada kelainan yang something wrong!<br />263. Inang : Mohon pamit, Bu Hiegene!<br />264. Bu Hiegene: Silahkan, silahkan!<br />(Simbok berjalan meninggalkan ruangan. Anjing menyalak mengikutinya. Ia berhenti sejenak). <br />265. Inang : O,…asu! (menghilang di kegelapan)<br /><br />(Ibu Hiegene memulai pelajaran)<br />266.. Bu Hiegene: Nah, anak-anak semua. Kita akan memulai program imunisasi. Tapi sebelum program kita mulai, ada baiknya kalian berkenalan dengan kawan kalian yang baru. Ayo, kalian masing-masing memperkenalkan diri.<br />(Mereka memperkenalkan diri mereka dengan cara yang sama. Gerakan yang sama, serta kata-kata yang sama. Setelah semuanya memperkenalkan satu per satu dengan urut, pada akhirnya mereka melakukannya serempak). <br />267. Pasien I : Nama saya Pasien imunisasi diri budi pekerti<br />268. Pasien II : Nama saya Pasien imunisasi diri budi pekerti<br />269. Bu Hiegene: (memperlihatkan kertas berwarbna merah) Ini?<br />270. Pasien II : Biru!<br />271. Bardal : Merah!<br />(Murid-murid menoleh kepada Bardal bersamaan)<br />272. Bu Hiegene: AIh…aih…!!! Bardal manis, tidak ada keterangan jalan data kesehatanmu bahwa kamu buta warna sayang.<br />273. Bardal : Saya dapat melihat dengan jelas Bu Hiegene.<br />274. Bu Hiegene: Ada masalah something wrong dengan warna?<br />275. Bardal : Tidak, Bu Guru.<br />276. Bu Hiegene: Oke! Ini? (kertas hitam)<br />277. Bardal : Hitam, Bu Hiegene!<br />278. Pasien II : (marah, mengaum menakutkan) Haummmm,…!!!<br />279. Bu Hiegene: (bersuara besar menakutkan, memandang tajam).Patih!!<br />280. Bardal : Ak,,,,ghe…agh….ghaf…(gagu, bersuara tak jelas)<br />281. Bu Hiegene: Oke! Ini? (kertas merah)<br />282. Bardal : merah, Bu Hiegene<br />283. Pasien-pasien: (marah, mengaum menakutkan) Haummmmmm….1!!<br />284. Bu Hiegene: Biru!! (bersuara besar, memandang menakutkan)<br />285. Bardal : Ghra,…dga…hagra,…(gagu tak jelas)<br />286. Bu Hiegene: Oke! Ternyata matamu kurang baik, Bardal. Di samping buta warna, kamu ternyata juga mempunyai penyakit gagu kambuhan. Suaramu tak bermakna, tak bisa dimengerti dengan sempurna. Padahal baru saja kamu bicara dengan suara yang tidak kalah merdu dengan teman-temanmu. Sejak kapan kamu buta warna, Bardal? Aih…aih…!! Sory,…I am sory,…tentu saja sejak bayi. Maaf!! Maksud saya, sejak kapan kamu menderita gagu kambuhan?<br />287. Bardal : saya tidak gagu, Bu Hiegene<br />288. Bu HIegene: Of Course! Tentu saja! (kaget dan tersadar) What? Kamu ternyata tidak gagu Bardal?<br />289. Bardal : Tidak, Bu guru.<br />290. Bu Hiegene: Bagus! Berarti O,…o,…O,…maafkan anak manis. Kamu masih gugup. Barangkali. Sehingga terkadang tak bisa bicara di depan teman-teman barumu?<br />291. Bardal : Tidak, Bu Guru.<br />292. Bu Hiegene: Aih…aih…aih…Bardal, lalu kenapa kamu tidak bisa bicara, tadi? Hem? Oke! Bagaimana kalau kita selesaikan saja pembicaraan kita? Karena masih akan panjang. You Know?<br /><br />(Bardal mengangguk)<br />293. Bu Hiegene: End,…dengan catatan, bahwa kau terbukti mempunyai mata yang tidak normal!<br />(Murid-murid menoleh kepada Bardal yang gagu hendak memprotes kalimat Bu guru)<br />294. Bu Hiegene: Oke, anak-anak. Bisa kita lanjutkan? Sekarang imunisasi untuk fase berikutnya!<br />(Pasien-pasien berlari bersama dan menempatkan diridengan rapi. Bardal ketinggalan. Semua pasien melakukan gerakan dan tarian yang seragam, Bardal canggung dan kebingungan. Mereka menari dan menyanyi). <br />Tembang: <br />ae..ae….ae…<br />guna untuk bicara<br />kalau mendengar dengan telinga<br />tapi awas kalau bicara<br />jangan sampai sumbang terdengar<br />hati-hati kalau mendengar<br />cegah jangan tangkap suara liar<br />ae..ae…ae…<br />sobat kau harus lihat<br />kawan kau harus pandang<br />keseragaman diperlukan keteraturan diwajibkan<br />kepatuhan jangan dilupakan<br />ae…ae…ae…<br />matikan nurani<br />buanglah hati…………<br /><br />(Melihat Bardal yang tidak bisa mengatur keseragaman, semuanya menjadi terganggu. Mereka akhirnya terhenti dan marah. Bu Hiegene dan seluruh murid mengaum marah dengan serentak. Mereka mengelilingi dan menggiring Bardal ke suatu tempat yang membuat ia terpojok dengan sangat. Musik suasana mencekam. Tiang gantungan yang besar turun dari langit. Bardal hendak menjerit, tapi tak berdaya. Ia hendak berontak tapi tak kuasa. Pada saat itulah semua orang sudah memegang tambang dan mengalungkannya satu per satu ke leher Bardal/ hingga leher itu penuh dengan tambang. Semuanya menarik tambang itu dengan kuat, Bardal semakin sekarat dalam ketakberdayaannya. Ia berontak tanpa suara. Ketika akhirnya ia mendapatkan tenaganya dan berhasil bergerak dengan kuat serta berteriak keras, orang-orang melepas tambangnya dengan sengaja. Lampu meremang. Orang-orang tertawa panjang dan terpingkal-pingkal. Pasien-pasien serta ibu Hiegene hilang entah ke mana. Tinggal Bardal terpaku berkalung seribu tambang.<br />Perempuan tua melintas, mencari-cari, memanggil-manggil dengan suara bisu). <br /><br />Adegan 5<br />(Prof Gymbal berjalan bersama beririnagan sambil terus berbicara menuju ke tempat bardal yang kaku dengan kalungan sejuta tali gantungan di lehernya. Muncul mendekati Bardal). <br />295. Sri Paduka: Suaranya terlalu kuat dan menggetarkan. Ini selalu terjadi ketika program-program perombakan yang saya laksanakan sedang berjalan. Beberapa laporan mengatakan, ia semakin berani berteriak. Meskipun sampai saat ini belum banyak yang bisa menangkap makna-makna suaranya, namun saya secara pribadi merasa khawatir dengan lontaran kata-katanya yang selalu menggema setiap kali ia marah. <br />296. Prof. Gymbal: Ada fakta lain yang Anda dapatkan Sri Paduka? Eng,..maksud saya sehubungan dengan perkemebangan kejiwaannya.<br />(Prof Gymbal mengambil kaca pembesarnya dan mendekati bibir Bardal dengan seksama. Sementara nampak mimic Bardal kebingungan, namun ia tak dapat sama sekali bergerak. Hanya matanya yang berbicara dengan liar).<br />297. Prof. Gymbal: sepasang bibir yang sempurna. Pemiliknya telah mendapatkan anugerah yang tak kan mengecewakan selam hidupnya. Benar-benar lentur dan plastis, sehingga memungkinkan segala ucapan, segala kata keluar dengan artikulasi dan tekanan sempurna.<br />298. Sri Paduka: Ada Anda temukan sesuatu kelainan yang dapat menguatkan laporan yang saya terima darin oknum ini, Prof.<br />299. Prof Gymbal: sementara belum, Paduka. Tapi, untuk lebih mengarahkan pemerikasaan ini pada standar medis, saya akan beranjak ke hal yang lebih urgan lagi, Sri paduka.<br />300. Sri Paduka: silahkan Prof.<br />301. Prof. Gymbal: Buka mulutmu anak manis. (memerintah Bardal, yang menurut). Uhhh…uhhh…bau busuk mulutmu! Tak pernah sikat gigi ya? Ah,…lebih baik segera tutp mulutmu kembali! Bardal menutup mulut)<br />302. Sri Paduka: mengapa urung, Prof?<br />303. Prof. Gymabal: Maaf, Paduka Durgati. Saya tidak tahan dengan bau mulut anak ini. <br />304. Sri Paduka: Busuk?<br />305. Prof Gymbal: Belum pernah saya menghirup bau semacam itu. Spesifik!<br />306. Sri Paduka: Minuman keras barangkali?<br />307. Prof Gymbal: Saya tidak yakin, Paduka. Ini bukan aroma yang biasa. <br />308. Sri Paduka: lagi-lagi keadaan di luar yang biasa, tapi kalau saya katakana luar biasa, Prof. tidak menyetujuinya. Sebenarnya apa maksud Anda Prof?<br />309. Prof. Gymbal: Maaf Paduka, sesuai dengan kode etik medis, setiap analisa terhadap hypotesa harus dijalani dengan hati-hati dan teliti, sehingga kita akan mendapatkan konklusi yang benar-benar bearrti.<br />310. Sri Paduka: Tapi, Prof. nampaknya kurang yakin dalam menentukan kesimpulan dari yang kita hadapi.<br />311. Prof Gymbal: ketelitian, Sri Paduka! Sekali lagi ketelitian! Saya tidak ingin mempermalukan almamater saya karena kerja saya yang tidak professional. Apalagi saya memahami bahwa penelitian terhadap kasus ini sangat penting bagi Anda sehubungan dengan kekuasaan Anda, sehingga tidak mengherankan, Anda mendatangkan saya jauh dari sebrang untuk suatu kepercayaan ini!<br />312. Sri Paduka: Anda terlalu berbelit, Prof. Gymbal.<br />313. Prof. Gymbal: Saya cuma tidak ingin anda kecewa, Sri Paduka Durgati.<br />(Suasana canggung. Keduanya merasa tersinggung. Sepi sejenak, hanya suara mesin-mesin kedokteran. Hingga akhirnya secara bersamaan mereka berkata).<br />314. Prof & Sri: Maafkan saya. (tertawa ramah bersama) Ha…ha…ha…<br />315. Prof. Gymbal: Maafkan, sya Sri Paduka Durgati. Saya tidak sadar bahwa saya berhadapan dengan orang nomor satu di negeri ini. Maafkan saya, Sri Paduka. <br />316. Sri Paduka: Saya juga, Prof. Gymbal. Saya agak terganggu dengan oknum yang satu ini, sehingga berlaku kurang hormat terhadap seorang ahli medis negeri seberang. Maafkan saya, Prof. Gymbal.<br />317. Prof. Gymbal: Ternyata manusia yang satu ini telah membuat persahabatan kita agak terganggu sejenak tadi, Paduka.<br />318. Sri Paduka: Benar, bagaimanapun juga ia telah menimbulkan permasalahan yang besar dan mendasar dalam hidup saya.<br />319. Prof Gymbal: untuk itu, Paduka, ijinkan saya melanjutkan pemeriksaan saya.<br />320. Sri Paduka: oh, silahkan, Prof,…silahkan!<br />(Kembali Prof, melanjutkan pengamatannya. Sri Paduka mengikutinya dengan perhatian yang lebih).<br />321. Prof Gymbal: Perlihatkan gigimu, anak manis! (memerintah Bardal yang segera petuh menjalankannya). Uh…uh…uh….sederetan gigi yang rapi! Teramat rapi! Seperti deretan seribu bukit tertutup salju di musim dingin. Tak sedikitpun ternoda oleh kotoran. Sri Paduka? Lihatlah, kembali ia menunjukkan kesempurnaan perangkat tubuhnya. Barisan gigi yang manis!<br />(ia memegang-megang gigi Bardal, menguji kekuatannya). Kokoh! Buka mulut! (memerintah Bardal yang segera membuka mulutnya. Prof Itu kemudian memasukkan tangan di antara celah mulut. Dan dengan tiba-tiba Bardal mengatupkan mulutnnya, sehingga tangan Prof itu terjepit dengan kuat, hingga jeritan sang Prof. keluar melengking). Auuuw,…!!lepaskan, anak setan! Lepas! Godyer Domzekh!! Huaww…!! Auuuw…!!! Lepas! Setan Edan!!<br />322. Sri Paduka: Benar-benar cari penyakit, anak jadah ini! Boleh saya tolong Prof?<br />323. Prof. Gymbal: Tentu saja. Itu yang saya harapkand ari Paduka!<br />(Sri Paduka mencoba menolong Prof. keduanya berusaha sekuat tenaga membuka mulut Bardal yang menggigit ketat. Lama mereka berkutat! Hingga akhirnya Sri Paduka menemukan akal, manarik salah satu tambang yang melilit di leher Bardal. Maka terbukalah mulut Bardal dengan paksa). <br />324. Prof Gymbal: Hua…hua…ah..!! (menarik tangannya dengan segera). Benar-benar kekuatan yang ekstra kuat dalam giginya (memijit-mijit tangannya yang kesakitan sambil cengar-cengir). <br />325. Sri Paduka: Prof. baik-baik saja? <br />326. Prof Gymbal: Seperti yang Anda lihat! Saya hampir saja kehilangan jari-jari saya!<br />327. Sri Paduka: Kenapa Anda malah tersenyum? Tidak marah?<br />328. Prof Gymbal: Ouw! Pandanngan bagi saya, Paduka! Ini adalah salah satu konsep saya dalam menjalankan tugas. Pantang emosi dalam menjalankan misi. Sri Paduka, justru dengan demikian saya benar-benar tahu keadaan medis gigi-giginya. <br />329. Sri Paduka: Tentu, anda telah merasakannya.<br />330. Prof Gymbal: Lagi-lagi fantastis! Bocah ini benar-benar sehat, tanpa cela sedikitpun, Paduka. <br />331. Sri Paduka: Saya ingin, Anda segera menyelidiki lebih jauh lagi, Prof! sehubungan dengan suara-suara yang dia keluarkan dengan liar!<br />332. Prof. Gymbal: baik, Sri Paduka Durganti! <br />Buka mulutmu anak amanis. ( memerintah dnegan lembut dan lebih berhati-hati. Ketika Bardal membuka mulutnya Prof. mengganjal mulutnya dengan alatnya secara hati-hati). (kemudian mulai memeriksa dengan seksama). (dengan memakai senter kecil ia mengamati ke dalam mulut Bardal). (Ia banyak berganti-ganti alat dan memasukkannya ke mulut Bardal secara bergantian). ( kemudian setelah selesai, ia mencatat semua hasil pangamatannya). <br />333. Sri Paduka: bagaimana, Prof?<br />334. Prof. Gymbal: Nihil! Kalau Sri Paduka Durgati ingin mengenal kelemahan kondisi kesehatan bocah ini secara fisik. <br />335. Sri Paduka: Jadi?<br />336. Prof. Gymbal: Secara medis, sampai dengan pemeriksaan saya yang terakhir, ia adalah seorang dengan standart manusia normal 100%! Bahkan saya, kalau boleh, kalau paduka mengijinkan, saya mempunyai penilaian bahwa ia seorang yang sempurna sebagai manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan, fantastis selaku pribadi!<br />337. Sri Paduka: Anda belum menerangkan kepada saya hasil pemeriksaan Anda yang terakhir Prof.<br />338. Prof. Gymbal: oh, maaf….hampir lupa, saya. Keadaan langit-langit dalam mulutnya memberi kesempatan kepada setiap napas angin, serta suara berjalan lancar. Saluran trakheanya mulus, sehingga tidak akan mengalami permasalahan yang berarti dalam kesehariannya. Ia juga memiliki pita suara yang, maaf, luar biasa kuat. Sehingga batas ambang kekendorannya dapat paduka bayangkan sendiri. Dengan keadaan mulut serta perangkat-perangkat tenggorok yang sedemikian baik ini, maka akan dimungkinkan muncuknya suara yang bening, merdu, panjang, serta berkekuatan (sesuai dengan dugaan Sri Paduka?<br />339. Sri Paduka: (mendesah perlahan)<br />340. Prof. Gymbal: Jadi, dapat saya tarik kesimpulan, bahwa bocah ini bicara fisik berdasarkan pemeriksaan medis yang saya lakukan, adalah bocah yang sehat, normal sebagai manusia!<br />341. Sri Paduka: maaf, prof. saya kurang enak badan, rasanya! <br />342. Prof. Gymbal: Oh, Maaf, kalau begitu kita teruskan pembicaraan di kamar kerja saya, paduka. Maafkan, saya, mungkin paduka Durgati kurang terbiasa berada di kamar pasien. Kalau diperkenankan, sekalian nanti saya periksa Paduka Durgati.<br />343. Sri Paduka: Saya cuman menginginkan penjelasan terhadap oknum ini!<br />344. Prof. Gymbal: Oh, tentu. Maaf ,…..(gugup) silahkan Paduka!<br />(Sri Paduka beranjak diikuti oleh Prof. Gymbal yang kelihatan canggung. Keduanya mengilang meninggalkan Bardal yang sendirian dengan mulut yang masih terganjal akat Prof Gymbal. Beberapa saat kemudian, Prof Gymbal kembali mendapatkan Bardal dan mengambil pengganjal yang ditinggalkannya, terlupa). <br />345. Prof Gymbal : Maaf, anak manis! (menarik salah satu tambang, sehingga mulut Bardal ternganga lebar. Saat itulah pengganjal itu diambilnya dengan segera). Terimakasih (out) <br />(Suasana kembali sepi. Bardal sendirian mencoba berteriak, hendak berontak, tapi tetap tak keluar suaranya, tak bergerak tubuhnya. Muncul perempuan tua yang bernyanyi berulang-ulang dengan sendu. Sambil menyanyi ia melepaskan semua tambang yang melingkar di leher Bardal. Hingga Bardal terlepas dari siksanya. Kemudian pakain Bardal diganti dengan seragam yang lain, juga dikenakan padanya sepatu buat untuknya. Semuanya dilakukan oleh perempuan tua denagan kasih sayang yang tulus, dan terus menyanyi merdu). <br /><br />Tembang: <br />Mari tidurkan bulan<br />Dalam tikaman angin malam<br />Dan biarkan mentari mabuk<br />Di atas ranjang tidur siang<br />Sementara kau lupa<br />Mengusap wajahmu yang luka<br />Biarkanlah aku mengembara<br />Menyusuri kali, angkasa dan samudra<br />Mengeja rumputan, kerang serta karang<br />Yang menarikan kesombongan<br />Kepadamu<br /><br />(Kemudian keduanya hilang dan berlalu dengan saling kasih. Perempuan tua tetap menyanyi sendu dengan menggandeng tangan Bardal. Ketika suara menggonggong begitu dekat, ia berhenti sejenak. Tanpa sepatah kat, ia pun segera menggandeng Bardal pergi). <br /><br />Adegan 6<br />Ruangan kantor seuah perusahaan. Meja, kursi, kertas-kertas, map-map serta beberapa surat nampak menumpuk tak teratur. Sekretaris sedang mengentik. Manager masuk dengan tergesa, mukanya cemberut. Membanting pintu dan menghembaskan tubuhnya di kursi dengan amarah.<br /><br />346. Sekretaris: Ada yang dapat saya Bantu, Pak?<br />347. Manager : (sambil melepas dasinya dengan paksa)Ada! <br />348. Sekretaris: (Beranjak mendekati Direktur). <br />349. Manager : Mau apa, kau?!<br />350. Sekretaris: Kata Bapak, saya bisa membantu Bapak?<br />351. Manager : Kata siapa?<br />352. Sekretaris: Maaf, baru saja Bapak mengatakannya kepadaa saya.<br />353. Manager : Masak?<br />354. Sekretaris: Bapak terlalu lelah, lebih baik Bapak istirahat, refresing, Ke puncak, barangkali.<br />355. Manager: Aku justru tak mau istirahat pada keadaan begini! Gawat!<br />356. Sekretaris: saya sekretaris Bapak. Kalau ada masalah, saya mohon saya Bapak ijinkan membantu.<br />357. Manager: Tentu! Buat apa aku menggajimu kalau tidak untuk membantuku? Bantu aku!<br />358. Sekretaris: Baik, Pak. Apa itu Pak?<br />359. Manager: Mendengarkan.<br />360. Sekretaris: (mengambil tempat duduk) baik, Pak! (Mencatat dan mendengarkan)<br />361. Manager: (berdiri) Kau tahu buruh yang baru itu?<br />362. Sekretaris: Bardal, maksud Bapak?<br />363. Manager: Entah siapa namanya, tak penting bagiku! Yang jelas kau tahu, mencatat dalam daftarmu ketika dia masuk ke sini tiga bulan yang lalu, khan?<br />364. Sekretaris: Saya, Pak Direktur?<br />365. Manager: Kau tahu apa yang telah dilakukannya?<br />366. Sekretaris: Saya mencatat semua data pegawai, karyawan dan buruh secara lengkap dan menyuluruh, sesuai petujuk yang Bapak memeberikan.<br />367. Manager: Juga buruh baru itu?<br />368. Sekretaris: Tentu saja, Pak. Mengapa Bapak menaruh minat yang berlebihaan terhadap Bardal?<br />369. Manager: Bardal? Siapa lagi pemilik nama aneh itu? Kamu jangan memepermainkan aku?<br />370. Sekretaris: eh, maaf, Pak.. maksud saya buruh baru itu, yang sedang kita bicarakan saat ini, Pak.<br />371. Manager: Oh, ya..ya…saya mengerti. Dia setan licik!<br />372. Sekretaris: apa maksud Bapak? Ada masalah dengan dia? <br />373. Manager: bukan sekedar masalah! Tapi kasaus! Skandal ultra dahsyat yang bisa menggoncang masa depan perusahaan multi kita ini. Kau tahu tentang dia?<br />374. Sekretaris: (mencari-cari map, dan mengambil salah satu, membukanya) ia termasuk buruh yang rajin, disiplin, konsekuen serta ulet! Prestasi kerjanya tidak pernah mengecewakan. Setiap tugas yang dibebankan kepadanya selalu selesa tepat waktu dan sesuai dengan azas efektifitas dan efisiensi.<br />375. Manager: Terus?<br />376. Sekretars: Tidak ada saya dapatkan data tantang pelanggaran yang di lakukannya. Bersih! Sama sekali bersih dari sikap yang merugikan perusahaan multi kita.<br />377. Manager: Sama sekali bertolak dengan fakta.<br />378. Sekretaris: Maaf, Bapak bicara apa?<br />379. Manager: Datamu nonsense! Cuma deretan angka-angka serta penilaian rasional berdasarkan standart kwantitas.<br />380. Sekretaris: saya tidak mengerti maksud Bapak.<br />381. Manager: Tentu saja! Itu sebabnya kamu tidak akan pernah naik apngkat jadi direktur.<br />382. Sekretaris: (marujuk) Bapak menyinggung saya.<br />383. Manager: Oh, maaf! Kau cantik, manis, dan menggairahkan,..(rayu)..<br />384. Sekretaris: Tentu, seperti yang Bapak lihat. <br />385. Manager: Tapi kamu juga bodoh! Kamu selalu terlabat menangkap kerangka berpikirku, pola piker seorang direktur! Itulah sebabnya, meskipun cantik tapi kamu tak akan dapat menggantikan saya! (Sekretaris mau marajuk) sudahlah! Tak usah merajuk! Bukan saatnya bercinta! Aku sedang pusing! Ayo, baca lagi datamu tentang penghasut busuk itu!<br />386. Sekretaris: (dengan agak malas) terakhir kali, karena prestasi kerjanya yang selalu berhasil di segala bidang ia dipromosikan untuk menduduki jabatan asisten mandor.<br />387. Manager: Kemudian? <br />388. Sekretaris: (mencari-cari, membuka-buka tak ketemu) eh,…e..e…a…<br />389. Manager: kemudian ia telah dapoat menggeser kedudukan mandor seniornya hanya dalam waktu seminggu. Ini semua berkat prestasi kerjanya! Berkat keuletanny! Berkat kedisiplinannya! Berkat efektifitasnya dan efesiensinya! Sehingga samam sekali perusahaan multi kita tidak akan pernah dirugikannya! (kepada sekretaris) itu khan, catatanmu yang hilang tentang penimu itu?<br />390. Sekretaris: Bapak tahu betul tentang dia?<br />391. Manager: Pasti! Tapi, aku juga tahu, dan ini tak kau ketahui bahwa dedata de facto, semua itu nonsense! Omong kosong besar!<br />392. Sekretaris: Bapak tidak mengakui prestasi kerjanya?<br />393. Manager: sama sekali tidak aku pungkiri kamampuan tehnisnya! Sklinya! Ia memanag luar biasa. Maniak kerja. Mungkin!<br />394. Sekretaris: Tapi, Pak,…<br />395. Manager: Di balik semua itu, ..oh…grrrr (geram) inilah awal bencana perusahanmulti kita! <br />396. Sekretaris: saya tidak mengerti maksud Bapak?<br />397. Manager: Kamu memang cantik, tapi bodoh!<br />(Nampak di tempat lain seluruh buruh. Karyawan sertapegawai dari segala lapisan yang ada di perusahaan mengadakan pemogokan besar. Mereka berteriak-teriak menuntut sesuatu, namun suara mereka tidak jelas benar. Tangan mereka mengaacung-acung, dan diaa natara mereka nampaklaah Bardal sedangberpidato dengan suara yangtak tertangkap jelas. Hanya gemuruh mereka ang sampa ke setiap telinga. Ada juga spanduk serta beberapa poster ang mereka acungkan namun tak jelas pula tulisan dan gambar yang terpampang di dalamnya. (lampu mati)<br /><br />Di ruangan kantor<br />398. Manager: luar biasa kekuatan yang dapat dikerahkannya, sebagaimana semangatnya mengahadapi kerja dan kemauannya! Setelah kedudukan secara hirarki telah dapat diraihnya dalam perusahaan, ia mulai jadi penghasut, tukang kasak –kusuk! Ia berbicara kepada setiap orangdi perusahaan tentang kebebasan, hak, kewajiban, serta segala tetek bengek yangkatanya sesuai dengan hubungan kerja kamanusiaan! Huaman Relatioan! Ia membujuk dengan ulet setiap orangtentangperlunya menyuarakannurani, meneriakan hati! Ah,….grrrrrrr,…sama sekali keluar dari kebijaksanaan kebersamaan dan kekompakan yang selama ini ada ! ia membuat semua orang lupa dengan kepentingan kolektif yang harus dicapai dengan kepatuhan! Kerja! Kerja dan taat perintah!<br />Gila! Tak sangka ia punya keahlian agitasi dan propaganda yang luar biasa!<br />399. Sekretaris: apa yang telah dilakukannya, Pak? (mencatat)<br />400. Manager: kamu bodoh! Tapi lumayan bisa mencatat! Kau tahu? Dia telah mendirikan sekaligus memimpin serikat buruh yangselama ini adalah hal yang mustahil dan tak diperlukan dalam kehidupan kita! Lagi pula telah terbukti cukup lama, bahwa tanpa serikat-serikat tai kamret itu pun semua orang bisa hidup, makan, tidur dengan perempuan dan kakus! Itu sudah cukup! Apalagi yang sebenarnya di butuhkan di sini? Ia mempunyai pikiran gila!<br />401. Manager: Hak, kemanusiaan, nurani, hati, suara, bicara!!! Ahhhh,…semuanya gombal! Aap orang bisa hidup dengan hanya bersuara? Dengan hanya bicara? Bicara! Bicara! Bicara! Ahhh,….non-equilibrium! Sama sekali tidak realistis!<br />(berhenti)<br /><br />Di tampat pemogokan.<br />Riuh rendah suara mereka nampak mulai berhenti. Bardal mulai berpidato.<br />402. Bardal: sangat menyedihkan! Teramat menyedihkan! Bila kita terlalu lama mengalami perbudakan secara demikian! Mungkin kita semua, termasuk saya, masih bisa menerima kalau memang harus menjadi orang yangdi bawah! Tapi ingat, untuk menjadi budak! Sama sekali bukan takdir manusia angpaling dasar! Hakekat kahidupan yang palingmendasar!!<br />Saudara-saudara, saat ini adalah saat kebangkitan bagi kita semua! Era kesadaran bagi kita semua! Saudara-saudara telah ketahui sendiri! Tealalh merasakan sendiri! Bahwa selama ini kita bukan saja menjadi budak, tetapi telah berubah menjadi robot! Mesin-mesin bisu yang Cuma harus bergerak! Gerombolan robot dan boneka yangbergerak serempak di bawah satu tombol! Di bawah satu perintah yyang bagi kita tak jelas ke mana arahnya! Karena kita tak dianggap punya mata yang bisa melihat! Telinga yang bisa mendengar dan suara kita yang selalu dibungkam! <br />(berhenti)<br /><br />Di kantor<br />403. Manager: Bungkam! Bungkam segera! Harus ditindak sebelum menyebar !<br />404. Sekretaris: Menyebar Ke mana Pak? <br />405. Manager: Pakai otakmu supaa bisa berpikir,…<br />406. Sekretaris: Pikir saya, ia sama sekali tak merugikan kita,…<br /><br />Di pemogokan<br />407. Bardal: Kita dianggap tak punya hati! Nurani-nurani kita dirampas dan mereka sembunyikan di peti-peti mati yang terkunci!<br />Hingga jiwa kita dibunuh! Namun raga kita terus dianiaya! Apaakah kita akan tetap menyerah untuk menjadi mesin tanpa mata? Boneka tanpa telinga? Robot tanpa suara? Apakah kita akan merelakan hati dan nurani kita mati??<br />408. Orang-orang : tidaa….k..!!! (gemuruh)<br /><br />Di kantor<br />409. Manager: tiada boleh dibiarkan! Kau tahu,…<br />410. Sekretaris: tidak, Pak!<br />411. Manager: (membentak) Aku belum selesai ngomong!<br />412. Sekretaris: Maafkan saya.<br />413. Manager: saya tidak rela bila perusahaan multi kita yang memasok semua kebutuahan hidup di sini! Satu-satunya penghasil barang konsumsi di negeri ini, akan hancur gara-gara kecoak busuk itu! Ia tak berpikir bahwa ini merugikan perusahaan! Dan merugikan perusahaan berarti menghambat kemajuanku, yang mengusik lagi amarahku!! Grrrrr,…!!! Tidak,…..(tertelan suara di pemogokan)<br /><br />Di pemogokan<br />414. Orang-orang: (Bergemmuruh, riuh rendah,…Tidak,…!!!<br /><br />Di kantor <br />415. Manager: (bergegas menengok ke pemogokan) Diam!! Akau belum selesai ngomong!! <br />416. Aku belum selesai bicara! Goblok! (ke sekretaris) kau tidak ingin bicara?<br /><br />Di pemogokan<br />417. Bardal : Bicara, saudara-saudara! Dengan nurani! Dengan hati! Kita akan menikmati kebebasan bersaudara! Hakekat berbicara! <br />418. Orang-orang: (bergemuruh)<br />Mana hak kami! Kami ingin bicara! Kami manusia yang puna jiwa! Mana hati kami! Mana nurani kami! Kami menuntut!!! Kami menuntut! Kami menuntut! (gemuruh riuh, rendah).<br /><br />Di kantor<br />419. Manager: Diammmmmmmmmm,..!!!<br />420. Sekretaris: ada yang bisa saya Bantu, Pak? <br />421. Manager: pakaian dasiku!<br />422. Sekretaris: (membenahi dasi direktur) Bapak harus istirahat.<br />423. Manager: hati-hati kalau ngomong! Simpan kata-kata itu!<br /><br />Di pemogokan<br />424. Bardal : itulah yang harus kita sadari saudara-saudara! Bahwa kita punya mata, telinga! Punya hati, nurani! Bahwa kita berjiwa, yang hahrus kita wujudkan dalam suara-sauara.<br /><br />Di kantor<br />425. Manager: suaramu semakin tak enak didengar.<br /><br />Di pemogokan<br />426. Bardal: Dengar, saudara-saudara! Sura kita lepas dengan lega,….dengar,…!!!<br /><br />Di kantor<br />427. Manager: Dengar! Aku tuntut,… (menegok dan menantang ke pemogokan), tapi keburu terputus kata-katanya)<br /><br />Di pemogokan<br />428. Orang-orang: Tuntut,…!!! Tuntut,…!!! Kami menuntut!!!<br />Mana hak kami!! Kami ingin bicara! Kami berjiwa! Mana hati kami! Mana nurani kami! (gemuruh riuh rendah).<br /><br />(Lampu meremang. Di temapat lain muncul Kelompok perusak yang menyeret perempuan tua dengan paksa. Anjing menggonggong, srigala dikejauhan. Meskipun terseret ia masih sempat menoleh kea rah suara anjing. Kelompok perusak menyeretnya ke kegelapan). <br /><br /><br /><br />Adegan 7<br />(Arena sepi, bersih dari segala macam benda, sehingga ruangan kelihatan luas dan mencekam. Suasana dingin menyelimuti udara. Tanpa suara. Ketika lampu arena menyala, nampak Bardal diseret oleh Pentil, Pentul, dan Pentol dengan paksa. Di belakangnya Komandan yang congkak.Bardal cuma bercelana).<br />429. Bardal : (berontak di jalan) saya tidak sudi! Saya tidak bersalah! Mau kalian apakan saya? Ini benar-benar kesewenangan! Penindasan!<br />430. Pentil : Berteriakalah sepuas udelmu, kadal merem! Tak akan ada lagi yang mendengarkan kamu di sini!<br />431. Pentul : Sudah harus berakhir tindakanmu yang akacau itu! Ngerti!<br />432. Pentol : Daripada teriak-teriak begitu. Lebih baik kamu mulai memikirkan nasibmu!<br />433. Komandan: anak-anak!<br />434. Pentil : Siap!<br />435. Pentul : Siap!<br />436. Pentol : Siap!<br />437. Bardal : (lepas dan hendak lari). Edan, kalian semua!<br />438. Komandan: Haduh! Tangka…pp..! kathuruur!Ndligik!<br />(Mereka menangkap Bardal secepat kilat dan mengikat tangan, merantai kakinya).<br />439. Pentol : Weit,..teit,…teit,….teit,,,! Mau minggat ke mana kau!<br />440. Pentul : Mau coba-coba ngacrit, tak graji dengkulmu!<br />441. Pentil : (menempeleng kepala Bardal) Hiiii! Jangkrik balap mau minggat!<br />442. Bardal : jangan sewenang-wenang kalian!<br />443. Komandan: Sudah! Simpan khotbahmu! Kalau sampai aku tuli karena kupingku polusi lantaran ababmu, ooo,ooo tak popor ndasmu!<br />444. Bardal : Apa salah saya?<br />445. Komandan: Sudah! Simpan khotbahmu! Kalau ngomong saja gembar-gembor seperti mau nguras lautan, mbelah awan! Tapi tingkah laku sendiri tidak ngerti! Anak-anak, seret!<br />(Bardal diseret ke tengah arena. Didudukan paksa di tanah).<br />446. Pentil : Nyoh! Garuk itu tanah sampai lecet! Baru kamu bicara!<br />447. Pentul : lagaknya sok pahlawan! Baru digebuki sehari saja sudah tak bisa melawan!<br />448. Pentol : Pakai kembali popokmu! Hisap kembali kempongmu! Baru kamu belajar ngomong yang benar!<br />449. Bardal : Kalian yang harus belajar ngomong benar! Tingkah kalian seperti binataang lapar! <br />450. Komandan: Kathurrrrrrrrrkai eang lapar, ndligik! Dan berharap agar segera nggorok lehermuuu!!! (gemas sangat)<br />451. Bardal : Kalian akan menyesal seumur hidup!<br />452. Komandan: Aku justru sudah mulai menyesal sumur modar, telah mebiarkan kamu keluyuran!!!<br />453. Pentil : Perlu dijejeli alu, Pak, mulutnya? Biar ndak ngobral abad! <br />454. Pentul : Saya ambilkan palu untuk natah giginya, Pak?<br />455. Pentol : Kalau belum diobras lambemu, sementara tak ganjel bedhel mulutmu ya?? (ke Bardal)<br />456. Komandan: Anak-anak! (memberi isyarat pergi)<br />457. Pentil : Siap!<br />458. Pentul : Siap!<br />459. Pentol : Siap!<br />(Mereka beranjak hendak pergi. Bardal tak bedaya di tanah, mencoba berontak.<br />460. Bardal : He! Selesaikan dulu urusan ini! )<br />461. Komandan: Buat apa ngurusi Kethurrrrrr macam kamu!<br />462. Bardal : Tapi ini benar-benar penyiksaan!<br />463. Pentil : Siapa yang bilang ini kopi tubruk! <br />464. Komandan: Sudahlah, tak usah cari kerja lembur! (Beranjak)<br />465. Bardal : Mau ke mana kalian?<br />466. Pentul : Terserah gue!<br />467. Pentol : Mau ngentot, mau mbolot, mau nyrobot, tak ada urusan denganmu!<br />468. Bardal : Tapi lepaskan dulu, aku!<br />469. Komandan: (kembali mendekati muka Bardal) minta tolonglah pada nuranimu! Hatimu! Cuhh! (meludahi muka Bardal)<br />470. Semua : Ha,…ha,…ha,… (terpingkal sangat)<br />471. Komandan: Anak-anak!<br />472. Pentil : Siap!<br />473. Pentul : Siap!<br />474. Pentol : Siap!<br /><br />(Bersama-sama sebelum pergi, mereka kentut di depan hidung Bardal. Gong berbunyi beberapa kali dengan suara yang menggelegar. Kemudian menyusul lengkingan seruling yang panjang. Di tempat lain yang terpisah, muncul kelompok perusak dengan irama dengausnya yang spesifik. Mereka berhenti di suatu tempat dengan kompak. Kelompok yang terdiri dari kumpulan orang itu bicara satu per satu dengan runtut dan berurutan bergantian).<br />475. Orang 1: sudah berkali-kali ia selalu menghambat perjalanan kami yang mempunyai misi mulai ini!<br />476. Orang 2: ia meraung-raung, berteriak-teriak serta mengumpat memekak telinga.<br />477. Orang 3: kesalahannya yang paling fatal adalah kesadarannya! Ia melakukannya dengan penuh kesadaran!<br />478. Orang 4: dan tak menganggapnya sebagai satu pelanggaran terhadap norma kebersamaan!<br />479. Orang 5: Nurani! Hati! Segala macam seribu kalimat sejuta kata-katanya didasarkan pada alas an yang sama sekali tidak masuk otak!<br />480. Orang 6: ia menganggap dirinyalah yang paling benar! Ia juga berharap menyandang gelar pahlawan! Pembaharu penyadaran yang kesiangan!<br />481. Orang 7: Pasien gila yang lepas dari selnya akan teramat berbahaya badak yang berani merusak kandangnya harus dipancung kepalanya!<br />482. Orang 8: Tapi, ia bukan pasien gila! Juga tak badak yang tak berotak! Ia manusia biasa, tapi hakikat dasar hidupnya adalah penyelewengan yang besar! Pembelokan jiwa tak termaafkan!<br />483. Orang 9: Kalau dibiarkan dalam mimpinya, ia akan mengganggu prinsip dasar hidup bersama, yang senantiasa menjunjung tingi norma kepatuhan dalam kebersamaan keseragaman! Berbahaya!<br />484. Orang 10: ia sumbang! Harus segera dibuang, disingkirkan1 ia adalah bangau kelaparan yang tak menyadari berada dalam ribuan gagak yang gagah.<br />485. Kelompok: Jeg,…jeg,…jeg…jeg…Juz…juzz….aik,…!<br />Gilas! Gilas! Gilas! <br />Jeg,…jeg,…jeg…jeg…Juz…juzz….aik,…!<br />Lindas! Lindas! Lindas!<br />Jeg,…jeg,…jeg…jeg…Juz…juzz….aik,…!…<br /><br />(Bardal kedinginan tak berdaya. Di tempat lain yang terpisah, muncul ibu Hiegene dan pasien-pasien). <br />486. Ibu Hiegene: suaranya sumbang nada bicaranya tak jelas benar maknanya. Matanya buta warna! Tapi saya yakin ia memiliki pandangan yang lebih buruk dari keledai buta! Ia tak dapat membedakan antara aturan dan tindakan liar! Sehingga tiedaklah mengherankan bila egoistis merasuki pikirannya subur berkembang! Penilaian terhadap kecerdesannya hanyalah akan sia-sia, karena rasionya jauh berebelok dan tak masuk standart sebenarnya dengan demikian tentu tidak akan berlebihan bila ia harus lebih diamankan untuk menjaga ketertiban bersama!<br />(Di tempat lain yang terpisah, muncul perempuan tua dengan mulut yang disumbat kain. Di tangannya ada batu serta selimut Bardal. Ia berdiri terpaku, air matanya berlinang. Bardal kedinginan). <br /><br />Di tempat lain muncul Prof. Gymbal dengan kertas kerjanya.<br />487. Prof. Gymbal: secara fisik tak pernah ditemukan kelainan yang berarti bahkan bisa dipastikan dengan pemerikasaan medis, ia bebas dari segala macam gejala ketidaksehatan! Hypotesa saya, berdasar analisa klinis yang tentu saja bisa dibuktikan dengan metode ilmiah serta eksperimen mendalam, ia mengalami scok psikis! Hingga mengakibatkan perkembangan kejiwaannya terbelakang dari perkembangan manusia umumnya. Souse of adaptatifnya negatif! Sosialisasi terhadap nilai-nilai bersama terhambat, karena super egonya yang meledak-ledak jelas! Menurut pandangan kesehatan serta prinsip yang berlaku di dunia medis, ia adalah manusia sakit yang harus segera diobati!<br /><br />(Bardal kedinginan. Perempuan tua mendekatinya, serta memakaikan bajunya, namun tak bisa, karena tangan Bardal terikat kuat. Baju itu ditutupkannya ke tubuhnya. Kemudian ia kembali ke tempat semula).<br /><br />(Di tempat lain muncul manager dan sekretaris)<br />488. Manager: Kerugian perusahaan tak terkira besarnya. Produksi tak berjalan! Padahal barang-barang konsumsi harus selalu didistribusikan untuk memasok kehidupan pasar. Proses produksi yang terhenti sama sekali mengakibatkan sumber-sumber prosuksi yang telah dipersiapkan mengalami penurunan mutu yang drastic karena penundaan yang tiba-tiba. Yang tak bisa dimaafkan adalah kelicikannya menghasut dan mempengaruhi semua orang hingga terjadi pemogokan masal! Agitasinya telah mengguncangkan aktifitas pasar! Propagannya berakibat memperburuk situasi perekonomian! Semua gara-gara kelicikannya menilai kemanusiaan yang sama sekali jauh dari motiv kehidupan kolektif! Jauh dari rancangan kerja sama dan azas-azas mitra usaha! Ia harus dipaksa untuk memahami siapa dirinya!<br />(Bardal kedinginan sangat. Perempuan tua mendekat dan menyelimutinya. Kemudian kembali ke tempatnya. Di tempat lain muncul Sri Paduka Durgati).<br />489. Sri Paduka: Aku telah mendengarkan semua apa yang kalian resahkan. Memang manusia ini amat patut untuk mempunyai fungsi yang demikian. Namun demi keadilan yang mendasari kebersamaan kita, demi kemanusiaan yang mendasari kseragaman kita. Dan demi kesinambungan keadaan serta suasana ketentraman bersama, aku masih mempunyai keajiban untuk mendengarkan.<br />(Perempuan tua terpaku, mencoba menggeak-gerakkan mulutnya yang tersumbat. Bardal kedinginan, menengadah mencoba bicara, namun ia gagu tak ada suara. Kemudian perempuan tua menghampirinya dan melepas kain penutup mulutnya digunakannya meunutup mulut Bardal. Perempuan tua kembali ke tempatnya. Tali gantungan turun dari langit, tepat di atas kepala Bardal, berhenti. Dengan susah payah akhirnya ia bisa berteriak. Hanya berteriak!)<br />490. Bardal: Huaaaaaaaaa!! (panjang menyayat)<br />(Anjing menggongong, srigala menyalak panjang! Semuanya terpaku).<br />491. Sri Paduka: Kau hanyalah seorang perenung! Kau letakkan dunia di atas kepalamu yang terlalu tebal dengan tulang tengkorak, tanpa isi yang memadai! Kau tak sadar, ini adalah jaman perombakan, yang membutuhkan kekompakan, kebersamaan kepatuhan! Sepandai-pandai ikiranmu melaju, kau terus tahu bah!<br />492. Sri Paduka: ,…wa kau harus mengabdi kepada kepatuhan. Adalah terlalu kurang bijaksana bagimu menganganggap kepatuhan ini adalah penindasan. Dan sebagai seorang ahli bedah dalam impianmu, kau hendak membedah kepatuhan kebersamaan yang kau anggap mengandung penyakit yang haruss segera diketemukan. Adakah kau sadar bahwa penyakit itu ada dalam darahmu yang mengalir ke seluruh ragamu! Hingga kau lupa jantungmu adalah markas kesombonganmu! Hatimu adalah sumber kelinglunganmu! Nuranimu adalah kesumbanganmu! Negeri ini tidak sakit dalam genggamanku, tidak tidur, apalagi pingsan. Awas-awaslah kau, bisa terpental!!!<br /> (Semua menghilang entah ke mana, kecuali Bardal yang tetap tertutup mulutnya. Tali gantungnya masih berada di atas kepalanya. Ia menegadah dengan sinar mata yang tajam).<br /><br />Tembang: <br />Biarlah<br />Masing-masing kita<br />Melepas kedahagaan<br />Melepas kelelahan<br />Pada dada kita<br />Sebenarnya<br /><br />Ada yang harus kita bekaskan<br />Tanpa keangkuhan<br />Ada yang harus kita torehkan di sini <br />Tanpa belati<br /><br />Biarlah<br />Semua kesalahan kita<br />Berulang kepadanya<br />Seperti kantuk terakhir<br />Yang lari<br />Menghampiri<br />Pangkuan bunda<br /><br />Ada yang harus kita tanam<br />Buat kubur kita<br /><br /><br />Adegan 8<br />(Di istana Sri Paduka Durgati, dihadap Prof Gymbal, beliau marah besar pada ahli negeri seberang itu). <br />493. Sri paduka: Bagaimana Prof? (sinis)<br />494. Prof, Gymbal: (agak kaku) eh, maaf bagaimana yang mana Sri Paduka?<br />495. Sri Paduka: Pemeriksaan Anda terhadap manusia gila itu beberapa waktu yang lalu.<br />496. Prof Gymbal: Saya sudah berusaha menjalankan seperti paduka inginkan.<br />497. Sri Paduka: Ya! Dan kesimpulan Anda saat itu, jauh dari perkiraan kejadian yang berlangsung saat ini. Tidak seperti hasil penelitian Anda, pemeriksaan Anda, yang kata Anda berdasar prinsip-prinsip medis(sinis). Anda baru yakin, kini Prof? bahwa ia manusia yang berbahaya! Manusia luar biasa! Dan ini nyata! Bukan khayal atau fiktif! Bukan sekedar dongeng! Maaf, Prof, boleh saya tahu? <br />498. Prof. Gymbal: Tentang apa paduka? <br />499. Sri Paduka: Berapa buah buku cerita khayal yang Anda habiskan dalam satu hari ketika Anda masih mengenakan celan kodok?<br />500. Prof. Gymbal: Maafkan, saya sedang tidak enak badan untuk bergurau, Paduka.<br />501. Sri Paduka: Inilah yang harus dibedakan, Prof. di negeri Anda, mungkin kasus semacam ini tidak pernah anda jumpai, sehingga anda keliru menyimpulkan persoalan ini beberapa waktu yang lalu.<br />502. Prof Gymbal: Tapi secara medis dan analisa kedokteran, memang semuanya normal, Paduka. Bahkan paduka sendiri saat itu tidak menyangsikan pemeriksaan saya.<br />503. Sri Paduka: saat itu! Tapi apa yang kita saksikan? Setelah saya yakin dengan pekerjaan Anda, akhirnya semuanya meleset dari pemikiran Anda!<br />504. Prof Gymbal: Tapi toh akhirnya saya katakana juga di pengadilan, bahwa manusia itu sakit.<br />505. Sri Paduka: (menyambung) dan harus diobati! He…he…he…(sinis) suatu keputusan yang controversial, menurut rasional yang Anda dewakan, Prof!<br />506. Prof Gymbal: Saya terpaksa melakukannya demi Anda paduka, demi kemenangan Anda.<br />507. Sri Paduka: Ada perasaan menyesal dalam nada bicara Anda, Prof?<br />508. Prof Gymbal: mungkin<br />509. Sri Paduka: Atau mungkin Prof. Gymbal sudah tak tertarik lagi dengan kerjasama yang kita jalin selama ini?<br />510. Prof Gymbal: Maaf, Sri Paduka. Saya kira Anda salah menafsirkan sikap saya. <br />511. Sri Paduka: Sikap yang mana, Prof? Anda mulai nervous, gugup! Saya sarankan Anda tidak perasa, Prof? (sinis)<br />512. Prof Gymbal: oh, Maaf. Sikap saya yang Paduka anggap kotroversial. Keputusan saya untuk bicara di siding, bahwa manusia itu sakit! Bukankah paduka tidak merasakan bahwa itu adalah sikap pembelaan saya yang amat paduka harapkan sebenarnya? Sehingga Paduka tidak akan lagi merasa was-was dengan kekuasaan Paduka, hanya karena kekhawatiran paduka terhadap kecoak macam begitu?<br />513. Sri Paduka: Sekarang Anda berani mengatakannya sebagai kecoak? Bebrapa waktu lalu, saya yang secara resmi menjadi majikan Anda berkata sedikit kasar kepadanya saja, anda buru-buru membantahnya!<br />514. Prof Gymbal: Maaf, paduka, saya harus berpijak pada data yang factual yang ada pada saat itu.<br />515. Sri Paduka: dan kalau data factual yang anda punyai ternyata menghasilkan kesimpulan yang melenceng sangat jauh???<br />516. Prof Gymbal: Oke! Baik! Saya mohon maaf atas kesalahan dan kebodohan saya, Paduka.<br />517. Sri Paduka: saya minta anda dapat memperoleh pelajaran dari kasus ini, prof.<br />518. Prof Gymbal: Saya, Paduka..<br />(Pembicaaan itu terputus dengan kehadiran komandan, Pentil, Pentul dan Pentol)<br />519. Komandan: Tabik, Paduka yang Mulia Sri Paduka Durgati<br />520. Pentil : Tabik Sri Paduka yang Mulia Durgati!<br />521. Pentul : Tabik Sri Paduka yang Mulia Durgati!<br />522. Pentol : Tabik Sri Paduka yang Mulia Durgati!<br />523. Komandan: Tabik, Prof!<br />524. Pentil : Tabik, Prof!<br />525. Pentul : Tabik, Prof!<br />526. Pentol : Tabik, Prof!<br />527. Komandan: Anak-anak!<br />528. Pentil : Siap!<br />529. Pentul : Siap!<br />530. Pentol : Siap!<br />531. Sri Paduka: Komandan!<br />532. Komandan: Siap! Sri Paduka yang mulia Durgati! <br />533. Sri Paduka: Terlambat???<br />534. Komandan: Eh,..oh…(cengar-cengir),….maaf paduka,…e….<br />535. Pentil : Wah, bakal kena damrat, kita1<br />536. Pentul : Hus! Diam dulu! Kamu malah mbacot!<br />537. Pentol : Alah, kamu juga nyocot!!<br />538. Komandan:Ssssssssssssttt,…Anak-anak!.........kathuuuuuuuuuuurrrr, ndligik!!(kepada anak-anak)<br />539. Sri Paduka: Ngigau apa kam. Ndan?<br />540. Komandan: Eh,,..oh…e…maaf, paduka,….anu…engggg(kepada anak-anak) lihat! Gara-gara kalian! Awas! Kalau mbacot lagi ku pindahkan mulut kalian ke pantat!<br />541. Pentil : Siap!<br />542. Pentul : Siap!<br />543. Pentol : Siap!<br />544. Sri Paduka: (kepada anak-anak) ada apa kalian?<br />545. Pentil : pantat, Paduka! <br />546. Pentul : pantat, Paduka!<br />547. Pentol : pantat, Paduka!<br />548. Komandan: (kesetanan) hasy! Kathurrrrrrrrrr,…ndligik! Modar aku!<br />549. Sri Paduka: apa kamu bilang, Komandan?<br />550. Komandan: Siap! Sri Paduka yang Mulia Durgati!<br />551. Sri Paduka: Tidak pernah kamu ajari mereka bersikap sopan? <br />552. Komandan: Hamba, paduka sudah!<br />553. Sri Paduka: Baik lain kali aku akan mengajari kamu bagaimana cara menggunnakan mulut yang benar! Dan mulut coro-coromu itu, besok perlu diperbaiki!<br />554. Komandan: Hamba, Paduka! Maafkan kesalahan hamba! (kepada anak-anak) Ayo,…minta maaf.<br />555. Pentil : kepada siapa Pak?<br />556. Pentul : Ada apa Til?<br />557. Pentol : Minta maaf sama siapa? Oh, kepada Prof Gymbal?<br />558. Komandan: Ndligik! Memukul mereka satu per satu)<br />559. Pentil : (ketika dipukul) ndligik!<br />560. Pentul : (ketika dipukul) ndligik!<br />561. Pentol : (ketika dipukul) ndligik!<br />562. Komandan: Memalukan!<br />563. Sri Paduka: kamu yang memalukan<br />564. Komandan: Siap! hamba Sri Paduka Yang Mulia Durgati!<br />565. Sri Paduka: mengatur anak buah saja tidak pecus! Apalagi mengatur urusan dalam negeri! Apa kamu tidak mengerti hakekat dasar kehidupan negeri ini?<br />566. Komandan: Hamba, Sri Paduka Yang Mulia Durgati!<br />567. Sri Paduka: Semuanya harus didasarkan pada keseragaman1 kepatuhan! Kesatuan pandangan! Kebersamaan! Apa mesti aku yang khotbahkan semua ini setiap hari? Ha?!<br />568. Komandan: Hamba, Sri Paduka yang mul,…<br />569. Sri Paduka: (memotong) Komandan!<br />570. Komandan: Siap! Sri Paduka Yang mul,…<br />571. Sri Paduka: (memotong) Aku menyayangkan kecerobohanmu!<br />572. Komandan: Maaf, Paduka, kecerobohan yang man…<br />573. Sri paduka: Wah,….kau sudah mulai berani melupakan kesalahan yang kau lakukan! Bardal!! Manusia itu! Kau tak pernah melaporkannya kepadaku. Ini semua sebenarnya tanggungjawabmu1 apa saja yang kau lakukan selama ini, Ha? Memalukan! percuma aku aku menaruh kepercayaan kepadamu selama ini! Ternyata kau tak lebih dari seekor keledai minta dikawinkan! Cuma teriak-teriak! Memberi perintah, tapi tak pernah becus menjalankan tugas.<br />574. Komandan: Maafkan hamba, Paduka. Hamba memang bersalah tidak pernah melaporkan kepada Paduka…<br />575. Sri Paduka: (memberi umpan) Tapi,…<br />576. Komandan: (melanjutkan dengan enak) saya kira saat itu Cuma insiden kecil,…<br />577. Sri Paduka: (mengumpan) Yang,…<br />578. Komandan: (melanjutkan dengan enak) menurut hemat saya tidak akan berkelanjutan<br />579. Sri Pasuka: (mengumpan) sehingga,….<br />580. Komandan: (melanjutkan dengan enak) segera saja saya singkirkan dari peta permasalahan negeri. (berhenti)<br />(Sepi sejenak, Sri Paduka amat marah dan melotot kea rah komandan dan anak buahnya).<br />581. Sri Paduka: Prof,…<br />582. Prof Gymbal: saya, paduka<br />583. Sri Paduka: Anda melihat kepandaian Komandan dalam menghamburkan kata-kata? Saya, kira, ia lebih tepat menduduki jabatan sebagai direktur lembaga propaganda! Ia ternyata seorang orator yang terpendam!!! (mengejek sinis) apa pendapat Anda?<br />584. Prof Gymbal: Maaf, Sri Paduka. Saya kira, Anda selaku atasannya akan lebih bijaksana kalau memberinya kesempatan bicara, serta menelaah secara rasional alas an yang diajukannya. Maafkan saya, Paduka.<br />585. Sri Paduka: (marah yang ditahan) Anda tidak melihat saya memberikan kesempatan kepadanya untuk berkata-kata?<br />586. Prof. Gymbal: Juga mempercauainya, kalau itu memang masuk logika?<br />587. Sri Paduka: saya hanya minta pendapat Anda, Prof! Bukan menceramahi saya! Sekali lagi Anda telah mengecewakan saya dengan dewa Anda. Rasio!<br />588. Prof. Gymbal: maafkan, saya paduka. Saya lupa. Di negeri saya orang terbiasa mendengarkan suara-suara orang lain, walau,…<br />589. Sri Paduka: Inilah soalnya! (memotong) Ini negeri saya tuan Prof. Gymbal! Bukan negeri Anda!<br />590. Prof. Gymbal: Maafkan kelancangan saya, Paduka.<br />591. Sri Paduka: Atau Anda sudah rindu dengan negeri Anda, barangkali? Sehingga harus menghentikan kerjasama ini?<br />592. Prof. Gymbal: Oh, Maaf, bukan itu maksud saya. Saya mohon maaf, Paduka Durgati.<br />593. Sri Paduka: Kalian lihat! Inilah kegoncangan itu! Hari ini rasanya semua pikiran telah berbelok mengikuti pikiran yang rusak dan keliru! Aku tidak tahu! Mungkin manusia laknat itu telah menyebarkan sindrom kepada kalian semua! <br />594. Prof Gymbal: Saya,…<br />595. Sri Paduka: Maaf, Prof! saya tidak mau berdebat dengan Anda! Komandan!<br />596. Komandan: Hamba Sri Paduka Yang Mulia Durgati!<br />597. Sri Paduka: Kau tak perlu banyak omongan dan alasan! Yang jelas, kehadiran manusia laknat, Sri Bardal itu tidak akan membikin goncangan negeri ini kalau sebelumnya dapat kau temukan bibitnya dengan dini! <br />598. Komandan: e,,………oh,…<br />599. Pentil : e,,………oh,…<br />600. Pentul : e,,………oh,…<br />601. Pentol : e,,………oh,…<br />602. Sri Paduka: Tidak suara selain suaraku!!!<br />(Semuanya diam. Semuanya terpaku dalam sunyi. Amarah sri Paduka Surgati meluap)<br />603. Sri Paduka: Akhirnya sekarang jelas! Bahwa keteledoran! Ketidakwaspadaan dari kita semua membuahkan kegoncangan yang merugikan! Saya tidak ingin manusia-manusia yang bersuara sumbang menghiasi negeri ini! Semua suara harus lahir dengan seragam, teratur, dan tidak liar! Semuanya harus bersama dalam kepatuhan! Ingat! Saya akan bertindak tegas untuk senantiasa menyamakan nada! Menyeragamkan kata! Menyatukan suara! Kalian dengar! Tidak ada suara yang liar! Tidak boleh ada suara sumbang! Semuanya harus sadar! Ini kepatuhan! Ingat! Kepatuhan! Saya tidak akan pernah membiarkan suara lain menandingi suara saya! Semua keseragaman berasal dari suara saya! Kalian dengar!! Semua kepatuhan berasal dari suara saya! Kalian dengar! Tidak ada suara lain kecuali suara saya! Suara saya!<br />(Semuanya terdiam. Semuanya terpaku. Dalam tunduk dalam kepatuhan. Lampu meremang. Sri Paduka Durgati berubah wujud menjadi seekor Singa Betina yang besar dan menyeramkan. Suaranya menggelegar memnuhi semesta. Ia mengaum dan mengaum tak henti!!!) Semua orang masuk ke arena dan tunduk sujud dihadapan singa betina itu. Semuanya sujud. Semuanya tunduk. Singa betina mengaum menantang. Perempuan tua berlalu dengan mulut tertutup kain, tangan kakinya dirantai. Bardal muncul dalam kerangkeng besi, mulutnya ditutup kain, tangan dan kakinya dirantai). <br /><br />Adegan 9<br />(Mr. Gymbal dan komandan mengendap-endap dengan perlahan keluar dari rombongan dan menyelinap mendekati kerangkeng Bardal. Mereka membuka kerangkeng itu, melepas rantai Bardal serta kain penumbat mulut Bardal. Mr. Gymbal memberi Bardal sebuah busur berikut anak panah berapi yang besar, setelah menuntun Bardal ke luar dari kerangkengnya. Ketika Kelompok perusak lewat, Bardal membidikkan anak panahnya setelah nyulut ujungnya denga api. Mr. Gymbal dan komandan berpencar menyaksikan dari kejauhan. Anak panah meluncur membakar kelompok perusak yang jadi kocar-kacir berantakan. <br />Mr. Gymbal dan komandan terbahak panjang, menggelegar.<br />Singa betina mengaum dan menari-nari. Bardal membidikkan anak panah berapinya. <br />Anak panah meluncur mengenai tepat kepala singa betina yang segera menggeliat mengaum kesakitan setelah bebeapa saat mengamuk dengan tubuh terbakar. <br />Mr. Gymbal dan komandan terbahak panjang.<br />Katika api di tubuh singa betina padam, nampaklah ia malih rupa menjadi Sri Paduka Durgati yang sedang sekarat menemui ajalnya. Ia menemui ajal dengan diiringi tawa panjang Mr Gymbal dan Komandan. <br />Bardal segera mengarahkan anak panahnya ke langit, lama, seakan ia menyerahkan segalanya kepada yang bertahta di atas. Segala zikir dan suara alam menggema bersahut-sahutan ditikam suara panjang yang menyerupai suara azan panjang dan mencekam<br /><br />Tepat sebelum anak panah itu lepas dari busurnya, Komandan Mr. Gymbal menembak Bardal secara bersamaan dan berulang-ulang. Bardal menggeliat roboh, menemui maut diiringi bahak panjang Komandan dan Mr. Gymbal.<br /><br />Kemudian sepi.<br />Muncul perempuan tua yang kelihatan amat payah, compang-camping dan luka. Ia menghampiri dan mendekap Bardal dengan cinta yang amat.<br />Tembang:<br />Mari tidurkan bulan<br />Dalam tikaman angin malam<br />Dan biarkan mentari mabuk<br />Di atas ranjang tidur siang<br />Sementara kau lupa<br />Mengusap wajahmu yang luka<br />Biarkanlah aku mengembara<br />Menyusuri kali, angkasa dan samudra<br />Mengeja rumputan, kerang serta karang<br />Yyang menarikan kesombongan<br />Kepadamu.<br /><br />Muncul seribu kembang yang menari mengelilingi Bardal dan membawanya pergi entah ke mana.<br /><br />Tembang: <br />dengan cinta, Tuhan mencipta dunia<br />Hingga angkasa raya luas tak terbatas<br />Dan lihatlah…………….<br />……………….<br /><br />Dalam sepi, dalam dingin, dalam luka perempuan tua sendiri mengeja luka.<br /><br />-TAMAT-<br />(Solo, Januari 1992-Jakarta Februari 1992)<br /><br />Surakarta, 16 April 2009<br />Diketik ulang oleh<br />Kelompok Peron Surakarta<br />Mahasiswa Pekerja Teater FKIP UNSteaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-86181059461295403372009-03-06T21:58:00.000-08:002009-03-06T22:02:44.021-08:007 Maret 2009satu langkah hidup telah dilalui, dan masih banyak lagi langkah-langkah ke depan yang pasti akan memberikan perubahan untuk kita semua, entah itu baik atau buruk. namun hidup adalah hidup. ia akan tumbuh seperti roda. berputar, dan terus berputar.<br /><br />Selamat buat kita semua!!!teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-7291698933851348162009-01-22T01:28:00.001-08:002009-01-22T01:31:16.838-08:00JOKO BODHO (KARYA KHUDORI)Semua pemain sandiwara selain Joko Bodo masuk pentas, menari dan menyanyi. Begitu nyanyian berhenti:<br />I<br />1. ORANG 1 : Sobat-sobat ai tak mengerti, apa sih yan sedang you-you lakukan ini?<br />2. YANG LAIN : (saling bertanya tak mengerti)<br />3. ORANG II : (nyeletuk) Genah lagek seneng-seneng ngono kok!<br />4. YANG LAIN : (tertawa gembira) Betul, kita sedang suka-suka!<br />5. ORANG I : Oou…kenapa you suka-suka?<br />6. ORANG II : Suka-suka ya suka-suka, kok Tanya!<br />7. ORANG III : Tidak, ding! Wong anu, kok!<br />8. YANG LAIN : (bersama-sama) Apa?<br />9. ORANG IV : Ho-oh<br />10. YANG LAIN : (bersama-sama) Apa?<br />11. ORANG II : Itu lho!<br />12. YANG LAIN : (bersama-sama) Ha …iyya apa?<br />13. ORANG III : Anu!<br />14. YANG LAIN : (bersama-sama) Anu…Apa?<br />15. ORANG IV : Peryaan, perayaan!<br />16. YANG LAIN : (bersama-sama) Nhaaa, perayaan-perayaan!<br />17. ORANG I : Ouu….perayaan? perayaan apa?<br />18. ORANG II : O tuyul! Lama-lama saidara ini kok menjengkelkan! Saudara mau apa?<br />19. ORANG III : Orang mana sih?<br />20. ORANG II : Saudara dari mana?<br />21. ORANG I : Maafin ai, kalau…<br />22. ORANG II : Hiyya, saudara dari mana?<br />23. ORANG I : Tapi ai, betul-betul tidak mengerti tentang apa yang you-you lakukan…<br />24. ORANG II : Lha iyya, tapi saudara dari mana?<br />25. ORANG I : Tapi ai, betul-betul tidak mengerti tentang apa yang you-you lakukan…<br />26. ORANG II : Lha iyya, tapi saudara dari mana?<br />27. ORANG I : Ai orang asing end…<br />28. YANG LAIN : (saling berpandangan) Orang asing?<br />29. ORANG I : Kedatangan ai kemari adalah untuk melihat dari dekat keaslian alam negeri you and untuk melihat kebudayaan you yang masih murni, belum dijamah teknologi canggir seperti Negara ai…<br />30. YANG LAIN : (heran) Wooo…<br />31. ORANG III : Turis dia !<br />32. ORANG IV : Landa, landa kuwi!<br />33. ORANG II : Landa kok ireng!<br />34. ORANG III : Tur cilik!<br />35. ORANG I : Ai bukan turis, ai orang Indonesia!<br />36. YANG LAIN : (kaget) Elho!<br />37. ORANG III : Orang Indonesia?<br />38. ORANG I : Betul!<br />39. ORANG III : Bukan manusia Indonesia?<br />40. ORANG I : Oh no !<br />41. ORANG III : Kalau begitu, kita ini bukan di Indonesia?<br />42. ORANG IV : Bukaaan!<br />43. ORANG III : Elho...! di mana?<br />44. ORANG IV : Haesembuh, pokoke ora neng Idonesia!<br />45. YANG LAIN : Akur!<br />46. ORANG II : E, Mas, apa betul Negara situ sudah maju?<br />47. ORANG I : Sudah ! Negara ai termasuk negara teknologi yang paling maju di planit bumi ini!<br />48. ORANG II : Elho, ini tahun berapa sih?<br />49. ORANG III : Tahun enam ribu enam ratus enam puluh enam!<br />50. ORANG II : O, hiya, ya pantas!<br />51. ORANG III : Pantas apanya?<br />52. ORANG II : Pantas, Indonesia sudah menjadi negara paling maju di planit bumi!<br />53. ORANG III : Kenapa?<br />54. ORANG II : Karena Negara-negara lain yang lebih maju seperti Amerika dan Rusia sudah pindah alamat ke plaet Mars, Yupiter, Aquarius…<br />55. ORANG IV : Lho, kenapa Negara kita kok masih seperti ini?<br />56. ORANG III : Lho, emangnya seperti ini jelek?<br />57. ORANG II : (kepada orang III) Diam!!<br />(kepada orang I) Apa maksud saudara dengan mempertanyakan tingkah laku kami? Sedangkan kami sendiri tidak pernah mempertanyakannya?<br />58. ORANG I : Demi Alloh. Ai tidak bermaksud jahat terhadap you-you sekalian. Pertanyaan-pertanyaan ai adalah terlahir dari ketertarikan ai kepada kebudayaan you! Sekali lagi maafin ai kalau menyinggung perasaan you!<br />59. ORANG II : (TERTAWA) Ooo, begitu! Saya kira Saudara tukang rekening bank dunia! Tapi Saudara bukan tukang rekening, to?<br />60. ORANG I : (TERTAWA) Bukan dong!<br />61. ORANG II : (TERTAWA) Nah, kalau begitu, selamat datang di negeri kami yang subur dan damai ini….<br />62. ORANG I : Terima kasih! Terima kasih! Sekarang bolehkah ai bertanya tentang hal ihwal kebudayaan you?<br />63. ORANG II : O… Boleh..boleh!<br />64. ORANG I : Terima kasih ! ai mendengar selentingan tadi, bahwa you-you sedang mengadakan perayaan. Nah, yang mau ai tanyakan perayaan apakah itu?<br />65. ORANG II : Ya, perayaan apa, saudara-saudara?<br />66. YANG LAIN : (BERSAMA-SAMA) Perayaan hari kematian bekas raja kami.<br />67. ORANG I : Ooo, aneh sekali, raja mati kok diperingati dengan suka-suka<br />68. ORANG III : Iyya dong, habis raja kita brengsek kok!<br />69. ORANG I : Brengsek? Ngapain?<br />70. ORANG III : Raja kita kapir, tak percaya akan adanya Alloh. Raja kita kejam, rakyat tak boleh memuji Tuhan<br />71. ORANG I : Ooo, jadi raja kalian komunis?<br />72. ORANG III : Wah, sorry mas, kami tak kenal istilah asing! Kami hanya tahu raja kami kapir dan kejam. Titik ! Sekarang raja telah mati, rakyat suka-suka!<br />73. ORANG I : Jadi you-you sekarang tak punya raja?<br />74. ORANG III : Wah, Sorry mas, kami tak tahu pasti! Tapi kami mendengar kabar bahwa raja kami sekarang lumayan. Raja kami kapir dan kami boleh memuji Tuhan. Lebih dari itu kami tak tahu. Kami tak mengerti tentang politik, kami hanya tahu bahwa kami boleh bekerja, mengolah tanah, panen, dan bersenang-senang.<br />75. ORANG I : Oke..oke! menarik sekali! Bolehkah saya ikut bersenang-senang dengan you?<br />76. ORANG III : BOLEH DONG!<br />77. ORANG IV : Kami terima dengan senan hati!<br />78. ORANG I : terima kasih!<br />79. ORANG II : saudara-saudara, kita kedatangan seorang saudara. Marilah kita sambut dengan gembira.<br /><br />Seluruh pemain menyanyi dan menari. Setelah lagu berhenti, muncul Joko Bodo.<br />2.<br />80. JOKO BODO : Fantastis!<br />81. ORANG II : Apanya yang fantastis?<br />82. JOKO : Perayaan ini dong!<br />83. ORANG II : Kenapa?<br />84. JOKO : Aneh<br />85. ORANG II : Lho kok aneh?<br />86. JOKO : Wong hari kematian raja kok diperingati dengan suka-suka!<br />87. ORANG III : Elho, kematian raja kapir berarti kemerdekaan bagi orang-orang yang berTuhan.<br />88. ORANG IV : Iyya, dong!<br />89. JOKO : Wah, kalau begitu, aku sudah datang sejak tadi, dong!<br />90. ORANG IV : Hai, Jok, dari mana kamu?<br />91. JOKO : ADA deh..!<br />92. ORANG III : Idiiiih, Joko jual mahal!<br />93. ORANG II : Mbok jangan mahal-mahal, Jok!<br />94. ORANG IV : Ho-oh, Jok. Mbok jual murah saja! Nanti nggak laku lho!<br />95. ORANG III : Jok, dari mana, sih, kamu?<br />96. JOKO : Pokoknya syiip!<br />97. ORANG III : Alaaa, Joko! Bilangin aku dong!<br />98. JOKO : Enggak, ah!<br />99. ORANG IV : Alaaa, Joko jelek!<br />100. ORANG II : Joko gombal!<br />101. ORANG III : Tidak ding, Joko ganteng kok!<br />102. JOKO : (seneng) Betul?<br />103. YANG LAIN : Betul! Betul!<br />104. ORANG III : Nah, betul kan? Dari mana sih kamu?<br />105. JOKO : Ah, kau ini pingin tahu saja!<br />106. ORANG III : Bilangin dong, Jok!<br />107. JOKO : Baiklah, tapi ada syaratnya lho!<br />108. YANG LAIN : (serentak) Apa?<br />109. JOKO : Itu tadi<br />110. YANG LAIN : Yang mana?<br />111. JOKO : Itu lho, yang terakhir!<br />112. YANG LAIN : Terakhir mana?<br />113. JOKO : Ah, itu lho yang membuat saya senang<br />114. YANG LAIN : Yang mana?<br />115. JOKO : (malu-malu) ganteng!<br />116. YANG LAIN : (serentak) Ooooo, itu?<br />117. ORANG III : Jadi kamu minta dipuji?<br />118. JOKO : (mengangguk senang) Ho-oh!<br />119. ORANG II : Kalau sudah dipuji mau cerita?<br />120. JOKO : Iyya!<br />121. ORANG IV : Awas kalau tidak!<br />122. ORANG III : Nah, saudara-saudara, ternyata kawan kita Joko yang terkenal bodo ini minta dipuji dan dia berjanji akan membuka rahasianya kalau sudah dipuji. Nah, marilah beramai-ramai memuji!<br />123. YANG LAIN : (berteriak-teriak) Joko ganteng, tampan, cakep, top, nomer satu (dsb)<br />124. JOKO : (kaget, menutup kuping)<br />125. ORANG III : Bukan begitu ceritanya. Kita harus memujinya satu demi satu. Kita harus berbaris. Nah, kita mulai. Awas. (para pemain berbaring di belakang orang I, II) Hyak!<br />(Barisan jalan)<br />126. ORANG III : (di depan Joko) Jok, kamu cakep, deh!<br />127. ORANG IV : Kamu pintaaaaar sekali!<br />128. ORANG II : Kamu ngetop!<br />(dan seterusnya, semua memuji Joko, keren, genit, handsome, hot, asyoi, sampai habis. Joko senang sekali)<br />129. ORANG III : Nah, sekarang berceritalah!<br />130. ORANG IV : Awas kalau ingkar!<br />131. JOKO : Baiklah, menaklukan setan itu amat gampangnya!<br />132. YANG LAIN : Elho?<br />133. ORANG IV : Awas kalau ngibul!<br />134. JOKO : Seekor setan terbenam di sawahku…<br />135. ORANG IV : Hayo..hayo…ngapusi!<br />136. ORANG II : Diam! Hargailah orang yang sedang bicara. Ketika itu aku sedang bekerja di sawah. Sawahku berubah menjadi dataran beton. Cangkulku pecah menjadi tiga… lalu perutku sakit sekali. Aku berguling-guling di tanah.<br />137. ORANG IV : Coba, tirukan bagaimana kamu berguling-guling tadi?<br />138. JOKO : Emm, bombongan… ha, wegah!<br />139. ORANG III : Terus, Jok. Terus?<br />140. JOKO : Tapi aku ingat pesan Emak. “Wahai Joko Sanakku. Buatlah dirimu bekerja agar hidupmu aman sentosa!” maka seketika itu juga aku menghujamkan cangkulku ke tanah dengan sekeras-kerasnya……..<br />141. ORANG IV : Crot!<br />142. JOKO : Aneh.. cangkulku tak bisa dicabut. Aku ingin tahu, apakah yang menahannya itu. Maka ku masukkan tanganku ke dalam tanah dan Ya Alloh!<br />143. ORANG III : Apa, Jok, apa?<br />144. JOKO : Setan itu empuk kenyil-kenyil dan merah kehitama seperti cacing tanah, tapi pandai berkata-kata..<br />145. YANG LAIN : Iiii…. Nggilani!<br />146. ORANG IV : Nah, mulai ngibul!<br />147. ORANG II : Awas, ndobos: jotos!<br />148. ORANG III : Lho, kok tahu kalau itu setan!<br />149. JOKO : Habis makhluk apakah yang ketakutan mendengar nama Alloh kalau bukan setan?<br />150. ORANG II : Ya, ya, betul, terus?<br />151. JOKO : Setan itu hendak kulecurkan di mata cangkulku, tapi meratap minta dikasihani. Katanya: di akherat kelak tinggalnya di neraka, jadi di dunia jangan hendaknya dia disiksa pula! Lalu dia berjanji akan memberikan apa saja yang ku minta agar aku bersedia melepaskannya. Aku bilang, perutku sakit sekali, ku minta dia mengobati. Maka dari duburnya keluarlah sebuah benda mula-mula kecil, makin lama makin besar. Ternyata sebuah akar bercabang tiga. Barang siapa makan sebuah saja, demikian katanya, sakitnya akan sembuh seketika. Maka ku cobalah petunjuknya, dan ajaib? sakitku hilang seketika! Setan itu meratap lagi, memohon agar aku melepaskannya. Aku menjadi jengkel. Ku banting dia sambil ku berkata: “Pergilah karena Alloh! “ Seketika itu juga setan itu terbenam dan tak muncul-muncul pula. Ah, saudara-saudara, bukankah menaklukan setan itu amat gampangnya?<br /><br />Musik berbunyi. Pemain menyanyi dan menari. Setelah berhenti, muncul seorag Pembawa wart (PW)<br />3.<br />152. PW : Saudara-saudara, dengarlah, ada berita penting!<br />153. YANG LAIN : (saling bertanya-tanya)<br />154. ORANG IV : Berita apa bung?<br />155. PW : Putri raja kita jatuh sakit<br />156. YANG LAIN : Ooooo…..<br />157. ORANG IV : Paling-paling disuruh layat!<br />158. ORANG II : Ho-oh! Mbok berita yang lain saja, Mas!<br />159. PW : Tidak bisa! Wong berita kok dinyang! Ini penting lho!<br />160. YANG LAIN : Wuuuuu…….<br />161. ORANG III : Kayak gitu penting! Lalu yang tidak penting kayak apa?<br />162. ORANG IV : Ho-oh, Hayo!<br />163. ORANG III : Mas, mbok bikin berita sensasi saja! Misalnya: bayi yang kepalanya sebesar bola ping-pong!<br />164. YANG LAIN : (tertawa)<br />165. PW : Diam! Diam! Saya ini utusan raja, lho! Tahu?<br />166. YANG LAIN : Tidaaak!<br />167. PW : Ooooo, kirik! Saya ini pegawai negeri!<br />168. ORANG IV : Hhora wedi!<br />169.PW : Wela, Saya ini tentara!<br />170. YANG LAIN : Woooo.<br />171. ORANG III : Memper!<br />172. ORANG II : Harnetnya mana, mas?<br />173. ORANG IV : Harnet-harnet, Banyonet goblog!<br />174. ORANG II : Ho-oh, Jonet!<br />175. PW : Diam! Ini berita penting!<br />176. ORANG IV : Cepat katakana! Pentang-penting ra uwis-uwis!<br />177. PW : Putri raja kita jatuh sakit dengan kerasnya. Obat sudah bertimbun-timbun dan berpuluh tabib datanng mengobati, tapi sang Putri tak kunjung sembuh jua. Maka dengan ini diumumkan…<br />178. ORANG IV : Wah, ini musti sip!<br />179. ORANG II : Diam!<br />180. YANG LAIN : Diam! Diam! Diam!<br />181. PW : Diaaaaaam! Dengan ini diumumkan bahwa raja kita mengadakan sayembara!<br />182. ORANG IV : Tepat dugaanku!<br />183. PW : Barang siapa dapat menyembuhkan sakit si Putri maka…<br />184. ORANG IV : Hadiahnya apa, Mas?<br />185. PW : Harta yang amat banyak!<br />186. ORANG II : Hanya itu?<br />187. PW : Di samping itu…oh ya, sayembara ii terbuka untuk umum, baik laki-laki maupun perempuan….<br />188. ORANG III : (antusias) Benar?<br />189. PW : (sopan) benar Nona!<br />190. ORANG III : Wah, syip!<br />191. ORANG II : Inilah adil namanya!<br />192. ORANG IV : Hadiahnya?<br />193. PW : Diangkat menjadi kerabat raja!<br />194. ORANG IV : Alias P R I Y A Y I !<br />195. ORANG II : Ha mbok dadi wong biasa wae!<br />196. ORANG IV : Iyya, mas jadi kerabat raja itu sulit lho!<br />197. PW : Diaaam! Kalau laki-laki dia akan dijadikan suami sang Puteri, kalau perempuan akan dijadikan saudaranya!<br />198. YANG LAIN : Oooooo….<br />199. PW : Sekian, harap maklum!<br />200. YANG LAIN : Uuuuu… Gombal!<br /><br />Musik berbunyi. Sang Pembawa warta pergi diikuti oleh seluruh pemain. Tinggal Joko Bodo dan emaknya.<br />4.<br />201. EMAK : Nah, Joko, kau dengarkan berita itu?<br />202. JOKO : Aku tak ingin jadi menantu raja, kok mak!<br />203. EMAK : (tertawa) Apakah engkau tak suka menolong sesama manusia?<br />204. JOKO : Tentu, bukankah Emak sendiri yang mendidikku agar suka menolong sesama manusia?<br />205. EMAK : Nah, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada putri raja itu?<br />206. JOKO : Kasihan sekali, Mak, tapi bagaimana aku menolognya, sedang aku sangat bodoh?<br />207. EMAK : (tertawa) Engkau ini pelupa benar. Joko bukankah engkau masih menyimpan akar pemberia setan itu? Kalau emak tak salah, akar itu masih dua, bukan?<br />208. JOKO : O, iyya, Mak! Oh, tapi tinggal satu, Mak!<br />209. EMAK : Elho, tadi kan masih dua!<br />210. JOKO : Oooo, ingat aku! Yang satu sudah ku pakai untuk menyembuhkan kucing tetangga, mak!<br />211. EMAK : Ya sudah! Tapi yang satu masih, bukan?<br />212. JOKO : Masih, mak!<br />213. EMAK : Nah, tolonglah anak raja itu!<br />214. JOKO : Tapi aku tak ingin jadi menantu raja, Mak! Jadi menantu raja itu celaka! Tak boleh bekerja di sawah, tak boleh bercanda dengan jangkerik dan kodok!<br />215. EMAK : Jangan pikirkan kalau jadi menantu raja, Joko! Tapi pikirkanlah kesembuhan anak raja itu! Kalau sudah terlaksana, gampang saja, Joko, semua bisa diatur!<br />216. JOKO : Mmmmm, baiklah, mak!<br /><br />Joko dan Emak mulai melangkah. Tiba-tiba muncul seorang anak kecil berlarti-lari. Musik titir.<br />5.<br />217. ANAK KECIL : Tuan Jokooo! Tuan Jokoooooooo!<br />(tiba di hadapan Joko dengan terenah-engah)<br />218. AK : Tuan….<br />219. EMAK : Ada apa, ngger!<br />220. AK : Tuan, ibuku sakit tuan! Tubuhnya kejang-kejang. Tolonglah kami…<br />221. JOKO : Baiklah!<br />222. EMAK : (marah) Joko ingat! Kau harus menolong anak raja itu!<br />223. JOKO : Tapi aku harus menolong tetangga, mak!<br />224. AK : Tuan…<br />225. EMAK : (kepada anak kecil) Sial! Tadi kucigmu yang sakit! Sekarang ibumu! Mau kau rampas semua ya akar Joko!<br />(kepada Joko) penting mana anak raja dengan perempua tetangga?<br />226. JOKO : Ampun mak, aku ini bodoh! Bagiku! Lebih penting perempuan tetangga.<br />(kepada anak kecil) nak, suruhlah ibumu makan akar ini!<br />227. AK : Terima kasih, Tuan! (pergi)<br />228. EMAK : Ooooo, tak ku sangka demikian luhur budi anakku! Alloh, ampunilah hambamu yang busuk ini!<br />229. JOKO : Ampunilah aku, mak! Telah mengecewakan Emak!<br />230. EMAK : Tidak, anakku! Engkau tidak mengecewakan Emak! Engkau anak yang luhur, Joko! Lebih baik kau hidup di sini sebagai petani daripada hidup di kota sebagai anak raja.<br />231. JOKO : Tapi, mak, bukankah putri itu mesti ditolong?<br />232. EMAK : (kaget) Katanya tidak penting, Joko?<br />233. JOKO : Bukan tidak penting, Mak, hanya kurang penting disbanding perempuan tetangga!<br />234. EMAK : Lantas, dengan apa akan kau tolong anak raja?<br />235. JOKO : Dengan nama Alloh, Mak!<br />236. EMAK : (kaget) sekali laig aku tak menyangka anakku semulia ini! Terima kasih, Alloh, bahwa engkau telah menganugerahi kami anak yang saleh, biarpun pandir!<br /><br />Joko dan Emak mundur, diiringi musik.<br />II<br />Muncul raja setan diiringi musik.<br />237. RAJA SETAN : Ini sungguh terjadi di jaman edan! Seorang orang pandir berhasil menduduki tahta kerajaan. Mula-mula ia anak desa. Karena lurus hatinya, ia berhasil menaklukan setan, ialah rakyatku yang tinggal satu. Rakyatku memang goblog! Diberinya Joko sebatan akar. Akar itu adalah obat paling mujarab. Lalu anak raja sakit. Raja mengadakan sayembara. Barang siapa dapat menyembuhkan sakit putrinya akan diambil menantu raja. Lalu raja mati. Joko jadi penggantinya. Sekarang Joko jadi raja. Inilah edan namanya! Namun bukan itu saja yang membuat aku menaruh dendam. kerajaanku telah dihancurkannya! Satu demi satu rakyatku ditumpasnya, hingga akhirnya tinggal aku seorang diri. Ini penghinaan namanya! Ini tak boleh terjadi! Joko, kamu memang hebat! Tapi aku tak gentar! Joko, tunggulah kehancuranmu!<br /><br />III<br />Prabu Joko Bodo dan permaisuri muncul diikuti oleh seluruh rakyatnya dengan bernyanyi-nyanyi. Seluruh rakyat mengelilinginya. Ketika nyanyian selesai.<br /><br />238. JOKO : Wahai, kalau tahu beginilah rasaya menjadi raja, tak maulah aku menjalaninya!<br />239. PERMAISURI : Kenapa? Kenapa Joko?<br />240. JOKO : Badanku mulai gendut! Dan aku tak bisa tidur!<br />241. PERMAISURI : Kau memang aneh! Selagi orang merindukan jabatan raja, engkau menyesalinya!<br />242. JOKO : (tak peduli)<br />Alloh,<br />Aku rindu sawah-sawah,<br />Aku rindu lautan padi,<br />Aku rindu gunung-gunung<br />Aku rindu sungai-sungai<br />Aku rindu pohon-pohon<br />Aku rindu jangkerik, kodok, dan belalang<br />Aku rindu kampun halaman<br />Aku rindu Emakku yang tua<br />Alloh,<br />Aku anak desa<br />Aku dibesarkan di desa<br />Aku selalu hidup dalam tenang dan damai<br />Sekarang aku hidup di kota<br />Di antara gedung-gedung tinggi, debu jalanan, dan bising kendaraan<br />Alloh,<br />Di tengah keramaian ini<br />Aku merasa sepi<br />Alloh,<br />Aku tak tahan<br />Aku muak dengan pakaian kebesarannya ini!<br />(Joko mencopot pakaian kebesarannya dan berkata kepada istrinya)<br />Istriku, Aku ingin mencangkul dan menyabbit rumput!<br />243. PERMAISURI : Joko, bukankah engkau ini raja?<br />244. JOKO : Betul, aku raja, tapi raja juga perlu makan, bukan?<br />245. PERMAISURI : Tapi makanan selalu tersedia, Joko?<br />246. JOKO : Dari mana makanan itu?<br />247. PERMAISURI : Dari rakyat!<br />248. JOKO : Nah, itu maling namanya! Ketahuilah Emakku selalu berkata: “Joko anakku, buatlah dirimu bekerja, agar hidupmu aman sentosa.” Tidak! Aku tidak mau ongkang-ongkang di atas singgasana! Aku harus bekerja!<br />249. PERMAISURI : Oh, Joko, jika itu kehendakmu, aku akan mengikutimu!<br />250. JOKO : Kau boleh duduk di atas singgasana jika engkau suka!<br />251. PERMAISURI : Tidak! Aku mengerti jiwamu!<br />252. JOKO : Benarkah itu?<br />253. PERMAISURI : Sumpah!<br />254. JOKO : Itulah setia namanya!<br /><br />Sang Permaisuri menyingsingkan lengan bajunya. Musik bunyi. Joko dan seluruh rakyatnya bergerak dalam kerja.<br />2.<br />255. PUNGGAWA : Tuanku Joko!<br />256. JOKO : Jangan panggil aku Tuan!<br />257. PUNGGAWA : Lalu kami harus panggil apa?<br />258. JOKO : Namaku Joko! Panggil saja namaku!<br />259. PUNGGAWA : Baiklah Joko!<br />260. JOKO : Nah, baguuuus!<br />261. PUNGGAWA : Seseorang ingin menghadap engkau<br />262. JOKO : Waaaah, tak usah resmi-resmian. Suruh saja ia langsung kemari!<br />263. PUNGGAWA : (berteriak) Jendraaal, kemarilah!<br /><br />Musik bunyi. Muncul raja setan menyamar sebagai seorang Jendral.<br />264. JENDRAL : (menghormat) Salam sejahtera bagi baginda Raja Jaka yang bijaksana!<br />265. JOKO : Wahai, siapakah saudara?<br />266. JENDRAL : Ijinkanlah saya memperkenalkan diri! Saya adalah seorang Jendral professional. Pekerjaan saya adalah: mengajarkan ilmu politik dan strategi pertahanan keamanan nasional!<br />Saya telah menjadi dosen tamu di berbagai Negara. Dan setiap Negara yang pernah saya pegang, tumbuh menjadi Negara yang hebat. Serangan dari luar negeri: mendal! Pemberotakan dari dalam negeri: padam! Nah, saya melihat, Negara Tuan ini belum memiliki tentara. Padahal Negara tuan adalah Negara yang besar dan kaya. Kekayaan Negara tuan sungguh membikin ngiler Negara-negara lain. Setiap saat mereka dapat menggarong Negara tuan dan merampas kekayaan Tuan habis-habisan. Nah, saya menganjurkan, agar Tuan membentuk pasukan tentara. Saya sendiri sanggup menanganinya.<br />267. JOKO : Wah, pikiran saudara bagus juga. Baiklah: anjurkalah mereka untuk jadi tentara! Jangan lupa: ajarilah mereka bermain musik dan menyanyikan lagu-lagu merdu, sebab aku suka mendengarkannya!<br />268. JENDRAL : Terima kasih atas kepercayaan Tuanku kepada saya.<br />(lalu kepada rakyat Joko)<br />Saudara-saudara, bersama ini saya umumkan bahwa pemerintah Negara kita membuka kesempatan untuk saudara-saudara yang berminat menjadi tentara. Barag siapa bersedia menjadi tentara, dia akan memperoleh hadiah, yakni: segelas susu setiap pagi dan sebuah topi antipeluru.<br />269. ORANG IV : Wuuu, tak usah jadi tentara. Datanglah ke rumahku, ku beri kau seember susu!<br />270. ORANG III : Topinya buatan mana, mas?<br />271. ORANG II : Tak usah kau beri, kami sendiri padai membuat topi. Lagi pula untuk apa topi antipeluru? Kami lebih cocok memakai topi antihujan dan matahari. Caping dari bambu yang diberi warna-warni, itu lebih indah dari topi antipeluru.<br />272. JENDRAL : (marah, menghadap Joko)<br />Tuan, memang bodoh semua! Tak seorangpun bersedia manjadi tentara. Padahal tentara itu bagus masa depannya. Ini tak boleh terjadi, oleh karena itu, Tuan harus memerintahkan mereka dengan ancaman.<br />273. JOKO : (tertawa) Baiklah, perintahkanlah mereka!<br />274. JENDRAL : Saudara-saudara, saya minta peraturan ini ditaati. Barang siapa tidak bersedia menjadi tentara, maka ia akan dihukum mati oleh raja.<br />275. ORANG IV : Elho, peraturan apa ini?<br />276. ORANG III : Ini namanya tidak demokratis!<br />277. ORANG II : Kalau sudah jadi tentara lantas gimaa, mas. Bukankah semua tentara itu akan mati dibunuh juga?<br />278. JENDRAL : Betul, saudara!<br />279. ORANG II : Nah, kami tak mau menurut! Dari pada mati di medan perang, lebih baik mati dalam rumah tangga. Di kampung halaman kami sendiri. Kami ingin mati dengan cara sepatutnya.<br />280. JENDRAL : Kalian goblog semua! Apabila kalian menjadi tentara, masih ada harapan untuk terlepas dari maut. Tapi jika kalian tak mau jadi tentara, kalian akan mati dibunuh oleh Raja Jaka.<br />281. ORANG III : Elho, kok aneh!<br />282. ORANG IV : Coba kita tanyakan kepada Raja Jaka.<br />283. YANG LAIN : (bersama-sama) Wahai, Jaka, Raja kami, benarkah perkataan orang asing ini?<br />284. JOKO : (tertawa) Kalian inni apa padir semua? Bagaimana mungkin aku seorang diri akan membuuh kalian sebanyak itu? Jika aku sendiri tiada pandir, niscaya dapatkah aku menerangkan perkara inii kepadamu. Sekarang aku sedirian tidak megarti akan hal ini.<br />285. YANG LAIN : Kalau begitu, tetaplah kami tidak mau!<br />286. JOKO : (tertawa) Bagus, jangan mau!<br />287. JENDRAlL : Rakyat Tuan memang goblog semua1 Persis seperti rajanya!<br />Jendral pergi diiringi musik. Rakyat tertawa.<br />288. ORANG III : Joko, raja kami.<br />289. JOKO : Ya, ada apa?<br />290. ORANG III : Bagaimana kalau oran asingg tadi marah?<br />291. JOKO : lho, itu kan haknya?<br />292. ORANG III : Maksud saya, kalau dia lalu menghasut raja lain untuk menyerang kita?<br />293. JOKO : Jika jawaban orang pandir yang kau ignkan, beginilah isiya: biarkan semua terjadi secara spontan, tak perlu kita rencaakan saja kepada Tuhan!<br />Datang Punggawa berlari-lari<br />294. PUNGGAWA : Joko, raja kami.<br />295. JOKO : Wahai, ada apa, kawan?<br />296. PUNGGAWA : Kita diserang!<br />297. ORANG III : Nah, betul kataku, bukan?<br />298. JOKO : Baiklah! Biarkan mereka datang!<br /><br />Musik bunyi. Datang sepasukan tentara. Lima orang jumlahnya. Mereka menyerang. Rakyat menghindar.<br /><br />299. TENTARA I : Hei, Bung, mana tentara kalian?<br />300. ORANG IV : Harap maklum, kawan, kami tak punya tentara!<br />301. TENTARA I : Elho, inilah berita paling ganjil yang pernah kudengar. Egara kok tak punya tentara. Lha kalau diseran bagaimana?<br />302. ORANG IV : Sorri saja, Mas, kami tak kenal serang-menyarang!<br />303. TENTARA I : Jangan-jangan, raja pun mereka tak punya!<br />304. ORANG II : kalau raja, kami punya Mas!<br />305. TENTARA I : Mana? Mana raja kalian? Maa? Biar kupecahkan kepalaya!<br />306. ORANG II : Ayo Jok, maju JOk!<br />Joko Bodho maju.<br />307. ORANg II : Inilah raja kami<br />308. TENTARA I&2 : (berpandangan, tertawa)<br />309. TENTARA I : Raja kok kaya gini ya!<br />310. TENTARA II : Ho-ho ndesit banget<br />311. JOKO : Lha menurut saudara bagaimana?<br />312. TENTARA I : (bengong)<br />313. ORANG II : Modar kowe!<br />314. ORANG III : Wuuu, tentara gombal!<br />315. JOKO : Apa maksud kedatangan Saudara kemari?<br />316. TENTARA I : Kami mau berperang!<br />317. JOKO : Perang melawan siapa?<br />318. TENTARA I : Ya, melawan negara Saudara!<br />319. JOKO : Negara kami tak punya tentara!<br />320. ORANG III : Peranng dengan angina saja, Mas!<br />321. TENTARA I : (bengong)<br />322. JOKO : Apa maksud kedatangan saudara?<br />323. TENTARA I : Kami tak bermaksud jahat!<br />324. JOKO : Lho, kenapa Saudara membawa bedil?<br />325. ORANG II : Sokor…Kapokmu kapan<br />326. ORANG III : Judeg! Mumet!<br />327. TENTARA I : Aku tak tahu! Aku Cuma diperintah oleh raja!<br />328. ORANG III : Kok kayak robot, ya?<br />329. JOKO : Saudara, kalau sekirannya kehidupan Saudara di negeri saudara tidak baik, tinnggallah di sini bersama kami. Atau jika sekiranya saudara ingin, angkutlah barang-barang kami yang sekiranya berguba bagi Saudara! Kami senang membuatya, kok! Sungguh!<br />330. ORANG IV : Betul, Mas. Raja kami tidak bohong!<br />331. JOKO : Bagaimana,, Sudara?<br />332. TENTARA I&II : (Bingung)<br />333. TENTARA I : Kami tidak tahu! Kami akan pulang!<br />334. ORANG III : Pulang saja, Mas, ngurusi anak bini!<br />335. TENTARA I : Sontoloyo!<br /><br /><br /><br />Musik buyi. Tetara pergi.<br /><br />336. PUNGGAWA : Joko, Pemimpin kami!<br />337. JOKO : Ada apa Saudara?<br />338. PUNGGAWA : Ada seorang saudagar ingin menghadap engkau!<br />339. JOKO : Suruh saja kemari!<br />340. PUNGGAWA : (berteriak) Wahai, Saudagar, kemarilah! Raja kami mempersilakan Anda!<br /><br />Musik bunyi. Raja setan yang semyamar sebagai Saudagar muncul.<br /><br />341. SAUDAGAR : Salam sejahtera bagi Joko, raja yang bijaksana!<br />342. JOKO : Elho, kok saya seperti pernah melihat Saudara?<br />343. SAUDAGAR : Belum saja!<br />344. JOKO : lho, Cuma kayaknya! Kalau belum, ya tidak apa-apa! Saudara siapa?<br />345. SAUDAGAR : Ana saudagar dan ingin mengunjungi Negara Ente1<br />346. JOKO : O, silahkan!<br />347. ORANG IV : Awas lho. Jangan bikin gara-gara!<br />348. ORANG III : Kayaknya dia ini kok yag dulu mengaku Jendral proofesional, ya?<br />349. SAUDAGAR : Ana ingin berbuat baik pada rakyat Ente dan ingin mengajarkan ilmu dagang.<br />350. JOKO : Wah, itu bagus namanya. Silahkan bicara!<br />351. SAUDAGAR : Ente-ente sekalian. Ana ingin mengajak ente meningkatkan ekonomi negara ente 1<br />352. ORANG IV : Us!<br />353. SAUDAGAR : (Suara meninggi) Hai, ente, kehidupan ente ini tak ubahnya dengan kehidupan babi di hutan. Ana datang untuk mengajar: bagaiman caranya manusia hidup!<br />354. ORANG IV : Us!<br />355. SAUDAGAR : lebih dahulu ana ingin mengajar ente, bagaimana menjual barang. Misalnya ente punya kerbau, sedangg ana butuh kerbau itu, maka ana bisa mendapatkan kerbau itu dengan pulus semacam ini.<br />(menunjukkan mata uang logam)<br />356. ORANG IV : Wah, kok bagus, ya?<br />357. ORANG II : ya, itu bisa untuk permainan anak kita!<br />358. SAUDAGAR : Bukan, Saudara! Fulus itu bukan untuk mainan. Fulus itu untuk membeli.<br />359. ORANG III : Membeli? Membeli bagaimana?<br />360. SUDAGAR : Fulus ini biisa ditukar rumah, kerbau, ayam dan sebagainya. Semua bisa dibeli dengan fulus.<br />361. ORANG IV : Elho, uang ditukar dengan kerbau, lalu dengan rumah, dengan ayam….<br />362. ORANG II : Wah, pusing aku!<br />363. ORANG III : Kalau Cuma untuk itukami tak perlu uang, Mas!<br />364. ORANG IV : Iyya, Mas, uang tak perlu bagi kami! Kami bisa mendapatkan sesuatu dengan tukar menukar.<br />365. SAUDAGAR : (jengkel) Wah, memang gebleg semua!<br />Sia-sia saja ana mengajari ente berdaganng!(kepada Joko) Tuan, rakyat ente memag bodoh semua. Daripada buang-buang waktu dan tenaga untuk mengurusi ente, lebih baik mengurusi diri sendiri.<br />366. JOKO : (tertawa) lho, kami toh tidak meyuruh Saudara mengajari kami. Ajarilah diri kamu sendiri.<br />367. SAUDAGAR : Sialan!<br /><br />Saudagar pergi. Iringan musik.<br />368. PUNGGAWA : Joko, raja kami, seseorang asing telah datang ke rumah kami. Kelakuannya aneh sekali.<br />369. JOKO : Anehnya bagaimana?<br />370. PUNGGAWA : Seoorang tuan berpakaian bagus datangg kepada kami minta makan dan minum. Lalu kami beri dia karena Alloh. Tapi demi mendengar nama Alloh itu, lari ketakutan dia!<br />371. ORANG III : Suruh dia kerja dong!<br />372. PUGGAWA : Wah, tidak mau dia!<br />373. ORANG III : Wo lha itu repot namanya!<br />374. PUNGGAWA : Nah, Joko, bagaimana kami harus bertindak untuk menolongnya, agar dia tidak mati kelaparan?<br />375. JOKO : Bagaimana saudara-saudara?<br />376. ORANG IV : Begini saja, Mas! Berilah saja dia makan minim tapi tak usah sampeyan menyebut nama Alloh1<br />377. ORANG III : Ho-oh Mathuk kuwi!<br />378. PUNGGAWA : tidak bisa!<br />379. ORANG III : Kenapa?<br />380. PUNGGAWA : Bertentangan dengan undang-undang!<br />381. ORANG IV : Undang-undang yang mana?<br />382. PUNGGAWA : Barang siapa kasar telapak tangannya boleh diberi makan. Barang siapa tidak kasar diberi sisa-sisa saja!<br />383. ORANG IV : Oiya, ya!<br />384. ORANG III : Beri saja dia sisa-sisa makanan, Bung!<br />385. PUNGGAWA : Tidak mau dia, malah nmarah-marah. Katanya menghina.<br />386. ORANG III : Kalau begitu, biarkan saja dia mati kelaparan!<br />387. ORAG IV : Ho-oh, itulah ganjaran untuk orang malas1<br />388. ORANG II : (muncul) Joko, seseorang ingin datang menghadap.<br />389. JOKO : Suruh datang kemari!<br />390. ORANG II : Wahai, professor, datanglah kemari!<br /><br />Raja setan muncul dengan menyamar sebagai seorangg professor membawa payung terbuka di atas kepalanya.<br /><br />391. PROFESOR : Salam sejahtera bagi raja Joko yang bijaksana!<br />392. JOKO : Salam kembali! Siapakah sudara?<br />393. PROFESOR : saya seorangg professor<br />394. ORANG IV : Apa?<br />395. PROFESOR : (pelan) P R O F E S O R!<br />396. ORANG IV : Apakah itu?<br />397. ORANG II : Istilah baru!<br />398. ORANgg III : Kok, seperti nama makanan ya?<br />399. JOKO : Kami orang pandir, saudara, tak kenal dengan istilah saudara.<br />400. PROFESOR : professor itu orang pintar. Ilmunya tinggi.<br />401. ORANG IV : Ooooooo, itu!<br />402. PROFESOR : Ya, betul saudara!<br />403. ORANG IV : Betul apa?<br />404. PROFESOR : Itu lho, ilmu tinggi!<br />405. ORANG IV : Ya betul, lantas?<br />406. PROFESOR : kedatangan saya kemari adalah dalam rangka kunjungan ke berbagai Negara untuk menyelidiki tingkat pendidikan rakyatnya. Nah, setelah menyelidiki seluk beluk Negara tuan, tahulah saya bahwa rakyat Tuan masih tergolong bangsa primitip. Bahkan undang-undang yang berlaku di negara Tuan sangat merugikan orang-orang terkemuka seperti saya.<br />407. ORANG III : Elho, undang-undangg yang mana?<br />408. ORANG IV : jangan ngawur lho, sor!<br />409. PROFESOR : Undang-undang yang mengatakan bahwa: barang siapa kasar telapak tangannya, silakan makan! Yang tidak boleh makan sisanya saja! Ini tidak adil.<br />410. ORANG III : Elho, kok tidak adil?<br />411. PROFESOR : Sebab, undang-undang ini hanya menguntungkan orang-orang yang biasa bekerja dengan tangan saja. Sedang orang-orang yang tidak biasa bekerja dengan tanggan, yaknii orag-orann terkemuka seperti saya, sama sekali tidak dilindungi undang-undang.<br />412. ORANG IV : Us! Jadi kamu tiidak bekerja dengan tangan?<br />413. PROFESOR : Tidak!<br />414. ORANG IV : Elho dengan apa?<br />415. PROFESOR : dengan kepala1<br />416. YANG LAIN : (kaget) Elho!<br />417. ORANG IV : Ajaib!<br />418. ORANG II : Apa tidak sakit?<br />419. PROFESOR : O, tidak1 bahkan di jaman modern inin bekerja dengan kepala adalah paling menguntungkan<br />420. ORANG III : Wahai, benarkah itu?<br />421. PROFESOR : Benar!<br />422. JOKO : Wah, kalau begitu ajarilah kami bekerja dengan kepala! Baragkali bisalah untuk selingan di waktu payah bekerja dengan tangan.<br />423. PROFESOR : Terima kasih. Itulah tugas saya sebagai professor. Tapi jangan Tuan, menyangka bahwa bekerja denga kepala itu pekerjaan yang mudah. Tuan tidak mau memberi saya makan, karena telapak tanga saya halus pertada tidak biasa bekerja dengan tangan. Tetapi hendaknya Tuan ingat bahwa bekerja dengan kepala itu adalah seratus kali lebh susah dari pada bekerja dengan tanngan. Ya, kadang-kadang sampai pusing kepala dibuatnya.<br />424. ORANG IV : Pusing?<br />425. PROFESOR : Ya, kepala serasa diputar-putar.<br />426. JOKO : Aduh, kasihan sekali! Mengapa saudara sampai hati menyusahkan diri seperti itu? Bukankah tidak baik kalau sampai menyakitkan diri sendir?<br />427. PROFESOR : Inilah yang gmenyedihkan saya! Saya sudah menyangka bahwa Tuan akan salah paham. Tuan sama sekali tidak tahu kemajuan teknologi saat ini adalah berkat pekerjaan kepala. Tuan tahu kenapa orang bisa terbang ke bulan?<br />428. ORANG IV : Us! Kenapa?<br />429. PROFESOR : Karena bekerja dengan kepala! Tua tahu kenapa orang bisa membuat bom atom?<br />430. ORANG II : Karena bekerja dengan kepala!<br />431. PROFESOR : Persis! Ternyata diantara saudara-saudara ada yang cerdas.<br />432. ORANG II : Piye, aku je!<br />433. PROFESOR : Tuan tahu, kenapa orang bisa bicara jarak jauh?<br />434. ORANG IV : Karena bekerja dengan kelapa….eh…kepala…<br />435. YANG LAIN : uuuuuuuuuuuu………………………….<br />436. PROFESOR : Persis! Dua yang cerdas! Tuan tahu, kenapa orang patah kakinya?<br />437. ORANG IV : Karena ia bekerja dengan kepala!<br />438. PROFESOR : Inilah pandir namanya! Mana mungkin kepala bekerja kok yang patah kakinya. Tentu karena bekerja dengan tangan. Karena tangan memegang cangkul, maka terayun mengenai kaki. Patah.<br />439. ORANG IV : Tidak mungkin! Tidak mungkin seorangg petani begitu kalau tidak bekerja dengan kepala.<br />440. PROFESOR : Elho, kok tidak mungkin?<br />441. ORANG IV : Dia pasti sedang melamun, berarti kepala sedang bekerja!<br />442. professor : (kepada Joko) rakyat Tuan memang tak bisa dibuat pintar. Otak mereka tak lebih dari otak babi!<br />443. JOKO : (tertawa) sejak mula kami tidak mengundang saudara. Saudara datang , kam terima. Sekarang saudara kecewa. Ini bagaimana?<br />444.PROFESOR : Tuan tak kalah bodohnya dengan mereka. Tuan tak mengerti tanggung jawab. Sebagai raja, Tua, seharusnya memajukan mereka. Mereka harus belajar bekerja dengan kepala. Tapi apa artinya bekerja dengan kepala, Tuan tak menengerti. Apa boleh buat saya tak bisa menolong laggi. Bangsa semacam bangsa Tuan ini hanya bisa diajari dengan bom atom!<br />445. ORANG IV : Elho. Saudara menghina ya? Saudara menyinggung harga diri kami sebagai bangsa. Saudara dari mana? Saudara mengaku beradab! Tapi tiindakan saudara menunjukkan bahwa saudara biadab!<br />446. ORANG II : sikat saja Dul!<br />447. YANG LAIN : Bet..! Bet..! Antemi! Koploki! bunuh!<br />448. JOKO : Sabar! Persoalan ini kita serahkan saja ke pengadilan tertinggi. Alloh!<br />449. PROFESOR : (kaget, ketakutan) Elho, apa-apaan ini, kok terus ke pengadilan tertinggi? Saya tidak terima! Saya protes!<br />450. JOKO : Nah, jelas, saudara ini setan! Mahluk apakah yang ketakutan mendengar nama Alloh kalau bukan setan? Sejak pertama melihat, saya sudah tahu bahwa saudara ini setan. Saudara adalah setan yang menyamar sebagai jendral, proofesor, lalu saudagar sekarang professor dan mungkin nanti presiden atau mahluk angkasa luar. Tetapi pada hakikatnya saudara tetap setan dan perbuatan saudara selalu jahat, karena prinsip saudara adalah mencari teman sebanyak-banyaknya si neraka saya merasa kasihan kepada saudara! Karena itu saya ingin menolong saudara dengann mengurangi dosa-dosa saudara. Oleh karena itu, tak ada jalan lain kecuali…………………….<br />451. PROFESOR : (ketakutan) Elho! Elho!<br />452. JOKO : (membentak) Pergilah karena Alloh!<br /><br /><br /><br />Diketik ulang oleh KELOMPOK PERON SURAKARTA<br />Pada 13 November 2008teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-33046676606837622832009-01-18T04:59:00.000-08:002009-01-18T05:00:42.205-08:00“The Brothers” Oleh CEmpluk <meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CPERSONAL%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="place"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="City"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="State"></o:smarttagtype><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id="ieooui"></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:4.0cm 3.0cm 3.0cm 4.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:951517755; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:1782997552 134807567 134807577 134807579 134807567 134807577 134807579 134807567 134807577 134807579;} @list l0:level1 {mso-level-tab-stop:36.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} @list l0:level2 {mso-level-number-format:alpha-lower; mso-level-tab-stop:72.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} ol {margin-bottom:0cm;} ul {margin-bottom:0cm;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="SV">Naskah pendek<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: center; text-indent: -36pt; line-height: 150%;" align="center"><b style=""><span style="" lang="SV">“The Brothers”<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: center; text-indent: -36pt; line-height: 150%;" align="center"><b style=""><span style="" lang="SV">Oleh CEmpluk<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">TERLIHAT DUA ORANG SEDANG BERCAKAP DI ANTARA REMANG MALAM<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Apa kau<span style=""> </span>mendengar kalau lubang itu terbuka lagi?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: lubang yang mana?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: lubang itu....<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Ah, aku lupa!<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Kau ini memang pelupa! <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Maklumlah, aku kan sudah tua. Umurku sudah berabad-abad lamanya.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Kau ini suka mengigau. </span>Eh, itu! <span style="" lang="SV">Lubang.. Dulu, ketika masih kecil. Saat kita merasa bersalah dan ingin sendiri! </span>Aku atau kau suka melamun di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place>. <span style=""> </span>Ingatkah kau? <span style="" lang="SV">Kalau hal itu terjadi, Ayah dan ibu sampai kebingungan mencari. <span style=""> </span>Ingat?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Ya! Ibu sampai pingsan! <span style="" lang="SV">Dan paman Joni juga ikut pigsan. Kasihan sekali, tapi aku ingin tertawa…ha..ha. Aku ingat ketika pertama kali ke sana. Itu, gara-gara kau. Karena takut ke kamar mandi, kau ngompol, dan kalau ibu mengetahuinya pasti <span style=""> </span>sangat marah besar. Lalu kau kabur dari rumah. </span>Memangnya aku tidak tahu. Diam-diam aku mengikutimu. <span style="" lang="SV">Kau seperti orang yang sedang kebingungan, ke sana, ke mari tak tentu arah. </span>Kemudian kau masuk ke suatu tempat. </li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Dan kau diam saja? Kau tidak khawatir padaku?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Untuk apa? Untuk pengecut sepertimu? <span style="" lang="SV">Orang yang tidak mau bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan! <span style=""> </span><o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Aku takut ibu marah. Ibu mengatakan akan<span style=""> </span>mengurungku di kamar mandi, kalau aku ngompol lagi. </span>Di <st1:city st="on">sana</st1:city> <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place> banyak kecoanya. Aku jijik dan alergi sama kecoa. <span style=""> </span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Hanya karena kecoa, kau malam-malam pergi sendirian. <span style="" lang="SV">Kau tak takut ada penjahat? Misalnya penculik. Dia akan membawa dan menjadikamu budaknya, atau lebih parah lagi, dia akan menjualmu pada orang asing. </span>Otakmu yang mungil itu akan dikeluarkan. Ususmu..jantungmu..ginjalmu..semua organ dalam <span style=""> </span>tubuhmu akan dikeluarkan dan dijual pada mereka yang butuh dan punya uang banyak!<span style=""> </span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Kau ini saudara yang tak tahu adat! Senang sekali menghiburku dengan lelucon yang menyebalkan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Tapi, aku benar bukan? Ayah dan ibu, para kerabat serta para tetangga melarang anak kecil pergi malam-malam! Nanti ada penjahat atau hantu!<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Ya, hantu dan penjahatnya itu kau!<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">TERDENGAR SESEORANG MEMANGGIL-MANGGIL<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="16" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Orang: Wen…Wen….Wen..</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: <span style=""> </span>Kau mendengar sesuatu? </li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Orang: Wen…Wen…</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Kau dengar tidak? </li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 1: Apa?</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Seseorang memanggilmu!</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Aku tidak mendengar sesuatu pun.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Orang: Win..Win...Win..<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Sekarang dia memanggilku.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Benarkan, kau sendiri hantunya!<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Bukan aku, tapi suara itu. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Orang: Wen...Wen...Win..Win…</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Dia memanggil kita..seperti ini; Wen…Wen…Win..Win.. suaranya terdengar parau dan…</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 1: <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> apa?</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Dia menangis, sambil memanggil nama kita.</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 1: Mungkin itu ibu.</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Kau gila! Ibu sudah meninggal beberapa tahun lalu.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1:Ibu meninggal? Kapan? Aku tidak tahu.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Aku juga tidak tahu. Aku hanya mendengar ibu telah meninggal.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Orang: Wen..Win..di mana kalian..ayo pulang…hari sudah petang nak..<span style=""> </span><o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: sekarang aku mendengarnya. Persis suara ibu.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Orang: Win..Win..kamu harus minum obat.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Apa kau sakit?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Aku? Sakit apa?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Coba, ingat-ingatlah. Kau pernah mengidap suatu penyakit?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Sudah aku katakan! <span style="" lang="SV">Aku tidak sakit. Aku sehat, sejak kecil. Ehm...ehm...Cuma mencret..<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 1: Itu namanya sakit. Walupun sepele, tapi kalau dibiarkan saja, penyakitmu itu akan tumbuh, dan lama-kelamaan bisa membuatmu mati.</li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: tidak mugkin! Aku hanya mencret! Dan sekarang sudah sembuh! Apa kau melihatku ke toilet terus. Tidak kan?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Aku tidak tahu, mungkin kau kecret di celana. Ha..ha..<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Sudahlah, aku capek! <span style="" lang="SV">Aku mau istirahat sebentar. Jangan bangunkan aku! Biarkan aku terlelap sampai pagi!<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Baiklah, aku juga mau istirahat. <o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">SEORANG IBU DATANG SAMBIL MEMBAWA PAYUNG<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="47" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: Wen..Wen..Win...Win..di mana kalian? Jangan main petak umpet! Sudah malam. Iya ibu menyerah. Ayo nak, pulang! Ibu sudah masak makanan kesukaan kalian. Jangan buat ibu takut (MENANGIS)<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Aduh! Suara siapa itu? Berisik sekali! Nyonya sedang apa? <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: aku sedang mencari kedua anakku. Mereka main di luar, dan sampai sekarang belum pulang. Aku sangat khawatir sekali. Tadi mereka mengajakku main petak umpet..Hiks..hiks...<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Sudah Nyonya, saya akan membantu mencari mereka. Namanya siapa Nyonya? Wen dan Win. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: mereka kembar?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: iya..<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">BROTHER 1 KAGET MENDENGAR UCAPAN SANG<span style=""> </span>IBU TADI. <o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="53" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: kembar? (berkata pada diri sendiri) aku juga punya saudara kembar. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: Iya, mereka kembar. Kalau yang satu sakit, maka yang lain juga akan sakit. Kalau yang satu sedih, maka yang lain juga akan merasakannya dan sebaliknya. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Sudahlah ibu, jangan bersedih, pasti mereka akan ketemu.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: Terima kasih nak. Kau sangat baik sekali. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">MEREKA TERUS BERJALAN SAMPAI PAGI, NAMUN TAK MENEMUKAN APA YANG MEREKA CARI<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="57" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: Wen..Wen..Win...di mana kalian...ibu tidak akan marah lagi. Ibu janji. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: memangnya kenapa Nonya?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: Sebenarnya mereka sedang tidak main petak umpet, tapi mereka kabur sejak beberapa hari yang lalu. Aku sudah mencarinya ke mana-mana, namun hasilnya nihil. Nol besar. Sampai aku bertemu kau. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: ada masalahkah Nyonya?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: Tidak. Bukan masalah yang besar, Cuma kenakalan anak kecil biasa. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Nyonya sudah melaporkan kejadian ini pada polisi?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: sudah. Hiks..hiks..<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Bother 1: lalu?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: mereka tidak mau tahu. Hiks..hiks..<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">DATANG BROTHER 2 DENGAN MEMBAWA SELEBARAN</p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="66" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Wen, kau di situ rupanya. <span style="" lang="SV">Aku ingin memperlihatkan sesuatu. Lihatlah!<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Selebaran biasa.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Bacalah isinya.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style=""> </span>Brother 1: Telah ditemukan <span style=""> </span>dua anak kecil. <span style="" lang="SV">Umur sekitar 10 tahun. Memakai kaos warna putih, celana pendek dan sandal jepit warna biru dan merah. Keterangan lebih lanjut, datang ke kantor polisi di jalan Ampera No. 5 Wahayangan. <span style=""> </span>Apakah ini anak-anak ibu?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: Iya. Sepertinya. Semoga<span style=""> </span>tidak terjadi apa-apa dengan mereka.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Kita berdoa saja Nyonya. Sebaiknya kita ke sana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Aku setuju. Mari Nyonya!<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ibu: Mari<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">MEREKA KE LUAR PANGGUNG, BEBERAPA SAAT KEMUDIAN MUNCUL BROTHER 1 DAN 2<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="74" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Aku bingung.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Kenapa?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Brother 2: Kau lihat kedua anak kecil tadi. <span style="" lang="SV">Mereka mirip dengan kita. Saat kita kabur dulu. Kaos putih, celana pendek dan sandal jepit. Mungkinkah ini kebetulan?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Mungkin saja. Kita tidak pernah tahu rahasia Tuhan. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Tuhan. Sejak kapan kita tinggal di lubang ini? Gua ini pengap dan busuk, seperti mulutmu. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: seperti mulutmu juga.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Tempat ini sangat gelap. Aku takut! <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Syukurlah, sekarang kau mengakuinya! <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Aku lebih takut dari yang kau duga selama ini. <o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Oh ya, aku ingat. Wanita itu mirip ibu, dan...<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Dan apa?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Anak kecil tadi mati karena kehabisan oksigen.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Mirip kita?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 1: Mirip kita beberapa puluh tahun yang lalu, atau berapa ratus tahun yang lalu?<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Brother 2: Sekarang kau yang mengigau. Masuklah, sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Mereka mati, dan kita masih di sini, hidup dengan gua atau kau lebih senang menyebutnya lubang Wen-Win.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-26564209408927658402008-11-30T08:15:00.000-08:002008-11-30T08:16:23.186-08:00Arloji<br />Karya: P. Hariyanto<br /><br />Kisah ini terjadi di sebuah kamar depan keluarga yang cukup terpandang. Terdapat berbagai perlengkapan yang lazim di kamar tamu semacam itu, namun yang terpenting ialah seperangkat meja dan kursi tamu. Pada kira-kira pukul 09.00 drama ini terjadi.<br />Para pelaku: <br />1. Jidul : Anak laki-laki berumur 15 tahun<br />2. Pak pikun : Pembantu rumah tangga berumur sekitar 40 tahun<br />3. ibu : Nyonya rumah berumur sekitar 42 tahun<br />4. Tritis : Gadis berusia 18 tahun <br /> Dengan penuh keriangan, si Jidul membersihkan meja dan kursi-kursi. Kepalanya melenggut-lenggut, pantatnya bergidal-gidul seirama dengan musik dangdut yang terdengar meriah. Jidul terkejut ketika musik mendadak berhenti.<br />1. Pak Pikun : (muncul, langsung menuju ke arah Jidul) Ayo! Mana! Berikan kembali padaku!Ayo! Mana! <br />2. Jidul : (ber-ah-uh, sambil memberikan isyarat yang menyatakan ketidakmengertiannya)<br />3. Pak Pikun : Jangan berlagak pilon! Siapa lagi kalau bukan kamu yang mengabilnya? Ayo, Jidul, kamu sembunyikan di mana, heh?<br />4. Jidul : (ber-ah-uh, semakin bingung dan takut)<br />5. Pak Pikun : Dasar maling! Belum sampai sebulan di sini kamu sudah kambuh lagi, ya? Dasar nggak tahu diri! Ayo, kembalikan kepadaku! Mana, heh?<br />6. Jidul : (meringkuk diam)<br />7. Pak Pikun : (semakin keras suaranya) Jidul! Kamu mau kembalikan apa tidak? Mau insaf apa tidak? Apa mau ku panggilkan orang-orang sekampung untuk mencincangmu, heh? Kamu mau dipukuli seperti dulu lagi? Ayo, mana?<br />8. Ibu : (Muncul tergesa-gesa) Eh, ada apa Pak Pikun? Ada apa dengan Jidul?<br />9. Pak Pikun : Anak ini memang tidak pantas dikasihani, Bu. Dia mencuri lagi, Bu!<br />10. Ibu : Mencuri? (tertegun). Kamu mencuri, Jidul?<br />11. Jidul : (ber-ah-uh sambil menggoyang-goyangkan kepala dan tangannya)<br />12. Pak Pikun : Mungkir, ya? Padahal jelas, Bu! Tadi saya mandi. Setelah itu, arloji saya tertinggal di kamar mandi. Lalu dia masuk, entah mengapa. Lalu tidak ada lagi arloji saya, Bu.<br />13. Ibu : O, arloji Pak Pikun hilang, begitu?<br />14. Pak Pikun : Bukan hilang, Bu! Jelas dicurinya! Ayo, ngaku saja! Kamu ngaku saja, Jidul!<br />15. Jidul : (ber-ah-uh mencoba menjelaskan ketidaktahuannya)<br />16. Pak Pikun : Masih mungkir? Minta ku pukul?<br />17. Ibu : sabar, Pak Pikun! Sabar!<br />18. Pak Pikun : Maaf, Bu. Ini biar saya urus sendiri! Kamu baru mau ngaku kalau dipukul, ya? Sini! (Mau memukul si Jidul).<br />19. Si Jidul : (Meloncat, lari ke luar dikejar oleh Pak Pikun)<br />20. Ibu : Sabar dulu Pak Pikun! Diperiksa dulu! (mendesah sendiri) Ya, ampun! Orang sudah tua kok gegabah, tidak sabaran begitu.<br />21. Tritis : (Muncul membawa buku dan alat tulis). Uh! Pagi-pagi sudah mencuri. Nganggu orang belajar saja!<br />22. Ibu : Belum jelas, Tritis!<br />23. Tritis : Ah, ibu sih suka membela si Jidul! Siapa lagi kalau bukan dia yang mengambil arloji Pak Pikun? Apa ibu lupa? Dia kan dulu ketahuan mencuri ayam kita, ketahuan, mau dipukuli orang kampung malah kemudian dibela ayah dan ditampung di rumah kita. Keenakan dia, maka kini mencuri lagi!<br />24. Ibu : Ya, memang, dulu pernah mencuri. Itu karena ia kelaparan. Tetapi, belum tentu sekarang dia mengambil arloji Pak Pikun, Tritis!<br />25. Tritis : Kalau bukan si Jidul, apa ibu atau aku yang mengambil arloji itu, ibu? (Tertawa).<br />26. Ibu : (Menemukan ide). Ah! Mungkin masih ada di kamar mandi, Tritis! Atau mungkin di dekat jemuran. Pak Pikun kan pelupa. Mari kita coba mencarinya! (Bersama Tritis melangkah ke kiri akan ke luar, tetapi kemudian terhenti)<br /> Terdengar suara ribut. Si Jidul kembali meloncat masuk dari kanan. Maunya berlari, tetapi tersandung sesuatu. Ia jatuh terguling mengejutkan Ibu dan Tritis. Dan sebelum sempat bangkit, Pak Pikun sudah keburu masuk pula dan menangkapnya dengan geram. <br />27. Pak Pikun : (sambil mengacung-acungkan penggada besar, tangan kirinya tetap mencengkeram leher kaus si Jidul). Mau, lari ke mana lagi, heh? Ku pukul kamu sekarang!<br />28. Ibu : Sabar, Pak! Tunggu dulu!<br />29. Pak Pikun : Tunggu apa lagi, Bu! Anak nggak benar ini harus saya ajar biar kapok. (Akan memukulkan penggadanya).<br />30. Ibu : Tunggu dulu! Siapa tahu, Jidul benar tidak mencuri dan Pak Pikun yang tidak benar menaruh arlojinya!<br />31. Pak Pikun : Tak mungkin, Bu! Saya yakin, si Brengsek ini pencurinya. Kamu harus mampus (akan memukulkan penggadanya).<br />32. Tritis : (Melihat tangan Pak Pikun) Eh, lihat! Arlojinya kan itu! Di pergelangan tangan kananmu, Pak Pikun. Lihat! (Tertawa ngakak).<br />33. Ibu : O, iya! Betul! Dasar Pak Pikun ya Pikun! (Tertawa geli).<br />34. Pak Pikun :(Tertegun memandang pergelangan tangannya yang kanan. Dilepaskannya si Jidul. Diamat-amatinya arloji itu. Penggadanya sudah dijatuhkan. Dengan sangat malu, ia berjalan ke luar tertegun-tegun, diiringi gelak tawa ibu dan Tritis. Sementara itu, si Jidul pun tertawa-tawa pula dengan caranya sendiri yang spesifik).<br /> Sumber: Cerita Rekaan dan Drama, Modul Universitas Terbukateaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-69174028946659977242008-11-30T08:14:00.001-08:002008-11-30T08:14:48.690-08:00Ayam Betina dan Sebuah Pohon Apel<br />Karya saduran: Arnold Lobel<br /><br />Ayam betina tidur. Serigala yang menyamar sebagai pohon apel berjingkat-jingkat mendekati kandang si ayam. Pagi datang.<br />Ayam Jantan berkokok: Kukuruyuk... 3x<br />1. Ayam Betina : (menggeliat kemudian membuka jendela). Selamat pagi matahari, selamat pagi dunia, selamat pagi semuanya... Hei, sungguh aneh (heran). Aku yakin sekali, kemarin tidak ada satupun pohon aple tumbuh di tempat ini. Kenapa hari ini ada?<br />2. Serigala : Ada sebagian dari kami yang bisa tumbuh dengan cepat.<br />3. Ayam Betina : (melihat bagian bawah, heran, curiga) Aku belum pernah melihat sebuah pohon apel yang punya sepuluh jari kaki yang berbulu dan berkuku tajam.<br />4. Serigala : Ada sebagian dari kami yang memilikinya. Hai... ayam betina, keluarlah, kemarilah, kau akan merasa sejuk di bawah rantingku yang rindang ini.<br />5. Ayam Betina : (melihat pucuk pohon apel) Aku tidak pernah melihat sebuah pohon apel yang memiliki dua buah telinga yang panjang dan runcing.<br />6. Serigala : Ada sebagian dari kami yang memilikinya. Hei... ayam Betina, keluarlah, kemarilah, mari makan salah satu buah apelku yang manis ini.<br />7. Ayam Betina : Aku tak habis pikir, aku belum pernah mendengar sebuah pohon apel berbicara, punya mulut, dan juga gigi yang tajam.<br />8. Serigala : (Kaget) E..e... ada sebagian dari kami yang dapat melakukannya. Hai... ayam Betina, keluarlah, mari bersandar pada batang pohonku.<br />9. Ayam betina : Pohon Apel (memanggil) bukankah ini musim hujan?<br />10. Serigala : Ya... tentu saja ini musim hujan.<br />11. Ayam Betina : Aku pernah mendengar bahwa di musim hujan, biasanya daun pohon apel telah berguguran.<br />12. Serigala : O...i...iya... Ada beberapa dari kami yang begitu.<br />13. Ayam betina : Kalau begitu tentunya kau ini pohon apel yang luar biasa dan lain dari pohon-pohon aple lainnya.<br />14. Serigala : Tentu saja, aku ini pohon apel ajaib. Hai... Ayam Betina! Keluarlah, mari bermain denganku.<br />15. Ayam Betina : Kau bukannya ajaib, tapi tidak beres. Buah apelmu saja tidak tumbuh dari batang, tapi tumbuh dari tali.<br />16. Serigala : E....e<br />17. Ayam Betina : Aku ini si Ayam Betina yang cerdik, kau tidak akan mungkin bisa menipuku...wahai Tuan Serigala.<br />18. Serigala : Kau... kau...kau tahu penyamaranku rupanya. Oh, sungguh kurang ajar, keluarlah kau kalau berani. Kau sudah mengakaliku. Jangan hanya berlindung dalam kandangmu, Ayam Betina! (menggertak)<br />19. Ayam Betina : Tentu saja aku tidak berani melawanmu, Tuan Serigala. Apalagi semalaman hujan deras, tentunya pagi ini kau sangat kelaparan. <br />20. Serigala : Kau mengejekku... Aku akan menerkammu.<br />21. Ayam Betina : Sayang sekali Tuan Serigala, aku tidak akan keluar kandang.<br />22. Serigala : Kau akan kelaparan...<br />23. Ayam Betina : Aku tidak rakus sepertimu, Pohon Apel jadi-jadian, aku bisa menghemat makananku.<br />24. Serigala : sampai berapa lama kau bisa bertahan?<br />25. Ayam Betina : Kau ini pohon apel yang benar-benar tidak beres. Tuan Serigala, aku punya teman burung-burung kecil yang bisa terbang dengan cepat. Kau tidak mungkin bisa menangkap mereka. Nah, aku akan minta tolong pada mereka untuk mengantarkan makananku.<br />26. Serigala : Kau memang kurang ajar ayam betina. Kau telah membuatku marah dan semakin kelaparan.<br />27. Ayam betina : Lebih baik cari mangsamu di tempat yang lain saja, Tuan Serigala!<br />28. Serigala : Aku memang akan pergi. Tapi lain kali aku pasti akan berhasil menerkammu. (Pergi)<br />29. Ayam Betina : Hai, Tuan serigala! (memanggil. Serigala berhenti dan menoleh) Terima kasih pagi ini kau telah membuatku belajar untuk tidak percaya begitu saja pada apa yang aku lihat. (serigala berjalan lagi)<br />30. Serigala : kau bilang aku gurumu, ayam betina?<br />31. Ayam Betina : (ayam betina mengangguk) Bukankah belajar itu bisa dari mana saja?<br />32. Serigala : Tapi kau tidak mau ku makan meskipun saat ini aku sangat kelaparan.<br />33. Ayam Betina : kau sungguh rakus, Tuan serigala. Kemarin siang aku melihatmu menghabiskan seekor rusa bertanduk. Seharusnya kau tidak kelaparan seharian ini.<br />34. Serigala : Tapi aku tetap merasa kelaparan.<br />35. Ayam Betina : aku tahu cara mengatasi laparmu. (serigala mendekati kandang ayam)<br />36. Serigala : Bagaimana caranya? <br />37. Ayam Betina : Menari!<br />38. Serigala : Menari?<br />39. Ayam Betina : Iya... kita akan gembira dan lupa pada lapar.<br />40. Serigala : Tapi aku tidak bisa menari.<br />41. Ayam Betina : kalau begitu, kau ikuti gerakanku saja Tuan Serigala. Aku ini selain cerdik, juga padai menari.<br />42. Serigala : Kalau begitu kau akan keluar dari kandangmu?<br />43. Ayam Betina : Tentu saja tidak, Tuan. Kau juga mengajariku untuk selalu waspada. Lagi pula, kau bisa melihat gerakanku dari luar kandang.<br />44. Serigala : Baiklah, baiklah... mari kita menari... mari kita menari....<br />45. Ayam Betina + Serigala: Mari kita menari... Satu... dua... tiga... (menari bersama)<br />selesaiteaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-29491450065186652222008-11-30T07:21:00.001-08:002008-11-30T07:21:58.414-08:00CERMIN 1 <br /><br />CERMIN <br />karya NANO RIANTIARNO<br /><br />PANGGUNG MULA-MULA GELAP. GELAP SEKALI. TIBA-TIBA TERDENGAR TERIAKAN KETAKUTAN SEORANG LAKI-LAKI. PANGGUNG MASIH TETAP GELAP.<br />SUARA : <br />Jangan! Jangan tinggalkan saya! Tolong! Tolong! Tolong! Nyalakan lampu, saya takut gelap! Saya takut sendirian! Tolong! Jangan tinggalkan saya! Cahaya, saya butuh cahaya! Saya butuh terang! Tolong…….cahaya…….cahaya.<br />DAN LAMPU WARNA PINK MENYOROT (FADE-IN) MELINGKARI AREA DIMANA DIA BERTERIAK-TERIAK DILANTAI, SAMPING SEBUAH KURSI BESI. DALAM PENJARA SEORANG LAKI-LAKI KIRA-KIRA BERUMUR 35 TAHUN KAGET KETIKA SADAR BAHWA DIA SEKARANG BERADA DALAM TERANG. DIA KECAPAIAN DAN TERENGAH-ENGAH.MENGHIMPASKAN PANTATNYA DI LANTAI. PADA SAAT YANG HAMPIR BERSAMAAN, SETELAH UJUD SELURUH LAKI-LAKI ITU TERLIHAT SAMAR-SAMAR LAMPU MENYALA MENYOROTI AREA DI DEPAN DIA. SEORANG LAKI-LAKI LAIN YANG SELURUHNYA SAMA DENGAN DIA JUGA DUDUK DI LANTAI SAMPING SEBUAH KURSI BESI YANG SAMA. LAMPU BERWARNA PINK JUGA. DUA LELAKI YANG SAMA DUDUK DI LANTAI SAMPING KURSI BESI YANG SAMA TERSEKELILING GELAP. GELAP SAKALI.<br />LAKI-LAKI : <br />He……….. (LAKI-LAKI DI DEPANNYA MENYAPANYA JUGA PERSIS TAPI TANPA SUARA)<br />Hee……….. Ya! Masih ada. Kukira sudah pergi bersama yang lain-lain. He, aku senang kau masih ada. Di depan situ menatapku. Temanku Cuma kamu sekarang. Di sini pengap. Keringat tak henti-hentinya menyembul dari pori-pori kulit. Aku khawatir kalau persediaan air dalam tubuhku habis, pasti bukan keringat lagi yang keluar tapi darah. Dan kalau darah sudah habis…….. sebuah pintu terbuka lebar-lebar dan aku harus mendorong diriku sendiri untuk bilang ayo masuki ruangan besar di sebaliknya. Ruangan besar dari sebuah gedung yang besar. Ada apa di dalamnya? Perabotan-perabotannya bagus? Jenis kursi-kursinya dibikin dari kayu apa? Jati tua atau mahoni? Karpetnya? Dari India atau Persia?<br />LAKI-LAKI : <br />Apa ada hiasan-hiasan dindingnya? Dari apa? Kuningan apa perunggu? Lampu gantungnya dari kristal? Kamar mandinya bersih, artinya tidak terdapat lipas di sudut-sudutnya. Dapurnya bagaimana? Selalu tersedia makanan hangat dalam lemari? Aku pedagang barang antik, harus tahu secara detail perabotan-perabotan tiap ruangan yang kumasuki. Bagaimana? Apa aku akan ditemani atau sendirian? (BERBISIK) Apa Su ada disitu……apa dia menungguku disitu? (DIAM MENUNGGU JAWABAN). Ya aku tahu kau tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu sebelumnya. Masuki gedung itu dulu, baru kau akan bisa bercerita ada apa di dalamnya. Tapi siapa saja yang masuk ruangan besar itu, tak akan pernah kembali lagi. Pans, Cuma keluhan, jangan khawatir seorang kawan bisa menyejukkan suasana. Ada seorang di sekitar kita lebih baik daripada sama sekali tidak ada. Pada dasarnya semua orang takut sendirian. Aku juga. Kau juga. Benarkan. Kita ngobrol-ngobrol, untuk mengisi waktu. Obrolan yang intim bisa menambah rasa kekawanan. Tidak usah dijawab. Aku yakin pasti kau mau. Ya, kita akan ngobrol-ngobrol. Aku dapat pertama, kamu yang kedua. Akan kubeberkan semuanya tanpa malu-malu. Tapi musti janji, begitu aku selesai kau segera menyambungnya. Dengan begitu tak akan terasa lagi waktu lewat. Pagi-pagi sekali kita akan berpelukan mengucapkan salam perpisahan, barangkali sambil tertawa-tawa atau barangkali kita akan saling menangisi. Entahlah! Jangan menjawab, aku tahu kau sama seperti aku, termasuk orang-orang yang selalu berusaha untuk menepati janji. Dengan adanya kau di situ, meskipun kau tidak menyapa apa-apa bisa kupastikan kita akan selalu bersama-sama, setia sampai mati. <br />(BERPIKIR HENDAK MEMULAINYA DARIMANA). <br />He…….he…….he he he! Heeeeeeeeeeeeee………………..<br />(DIA MEMATUT-MATUT DIRI. BERTINGKAH SEBAGAI SEORANG LAKI-LAKI JANTAN. DIA MELANGKAH DENGAN TEGAP. KE MUKA KE BELAKANG).<br />Sampai mati! <br />(BERTINGKAH SEBAGAI TENTARA. BERTINGKAH SEBAGAI PENARI. BERTINGKAH SEBAGAI ORATOR. BERTINGKAH SEBAGAI BADUT. LAKI-LAKI DI DEPANNYA MENIRUKAN GERAK-GERAK YANG DIA LAKUKAN DENGAN PERSIS. LAKI-LAKI TERTAWA KEGELIAN).<br />Tiruan yang sungguh-sungguh sempurna…….sempurna…….sempurna.<br />(LAKI-LAKI ITU MENANGIS. DARI PERLAHAN SAMPAI MENGGERUNG-GERUNG. DIA MERATAP)<br />Sampai mati……. Su! Su! Sunni! Kenapa jadi begini? Kenapa kau pergi? Kenapa aku ada di sini? Kenapa mesti ada hal-hal yang mendorong kita melakukan hal-hal? Kenapa kamu tidak mau menurut? Kenapa waktu kamu masih ada, rasanya semua terang dan jelas. Tanpa kabut. Tiap kupandangi diriku di kaca, maka kulihat ujud seorang laki-laki yang utuh. Lalu sekarang, kau entah ada di mana? Jarak dan tembok memisahkan kita. Semua yang terlihat jadi samara-samar. Bukan maksudku melakukan itu. Terjadi begitu saja, didorong oleh kekuatan yang ajaib! Seperti alir sungai yang dibendung, makin tinggi bendungannya makin banyak air yang tertampung dan tekanan untuk molos mencari aliran lain makin besar. Lalu suatu saat air tak terbendung lagi sedang tekanan makin besar, makin besar. Dan tiba-tiba bendungan jebol!<br />Kau tanamkan bibit di sini. Tumbuh sedikit demi sedikit hingga berbunga, waktu kelopak bunga itu merekah, dia bersuara seperti terompet. Suaranya memekakkan telinga. Dan Sunniii…gemanya! Gemanya melengking! Tak tahan aku untuk tidak berbuat apa-apa. Dan bisik-bisik itu. Bisik-bisik yang memerintahkan aku supaya melakukan niatku, musnahkan! Musnahkan Hancurkan! Hancurkan biar jadi abu sekalian. Dari abu kembali jadi abu, kata bisik-bisik itu dalam telinga.<br />Kekuatan bumi menarik kakiku dalam-dalam, menyeret dan membakarku dalam inti magma yang paling panas! Aku merungkuk, makin merungkuk, Rasa panas yang terkutuk membakar, memadat dalam dada. Menyiksaku tanpa ampun, hingga hari itu tiba, kau tahu seluruh tubuhku gemetar. Panas dan dingin menjadi satu seperti nerapa. Dan kau tahu, kau tahu, kekuatan aneh itu yang memaksaku untuk jadi babi gila. Menyeruduk ke mana saja nalurinya memerintahkan untuk meyeruduk. Aku menyeruduk. Apa saja yang kulihat, kulihat sebagai musuh. Harus dihancurkan dalam sekejab! Tapi yang kuseruduk rupanya tembok-tembok besi…..Lihat……. dua taringku patah, tak lagi bisa dijadikan senjata. Sebagai perhiasanpun cukup buruk kan? Kalau aku ini tentara, maka aku tentara yang tidak baik. Tidak punya disiplin, kurang taktis, tidak mampu mengontrol emosi serta tidak perduli pada batas-batas dan ukuran.<br />(KECEPATAN).<br />Su, perempuan biasa. Tidak cantik tetapi punya daya tarik yang luar biasa, kegairahan hidupnya seperti kuda tak terkendali! Salahku memang, mengawini perempuan bekas pelacur. Padahal tadinya sudah kurelakan, dia bekerja, aku juga bekerja. Tapi Su selalu bilang padaku : ah, kamu tidak pernah bisa memberiku apa-apa selain anak. Ya, itu kenyataan. Dan karena itu pula dia berhak menutup mataku, mulutku dan menahan gerak semua anggota tubuhku. Tapi memang semua itu termasuk dalam perjanjian. Dan kami sudah saling menjanjikannya, dulu waktu dia kukawini. Kenyataan ini mampu kutahan sampai beberapa lamanya, 3 anak. Cuma itu katanya yang bisa kuberikan padanya, ya! Tapi lihat muka anak-anak itu satu persatu kalau mereka masih hidup. Lihat dengan teliti. Seperti siapa mereka? Adakah persamaannya denganku? Sama sekali tidak. Yang sulung entah seperti siapa? Yang kedua entah seperti siapa dan yang ketiga kulitnya hitam pekat dengan mata yang bulat dan rambut keriting kecil-kecil. Anakkukah itu? Anak Su! Aku pernah punya pikiran mungkinkah ada dokter-dokter jahil yang senang menukar-nukar bayi di RS bersalin, atau perawat-perawatnya. Tapi hal itu tidak mungkinkan? Mereka pasti menghormati sekali sumpah jabatan. Tapi aku bisa memastikan anak yang ketiga bukan anakku!<br />LAKI-LAKI : (MERATAP LAKI_LAKI DI DEPANNYA DENGAN GELISAH)<br />Tahukah kamu mengapa aku masih tetap bisa menahan diri selama ini? Masih tetap mendampinginya meski jantung perih bukan main? Karena aku mencintai Su! Karena aku sudah bersumpah untuk tetap setia apapun yang sudah dia lakukan. (BERTERIAK) banci! Laki-laki lemah! Tidak punya tangan besi! Pendirian yang rapuh! Ya aku tahu matamu menuduhku begitu. Tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak marah. Ini memang termasuk dalam perjanjian. Kataku selalu pada Su : lakukan tapi tanpa perasaan cinta. O, kelemahan. Apa yang kau ciptakan selama ini sebagai akibat? Mesiu apa yang kau padatkan dalam tabung bersumbu?ketidaktentraman? kekacau-balauan pikiran? Kecurigaan? Keganasan? Kegilaan? Pembalasan dendam tanpa ampun? Semua sudah kulakukan.<br />Jadilah laki-laki maka kau harus membunuh. Jadilah laki-laki maka kau berhak merusak apa saja. Jadilah laki-laki maka dirimu akan kau rubah menjadi empat dinding penjara setebal satu kaki tanpa jendela. Jadilah laki-laki maka sebetulnya kau meriam siap ditembakkan! Dan malam itu sudah kunobatkan diriku sendiri jadi laki-laki. Laki-laki dengan naluri hewani yang dibiarkan lepas ikatannya.<br />Dan kesetiaan, di mana dia harus ditempatkan? Adakah perkataan itu masih punya arti untuk semua orang? Su pernah menjanjikan padaku. Aku juga pernah sampai anakku yang ketiga dilahirkan. Anakku? Anak Su! Sekarang apa yang terjadi? Apa yang sudah dilakukan Su? Apa yang sudah dilakukan? Mana tuah dari keselarasan seperti yang selama ini selalu kau bicarakan? Miliki kesetiaan, lalu orang akan jadi seperti dikebiri, Cuma sanggup melihat hal-hal yang baik saja. Satu saat jika kebetulan terlihat keburukan-keburukan yang sebetulnya sudah menjadi mimpi buruknya selama berjam-jam dia tidur, maka dia akan bilang dengan mata merah : ah, itu Cuma baying-bayang bukan kekuatan, padahal terbalik!<br />Waktu kesabaranku habis, aku menyatakan pada Su supaya menghentikan segala kegiatannya. Maksudku baik, demi anak-anak dan masa depan keluarga. Nama baik, kataku padanya. Asuhlah anak-anakmu di rumah, kalau bosan sulamkan baju-baju hangat. Atau kalau mau bekerja juga. Bekerjalah, tapi yang pantas! Tapi kau tahu yang terjadi kemudian. Su lebih gila lagi, dia seperti kuda lepas kendali. Apa yang terjadi, kataku dalam hati. Kalau dulu aku masih tidak peduli, sekarang keadaannya berbeda. Umurku mulai menginjak masa tua. Aku butuh ketenangan. Aku butuh perempuan yang kucintai dan mencintaiku. Aku butuh perhatian dan diperhatikan. Dan semuanya sudah terjadi akibat dari kau, O, kelemahan, Besok aku akan dihukum mati. Pertama kali dalam penjara. Sudah kubunuh 6 orang dan melukai 3 orang. Betulkah itu? Sebegitu besarkah tenagaku waktu itu? O , aku tidak tahu.<br />(MENUTUP MATANYA DUDUK KECAPAIANNYA)<br />LAKI-LAKI :<br />Heeeeee…………… kau masih ada. Temanku syukurlah. Jangan pergi, tetaplah disini bersamaku, tapi tunggu aku sering melihat kamu tapi lupa di mana? Siapa namamu? Namamu? Ya, namamu? Betul, aku sering melihat kamu. Barangkali di pasar atau di bioskop, atau di sebuah toko kelontong. Entahlah, tapi aku yakin kita sering ketemu, siapa namamu Tuan? Jangan balik bertanya. Aku Tanya siapa namamu? Apa yang sedang engkau kerjakan? Menirukan apa saja yang aku lakukan? Untuk apa? Apa itu perlu? Ah aku ingat sesuatu. Suatu malam seseorang berjubah berkerudung abu-abu berdiri di depanku dan berkata : kamu jadi makhluk kamu sekarang hidup. Kamu kujadikan dari berbagai zat. Tubuhmu terdiri dari unsur-unsur air, udara, tanah, cahaya, dan api. Aku bertanggung jawab penuh pada pertumbuhanmu. Aku yang menciptakan kehidupan yang terlepas dari susunan kehidupan kami, para penguasa langit. Susunan kehidupan yang otonom. Itu terjadi berabad-abad yang lalu. Waktu itu aku sendirian juga berabad-abad lamanya. Sampai aku betul-betul tidak tahan. Siapa yang tahan dijerat sepi? Sendirian tanpa kawan yang biasa diajak berunding sesuatu? Lalu aku meminta pada penciptaku, tuan berkerudung abu-abu yang tidak bisa kulihat wajahnya itu : beri kiranya aku seorang kawan yang akan mendampingiku dalam susah dan senang. Syukur, permintaanku rupanya masuk akal. Aku diberinya satu orang makhluk yang keadaanya berbeda denganku, secara keseluruhan dia lembut. Tapi kami cocok, kalau kami saling peluk untuk mengusir kedinginan malam berbagai getaran aneh menjalar di seluruh tubuh. Dia juga begitu, katanya. Seribu tahun kemudian, baru aku tahu bahwa dia bernama perempuan dan sanggup mengeluarkan makhluk kecil yang serupa dengan kami berdua. Pembiakan, kata orang-orang, anak-anak yang kecil, mungil, lucu-lucu, siapa tidak tertarik pada anak-anak, maka dia itu kanibal. Mulutnya masih merah, lembut dan manis. Mulut mereka baunya wangi seperti kain sutra, aku suka, waktu ibunya masih terbaring istirahat diranjang kuangkat bayinya dan kutimang-timang dalam pelukan.<br />Buyung….buyung, bujukku. Karena dia menangis. Ibunya berteriak-teriak, aku tidak peduli, ah ibunya khawatir aku akan mematahkan tulang punggung bayinya yang masih lembek. Tidak peduli kataku.<br />Hendak kuhibur diriku dengan menyanyikan sebuah lagu. Dan berbaur dengan jeritan-jeritan ibunya aku bernyanyi. (MENYANYI) <br />Kuharap angin gunung<br />Berhembus perlahan<br />Mengusap lembut kulitmu<br /><br />Kudirikan benteng beton<br />Kalau bunyi bersiutan<br />Datang dari padang-padang<br /><br />LAKI-LAKI :<br />Buyung……buyung……kenapa kamu begini lucu. Matamu besar bulat dan penuh harapan memandang padaku. Masa depanmu terang? Rambut jagung……halus. Nafasmu sejuk…….waaaaa……<br />Tidak apa-apa, jangan menangis dulu. Nanti kugantikan popokmu dengan yang bersih biar kau tetap merasa hangat dan tidak masuk angin. Seorang anak mengencingi bapaknya bukankah itu hal yang biasa? Hupa……kalau kau tidak kencing nanti orang mengira kau Cuma boneka plastik. Sudah menghitung satu, orang biasanya hitung-menghitung dua juga, lalu tiga. Istriku membiakkan tiga anak! (PADA LAKI-LAKI DI DEPANNYA)<br />Kamu lihat, semuanya sebetulnya bisa menjadi cerita yang manis, dan selamanya akan manis, bermula manis dan berakhir manis kalau saja tidak ada paksaan-paksaan, penyudutan-penyudutan, keinginan-keinginan mustahil, keserakahan-keserakahan, semua hal-hal buruk. Kalau aku ini seorang penari, aku suka menari, sebutkan macam-macam tarian yang mampu kutarikan, akan kutarikan dengan mulut tersenyum tanda suka hati. Mula-mula memang terjadinya seperti itu. Musik, lalu anggota tubuh kugerakkan menurut irama musik yang sudah ditentukan. Gerakan-gerakannya aku yakin pasti indah. Tapi celaka musik bagus berangsur lenyap berganti dengan bunyi-bunyian aneh nadanya tanpa aturan. Aku berhenti tapi tidak bisa. Aku berusaha menghentikan gerakan-gerakan tariku, tapi tidak bisa. Ada kekuatan aneh yang memaksaku untuk terus menari meski tidak kusukai. Dorongan aneh itu bikin aku terus mengerakkan tubuhku mengikuti musik kacau yang bunyinya makin bising. Aku berteriak, suara tidak keluar, aku berteriak dalam hati, tolong aku mau berhenti – stopkan ! Stopkan! Tolong !!!!!! aku harus terus dan terus hingga hal itu membuatku gila. Sudah pasti gerakan-gerakan tariku tanpa isi karena sama sekali tidak kugerakkan berdasarkan keinginan hati dan jiwa. Aku teriak-teriak, dalam hati. Berhenti, aku belummau mampus. Aku kepayahan! Tolong! Tolong! Tolong Stopkan! Tapi siapa yang sanggup menolong? Kulihat orang-orang sekelilingku juga melakukan hal yang sama. Menarikan tarian-tarian yang belum tentu ingin mereka lakukan. Dunia penuh dengan manusia yang menarikan gerakan-gerakan yang aneh. Dan wajah mereka kelihatan menderita. Barangkali wajahku juga kelihatan seperti wajah orang-orang yang kulihat. Aku menari, menari seperti begini. Begini. Begini terus begini lalu begini kemudian begini dilanjutkan dengan begini. Dan itu kuulangi lagi, kuulangi lagi dengan variasi yang terlalu miskin. Kalau ada kehendak untuk berhenti makin cepat gerakan-gerakan terjadi, akibatnya tulang-tulangku berbunyi menderak-derak, seperti mau patah. Keringat mengucur seras. Dan itulah hidup, kata orang-orang.<br />LAKI-LAKI :<br />Oh, aku betul-betul kurang begitu paham.<br />(MEMANDANG TAJAM PADA PENONTON LALU KALIMATNYA JADI TEGAS)<br />Siapa diantara Tuan-tuan yang pernah menduga bahwa tuan akan dilahirkan pada suatu saat lalu tuan-tuan bersedia dalam keadaan seperti sekarang ini sedang tuan-tuan jalani?<br />Siapa diantara tuan-tuan yang pernah tahu apa tuan-tuan akan dilahirkan sebagai bayi laki-laki atau bayi perempuan? Tidak satu orang pun dan kalau ada yang menyatakan bahwa hal itu sudah pernah diduganya jauh sebelumnya itu artinya dia menduga pada waktu dia masih TIDAK TAHU dimana dan entah jadi TIDAK TAHU maka dia itu dukun palsu. Tinggalkan saja atau kalau perlu rajam dia dengan batu-batu panas. PAUSE<br />Baiklah, tapi hidup sudah berjalan. Hidup. Benar yang barusan kuucapkan? H-i-d-u-p. kita hidup, kamu hidup. Kamu, kamu, aku itu artinya aku bukan batu, bukan patung, bukan kayu, bukan lukisan. Ada darah yang mengalir disela-sela tubuhku disalurkan oleh otot-otot. Ada debaran jantung, ada gerak. Ada pertumbuhan! Kalau aku disakiti, aku akan merasa sakit. Kalau perutku tidak diisi makanan, aku akan lapar. Beberapa hari tidak tidur aku akan jadi mengantuk. Lihat, aku normal. Sama seperti makhluk-makhluk lain sejenisku. Makhluk yang diciptakan oleh tuan berkerudung abu-abu yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya itu. Tusukkan sebilah pisau dilenganku, aku akan kesakitan lalu cabut kembali, darah akan mengalir dan warnanya tidak hijau atau ungu tapi merah. Sama seperti warna darah kebanyakan orang.<br />Lalu mengapa aku harus dipaksa untuk tidak melakukan apa-apa? Karena aku harus berputar dengan wajar, mengikuti keselarasan alam karena hal itu sudah ditentukan sejak berabad-abad yang lain. (MARAH PADA LAKI-LAKI DIDEPANNYA)<br />Jangan coba-coba masa bodoh. Kamu berusaha mencegahku. Kamu yang menyuruhku untuk tenteram ditempatku dan jangan kena pancingan setan-setan. Kamu ya, kamu! Tapi, aku tidak peduli. Nyatanya sudah kujalankan apa yang kupikirkan harus kujalankan dan aku puas. Aku puas. Kau dengar? Aku puas. (MENANGIS)<br />Tak kuduga akibatnya begini. Semuanya meninggalkan aku satu-satu.<br />Teman-temanku, lingkunganku mengucilkanku. Anak-anak kecil lari kalau kedekati. Jangan dekat-dekat dengan pembunuh nanti kau dibunuhnya pula, kata ibu-ibu mereka. Binatang-binatangku juga tidak mau kalau kujamah. Mereka menghindar kalau kudekati.<br />LAKI-LAKI :<br />(TERTAWA LEMAH) yang tinggal Cuma kamu. Kamu sendiri. Heeeo…….dengar aku kan? Aku senang kau masih mengikutiku. Sungguh betul-betul aku hargai. Sekarang ceritakan kesulitan-kesulitan, ceritakan tentang negerimu misalnya. Tentang anjing. Suka anjing? Kau punya anjing? Atau ikan-ikan dalam akuarium? Atau ceritakan tentang kutu-kutu bervitamin. Burung-burung (KESAL) atau tentang peternakan ayam? Atau buaya? (LAKI-LAKI DIDEPANNYA DIAM. MEREKA SALING MENATAP)<br />dari sebelah mana harus kupaksa supaya kau membuka mulut? Naaaaaaaaaahhh…….tapi kenapa tanpa suara? Bisu? He……..berapa umurmu? 35? 35? Ya, kukira sekitar itu, 35 ya?<br />LAKI-LAKI :<br />Aku ingat sekarang siapa kamu. Sehari sebelum kejadian itu, sesudah pertengkaran dengan Su. Kubujuk Su, tinggalkan Su, hentikan semuanya. Su malah marah. Kita mesti hidup katanya. Apa tidak bisa hidup yang wajar, sederhana? kataku padanya.<br />Su lebih marah lagi, matanya membelalak, kamu Cuma bisa melarang jangan begini jangan begitu tapi apa kamu pernah berpikir bagaimana caranya mengatasi kesulitan-kesulitan? Kujelaskan lagi! Aku ingin janji kita dulu, kalau kau melakukan dengan orang-orang yang berbeda tanpa rasa apa-apa masih bisa kupikir-pikir. Tapi Su demi Tuhan jangan biasakan Cuma dengan satu orang. Su makin marah. Dia membayar dengan baik, katanya lalu pergi dengan membanting pintu. Tidak, kataku dalam hati. Mulutnya memang mengatakan itu, tapi kilatan matanya menceritakan pernyataan lain. Rasa panas dan dingin tiba-tiba menyatu dalam tubuhku. Aku juga berdiri seperti sekarang ini, menghadap ke satu arah dan melihat ….. kamu. Lalu pada malam harinya, malam kejadian yang luar biasa sepanjang sejarah hidupku……. Aku juga diam-diam seperti begini, memandang ke satu arah ke satu titik. Dibatasi oleh garis samar kita saling tatap. Niat yang sudah lama terpendam berkobar lagi tanpa mau mencegah. Lagi-lagi mencegah. Kau beritahu lagi tentang keselarasan susunan alam kita yang sudah diatur oleh Tuan berkerudung abu-abu yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya itu. Tapi kamu tidak pernah mempelajari aliran air. Makin dibendung makin berusaha untuk menjebol. <br />Aku menolak! Menentangmu! Melakukan terbalik dengan apa kau ingin kulakukan! Kucari sebilah pisau, dengan gampang kudapat. Ada di peti terselip antara barang-barang antik dari kuningan dan perunggu serta benda-benda tajam lainnya. Kupilih pisau pendek bikinan arab yang bengkok, kuasah hingga tajam. Lalu melangkah menuju gelap tanpa menghiraukan cegahanmu. Langkahmu yang berat terseok mengikuti langkahku, memegangi kakiku. Tapi aku tidak peduli. Jauh dibelakang sana kudengar juga teriakan seseorang mencegah, entah siapa, kutulikan telingaku, kubutakan mata. Aku tidak menengok, kedepan! Ke depan saja melangkahkan kaki. Hancurkan siapa saja.<br />LAKI-LAKI :<br />Yang berusaha menghalangi. Niatku sudah Kendal dan galaknya makin menderu-deru seperti mesin perahu tempel yang siap mendorong ke tujuan mana saja aku ingin. Rasa sakit akibat sayatan silet dikulit dari orang yang kita cintai, satu atau dua mampu kita tahankan. Tiga atau empat mungkin juga masih. Lima atau enam bisa dipikir-pikir untuk dilupa dan dimaafkan atau tidak.<br />Tapi kalau sudah terlampau banyak tidak lagi bisa dihitung? Apa aku bukan manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging dan punya rasa sakit karena kekecewaan?<br />Kukutuk diriku sendiri. Kusebut nama Tuan berkerudung abu-abu yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya maksudku mau minta tolong. Cegah keinginan edan yang sudah menggalak siap kumuntahkan. Tidak ada jawaban Tuan itu, muncul juga tidak. Dan itu malah mengacaukan, tidak membantu menyelesaikan soal!<br />Dalam gelap aku diam. Diamku tak ubahnya seperti diamnya permukaan air dengan arus keras di bawahnya siap menenggelamkan siapa saja. Aku menunggu. Dalam gelap ras-rasanya aku jadi mampu meneliti dengan lebih jelas. Dan dua makhluk lain jenis itu….iblis mereka.<br />Apa yang telah mereka lakukan lakukan di depan mataku? Tidak tanggung-tanggung mereka lakukan untuk bisa saling memuaskan. (RUSUH) kukawini seorang pelacur. Kutunggui waktu dia melacurkan diri. Selalu kutentramkan hatiku karena yakin, yang dia jual Cuma tubuhnya tapi cintanya tetap untukku. Cuma untukku. Tapi yang sekarang terjadi lain. Selama bertahun-tahun aku mampu menelan kejadian-kejadian dengan sabar seperti kesabaran seorang martir. Tapi yang sekarang terjadi lain, apa aku mungkin terus diam. Lalu kau tahu apa yang terjadi kemudian . aku ingat kau ada di dekatku waktu itu. Tubuh enteng terasa melayang. Dua orang di depanku jadi sekecil semut. Tak lagi aku takut pada siapa pun. Su dan laki-laki itu! Berapa orang malam itu jadi korban robekan belatiku di perut mereka? 4? 5? 6? 20? 23? Ketika tugas kuselesaikan tanpa menyesal aku menuju rumah, menemui ketiga anak-anakku. Anak-anak Su. Padahal mereka tidak punya doa apa-apa. Tapi bisakah pikiran yang gelap mempertimbangkan hal itu? Dengan bedil dua loop yang pelurunya mampu menghancurkan kepala seekor badak aku menghabisi semuanya. Entah berapa banyak yang sudah menanam benih di tanah subur milik Su. Benih itu jadi tiga bakal pohon. Malam itu kubongkar semuanya hingga akar-akarnya. Musnah Cuma dalam tiga kali semburan api. Siperusak yang datang tiba-tiba dan menghilang secepatnya! Aku benci Su! Aku benci laki-laki itu. Aku benci anak-anak Su. Aku benci semnuanya. Aku benci diriku sendiri. Rupaku pasti buruk sekali di cermin. Dari kejauhan dengan puas kupandangi rumahku yang mulai runtuh dijilat-jilat lidah api. (DUDUK KECAPAIAN)<br />LAKI-LAKI :<br />Besak aku akan mati. Jangan runtuh pahlawan. Ya, besok aku akan berjalan dengan tegak dan menolak untuk ditutup dengan kain hitam. Akan kutentang mata para penembak itu satu-satu dan sekali lagi menikmati sengatan cahaya matahari sebelum aku mati.<br />Aku akan teriak pada para penembak itu, menganjurkan supaya mereka jangan gentar. Ayo bung cepat lakukan tugasmu. Yang akan kalian tembak adalah seorang pemberani, seorang laki-laki dan pahlawan bagi dirinya sendiri. Dan tembakan berbunyi serentak, sepuluh timah menyengat tubuhku aku akan rubuh sambil tersenyum, ah akhirnya ku masuki juga ruangan besar dengan pintu terbuka lebar-lebar. Aku akan segera tahu apa saja isinya.<br />(PAUSE..BICARA PADA LAKI-LAKI DI DEPANNYA)<br />aku lelah sekarang giliranmu bercerita. (MENUNGGU) kenapa diam saja? Kenapa curang? Tidak menepati janji? Sudah kubukakan semua, kau harus ganti membukakan rahasia-rahasia kita, Cuma kita berdua yang tahu. Rahasia-rahasiamu kubawa mati dan rahasia-rahasiaku tentunya juga kau bawa mati. Kenapa tetap diam? Kenapa tidak mau bicara? Kenapa menatapku seperti itu? (MARAH) kenapa?<br />Kamu curang! Sama seperti Su. Kamu jahanam, sama seperti Su, yang tidak pernah mau melihat orang dan Cuma mau melihat dirinya sendiri saja. Kamu serakah, sama seperti Su, yang ingin tahu isi perut orang lain tapi tidak mau memperlihatkan perut sendiri. Aku tidak butuh kawan seperti itu. Biar kamu pergi meninggalkan aku seperti yang lain-lain. Kamu bangsat, sama seperti Su yang tidak pernah mau memikirkan perasaan orang lain, tidak mau bermanis-manis baik di muka maupun di belakangku. Tatapan menghina. Kamu anjing seperti Su yang makan makanan apa saja yang dijumpainya di jalan-jalan atau di tong-tong sampah. Kamu binatang, sama seperti Su yang mengumbar keinginan apapun tanpa peduli batas-batas. Kamu pelacur, sama seperti Su yang selalu menerima tapi tidak mau memberi.<br />Kamu……kamu….. aku benci kamu. Benci dari ujung rambut sampai ujung kaki. (BERTERIAK DAN HISTERIS) pisauku…….pisauku………mana belati itu. Ini? Belati akan mengakhiri perasaanmu juga (MENGGERAM) belati…….belati……..belati……belati……..belati….<br />(MENUSUK MEMBABI BUTA. KEDENGARAN SUARA KACA PECAH BERKALI-KALI. LAKI-LAKI MAKIN HISTERIS)<br />jangan coba halangi aku Tuan berkerudung abu-abu yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya………….jangan coba halang-halangi aku! Belati………belati………belati……<br />(MULA-MULA LAMPU DI AREA LAKI-LAKI DI DEPAN LAKI-LAKI ITU MATI SEKETIKA. LALU SEMUA LAMPU MATI DAN PANGGUNG JADI GELAP KEMBALI SEPERTI SEMULA. LAKI-LAKI MASIH HISTERIS. LALU DIAM. SADAR BAHWA SEKELILING SUDAH GELAP. DAN IA BERTERIAK BUKAN LANTARAN KEJARAN TAPI LANTARAN KETAKUTAN BERADA DALAM GELAP SENDIRIAN)<br />Jangan pergi……..jangan! jangan pergi! Jangan tinggalkan aku sendirian! Jangan! Jangan aku masih butuh…….masih butuh seseorang disekitarku. Aku butuh….jangan! cahaya! Cahaya! Cahaya! Lampu…cahaya…….aku butuh cahaya…….aku butuh cahaya. Cuma cahaya yang kubutuhkan satu-satunya sekarang. Aku butuh cahaya! Cahaya! Cahaya……cahaya…cahaya……..cahaya.<br />SUARANYA MAKIN LEMAH DAN MAKIN LEMAH HINGGA HILANG. TAPI PANGGUNG TETAP GELAP. TAK SEBERKAS CAHAYAPUN YANG MAMPIR.<br /><br />S E L E S A I<br />JAKARTA, 8 MEI 1977<br />N RIANTIARNO<br /><br />diketik ulang <br />yudi dodokteaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-30785116420402223602008-11-30T07:08:00.000-08:002008-11-30T07:14:52.023-08:00ALFA dan OMEGA<br />Oleh: Sri Bhuana H. D<br /><br /><br /> Di sebuah taman kala bulan mulai menampakkan cahyanya yang agung, duduklah Omega diam dalam keheningannya sendiri. Kemudian datang seseorang di sampingnya saling membelakangi, kemudian mereka saling berbicara<br />1. Omega : “Ruang hampa adalah milikku jangan usik ketentramanku”<br />2. Seseorang 1 : “Aku adalah hampamu “<br />3. Omega : “Kau adalah Eroseku yang tak tergapai “<br />4. Seseorang 1 : “Aku masih Erosemu, ia yang tinggal menetap dalam hatimu “<br />5. Omega : “Apa yang kau inginkan? “<br />6. Seseorang 1 : “Aku tiba-tiba saja teringat padamu “<br />7. Omega : “Sudah habis masamu “<br />8. Seseorang 1 : “Aku adalah hatimu “<br />9. Omega : “Kau adalah lukaku.”<br />10. Seseorang 1 : “ Omega”<br />11. Omega : “ Pergilah<br /> (Seseorang itupun pergi selayaknya angin yang berhembus syahdu) <br />12. Omega : “Aku remuk lagi “<br /> Keadaan kembali hening, kemudian ia membalikkan badannya dan memandang hampa. Lagi-lagi duduk hening, merasakan apa yang ada di sekitarnya, tiap hembusan angin yang beku, tiap suara yang pilu, tiap gerak makhluk yang mulai lelah dalam pencarian yang tak sampai-sampai. Kemudian datanglah pula seseorang di hadapannya ia hanya sekedar lewat dalam angkuh yang dalam dan Omega Hanya mampu terdiam dan memandanginya. Hening sejenak. Sesaat kemudian terdengar alunan musik dansa dari perlahan kemudian menjadi semakin keras namun tetap terdengar lembut, secara perlahan Omega mulai bergerak mengikuti irama di hatinya terus bergerak berjalan, berputar, melenggang, melompat, terus dan terus. Kemudian muncul seseorang 1 dan seseorang 2 datang untuk turut serta berdansa bersama kehidupan mereka sendiri. Dengan perih yang dalam Omega terus menari mengikuti irama hatinya yang semakin lara. Dua pasangan itu terus menari dan saling berganti Pasangan dan Omega masih tetap sendiri.<br /> Selang beberapa saat kemudian muncullah seseorang yang lain. Musikpun berangsur mereda dan pasangan –pasangan yang sedang berdansa satu per satu meninggalkan Omega dengan seseorang itu.<br />13. Omega : “Alfa “<br />14. Seseorang 3 : “Hai Omega “<br />15. Omega : “Sekiranya aku mampu menembus hatimu “<br />16. Seseorang 3 : “Sekiranya hatiku seluas samudera hanya ada satu nama di sana.”<br />17. Omega : “Dan itu bukan aku,tapi aku akan terus di sini untuk menunggu”<br />18. Seseorang 3 : “Jangan menungguku”<br />19. Omega : “Walau terluka aku tetap di sini”<br />20. Seseorang 3 : “Mengertilah, bahwa sekiranya dalam hatiku tertulis nama yang lainpun aku takkan menyentuhnya “<br />21. Omega : “Aku tetap di sini “<br /> Seseorang itupun hanya tertunduk diam dalam kebisuan yang dalam, lalu iapun pergi meninggalkn Omega dalam kehampaannya. Omega berdiri memandang bulan yang semakin menantang kebekuannya (musik mengalun sendu ) Dalam keadaan yang demikian datanglah seseorang (Volt ) dengan perasaan malu-malu mendekat, dengan setengah ragu-ragu ia seseungguhnya ingin memberikan sekuntum bunga mawar yang ia sembunyikan dibalik punggungnya. Tapi kemudian datang pula seseorang yang lain lagi (Rho ) mendekat dan mendahuluinya memberikan sekuntum mawar kepada Omega (musik menjadi romantis ), dengan ragu Omega menyentuh bunga itu, seseorang yang tadi yang menyembunyikan sekuntum mawar merah di balik punggungnya akhirnya mengundurkan diri dari hadapan, tapi secara tidak sengaja Omega melihatnya dan mengurungkan niatnya untuk mengambil bunga itu ( dari Rho )<br />22. Omega : “Volt ( ragu-ragu), apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu itu “<br />23. Seseorang 4 : “Oh, i..ini, ini bukan apa-apa, hanya harapan yang terbang “ ( meremas bunga mawar itu hingga tangannya terluka karena tertusuk durinya )<br />24. Omega : “Volt ? “ (cemas )<br />25. Seseorang 5 : “Kau kenapa Volt ? “<br />26. Seseorang 4 : “Aku tertusuk duri, tapi aku tak apa“<br />27. Omega : “Volt.... “ ( Menahan jengkel,karena sesungguhnya ia telah melihat apa yang dibawa oleh Volt dan yakin bahwa bunga itu untuknya )<br />28. Seseorang 4 : “Omega, sekiranya bunga yang dibawa Rho untukmu, terimalah itu dengan kesungguhan. Rho telah dengan susah payah menghilangkan duri-duri bunga yang sekarang ada di tangannya. Jangan kau tancapkan lagi duri itu ditangkainya ” <br />29. Omega : “Volt, bagaimana mungkin kau berkata begitu,aku tak ingin melukainya. Aku hanya menginginkan bunga itu saja.”<br />30. Seseorang 4 : “Jangan mempermainkan Rho, karena bunga itu sungguh untukmu” <br />31. Seseorang 5 : “Volt..,Omega...” ( Ragu-ragu antara yakin dan tidak bahwa sesungguhnya bunga yang dibawa Volt adalah untuk Omega dan sesungguhnya Omega juga mengiinginkan bunga itu )<br />32. Omega : “Volt kau benar-benar menyebalkan “ ( Memandang Volt dengan penuh kebencian lalu Voltpun pergi )<br />33. Seseorang 5 : “Omega, bunga ini untukmu.”<br />34. Omega : “Betapa indah bunga ini, sekiranya aku boleh memilikinya aku akan sangat berterima kasih.”<br />35. Seseorang 5 : “Sungguhkah bunga ini berkenan di hatimu? Apakah kau sungguh berkenan atas bunga dan hatiku “<br />36. Omega : “Ya aku sangat senang bisa memperoleh kesempatan untuk memiliki bunga ini”<br />37. Seseorang 5 : “Sungguhkah demikian? Kau sungguh berkenan atas bunga itu? “<br />38. Omega : “Ya aku bersungguh-sungguh padamu, sungguh senang hatiku dapat memiliki bunga yang seindah ini,”<br />39. Seseorang 5 : “Apa hanya bunga itu yang kau inginkan dariku?”<br />40. Omega : “Ya, karena bunga ini begitu indah” <br />41. Seseorang 5 : “Sesungguhnya aku ingin kau juga melihat apa yang ada dalam bunga itu”<br />42. Omega ; “Aku hanya melihat bunga ini aku tak melihat apapun selain keindahannya. Tapi sebenarnya apa yang ada dalam bunga ini?”<br />43. Seseorang 5 ; “Apa sungguh kau tidak mengetahuinya?”<br />44. Omega : “Sungguh aku tidak mengetahui apa maksudmu, sejak kau memberikan bunga ini aku hanya melihat betapa bunga ini sangat indah. Maaf kalau boleh aku tau darimana kau memperoleh bunga ini?” ( berpura-pura tidak mengerti )<br />45. Seseorang 5 : “Aku memperolehnya dari Volt. Sesungguhnya bukan hanya keindahan dari bunga itu yang ingin kau memilikinya, tetapi juga hatiku”<br />46. Omega : “ Maaf ?”<br />47. Seseorang 5 : “Tapi jika kau memang hanya menginginkan keindahan bunga itu saja aku akan merelakan hatiku hanyut dalam impianku”<br />48. Omega : “ Rho...? Rho sungguh maafkan aku, aku benar-benar tidak berpikir bahwa hatimulah yang sesungguhnya ingin kau sampaikan padaku bukan bunga ini. Aku hanya terpikat oleh bunga ini sungguh maafkan aku Rho “ (merasa bersalah Karena ia merasa bahwa ia telah mempemainkan perasaan Rho)<br />49. Seseorang 5 : “Sudahlah aku baik-baik saja dengan keadaan ini, setidaknya sekarang aku yakin bahwa bunga itu tidak jatuh pada orang yang salah, terima kasih bahwa kau masih mau peduli tehadap bunga itu karena aku juga menyayanginya meski aku tidak memperolehnya sendiri. Sekiranya kau mau merawatnya dan jangan biarkan ia layu begitu saja, meski aku sangat yakin bahwa bunga itu akan segera kau tinggalkan begitu ia menjadi layu. Dan sekiranya kau tak menginginkannya lagi kumohon jangan kau sia-siakan dia begitu saja, paling tidak sudilah kiranya kau merawat sisa hidupnya dalam kenanganmu. Tapi itupun bila....”<br />50. Omega : “Ya aku akan selalu merawatnya walaupun apa yang akan terjadi nantinya,. Aku akan selalu berusaha untuk menjadi perawat yang terbaik baginya. Percayalah padaku.”<br />51. Seseorang 5 : “Terima kasih kau masih mau peduli pada apa yang kuberikan padamu. Terima kasih untuk setiap waktumu yang kau berikan padaku saat ini. Aku akan pergi,terima kasih untuk setiap kenangan ini aku sangat sayang padamu Omega”<br />52. Omega : “Rho...”<br />53. Seseorang 5 : “Aku pergi omega. Tapi sebelum ku pergi katakan sejujurnya padaku, apa kau juga menginginkan keindahan dari bunga yang dibawa oelh Volt ?”<br />54. Omega : “Apa maksudmu,kenapa kau berkata seperti itu? “ ( pura-pura bodoh )<br />55. Seseorang 5 : “Sekiranya ia membawa sekuntum bunga ia takkan memberikannya padamu karena pemilik dari taman bunga itu hanya ada satu orang saja dan dia adalah saudaraku. Jadi komuhon jangan pernah menginginkanya lagi”<br />56. Omega : “Aku telah mengetahuinya sejak awal mula bertemu dengannya, bagaimana mungkin seorang penjaga taman tak memiliki sebuah taman yang penuh bunga untuk dirawat. Dan aku juga tau bahwa ia adalah seorang pekerja yang setia pada tuannya. Sungguh jahatnya aku bila aku sampai merusak keindahan dari pemandangan taman itu.” (Sesumgguhnya ia sangat terkejut karena ia baru mengetahui tentang berita itu sekarang, dan akhirnya ia terpaksa berbohong lagi untuk menutupi luka yang baru saja tertoreh di hatinya )<br />57. Seseorang 5 : “Kau telah bohong padaku, katakanlah sejujurnya padaku, sungguh aku takkan terluka oleh pengakuanmu”<br />58. Omega : “Aku telah mengatakannya padamu,sungguh percayalah padaku. Karena masih ada Erose di hatiku dia yang mengetahui bahwa aku telah merawat sekuntum bunga abadi untuk ku persembahkan kepadanya tapi sepertinya ia tak pernah mempedulikanku. Dia yang telah menorehkan luka di hatiku untuk yang pertama kalinya, dan sampai saat ini luka itu masih terasa sakit,sakit yang meninggalkan kehampaan di dalamnya. Tapi bagiku luka itu sebegitu indah dan hampanya bagiku sehingga aku takkan sanggup melupakannya.” ( kembali ia merasa bersalah karena kebohongannya ) <br />59. Seseorang 5 : “Sebegitu berartinyakah Erose bagimu? Sehingga kau taksanggup melupakannya.”<br />60. Omega : “Karena ia adalah pemilik dari taman bungaku yang pertama, dia yang membuat aku belajar bagaimana memelihara bunga agar ia mekar dengan indah di taman”<br />61. Seseorang 5 : “Apa kau tau betapa saudaraku sangat menyayanginya, mereka begitu menyayangi satu sama lain.”<br />62. Omega : “Sudah seharusnya seperti itukan? Sekarang katakan padaku akan pergi kemana dirimu dan kapankah kau akan kembali?”<br />63. Seseorang 5 : “Aku tak tau kapan aku akan kembali aku pasti akan sangat merindukanmu. Terima kasih atas kenangan yang indah ini, selamat tinggal Omega. “(perlahan pergi meninggalkan Omega sendiri lagi )<br />64. Omega : “Rho....”<br /> Keadaan kembali sepi seperti sediakala,dengan segumpal perasaan yang sudah tak asing lagi baginya. Kembali ia duduk dalam kediamannya, hening sejenak, membeku dalam pergumulan di pikirannya sendiri. Terus seperti itu ia terpuruk dalam pikirannya sendiri,tanpa ada yang mengetahui sebenernya apa yang sedang dikerjakannya. Ia hanya terus diam dan tenggelam dalam dunianya sendiri. <br />65. Omega 1 : “ Apa yang kau dapat dari semua ini ? Hanya kelelahan sajakan? Lalu kenapa kau masih saja menjalaninya? Menagapa kau menipunya? Kenapa kau tipu mereka? Kau benar-benar bodoh Omega!”<br />66. Omega : “ Aku tidak bodoh,aku hanya meginginkan Volt, tapi selalu saja begini jadinya. Mengapa setiap orang yang ku sukai selalu saja telah memiliki kehidupannya sendiri,apa aku sebegitu tidak pantasnyakah untuk mencintai seseorang ?”<br />67. Omega 1 : “ Untuk apa kau menginginkan Volt ? Apa yang ingin kau dapatkan darinya ?”<br />68. Omega : “ Aku hanya ingin dilindungi, aku hanya ingin selalu merasa aman karena selalu ada seseorang milikikku yang selalu mendampingiku. Aku hanya ingin merasa tak sendiri lagi ?”<br />69. Omega 1 “ Kau tak pernah sendirian Omega selalu ada banyak orang yang melindungi mu, selalu ada benyak orang yang menyayangimu selalu ada.....”<br />70. Omega : “ Itu semua tak cukup bagiku, tak pernah cukup. Kau bahkan tau bagaimana sesungguhnya diriku. Aku ingin melepaskan kelelahanku, aku ingin istirahat, aku hanya ingin ada seseorang tempatku bersandar, tempat dimana aku merasa damai tempat dimana aku tak perlu lagi memakai topeng, tempat dimana...”<br />71. Omega 1 : “ Selalu ada tempat seperti itu di sini, meski tanpa seorang Volt yang telah dimilii oleh orang lain, tanpa seorang Erose yang entah bagaimana sekarang keadaannya, dan tanpa seorang Alfa yang bahkan sama sekali tidak mempedulikanmu. Selalu ada tempat yang damai bagimu Omega .”<br />72. Omega : “ Tidak, tidak ada tempat seperti itu di sini, karena aku selalu ingin menjadi lebih kuat dari mereka agar aku menjadi lebih berarti bagi mereka, agar aku bisa menjadi sandaran yang kokoh bagi setiap kelelahan mereka. Ketika aku sendiripun sesungguhnya telah lelah, aku takkan bisa bersandar pada mereka, karena aku selalu ingin lebih kuat dari mereka, aku tak ingin mereka melihatku dalam keadaan yang sangat payah, karena bila itu terjadi, mereka pasti juga akan menjadi payah.”<br />73. Omega 1 : “ Tapi kenapa aku tak pernah melihatmu lebih kuat dari yang lain ? Kau bahkan tak mampu memperlihatkan kekuatanmu yang sesungguhnya ?”<br />74. Omega : “ Karena sesungguhnya aku ini memang sangat lemah. Omega mengertilah aku, aku lelah dengan perisai ini, ini terlalu berat utkku, aku ingin segera melepaskannya. Aku ingin segera melepaskan beban ini dan bersandar di bahu Volt”<br />75. Omega 1 : “ Bila memang demikian adanya mengapa kau memilih orang-orang yang tak mungkin untuk kau miliki,seperti Erose, Jaques, Volt,dan Alfa. Kenapa kau tidak memilih Rho yang jelas-jelas menginginkanmu?”<br />76. Omega : “ Karena aku tak menginginkannya. Karena aku hanya menginginkan mereka, karena Erose adalah pria pertama yang mampu mencuri hatiku, karena Jaques adalah seseorang yang mampu menenggelamkanku dalam kedalaman matanya yang beku, karena Volt telah berhasil menarik perhatianku hanya dengan sikap manisnya yang sederhana dan karena Alfa telah berhasil mencuri setiap pikiran yang dengan susah payah ku sembunyikan.dan karena mereka telah berhasil membuatku terluka parah dan melemah dengan mudahnya”<br />77. Omega 1 : “ Lalu bagaimana dengan yang lain jika kau hanya memilih Volt, dan apakah benar Volt adalah orang yang akan kau percayai bebanmu ? Atau karena dia menarik ? atau karena kau memang sungguh-sungguh dengannya?”<br />78. Omega : “ Aku tak tau, aku hanya menginginkannya saja”<br />79. Omega 1 : “ Lalu bagaimana dengan Alfa, atau Erose, atau...”<br />80. Omega : “ Aku tak tau, saat inipun Aku masih menginginkan mereka “<br />81. Omega 1 : “ Kau harus memilih salah satu “<br />82. Omega : “ Aku ...”<br />83. Volt : “ Omega, kenapa kau ragu?”<br />84. Omega : “ Volt kau...”<br />85. Volt : “ Aku Erosemu*, Omega,seseorang yang telah berhasil mendatangkan musim bunga di musim dingin yang beku di hatimu”<br />86. Omega : “ Volt, kau adalah kau, kau bukan Erose,”<br />87. Volt : “Aku adalah Erose mu”<br />88. Omega : “ Jika kau Erose ku, dimana Volt?”<br />89. Alfa : “ Aku disini Omega”<br />90. Omega dan Omega 1 : “ Alfa! “<br />91. Omega 1 : “ Ada sesuatu yang tidak beres terjadi disini, Omega katakan apa yang sesungguhnya sedang terjadi di sini?”<br />92. Omega : “Aku tak tau apa yang sesungguhnya sedang terjadi ( Kepada Omega 1 ). Alfa apa yang sesungguhnya sedang terjadi, kenapa Volt menjadi Erose, Alfa menjadi Volt, dan ....”<br />93. Alfa : “ Aku adalah Volt*, seseorang yang selalu membuatmu berdebar-debar, tanpa kejelasan.”<br />94. Omega 1 : “ Omega kau bahkan menyembunyikan sesuatu dari diriku yang adalah dirimu. Apa yang membutmu sebegitu ragunya sehingga tak lagi bisa membedakan mana yang Volt,mana yang Erose mana yang Alfa? Sekarang tentukan pilihanmu Omega, siapa yang sesungguhnya kau inginkan dalam hatimu!”<br />95. Omega : “ Diamlah Omega aku benar-benar tak lagi bisa membedakan mereka satu dengan yang lainnya.”<br />96. Erose : “ Erose, Alfa, ataupun Volt hanyalah sebutan belaka. Arti sesungguhnya bagi hatimu adalah mereka yang sedang mengaku dihadapanmu. Omega, Aku adalah Alfamu*.Seseorang yang pertama kali ada di hatimu dan akan kekal hingga masa yang tak terhingga.”<br />97. Omega : “ Erose...., ya Erose ternyata kau memang Alfa, meski tiada tampak lagi hadirmu di sini.”(Erose pun memeluk Omega dan pergi dengan tinggalkan tetes-tetes kebahagiaan di mata Omega )<br />98. Omega 1 : “ Omega !! Apa yang kau lakukan?!”<br />99. Omega : “ Aku sudah memutuskannya Omega, ya sekarang telah jelaslah bagiku, bahwa sesungguhnya Erose adalah Alfa, seseorang yang kedudukannya takkan sanggup tergantikan oleh siapapun, meski ia kini telah pergi aku tetap percaya ada tempat yang indah di hatinya untuk kusinggahi.Dan tentang Volt ia akan tetap menjadi seseorang yang inign kumiliki. Dan Alfa, ia pun akan tetap ada di hatiku.”<br />100. Omega 1 : “Omega!!!!”<br /><br />SELESAI<br /><br /><br />Keterangan :<br />Alfa* :Alfa adalah awal, bahwa ia adalah seseorang yang menjadi kisah pertama yang tak terlupakan.<br />Erose* :Erose adalah cinta,bahwa erose hanyalah sebutan untuk menyebut seseorang yang membuat tergili-gila karena cinta.<br />Volt* : Volt adalah tegangan, bahwa volt hanya sebutan untuk seseorang yang mampu membuat berdebar-debar setiap kehadirannya<br />Erose, Alfa, dan Volt yang gak pakai tanda * adalah nama tokoh<br /> <br /><br /><br />Akhirnya selesai pada:<br /><br />Jumat,21/12/07<br />Di Ruang Komputer KELOMPOK PERON SURAKARTA<br />Pada saat sebagian orang pada latian, sebagian buat setingan, mas dodok gitaran,aku mung nggarap naskah iki. Padahal aku seksi perkap seting ning malah ra ngopo2 he100xteaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-54803134627255322332008-11-30T07:07:00.000-08:002008-11-30T07:08:05.238-08:00GOL<br />Monolog : Dadi Reza Pujiadi<br /><br />BABAK 1<br /><br />(RUMAH KELUARGA SEDERHANA. RUANGAN BERISI MEJA ROTAN DAN KURSI. ADA MEJA MAKAN UKURAN KECIL. TAPI MEJA MAKAN ITU JUSTRU JADI TEMPAT TUMPUKAN PAKAIAN. KELIHATAN MUG DAN BEBERAPA GELAS. ISTRI SEDANG MENGAYUNKAN KAIN YANG DIGANTUNG DI VENTILASI. TEMPAT BEYINYA TERTIDUR. WAJAHNYA GELISAH. ISTRI BERANJAK, INGIN MENENGOK LUAR LEWAT JENDELA. TERDENGAR SUARA BAYI MENANGIS. ISTYRI KEMBALI. MENIDURKAN BAYINYA)<br /><br />ISTRI<br />Di depan sepi, sepi sekali. Tidak kelihatan siapa-siapa. Jadi apa yang ditakuti? Jadi Asmuni itu itu tidak bisa dipercaya. Lagi, percaya sekali abang dengan omongan Asmuni. Abang kan tahu mata Asmuni sudah rabun. Bisa saja Asmuni salah lihat. Barangkali bukan orang itu.<br />(MELIHAT SESUATU)<br />Tunggu dulu! Jangan keluar dulu! Jangan keluar dulu! Jangan-jangan ini dia. Potongannya bagaimana? Tinggi besar? Bagaimana wajahnya? Sebentar, sebentar. Oh tidak, yuh dia lurus saja. Kalau orang itu cari abang, dia pasti ke sini.<br />(KEMBALI KE PINTU. BICARA PADA ORANG DI DALAM)<br />Abang? Kok jadi abang ngeper? Eh eh eh… jangan pake sarung itu. Kolong itu kan kotor. Apa sih seremnya orang itu? Sampai abang ketakutan begitu?berapa sering dia temuin abang? Jadi dia sering dating ke pangkalan ojek? Temuin abang? Bujuk-bujuk! Si Wati pernah lihat tidak? Dia kan jualan di pangkalan. Kutukupret! Kok Wati tidak pernah cerita.<br />Abang juga keterlaluan badut. Terlalu sopan. Terlalu baik. Sama semua orang. Tiding pandang kenal atau tidak. Biar kerjaannya Cuma tukang ojek. Tapi jiwa sosialnya tinggi. Selalu tidak enak kan. Mudah jatuh kasihan. <br />Jadi, orang sering ambil untung dari sifat abang, gampang manfaatin kelemahan abang. Semua orang ingin dibantu.<br />Sekali-kali bilang “yidak” kenapa. Malah perlu. Apalagi sekarang abang lagi pegang banyak uang. Uang orang. Tanggungjawabnya besar. Abang harus hati-hati. Harus waspada.<br />Semua orang tahu, siapa itu bang Iban, Bendahara GOL. GOL itu singkatan dari Grup ojek liang batu. Grup ojek yang anggotanya paling banyak dan pemasukannya paling besar di kampong ini. Cuma GOL saja yang mempunyai koperasi. Banyak yang bilang karena abang lugu, hatinya bersih.<br />Sekarang abang jadi Bendara. Abang pernah menjadi ketua GOL. Empat periode bertutrut-turut.<br />(ISTRI MELIPAT-LIPAT PAKAIAN)<br />Tapi sudah dating Pak Ramli, abang tidak pernah lagi naik jadi ketua. Tetapi abang yang dipercaya pegang duit tabungan tukang ojek. Semua kawan-kawannya hanya percaya, kalau soal duit jangan berikan yang lain. Harus abang Iban yang pegang.<br />Sekarang abang dipercaya mencari lima puluh motor baru, untuk para tukang ojek. Nah, karena kepercayaan in, persoalan dating. Abang kenal orang itu. Calo. Begundal yang sekarang selalu bikin takut abang. <br />Seperti apa orangnya? Mana saya tahu. Saya kan tidak pernah ke pangkalan. Yang pasti, abang bisa lari terbirit-birit bila dengar siapa saja cerita orang itu. Dan hari ini, kabar itu datangnya dari Asmuni. Aku lihat abang lari ketakutan. Blengak-blengok seperti anak babi kesasar. Apa saja ditabrak. Lalu masuk ke dalam kamar.<br />Saya dengar dari mulut ke mulut, abang pernah sesumbar kepada semua anggota ojek, abang pernah janji dengan orang itu. Janji apa? Apa benar bang Iban pernah berjanji? Jangan-jangn abang yang undang dia datang ke rumah ini. Tapi abang memang tidak mau bertemu. Jadi abang sembunyi? Sekarang abang ada di dalam. Sembunyi, di bawah tempat tidur. Malah kalau tidak saya larang, tadi dia sempat mau masuk ke lemari.<br />Saya sedih, kok bisa jadi begini. Padahal saya sudah bilang. Sudah saya ingatkan. Jangan takut! Abang kan tidak salah? Memangnya abang habis malingin rumah orang itu? Abang punya hutang sama dia? Lah kan bukan. Kenapa harus takut. Kita hanya boleh takut sama yang di atas. Yang kasih kita napas. Yang kasih hidup dan pelihara kita. Hadapi dia! Hadapin! Tanya, kapan saya pernah berjanji sama kamu? Kenapa kamu selalu bikin takut saya? Keturunan setan belang ya? Punya uka-uka ya?<br />Kalau abang sembunyi. Ngumpet. Mana selesai masalahnya. Malah berabe kalau orang itu tahu abang takut. Orang itu malah menganggap dirinya menang. Wah repot, kalau-kalau kita membiarkan orang yang ingin memanfaatkan kita, berada di atas angin. Bisa berbuat semaunya. Siap-siap habis itu kita diinjek, diplintir, dilipat-lipat. Abang tidak maukan?<br />Saya bukan menakut-nakuti abang. Justru saya ingin menolong abang. Apa benar orang itu ajak abang kongkalikong? Ajak kerjasama? Abang tidak maukan? Bilang terus terang, semua pengurus dan anggota sudah sepakat, tidak mau membeli motornya. Tidak selera.lagipula kita tidak mau berurusan denga calo. Kita hanya percaya pada sumber yang jelas. Kan beres! Habis itu juga dia bengkok, kapok kejar-kejar lagi. <br />Kalau dia masih. Itu namanya pemaksaan. Laporkan ke pak Ramli! Beliau kan ketua GOL. Anggota koramil yang bekingin grup, biar pak Ramli yang urus. Jadi abang tidak perlu main umpet-umpetan sama orang itu. Tapi abang malah ngelak. Habis bagaimana, Tin? Justru pak Ramli yang suruh orang itu datang ke rumah, temuin abang. Oh, jadi salah dong saya, saya masih berpikir abang yang undang itu calo kemari. Pak Ramli memang keterlaluan. Dia kira kalau namanya sudah disebut, orang langsung takut, langsung mengiyakan. Memangnya dia Undang-Undang Dasar apa? Kita bisa setuju tawaran itu calo, kalau semua juga setuju.<br />(KE PINTU KAMAR)<br />Atau abang ninta mundur saja jadi bendahara. Bagaimana? Minta orang lain menggantikan abang! Biar pengganti abang yang anbil urusan ini. Biar ada yang rasain pusing seperti kita. Yang penting bukan abang lagi yang pegang itu duit tabungan. Kalau duit itu orang lain yang apa-apakan, abang tidak perlu tanggungjawab.<br />Atau serahkan saja semua duitnya ke pak Ramli. Senang benar bikin susah orang. Dia memang urat malunya sudah hilang. Rakus sekali sama yang namanya duit, sama komisi. Padahal gaji bulanannya kan ada. Masak masih pungutin rejeki orang kecil. Lagi pula apa sih jasa pak Ramli sama pangkalan. Ikut mendirikan tidak. Merasakan susahnya cari langganan juga tidak. Apalagi berebutan penumpang. Datang-datang langsung menclok. Clok!<br />Pakai sesumbar banyak teman polisi segala, bisa melindungilah. Akhirnya diangkat dia jadi ketua, maksudnya untuk pelindung pangkalan dari pungli. Dari polisi-polisi nakal. Pelindung apaan? Tuh tukang ojek ketangkep polisi mah ketangkep aja. Malah ada polisi yang sering ke pangkalan, minta duit kopi, duit rokok, tapi masih tega tahan motor teman-temannya bang Iban. <br />Waktu Juki bawa penumpang terus jatuh ke comberan. Si Juki juga ditahan. Dibilang pelanggaran. Padahal Juki ama penumpang tidak apa-apa. Dasar polisi raja tega! Berapa kali tukang ojek ketangkep, tapi pak Ramli, mana pernah dia tolong. Setiap dibutuhkan, didatang ke rumahnya tidak pernah ada. Ditelpon ke HP-nya Cuma bilang iya-iya nanti diurus. Alasannya lagi tugaslah. Padahal hamper semua orang lihat dia, kerja sambilan kawal cab eke pasar induk.<br />Giliran tugasnya off, pas ada masalah ditunggu, tidak muncul-muncul. Datang kalau motornya sudah diurus bang Iban. Ujung-ujungnya, tetap aja kita yang bayar denda, keluarin uang kas. Terus dia datang, bilang sudah temuin itu polisi, katanya polisi minta tambah biaya inilah, biaya itulah. Pokoknya alasannya macam-macam. Pintar banget ngomongnya. Padahal waktu sama bang Iban, polisi diam saja, tidak omong apa-apa. Terpaksa bang Iban kasih berapa pak Ramli minta. Bang Iban mana berani sama Koramil. Sembrono! Sekali dicium pakai larsnya, bisa ngejoprak, lumpuh. Tidak bisa ngojek. Tidak ada duit untuk beli makan, beli susu saeful. Terus beli pakai apa? Pakai daun? <br />Kalau begitu mendingan tidak ada yang melindungin. Boro-boro bisa kredit motor baru lagi, Cuma jadi cita-cita doang. Giliran duitnya sudah kumpul, datang masalah baru lagi. Calo kredit motor. Calo itu menawarkan kredit murah. Sayang, motornya afkiran, alias rijek. Motor sampah. Memang sih, masih kelihatan baru. Dan kalau bang Iban mau, untungnya bisa berlipat-lipat. Tapi besok-besok anggota juga yang kena susah. Jadi mana bang Iban mau. Bang Iban lebih mementingkan cinta dan hati nuraninya. Lagipula tukang ojek yang ikut kredit, sebagian besar masih hubungan saudara dengan saya. Kalau bang Iban lecehin mereka. Sama juga lecehin keluarga besar saya. Sama juga templokin taik ke muka sndiri dong. <br />Memang kita miskin. Kita kere. Tetapi kita juga tidak semuanya, mau menghalalkan segala cara untuk tujuan hidup. Banyak juga yang baik, yang mau jadi baik. Tidak jambret lagi, tidak nyolong ayam lagi, tapi jadi tukang ojek. Contohnya seperti anggotanya GOL. Bisa nabung, bisa punya duit. Tapi kere pegang duit, tidak pegang duit tetap saja susah.<br />(DUDUK)<br />Pak Ramli bajingan! Adanya Cuma bikin susah orang. Makanya saya tidak pernah percaya pak Ramli kasih uang timer bulanan ke polisi. Paling dimakan sendiri. Soalnya polisi masih tetap saja ke pangkalan, minta jatah. Kena bang Iban sama semua orang pangkalan, diakalin. Digoblokin.<br />(SEPI)<br />Kok lama sih, Bang? Kalau tahu begini lebih baik tadi abang ngojek dulu. Bisa dapat dua-tiga rit kan lumayan.<br />(TIDAK ADA JAWABAN)<br />Kok dia belum datang juga? Paling abang diberakin sama Asmuni. Bagaimana sih, masa Bendahara dibohongin terus sama anggota.<br />(TERTAWA. SEPI)<br />Bang! Bang Iban?!<br />(TIDAK ADA JAWABAN)<br />Dengar tidak sih saya panggil? Masya Allah. Ini masih suara saya Bang! Jangan sampai ketakutan bgitu!<br />(TIDAK ADA JAWABAN LAGI)<br />Tuh lihat! Jawab panggilan aja tidak berani.<br />(KEDENGARAN SUARA BENDA-BENDA JATUH)<br />ISTRI<br />Ya Tuhan! Pasti dia masuk ke lemari!<br />(SUARA BENDA-BENDA JATUH MAKIN BANYAK. SUARA KALENG, SENDOK, PIRING. SUARA BAYI SAEFUL MENANGIS. ISTRI MASUK KE DALAM)<br />ISTRI<br />Abang… abang hancur semuanya Bang! Mau sembunyi gedebrak-gedebruk begitu. Kaya kucing garong ketanggor mau nyolong dendeng. Lemari itu isinya sudah full, mau masuk ke mana lagi?<br />(SEPI. NAYI MASIH MENANGIS. ISTRI MENGGENDONG BAYI. MEMASUKKAN DOT KE MULUT BAYINYA. BAYI BERHENTI MENANGIS. ADA SUARA PINTU DIGEDOR)<br />ISTRI<br />Ya… siapa? Tunggu sebentar.<br />(MASUK KE DALAM KAMAR. CEPAT-CEPAT KELUAR LAGI. SUARA GEDORAN MAKIN KENCANG. WAJAH ISTRI KHAWATIR. SUARA LAKI-LAKI BERTERIAK, MINTA DIBUKAKAN PINTU.)<br />ISTRI<br />Calo ya? Calo? Cari Bang Iban? Dia tidak di sini! Saya sendirian di rumah ini. Ya?<br />Kelakuan luh kaya anjing! Dasar tukang mabok! Rumah sepetak aja masuk pakai gedor pintu segala. Bin jantung orang mau ambrol. Gua laporin hansip tahu rasa luh… Tatit. Tit. Marhasan beler lagi ya? Mau siksa lu lagi? Mau bandem badan lu? Dasar tukang mabok!<br /><br />(SUARA TETANGGA PEREMPUAN MEMAKI-MAKI SUAMINYA. SUARA AMUK SANG SUAMI. TETANGGA RIBUT BESAR. ISTRI GELISAH. MELONGOK KELUAR. LALU DUDUK DI KURSI. BERDIRI. MELONGOK KELUAR LAGI. MONDAR-MANDIR. ISTRI MENEKAN TOMBOL. LAMPU MENYALA, REDUP. SUARA MARHASAN MENGAMUK. SUARA BAYI MENANGIS. ISTRI MASUK KAMAR. LAMPU BERUBAH.)<br /><br /><br />BABAK II<br /><br />(PANGGUNG GELAP. ISTRI IN. MEMBAWA SENTER. MENUNTUN KANTONG PLASTIK BERISI MAKANAN.)<br /><br />ISTRI<br />Bang Iban… Bang Iban… Abang masih di sana? Apa masih begitu? Mendengar tidak mau melihat, melihat tidak mau menatap? Tambah gelap. Bang Iban terlalu. Ketakutannya terhadap orang itu membuat pikirannya terpojok ke dalam ke-tidakmasuk-akalan. Terang. Bang Iban jadi takut dengan terang. Dengan cahaya. Bang Iban hanya percaya pada gelap. Sebab katanya, saat tidak ada yang terlihat. Dirinya merasa lebih damai, lebih aman. Tidak satupun ingin dilihatnya menyala. Di dalam lemari saja dia. Makan? Ya tetap makan. Ini saya bawakan. Memangnya dia kuat tidak makan. Orang setan saja makan kok. Matikan lampu-lampu. Jendela biarkan terus tertutup. Biar siang, biar mala. Rumah ini harus lebih gelap dari gua. Harus lebih sepi dari puncak gunung. <br />Sudah seminggu, saeful terpaksa saya ungsikan di rumah orang tua saya. Saya pun lebih banyak berada mengurus saeful. Bang Iban baik-baik saja. Cuma masih berumah di dalam lemari. Saya disuruh rahasiakan semua ini. Banyak teman-temannya bertanya tentang bang Iban. Saya jawab aja sebisanya. Mereka kebanyakan percaya begitu saja dengan jawaban-jawaban saya. Ah. Tiba-tiba kok saya jadi takut. Benar loh, sungguh! Hati saya jadi dagdigdug.<br />(MEMEGANG DADANYA)<br />Hiawata! Ini apa ya? Benar takut ini. Takut ini. Mungkin kekhawatiran berlebihan terhadap suami saya membawa jiwa saya ke dalam perasaan suami saya. Calo itu saya lihat tadi. Sedang bicara dengan pak Ramli. Tapi apa ia dia? Hii. Tampangnya seram juga. Pantas bang Iban ketakutan. Bicara apa mereka tadi. Jangan-jangan merencanakan niat mau kemari. Bisa saja mereka tidak percaya dengan saya. Lalu mau menyelidiki. Lalu… Ah! Buat apa takut.<br />(MENENANGKAN HATINYA SENDIRI)<br />Saya sudah mengalami ketakutan yang lebih dari ini. Apa? Waktu ingin melahirkan. Itu yang paling menakutkan.walau akhirnya ketakutan itu saya tertawakan. Lah iya. Jadi? Kenapa dengan masalah kecil ini jadi takut.? Biarin bang Iban takut. Tapi saya harus berani. Harus ada orang berani di dekat orang yang takut. <br />Bang Iban! Bang Iban tidak perlu keluar! Terus saja takut! Kalau orang itu benar-benar datang sekarang, biar Tini yang hadapin. Bang Iban lihat apa yang nanti Tini lakukan. Jangan keluar Bang! Tetap di dalam lemari!<br /><br />(SUARA GEDORAN DI PINTU. KERAS. MEMAKSA. ISTRI KETAKUTAN.)<br /><br />Abang, apa perlu kita teriak-teriak panggil polisi? Tolong saya mau dibunuh. Saya mau diperkosa.<br /><br />(JERITAN KESAKITAN. SUARA SEPATU-SEPATU BERLARIAN. SUARA LETUSAN SENJATA API. SEPI.)<br /><br />Siapa? Marhasan mabok lagi ya? Atau intel yang mau tangkap marhasan? Salah masuk pak! Kamar satunya. Cari aja laki-laki yang mulutnya bau spirtus. Itu pasti dia.<br /><br />(SUARA WANITA MENANGIS)<br />ISTRI<br />Tit. Tatit. Kenapa? Benar ya Marhasan ditembak intel. Kok bisa ditembak? Memang salahnya apa? Memangnya salah cari duit di jalan? Kalau tidak di situ di mana lagi? Memang masih ada ruang? Masih ada kesempatan?<br /><br />(GEDORAN PINTU LAGI. ISTRI BERDIRI. WAJAHNYA GELISAH, TAPI DISEMBUNYIKAN.)<br /><br /><br />ISTRI<br />Ini pasti dia. Pasti dia. Masuk! Masuk! Pintu rumah ini tidak dikunci. Dorong aja sedikit. Bang Iban, saya rasa kita tidak perlu lapor polisi?<br />(GELISAH DAN TAKUT)<br />Anda cari siapa? Suami saya? Baik. Silahkan duduk! Tunggu sebentar!<br />(MAU MASUK KAMAR. KEMUDIAN TIDAK JADI. HANYA BERDIRI DI DEPAN PINTU.)<br /><br />Sebagai tuan rumah yang baik, saya harus menawarkan minum pada anda. Tanu saya. Mau minum apa? Kopi? Teh? Atau air putih?<br />(ISTRI KE MEJA MAKAN. MENUANG AIR PUTIH.)<br /><br />Silahkan diminum! Oh saya lupa. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Tini. Istri orang yang sedang anda cari. Asal anda, dari mana/ bang Iban tidak pernah cerita, kalau yang datang hari ini, seorang perempuan. Ah, saya harus panggil apa? Sus? Non? Anda bilang apa tadi? Anda orang jawa ya? Berapa? Tiga puluh? Kok masih tampak muda? Cantik lagi. Terus saya panggil mbak? Bukan mbak. Oh Jeng lebih bagus, lebih terhormat. Jeng…. Nama Jeng siapa? Ah, cukup Jeng saja. Tidak perlu panggil nama segala kan? Bagaimana? Baik. Saya panggil Jeng, Jeng. Jeng mau apa? Masalah kredit motor itu. Dan juga harga yang menurut Jeng bisa lebih murah, itu menarik. Jeng tahu? Ide itu pernah saya lontarkan kepada suami saya…<br />Kenal suami saya?<br /><br />(MENGELUARKAN KACA)<br /><br />Coba lihat di kaca, muka kita sama.<br /><br />(ISTRI TERUS MENGOCEH. MENGOCEH APA SAJA. SEPERTI BERTEMU KEMBALI DENGAN SAHABAT LAMANYA. SATU-PERSATU LAMPU MENYALA TERANG.)teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-74774214070659923562008-11-30T07:06:00.000-08:002008-11-30T07:07:28.268-08:00A L I B I<br />S. Jai<br /><br /><br /><br />Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat.<br />Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi.<br /><br /><br />MALAM HARI. PANGGUNG SISI KANAN SEBELAH BELAKANG ADA LUKISAN BESAR. BEGITU BESAR MENYERUPAI LAYAR. BEBERAPA GEDEBOK PISANG. TANAH ATAU JERAMI ATAU APA SAJA. DI ATASNYA SESEORANG TIDUR TELUNGKUP DENGAN POSISI SEPERTI BARU JATUH DARI LANGIT. MENGGENGGAM SEBENTUK GUNUNGAN. PANGGUNG SISI KIRI ADA MEJA DAN KURSI MALAS. SEPASANG SEPATU. BEBERAPA BAJU TERGANTUNG DI KAPSTOK DEKAT PINTU. BERSERAKAN KERTAS DAN BUKU. SEBUAH BOLA.<br /><br /><br /><br />BAGIAN PERTAMA<br /><br />LAMPU FADE IN PANGGUNG KANAN. SUASANA TEGANG MENCEKAM. SESEORANG MEMAINKAN SEBENTUK GUNUNGAN. GEMURUH BADAI. GELORA SAMUDERA. SULUK AMUK. SENANDUNG MERONTA.<br /><br />SESEORANG: (SULUK AMUK) Sesungguhnya aku lahir bukan untuk mengenal kebencian. Tapi sekarang justru kebencian tidak bisa begitu saja aku benci untuk kubicarakan. Begitu aku membencinya kebencian itu, aku malah tersiksa dibuatnya. Aku menjadi sulit tidur karena terus memikirkannya. Bukan karena kusengaja, tapi ia menyerobot masuk dalam alam pikiranku dalam otakku. Tanpa permisi.<br />SESEORANG: Masuk! Masuk! Cepat masuk. Hei! Yang di kamar semua keluar. Tutup pintu kuat-kuat. <br />SESEORANG: Enaknya keluar apa masuk? <br />SESEORANG: Terserah. Masuk lalu keluar. Bisa juga. Kalau perlu itu pintu dipaku.<br />SESEORANG: Atau keluar dulu baru masuk. <br />SESEORANG: Paling enak, sama-sama masuk. Sama-sama keluar. Bagaimana sih?<br />SESEORANG: Cepat sembunyi di lubang yang kemarin kita gali. <br />SESEORANG: Ya, begitu. Jangan berisik. Tahan. Jangan kencing dan berak di dalam.<br />SESEORANG: (SULUK) Kalau pun aku bisa tidur, saat otakku mulai agak kendor justru ia sering menggedor-gedor. Begitu kuberi peringatan sepertinya ia malah bernada mengancam. Ketika kubuka mataku, ia yang berwajah menyeramkan itu sudah berdiri hadir persis di depanku. <br /><br />BANGUN DALAM KONDISI SETENGAH SADAR MENGANGKAT TUBUHNYA<br /><br />SESEORANG: Lalu aku pun lupa diri bahwa aku tengah bermimpi. Anda tahu, bagaimana rasanya mimpiku? Betul-betul seperti bukan mimpi. Benar-benar seperti aku berada di alam nyata. Seperti ini. Ya, seperti pertemuan kita hari ini. Mula-mula ia tak bicara apa-apa. Dengan itu pun aku sudah serasa terganggu betul. Namun karena ia datang di setiap tidurku, akhirnya sedikit-demi sedikit ia mulai membuka suara. He, apa kabar? Begitu pertama kali ia menyapa aku. Semenjak itulah aku berkenalan dengannya dan tidurku pun jadi lebih bervariasi. Yang biasanya tak pernah menikmati seteguk kopi, dalam tidurku itu mulai ada kesan aku harus menghidangi tamu aku itu dengan kopi. Nah, mimpi aku seperti di alam nyata bukan. Hebatnya lagi, kesan pertamaku: Sungguh tamuku itu seorang yang ramah. Di susul kemudian dalam mimpi itu kami pun berkenalan.<br /><br />SADAR DARI AMUK. MELOMPAT. MEMBERSIHKAN TUBUHNYA.<br /><br />SESEORANG: Begitulah perkenalanku dengan kejahatan. Karena ia datang tiap malam, kami pun jadi akrab. Ia banyak menawarkan jasa baiknya buat bekal aku hidup di dunia yang seringkali sulit kumengerti ini. Hidup yang makin kupikirkan, makin kebingungan pula aku menemukan ada apa di balik selimut misteri ini. Boleh dikata perkenalanku dengan kejahatan itu membuat aku jauh lebih hidup dari hidup. Edan, kok bisa ya? <br /><br />MELOMPAT KE SISI PANGGUNG KIRI. MEMERIKSA PINTU.<br /><br />SESEORANG: Malam ini dia datang lagi. Tapi tak aku bukakan pintu. Biar dia di luar sana saja. Menunggu hingga tidurku kelar. Anda tak percaya, silakan coba cek di luar sana. Tunggu sebentar kawan. Masak menunggu barang satu dua jam saja nggak betah? Berilah aku waktu untuk istirahat biarpun sebetulnya berbincang-bincang denganmu itu apalagi pada malam hari rasanya seperti istirahat. Bukankah sebetulnya bersama denganmu itu suatu hiburan? Iseng ala kadarnya saja? Sekadar untuk melengkapi isi dunia ini biar tak serius melulu saja? Jadi begitu, oke? Tunggu sebentar karena aku sedang menjamu tamu lain di ruangan yang sempit ini. Maafkan aku kalau kalian mempersoalkan ruangan yang serba sempit ini. Karena inilah yang kupunya satu-satunya. Begini saja aku sudah amat bersyukur karena ruangan ini memiliki dinding-dinding yang tebal sehingga jika pada suatu ketika ada orang yang bermaksud buruk hendak melenyapkanku dari semesta ini, ia tak begitu mudah untuk merobohkannya. Jadi aku rasa cukup aman untuk sementara aku sembunyi dari orang-orang jahat itu. Tapi masalahnya zaman sekarang banyak buldoser. Dan Tuhan telanjur menciptakan buldozer itu begitu kuat dengan tangan dan kakinya yang kokoh tapi tanpa sepasang mata apalagi mata hati nurani. <br /><br />MENGINTIP LEWAT LUBANG PINTU <br /><br />SESEORANG: Untunglah pada jam-jam seperti ini tak ada buldozer yang meraung-raung. Jadi benar-benar untuk sementara rumahku ini aman dari gangguan seperti itu. Ya, kadang-kadang ada juga sih, makhluk asing itu jadi kesurupan bila malam tiba. Ia mengamuk. Tapi itu tidak untuk rumahku ini. Itu untuk rumah-rumah penduduk yang ketiban sial saja yang keesokan harinya, lantas pemilik rumah yang dirobohkan itu beramai-ramai mendatangi proyek dan melempari buldozer yang saat itu malu-malu kucing. Buldozer itu malu dan begitu malunya sehingga hanya bisa diam di tempat, tak bisa menyusun kata-kata untuk membela diri. Kasihan ya, buldozer itu. <br /><br />TERDENGAR SENANDUNG KESEDIHAN.<br /><br />SESEORANG: Apa? Nggak dengar? Ada yang kasihan pada orang kampung? Kasihan sih boleh saja. Tapi orang bilang berkata kasihan tapi tanpa bisa melakukan apa-apa itu sama artinya dengan munafik. Sorry ya, saya tak bisa bila harus berbuat dengan suatu kemunafikan. Tahukah Anda kemunafikan itu jauh lebih tak manusiawi daripada kejahatan? Ya, memang banyak orang jahat ada di bumi ini, tapi itu pun demi keseimbangan semesta dan di luar dugaan tak sedikit para penjahat yang amat manusiawi. Tak sedikit para perampok yang baik hati dan tahu diri ia tengah menjalankan misi mulia dari Tuhan untuk semesta ini. Banyak bukti yang bisa anda sebut. Apa, Robinhood? Ah itu terlalu jauh dan hanya ada dalam dongeng. Terus, Kalijaga? Cuih, yang ini pun cuma cerita dari mulut ke mulut yang amat sulit kita buktikan kebenarannya. Bahasa kerennya, mitologi. Itu sulit kita usut asal-usulnya. Hanya seperti sastra maupun melodrama. Paling-paling isinya kotbah moral untuk anak-anak bila tak memilih hitam berarti harus memilih putih. Bila sulit untuk memilih putih, maka dengan sedikit rekayasa dimusnahkanlah si hitam itu agar anak-anak jadi tepuk tangan meriah. Anak-anak tidak tahu bahwa dunia ini sekarang tak cuma sedang jungkir balik, tapi juga miring oleng, berputar, nyungsep ke kanan-kiri, atas-bawah dan depan-belakang. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa karena tak satupun tersedia pilihan untuk kita. Ada yang salah dengan isi pikiran kita sejak kanak-kanak. Ada yang keliru dengan cara kerja kita semenjak kecil. Ada yang tidak benar dengan perasaan kita semenjak dini. Hasilnya seperti ini. Contohnya, aku yang berdiri gagah di depan ini. Jangan tanyakan untuk apa aku di sini, jangan tanyakan darimana asal muasalku, berangkat pakai apa, masuk lewat pintu mana, karena itu semua betul-betul tidak penting bagi kita. Bukankah jawaban dari pertanyaan itu bagi kita adalah sama? Barangkali hanya satu yang tak semua kita punya: nyali, keberanian. <br /><br />KEPADA LUKISAN BESAR MENYERUPAI LAYAR<br /><br />SESEORANG: Keberanian itu barang mahal. Karena itu jangan biarkan siapapun untuk merampoknya dari kita. Siapapun yang datang dan bertamu ke rumah harus diselidiki dulu, siapa tahu ia hendak merampok satu-satunya milik kita ini, ya? Pesanku kecurigaan harus benar-benar ditumbuhkan semenjak dini. Pada siapapun. Tak peduli tetangga, kerabat, sahabat baik, kawan apalagi lawan. Soalnya, biasanya mereka mulanya datang dengan air muka baik-baik lalu pergi dengan agak baik. Tapi itu pertemuan pertama, begitu pertemuan kedua, mereka bertamu dengan tampak muka begitu pulang tahu-tahu kita sudah tak memiliki apa-apa. Jangan dikira, pesanku seperti ini hanya untuk anda. Untuk aku juga karena aku baru menyadari beberapa jam sebelum ini. Sebab itu, tak seperti biasanya, kali ini aku biarkan tamuku menunggu di luar kamar ini. Aku sedang mempertimbangkan apa-apa yang tersisa padaku yang masih kumiliki dan seberapa besar yang telah dirampok olehnya. Untuk itu pula aku memilih lebih dulu menemui anda. Rupanya, pola pikirku yang baru berkata: Andalah yang layak aku curigai berikutnya. Pola kerjaku menyebutkan aku harus kerjakan dengan penuh tanggungjawab apa yang aku bisa untuk tamu-tamuku. Lalu perasaanku mengungkapkan yang penting aku berbicara penuh kesadaran, tanpa emosi dan yang lebih penting lagi aku tidak dalam keadaan mabuk. Ya, jujur saja saya akui, aku tidak mabuk minuman maupun oleh kata. Aku bukan Guru Nankai, Sang Priyayi Pengetahuan Barat, Sang Pahlawan apalagi Rumi yang menari-nari diiringi musik si jenius Diwan. Sekali lagi bukan.<br /><br />SENANDUNG KESEDIHAN MAKIN KERAS. KEPADA DIRINYA SENDIRI.<br /><br />SESEORANG: Aku ini orang biasa. Aku ini suami dari istriku, ayah dari anakku. Aku bukan manusia pilihan Tuhan. Aku datang di tempat ini atas kehendakku sendiri, pilihanku sendiri. Soal yang ini kadang-kadang aku sempat tanyakan apakah Tuhan sedang lupakan aku? Karena tidak ada jawaban, akhirnya aku pun terpaksa menyimpulkan sendiri pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Benarkah ini aku sendiri yang bertanya? Atau ada mahluk lain dalam tubuhku yang membisikkan suara sehingga aku mengajukan pertanyaan muskil seperti itu? Pertanyaan itupun tak pernah kutemukan jawabnya, di rumah maupun di luar rumah. Di tempat sepi dengan dinding-dinding dingin seperti ini, maupun di keluasan udara panas di luar sana. Buktinya, aku toh, bertahun-tahun tetap seperti ini keadaannya. Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan. Aku juga tidak jadi lebih pintar dari kemarin. Aku jadi tidak lebih mengerti dari sebelumnya. Aku juga tidak lebih baik keadaannya dari yang dulu-dulu. Apalagi, Aku juga tidak lebih kaya dari kehidupanku yang biasanya. Terus, mau jadi apa aku ini? Seperti ini, yang kuherankan kok, aku masih terus bertanya? Setan apa yang membujuk aku sehingga begini. Lalu, dedemit mana yang menyeretku hingga datang kemari. Bagaimana sih, jadinya kok aku meragukan pilihanku sendiri? Ataukah memang nggak ada bedanya antara aku dengan setan? <br /><br />KEPADA PENONTON<br /><br />SESEORANG: Maafkan aku, kalau apa yang kukatakan ini kurang anda mengerti. Maafkan aku jika bicaraku ternyata malah membingungkan pikiran semua yang hadir di sini. Bukan maksudku untuk mengusik ketenangan Anda sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Bukan. Jadi silakan yang tak sudi mendengarkan bicaraku, silakan menunggu di luar saja. Karena toh, jujur saja kuakui, apa yang kubicarakan ini tak lain adalah tentang diri pribadi aku. Betul-betul menyangkut privasi aku. Silakan-silakan jika keluar. Menunggu di luar. Pesanku, di luar sana sekarang juga sedang menunggu seseorang yang semenjak tadi memang tak kuizinkan untuk masuk.. Tahu alasannya? Karena ini adalah rumahku. Tahu alasan lainnya? Karena yang berdiri di luar pintu rumah ini adalah sosok yang harus kucurigai. Kejahatan. Ah, tapi rupanya ini kata-kata yang amat umum di telinga kita. Tak ada yang asing. Boleh jadi pengakuannya, tentang kejahatan itu tak persis dengan kenyataannya.<br /><br />DIKEJUTKAN GEDORAN PINTU BERTUBI-TUBI<br /><br />SESEORANG: Tunggu sebentar! Aku masih menjamu tamu. Bagaimana sih? Sabar sedikit dong. Sssttt… Beginilah caraku mengolor-olor waktu. Aku harus pura-pura sibuk berbicara dalam pertemuan ini untuk secara halus menolak membuka pintu untuk tamuku yang jangan-jangan untuk kali ini benar-benar mewujudkan niatnya: Merampok nyaliku. Karena tanda-tanda bahwa aku sedang menuju kekalahan itu sudah ada sih. Ya, perkiraanku, sedikit lagi aku pasti diperdaya. Kadang-kadang, aku ini juga merasa tidak bisa bertanggungjawab atas diriku. Seringkali aku meragukan batas-batas kemanusiaanku. Antara diriku sendiri dengan orang lain. Antara apa yang kuyakini dengan yang mendesak untuk membujuk aku. Antara pikiran dan emosiku. Bahkan antara kemanusiaan dan kebinatangan. Antara homo ludens dan homo sapien. Tahukah anda, masalah ini aku sudah mencapai titik klimak. Buktinya, bila suatu kali muncul dendam, timbul amarah, di luar dugaan, maksudku tak ada dugaan apa-apa, aku sama sekali tak punya perasaan apa-apa, takut pun tidak, berani juga nggak, apalagi gamang. Coba bayangkan bila orang biasa seperti aku tiba-tiba dengan amat cepatnya tak punya perasaan apa-apa. Bukankah segalanya bisa terjadi? Mulai dari kemungkinan tak terjadi apa-apa hingga amuk yang menghancurkan setiap garis hidup yang diatur Tuhan. Aku bisa gila dalam waktu cepat, setelah itu sembuh lagi, gila lagi, sembuh, lagi-lagi gila, gila-gila lagi. Sebaliknya, aku juga bisa membunuh, merampok, memperkosa, apalagi cuma berbohong, menipu, korupsi. Yang meski belum ada pengalaman tapi sudah mulai terpikirkan olehku karena beberapa kali TV menyiarkan adalah: Memakan daging manusia. Sepertinya, nikmat karena manusia itu makan-makanan empat sehat lima sempurna. Jika nantinya, keinginan itu muncul, aku ingin memulai mengunyah dari jari kelingking. Pasti gurih. Kalau gadis, emm kira-kira dari bibir atau daging lain yang bisa disedot lebih dulu airnya. Sruputttt…..<br /><br />MENOLEH KE LUKISAN BESAR SEBENTUK LAYAR. PANGGUNG MULAI MENYATU<br /><br />SESEORANG: Apa? Kejujuran? Itulah salahku. Aku tak berani berkata jujur. Tapi baiklah, mulai hari ini berawal dari masukan Anda, aku akan mulai berani berkata jujur pada tamuku itu. Kalau aku tak mau menerimanya lagi sebagai tamu, aku akan katakan tidak. Jadi tak perlu aku kucing-kucingan karena aku meragukan diriku sendiri. Tak perlu aku mengolor-olor waktu karena banyak pekerjaan lain yang bisa kukerjakan demi kelangsungan hidup keluargaku. Ya, aku harus berani berkata jujur pada anda, bahwa aku telah berkeluarga. Satu-satunya, yang membuat aku menjadi manusia sekarang ini adalah karena aku punya keluarga. Punya istri dan punya anak. Ya, anjing pun sebetulnya punya pasangan dan punya anak juga. Barangkali anda mulai sulit untuk membedakan keluargaku dengan keluarga anjing? Baiknya aku berikan contoh dan itu tidak ada salahnya karena ini untuk kepentinganku agar anda tak melihat keluargaku seperti halnya melihat kerumunan anjing. Begini, dalam pertemuan ini aku bisa respect dengan anda atau sebaliknya, anda bisa respect padaku. Nah, sikap respect-ku terhadap istriku, itu biasa disebut cinta. Kalau kepada anjing, aku hanya bisa suka pada anjing dan sebaliknya, anjing bisa suka padaku. Tapi soal suka anjing padaku itu tentu saja tanpa sepengetahuanku apa artinya. Demikian juga antara anjing dengan anjing serta anak anjing. Lalu, adakah di antara mereka perasaan cinta? Di sini anjing bisa saja diganti dengan kambing atau kucing. Jadi meskipun aku di rumah ini memelihara kambing dan kucing, tapi jika aku bicara keluarga, keduanya tak kumasukkan sebagai anggota keluarga. Ya? Karena soal makan dan tempat tidur? Oh, itu. Benar, semua tahu kambing makan rumput jadi istri saya tak perlu ajak dia jalan-jalan ke pasar. Tapi kucing? Kami seringkali makan sama-sama di kamar makan. Tidur juga si manis itu terbiasa menyusul di kasur. Pertanyaannya sekarang mengapa aku jadi sibuk dengan kucing? Apakah ada yang sedang jatuh cinta dengan kucing di sini? Kalau ada, mungkin benar tai kucing rasa coklat.<br /><br />PANGGUNG JADI SATU. TIDAK ADA BATAS MIMPI - KENYATAAN<br /><br />SESEORANG: Kenapa aku ingin bicara tentang keluarga? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak tepat betul. Bisa saja aku ganti pertanyaan lain. Kalau bukan aku yang bicarakan lantas siapa lagi? Toh, kalau ada orang lain yang membicarakan keluargaku, atau ada orang lain yang membicarakan keluarga milik orang lain lagi, itu namanya turut campur urusan dapur orang. Dan ini bisa jadi masalah besar. Ini bisa berujung perang yang lebih dahsyat ketimbang perang dengan senjata supercanggih. Kita pasti pernah tahu bila terjadi perang mulut dengan tetangga akibat ikut campur itu tadi. Tapi kita juga tak pernah lupa banyak terjadi pembunuhan juga karena perang mulut. Si istri membunuh suaminya, atau suami membunuh istri orang lain. Lantas, ini mengingatkan aku pada pepatah lama, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Maaf kalau untukku, pepatah ini sama sekali tak berguna. Aku bisa saja menggantinya dengan: Mengurusi rumah tangga orang, lebih keji dari perang. Perang itu ada aturannya, tapi satu yang aku bicarakan ini sama sekali tak pernah ada konsensusnya.. Yang pernah berkeluarga tentu tahu arah bicaraku. Tapi yang belum berkeluarga, bukan maksudku untuk mencemooh dan tak peduli dengan status yang memang masih manusia setengah baya itu. Yang mau aku katakan, bagi yang belum berkeluarga cepatlah memutuskan untuk menikah, punya anak dan banyak masalah agar cepat dewasa. Apa, masalah sebetulnya menjadikan kita cepat dewasa? Itu kasuistis, bisa benar juga tak mustahil bisa salah. Yang, benar adalah berkeluargalah! Pasti banyak masalah! Dulu waktu aku masih muda dan sedang berpacaran. Satu rumusku: Buat masalah agar calon istriku tak pernah sedetikpun untuk berpikir mencari pengganti aku. Jadi, makin banyak masalah, akhirnya timbul masalah baru. Tahukah anda, dari semua masalah itu tak satupun yang tak bisa kupecahkan. Dan satu-satunya yang bisa mematahkan adalah perkawinan. <br />Bukan maksudku menceritakan ini semua tanpa tujuan. Jadi janganlah terlebih dulu memvonis aku orang yang egois apalagi individualis. Sama sekali sifat itu jauh dari pemikiranku. Oh, ya untuk yang satu ini aku bisa ambilkan contoh dan aku bisa membuktikan itu benar tak ada pada diri aku. Sebagai intelektual, aku tak pernah menjual gagasan-gagasanku untuk diriku sendiri. Memang, aku tak pernah menjual gagasan satu kali pun. Swair. Untunglah, hingga kini terbukti tak ada seorangpun lembaga, negara, pemerintah apalagi asing yang tertarik membeli gagasanku. Jadi boleh dikata aku selamat dan aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Sering aku melihat dan berpikir, makin banyak saja orang menjual gagasannya, intelektual, seniman, sastrawan dengan harapan menerima segebok uang. Lalu, dimakanlah uang itu untuk keluarga, anak-istri dan mentraktir kawan. Tanpa berpikir apakah gagasan-gagasannya itu berguna untuk orang atau tidak. Merekalah yang pantas anda sebut individualis. Merekalah yang harus dimelekkan pikirannya, agar tak hanya mempertimbangkan perut besarnya. Bahwa, masih banyak yang harus diperjuangkan untuk atas nama manusia. <br /><br />TIBA-TIBA MATANYA TERTUJU KE ARAH BOLA. DIHAMPIRI. DILEMPARKAN KE ATAS. DITANGKAP. DIMAINKANNYA DARI SISI PANGGUNG SATU KE SISI PANGGUNG LAIN.<br /><br />SESEORANG: Di muka bumi seperti ini manusia bisa berbuat dosa. Walaupun aku tidak paham betul apa artinya kata-kata ini, tapi setidaknya di tempat ini aku jadi bisa berpikir dari perkataan orang lain tentang dosa. Karena itu, bukan maksudku berkata demikian jadi orang yang sok moralis. Itu jauh dari sifatku. Jika pun benar adanya moral itu hanya masalah pribadi yang kurang pantas aku umbar untuk diperbincangkan di sini, karena aku memang tak sedang membicarakan masalah pribadi. Para cendekiawan berkata, seluruh pertanyaan di muka bumi ini termasuk yang termutakhir adalah pertanyaan ilmu pengetahuan, kecuali masalah-masalah pribadi. Dengan kata lain, tak ada soal yang tak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan. Bila itu tak ditemukan jawabannya, dipastikan itu adalah masalah pribadi. Setidak-tidaknya itu problem kelompok. Maaf bila yang beginian kurang mendapat porsi perhatianku. Maksudku menceritakan keluarga adalah karena mata kecendikiawananku baru terbuka melihat dunia saat sesudah aku berkeluarga. Ya, meskipun ada juga sih kadang-kadang sedikit masih tersisa dan mengganggu aku, seperti tadi aku terusik oleh dosa. Bagaimana manusia bisa melihat dosa di tengah hiruk pikuk zaman dan semesta seperti ini. Betapa sulit mencari tempat kita berpijak di saat bola ini ditendang ke sana kemari. Di lapangan, bola mata para bola mania seringkali tertuju pada kaki-kaki bintang lapangan dan bukan pada bolanya, bukan? Lalu, apa yang bisa dipecahkan dari permainan seperti ini. Kemudian ini soal macam mana pula sebetulnya. <br /><br />SAMBIL TERUS MAIN BOLA. MAKIN MEMAINKAN BOLA DENGAN LIARNYA<br /><br />SESEORANG: Mustahil. Mustahil. Itu bukan watak intelektual. Masak manusia bisa dijadikan bola? Yang benar saja. Kalau itu ada sih, itu kan ada di dunia nyata tapi tidak ada di sini. Jangan salah. Sejak tadi aku belum sedikit pun bicara tentang dunia nyata. Soalnya menjijikkan, sih. Kok, tiba-tiba pikiran kamu nylonong saja? Pasti karena terinsiparasi dari permainan bolaku. Yang begitu-begituan terlalu kasar, tidak cocok untuk kita. Orang awam pun tahu kalau itu dosa. Masak kita bicarakan lagi? Itu sudah ada yang mengurus. Sudah ada petugasnya. Jangan kuatir, mereka bersenjata lengkap, lebih canggih dan yang pasti petugas itu sudah piawai menggunakan. Tapi kalau pemain bolanya, bersenjata? Masak yang begitu-begitu terus kamu tanyakan. Jawabannya, sudah jelas dan maaf itu yang amat menggangguku. Semula bagi aku, tidak ada dosa paling besar yang diperbuat manusia kecuali berpikir tentang masalah-masalah pribadi. Karena itu, aku bisa paling tersinggung jika diajak seseorang untuk bicara masalah-masalah kepribadian. Inilah menurut aku cikal-bakal dari pikiran manusia untuk berbuat korup, bertindak menyimpang dan buta aturan. Kepada mereka di mataku, tak lebih berharga dari seorang laki-laki pencuri mayat di kuburan. Kisah pencuri mayat itu sudah kusiapkan sejak semula. <br /><br />MELEMPAR BOLA TINGGI-TINGGI. LALU SIBUK MENCARI KERTAS-KERTAS. MEMBACA.<br /><br />SESEORANG: Nah ini. Dengarkan baik-baik cerita yang tertulis di kertas ini. Dusun Kemalangan Desa Plaosan, Kecamatan Wonoayu-Sidoarjo diguncang kasus pencurian mayat. Warga heboh, persis kehebohan kasus Sumanto si pemakan daging manusia. Pelaku disinyalir kurang waras. Tulang belulang dari mayat yang telah digali itu pun lantas dibuat mainan oleh pelaku. Peristiwa menghebohkan itu terjadi menjelang hari kebangkitan. Mula-mula dipicu adanya temuan 5 kuburan yang digali seseorang dan 3 kuburan lainnya sempat diobrak-abrik. Entah bagaimana bisa luput dari perhatian juru kunci. Motif pembongkaran kuburan itu sungguh tak masuk di akal sehat. Konon, diperkirakan untuk mendapatkan jimat atau untuk kepentingan ilmu tertentu. Apalagi diketahui pelakunya adalah Agus Susianto Budiman, seorang warga yang diketahui tidak waras. Namun di duga ada orang lain yang saat ini tengah dalam pengejaran polisi. Pembongkaran mayat itu semula diketahui Sawi, selaku juru kunci makam. Ia kaget begitu mendapati 5 kuburan dibongkar dan 3 lainnya diobrak-abrik. Sawi pun lantas memberitahukan pada kerabat terdekat ahli kubur yang dibongkar itu. Salah satunya, Sholeh. Segera saja Sholeh mencari tahu. Caranya, dengan menghubungi orang pintar di Banyuwangi. Dari orang pintar itu diperoleh petunjuk, salah seorang yang melakukan pembongkaran adalah seseorang yang jiwanya kurang waras. Orang yang dimaksud tak lain adalah Agus Susianto Budiman. Kemudian warga beramai-ramai mencari Agus. Warga tak menjumpai kesulitan mencari Agus. Saat ditemukan ternyata yang bersangkutan tengah memainkan tulang-belulang yang baru ditemukan itu. Mulanya warga sempat emosi, namun setelah mengetahui Agus kurang waras, akhirnya tidak diapa-apakan. Agus terus digelandang ke balai desa setempat lalu diserahkan ke polisi. Dalam pemeriksaan, Agus yang kurang waras tersebut menyebut pelaku lain bernama Katib, warga Krian Krajan. Menurut penuturan Agus, Katib membawa tulang belulang itu akan digunakan untuk jimat. Dia sendiri mengakui ikut membongkar kuburan lantaran diajak oleh Katib. Akan tetapi dalam keterangan yang lain Agus melakukan pembongkaran itu atas perintah gurunya. Saat ini pihak kepolisian tengah mengejar Katib karena dicari di rumahnya ternyata yang bersangkutan tidak ada di tempat. <br /><br />GILIRAN MELEMPARKAN KERTAS-KERTAS.<br /><br />SESEORANG: Sungguh dunia ini betul-betul sudah jungkir balik. Polisi bertindak tegas dan hasil kerjanya gemilang karena dibantu paranormal. Paranormal malah dijuluki orang pintar. Lantas, apa pendapatku tentang itu? Siapa yang paling bisa menjadikan aku lebih manusia dari manusia? Tak lain adalah si pencuri mayat itu. Sekalipun disebut orang tak berakal sehat, toh ia sama sekali tak berniat melenyapkan manusia dari muka bumi ini. Tak ada niat di benaknya untuk membunuh, dan tak ada tata kehidupan kosmos di situ yang dirusak . Ia hanya mencuri mayat dan di balik itu ia berpikir tentang keilmuan. Jadi ia, tidak berpikir tentang pribadi. Aku semakin tidak mengerti siapa yang waras, siapa yang kurang waras, dan siapa yang sama sekali tidak waras. Karena itu, tak ada seorang pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Setiap saat, setiap waktu, setiap orang yang bertamu ke rumahku bukan mustahil punya rencana buruk untuk melenyapkan aku dari kehidupan ini. Sebetulnya, sebelum aku berpikiran untuk menutup pintu rumah rapat-rapat, aku ada rencana untuk bertindak mendahului daripada didahului. Semula aku menyiapkan pedang dan kugantung di sebelah pintu. Harapanku, sebelum tamu-tamuku itu membunuhku, aku akan mendahului untuk membunuhnya. Saat itulah, menurutku perang yang sesungguhnya pantas disebut perang: Mempertahankan keluarga agar bisa hidup terus. Tapi entah mengapa, tanpa sempat berpikir, tiba-tiba ada yang membisikkan padaku, hei jangan kau balas kejahatan dengan kejahatan. Kalau engkau melakukan itu, maka engkau sendiri akan menjadi makhluk yang sia-sia diturunkan ke bumi ini. Kalau semua orang hidup dengan cara seperti hidupmu, semesta ini tak akan berumur panjang. Itulah yang kemudian membuatku tahu arti kejahatan. Pedang kusimpan kembali dan satu-satunya caraku mempertahankan hidup ya, seperti sekarang ini, menutup pintu rapat-rapat. Aku bisa sedikit menenangkan jiwa tanpa harus dihantui dengan parang atau senapan milik tamu atau tetangga. Lalu aku juga bisa sedikit demi sedikit mengurai duduk perkaranya, mengapa aku jadi manusia?<br /><br />MEMBOLAK BALIK KURSI KEMUDIAN DUDUK<br /><br />SESEORANG: Duduk perkaranya sekarang mengenai kedudukanku. Maaf bagi yang tidak kebagian tempat duduk. Ya, bicara tempat duduk memang kedengarannya lebih filosofis. Lain halnya bila bicara tentang kursi. Meskipun banyak orang menyamakan saja antara tempat duduk dan kursi. Bukan rahasia lagi, kalau banyak orang berebut kursi. Itulah yang aku maksud dengan permohonan maafku. Meskipun sebenarnya ini hanyalah ungkapan yang penuh basa-basi. Lalu apa sebenarnya yang terjadi, jika itu tanpa basa-basi. Mau coba di sini? Silakan! Silakan! Tentu anda sedang berpikir aku sedang capai, tidak salah, sah dan boleh-boleh saja. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak ada yang tahu bahwa aku hanya berani duduk di kursi milikku sendiri. Duduk seperti ini, sesuatu yang sama sekali tak pernah aku lakukan bila di luar rumah. Karena di sinilah satu-satunya kursi yang kumiliki dan berhak untuk kududuki. Di luar rumah tak ada hak bagiku untuk duduk. Kalau aku memaksakan diri, barangkali saat ini aku sudah tak bisa lagi hadir dalam pertemuan ini karena leherku sudah terpisah dari batang tubuhnya. Aku tidak sedang mengidap penyakit paranoia. Kenyataannya di luar memang sudah demikian kejamnya dan nyawa manusia tak lebih mulia dari belalang. Sekelompok manusia tak ada bedanya dengan sekawanan belalang. Apa ada yang mengusik kursiku? Siapa yang mengusik manusia atau belalang? Ini kebangetan, di rumahku sendiri, di kursi milikku sendiri, ternyata masih juga ada yang mengganggu ketenanganku. Aku minta maaf maksudku biar tak mempersoalkan aku. Ini kebangetan!!!! Mau aku taruh dimana lagi mukaku? Pasti itu perbuatan orang-orang yang kurang pekerjaan. Mana bisa aku disamakan dengan pejabat-pejabat yang duduk tenang di kursi mereka. Berbekal sebuah bolpoint dan selembar kertas saja, bisa mengguncangkan jagad. Yang benar saja!<br /><br />MEMUNGUT KERTAS DAN PENA. LALU PENA DITANCAPKAN DI TENGAH KERTAS DI ATAS MEJA<br /><br />SESEORANG: Aku begitu percaya pada kata-kata, ujung pena lebih tajam dari sebilah pedang. Maaf kalau untuk masalah ini aku kurang sepakat dengan anda. Betapa hanya dengan ujung pena pembunuhan terjadi dimana-mana, pelaparaan jadi gejala, korupsi merajalela, dan kejahatan berubah wujudnya. Aku hanya bisa percaya, dan satu-satunya yang masih kupunya diantara keduanya hanyalah pedang. Lalu apa yang bisa kuperbuat dengan pedang? Melawan? Siapa yang dilawan? Bagaimana aku bisa melawan kalau membuka pintu rumah saja, jantungku berdegub kencang? Ya, aku sudah berpikir keras memeras otak soal itu. Tapi hasilnya nol besar. Musuhku terlalu kuat untuk dihadapi. Lawanku terlalu hebat untuk kulayani. Biarpun aku sudah belajar keras selama bertahun-tahun untuk melenyapkannya, kenyataannya untuk tahu dimana batang hidungnya saja aku tak sanggup. Apalagi untuk memastikan letak kelemahannya, jantungnya, sungguh aku tak bisa. Mula-mula aku belajar silat karena dugaanku musuh itu jago silat. Lalu aku latihan menembak untuk mematikannya. Kemudian aku menyamar jadi pelayan untuk mencegatnya bila sedang makan. Aku belajar catur siapa tahu ia pintar berpolitik. Terakhir aku tekun belajar agama barangkali musuhku itu menyamar jadi setan. Ya, aku sempat ditawari jadi wali sih, tapi aku mulai ragu. Aku tetap memilih jadi manusia biasa. Karena itu tawaran kutolak. Jadi semua usahaku itu gagal total. Musuhku sebenarnya ternyata bukanlah manusia. Bukan juga setan. Lalu mahkluk apa ini? Apa? Laki-laki atau perempuan? Aku tidak tahu persis. Ha? Namanya kebudayaan? <br /><br />TERTAWA NGAKAK<br /><br />SESEORANG: Bukan maksud aku meremehkan kamu. Habis kamu menggelikan. Sudah jelas aku duduk di kursi malasku sendiri, tapi tetap saja kamu mencurigai aku. Kalau hanya sikap apriori sih, boleh saja. Bahkan itu baik sekali agar aku bisa lebih kritis. Tapi kalau kamu mencurigai aku karena kursi ini hasil dari tindakanku yang korup itu berarti berlebihan. Apalagi tuduhan kamu bahwa aku sengaja menyebarkan virus korupsi itu sama sekali tidak benar. Terus terang tuduhan kamu itu menggelisahkan aku. Betapapun ini rumahku, kursi malas inipun milikku sendiri. Tidak masuk di akal aku korupsi. <br /><br />TERCENUNG<br /><br />SESEORANG: Ya, Tuhan! Aku baru ingat sekarang. Jadi kamu menuding aku bertindak korup karena aku capai dan berhenti berpikir, begitu? Kamu menuduh aku mengkorupsi waktu karena aku tidak sedang bekerja apa pun begitu? Benarkah yang kamu maksudkan karena aku tak melakukan kontrol apa yang tengah diperbuat istri dan anakku, lalu kamu sebut itu aku korupsi? Kalau itu yang kamu sebut, maka jawabannya adalah: Ya. Okelah, aku terima. Tapi jangan sebut aku ini koruptorlah. Kalau aku yang seperti ini koruptor, lalu apa bedanya dengan mereka yang koruptor beneran? Kalau kamu sampai hati menyebutku demikian, betapa dunia ini sungguh kejaammm. <br /><br />TERJATUH DAN ROBOH DARI KURSI<br /><br />SESEORANG: Betapa dunia ini tak kenal kasihan. Aku sudah hidup menyendiri dengan keluargaku sendiri, menjauh dari urusan-urusan kemasyarakatan, tetangga, negara, arisan sampai pemilihan presiden, tapi masih saja aku dicap koruptor hanya karena soal yang begini amat sepele: duduk di kursi malas melepas capai fisik dan pikiran, melupakan sejenak urusan keluarga. Sayangnya, aku tak sempat mengajukan pertanyaan bagaimana dengan orang yang sehari-harinya tidur duabelas jam, sampai umurnya 60 tahun? Bukankah itu berarti umur sebenarnya cuma 30 tahun, itupun belum dipotong saat ia kongkow-kongkow, atau duduk melamun alias menganggur, lalu mana sebetulnya bagian hidupnya? Aku belum sempat tanyakan itu tapi kamu keburu pergi. Ini tidak adil! Kamu telah janjikan keadilan di alam sana, apakah itu artinya kamu menawari aku untuk cepat pergi ke sana saja daripada nggendon di sini tanpa kejelasan nasib? Ya, beginilah rasanya jadi orang yang ragu-ragu bahwa apakah yang kukerjakan selama ini adalah korupsi atau bukan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Begini rupa rasanya. Mungkinkah rasanya sama dengan seorang teman yang tidak bisa membedakan kambing dengan anjing? Soal yang ini, seorang kawan saya tukang becak mengayuh becaknya untukku. Ketika begitu cepat laju becaknya karena kuat tarikannya, tiba-tiba seekor kambing tanpa sungkan menyeberang. Begitu kagetnya si kawanku itu, ia pun berkata “He asu! Minggir!” Aku katakan binatang itu bukan asu tapi kambing. Baru kemudian ia mengulang perkataannya “He kambing, minggat!” Anehnya, suatu hari tanpa perasaan apa-apa becak yang saat itu kududuki, pada hari lain sudah ditempati kambing. Meskipun saya tidak menyeberang, toh kawanku si tukang becak itu tetap saja berteriak “He, asu!!!!”<br /><br />TERCENUNG LEBIH DALAM. NYARIS MENANGIS. <br /><br />SESEORANG: Baiklah jika itu yang menjadi kehendak kamu. Dengan penuh kesadaran dan keikhlasan yang seiklas-iklasnya, aku akan buktikan bahwa dalam istirahatku, dalam tidurku, sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur korupsi. Sekaligus aku akan buktikan bahwa sesungguhnya, akulah yang menjadi korban karena ada sesosok makhluk asing yang melibatkan aku ke dalam persoalan yang demikian pelik. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melawan. Apalagi untuk menghasut melakukan perlawanan. Jadi maafkan kalau ini nanti menyeret-nyeret dan melibatkan anda dalam persoalan ini. Sekali lagi aku hanya ingin membuktikan diriku sendiri. Inilah yang namanya pembuktian terbalik. Anda juga bisa melakukannya terhadap anda sendiri.<br /><br />LAMPU BLACK OUT<br /><br /><br /><br />BAGIAN KEDUA<br /><br />MUSIK DAN TEMBANG BERTEMA KEBEBASAN. LAMPU FADE IN. NYANYIAN FADE OUT. PANGGUNG SISI KANAN SESEORANG MENGGENDONG GEDEBUK PISANG. MEMELUKNYA. MENGENDARAINYA. MENGAJAKNYA BICARA. BERGANTIAN.<br /><br />SESEORANG: (SULUK) Kubayangkan bila orang selamat dari sebuah ancaman pembunuhan siapapun akan memiliki insting yang tinggi untuk giliran bernafsu membunuh. Tapi di sini bagaimana bila orang selamat dari begitu banyak ancaman pembunuhan. <br />SESEORANG: (SULUK) Bila orang yang selamat dari pembunuhan lalu berteriak-teriak minta senjata untuk membunuh siapa lagi, termasuk istri dan anaknya. Bagaimana di sini? Apakah tak menjadikan kita seperti babi yang buta? <br />SESEORANG: (SULUK) Bila setiap menulis maupun bicara membabi buta, kubayangkan negeri ini dipenuhi babi-babi buta yang bisa berbicara tanpa bisa didengarkan isi pembicaraannya. Karena orang sibuk mengatasi atau menikmati perbuatan yang juga membabi buta. <br /><br />MENGHADAP KE DEPAN MEMIKUL BEBAN<br /><br />SESEORANG: Kekuasaan ini entah milik siapa. Aku pernah mendengar perkataan Tuhan, manusia tidak akan bisa membanggakan kebesaran, kekuasaan Tuhan. Paranormal yang menyembuhkan penyakit kanker paling kronis dengan memindahkannya ke tubuh kambing pun berkata, ini jauh di luar batas kuasa manusia. Tapi aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri , bagaimana pembunuhan, saling bunuh itu terjadi jauh dari mimpi manusia. Betapa itu dilakukan oleh kecanggihan sistem yang di luar kuasa manusia. Aku menarik nafas panjang dan dalam, sedalam kuburanku sendiri yang sepertinya sudah menganga dalam tubuh aku. Betapa justru manusia sanggup melakukan suatu yang jauh di luar batas kemanusiaan? Mana yang benar? <br />SESEORANG: Tapi itu cuma membunuh. Tuhan dan juga manusia tak cuma mengurusi soal membunuh. Buktinya, biarpun begitu banyak pembunuhan orang oleh orang lain, nyatanya kasus bunuh diri masih tergolong bisa dihitung dengan jari.<br />SESEORANG: Apa pendapatmu tentang bunuh diri?<br />SESEORANG: Bunuh diri itu jalan yang paling mulia setidaknya untuk saat ini, sepanjang belum menemui jalan baru.<br />SESEORANG: Begitu?<br />SESEORANG: Ya untuk tidak menjadi pembunuh, itulah jalan. Itulah pilihan antara menjadi pembunuh atau dibunuh.<br />SESEORANG: Begitu dahsyat bicaramu.<br />SESEORANG: Ya, kita diam-diam sudah digiring ke sana. Kemanusiaan, kebenaran, keadilan, persamaan itu sedang menuju kuburannya. Satu-satunya jalan kita jangan lagi bicara kesunyian, keadilan, kebenaran, persoalan seperti sebagaimana sekarang ini.<br />SESEORANG: Kedengaraannya memang mengasyikkan, membunuh, bunuh diri atau dibunuh, sama-sama mati. Biarpun sama-sama menuju mati.<br />SESEORANG: Kamu belum jawab pertanyaanku tentang bunuh diri yang memuaskan aku?<br /><br />MEMBUNGKUK KARENA BEBAN YANG KIAN SARAT.<br /><br />SESEORANG: Begini. Hidup kami ini, seperti juga kehidupan kamu sesungguhnya menggelisahkan apakah benar-benar disebut hidup. Sejak dari makan, minum, dan semuanya, juga pengetahuan yang ada pada kamu itu benar-benar menumpang kehidupan yang hanya itu-itu saja. Membebani kehidupan yang bahkan cenderung merosot karena kamu kian terpaksa bertahan sekalipun ditempuh dengan berbagai cara—ini tanda-tanda kemerosotanmu. Kemungkinannya hanya ada dua. Kamu mampu atau tidak. Bagiku keduanya sama saja. Bagiku kamu tidak benar-benar hidup. Kamu telah secara kebetulan dihidupkan oleh sesuatu yang sesungguhnya omong kosong. Jikapun kamu ulang, makin di situ sesungguhnya kamu telah mulai menjadi pembunuh dan dijauhkan dari kemanusiaan? Ah, yang satu ini aku susah untuk meyakininya. Lalu bila gagal kamu akan dibuat sekarat. Lalu dibunuh atau saling bunuh diantara orang-orang yang sekarat itu. Anehnya, kehidupan ini sebenarnya memperkenalkan pada kita bahwa itu bukan tindakan yang kejam atau lalim. Itu hanya suatu kebiasaan yang harus terjadi. Kalau mau jujur saat ini itulah yang telah terjadi. Eropa dan Amerika telah menggembar-gemborkan pembunuhan lebih dari yang ia bicarakan dan kita tinggal menunggu percepatan waktu bagai mereka.<br /><br />TAK KUASA MENAHAN SAMPAI ROBOH DAN TERJENGKANG.<br /><br />SESEORANG: Lalu?<br />SESEORANG: Ya, kita bisa temtukan sendiri waktu tepat dan jangan kita tak mau disebut pembunuh atau dibunuh. <br />SESEORANG: Kamu seperti orang gila dan pikiranmu sesat.<br />SESEORANG: Tidak aku hanya bicara dengan penuh kelembutan.<br />SESEORANG: Kamu mencoba mempengaruhi aku?<br />SESEORANG: Lebih beruntung karena aku tidak membunuhmu.<br />SESEORANG: Benar-benar gila kamu Tidakkah kamu tahu bahwa pembunuh pun tahu orang-orang yang ingat? Dan pembunuhan juga menumbuhkan hasrat yang tinggi untuk bunuh diri.<br />SESEORANG: Itu bagianmu untuk menceritakan kepadaku. Bagianku sudah habis.<br />SESEORANG: Bukankah mungkin kalau terlalu banyak yang dibunuh, manusia itu lantas menikmati jalan akhir untuk membunuh diri, bila tak seorang pun yang kemudian kunjung sanggup membunuhnya?<br />SESEORANG: Bagi aku orang seperti itu akan menjadi gila. Dan orang gila jarang punya hasrat untuk bunuh diri. Seperti juga tak mampunyai hasrat untuk hidup waras.<br />SESEORANG: Lalu?<br />SESEORANG: Tapi orang yang sakit jiwa dan dalam sakitnya itu dia punya hasrat untuk bunuh diri, itu artinya dia tengah berharap menemukan jalan untuk sembuh.<br />SESEORANG: Lalu dimana kamu berada<br />SESEORANG: Ya, di situ. Gimana sih kamu ini?<br /><br />MELEMPAR KEDEBUK PISANG. MEMBEBASKAN DIRI DARI SEGALA BEBAN.<br /><br />SESEORANG: (SULUK) Kisah yang ditulis pada waktu malam hari, entah mengapa lebih banyak bertutur tentang kemuraman, kegelapan dan ketakutan, seolah lebih menakutkan dari nasib para calon korban kaum yahudi oleh nazi di kamp konsentrasi Jerman. <br /><br />MENGISAHKAN KEGELAPAN SEPERTI SEDANG BERNOSTALGIA<br /><br />SESEORANG: Tiap malam bagi aku kurasakan jauh lebih menakutkan. Orang sudah mengalami kesulitan untuk bermimpi lantaran semua mimpinya sudah muncul dengan gamblang di layar-layar TV. Aku justru sering bermimpi buruk di saat tidur pendekku karena sesungguhnya aku terhitung sulit untuk tidur bila malam hari tiba. Orangtua bilang mimpi itu kembangnya tidur, tapi orangtua juga bilang mimpi itu—mimpiku yang sering berjumpa orang tua berwajah lurus berambut putih berjenggot—kemudian mengajakku ngobrol adalah pertanda kemurahan, kesedihanku. Namun aku tidak bagitu meresahkan mimpi-mimpi itu jika aku tidak hendak mau lebih dibebani lagi hidupku. Biarkanlah mimpi itu hadir dan pergi semaunya, aku juga tidak pernah pedulikan apa isi pembicaraan orang tua dalam mimpiku sepenting apapun. Tapi kata katanya, dalam mimpi itu orangtua yang menjumpai anaknya jarang sekali buka suara. Ya, begitulah aku tak pedulikan apapun mimpi itu, atau sepenting apapun tentang akal bawah sadar manusia soal mimpi itu. Mimpi itu atau alam bawah sadar itu amat mengganggu gerak jantungku, nafasku dan kemudian keluarlah erangan hebat atau igauan dahsyat yang lebih hebat dari mimpiku sendiri. Ya, igauan yang kurasakan banyak misteri terkadung di dalamnya.<br />Misteri? Ya, sebut saja begitu. Betapa tidak, hanya itu satu-satunya yang mengingatkanku akan manusia, bila bangun pagi, sehabis gosok gigi atau bangun dari tidur. Sehingga malam bagiku tidak cuma berlalu dan sekadar malam. Tidur juga tak cuma tentang tidur. Demikian pula mimpi. Apalagi igauan, erangan tidak sadar, teriakan spontan mengingatkanku akan masih dan memang punya jantung dan hidup apapun maknanya dan bagaimanpun aku punya kesadaran atau tidak. Punya kesadaran atau tidak ini hanya masalah sepele dalam sepersekian detik, dalam sepersekian tarikan nafas. Pendeknya untuk menyebut kata Tuhan saja boleh jadi tak sempat lengkap. Jawaban pertanyaan itu hanya ada pada saat aku tidur yang sebenar-benarnya tidur, berapapun lamanya, semenit, sepuluh menit, satu jam sepuluh jam? Mengapa demikian? Sebab pada waktu tidur tidak ada yang terhenti sedikitpun. Kesadaran tentang apapun juga bahkan tentang kesadaran itu sendiri. Bahkan tentang berpikir, gerak jantung dan desah nafas. Tidur yang sebenar-benarnya sempurna ketenangan yang sungguh-sungguh nyaman. Tak ada teror urusan hidup mati, kebutuhan dunia akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Tidak ada. Bahkan Tuhan pun tidak terlintas hadir di situ. Rupanya inilah hidup yang bagiku benar-benar hidup. Bukan hidup apa yang disebut orang-orang tua sekadar mampir ngombe itu. Hidup ini begitu nyaman, tenang dan penuh kedamaian, tanpa mimpi—barangkali begini pula rasanya hidup orang-orang kaya, orang-orang yang tidak pernah punya persoalan duniawi, orang-orang yang sulit untuk bermimpi karena hidupnya sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV. Begitulah, perihal mimpi bagiku sudah kuceritakan padamu. Semenjak awal dan jujur saja aku benar-benar tidak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat. Yang sungguh kuperlukan adalah waktu untuk tidur dan bagiku siang dan malam bukan hal yang penting sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan aku atau tidak. Toh dia juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti aku yang tidak mempedulikannya. Kupikir apalah artinya matahari atau bulan bila aku tak benar-benar mempedulikannya. Bukankah aku bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu kuceritakan pada waktu aku bangun? Namun bukan hal itu sungguh yang menggelisahkan aku. Malam memang menakutkan, tapi bagi aku siang dan malam sama-sama menakutkan dan aku tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup kalau penuh ketakutan? Atau untuk apa mati kalau penuh ketakutan. Mati itu beda sedikit dengan hidup sebab hanya beda waktu, tempat dan alamat.<br />Lantas apa yang kamu bayangkan tentang aku, yang siang dan malam tiada beda lantaran terus menerus diselimuti ketakutan? Di mana satu-satunya bagian hidupku adalah pada saat tidur yang hanya sepersekian siang dan malam itu? Bedanya aku hanya diperkenalkan matahari pada keduanya dan ia tak memperkenalkan kehidupan. Tuhan yang memperkenalkan aku pada tidak saja kehidupan tapi juga keberanian dan di mataku ia selalu datang pada malam hari. Barangkali karena aku lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya aku sering bermimpi dengannya dalam rupa-rupa bentuk, kadang ia berseragam yang membunuh orang dengan senapan meriam, kadang ia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Tuhan rela menjadikan dirinya teroris dengan membawa bom ke sana kemari meledakkan hotel-hotel tempat tidur santai dan rekreasi orang mencari hidup. Namun pernah pula ia hadir dengan ramah dan berbaik hati berseragam putih dengan berkalung stateskop di lehernya, sembari mengucapkan “maafkan saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin” kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Ya, meskipun yang sering terjadi, orang berseragam putih itu diberi hak untuk tahu bahwa koruptor ini sedang sakit, koruptor itu perlu istirahat.<br /><br />SESUATU TELAH MEMBUATNYA MENDADAK TERHENTI<br /><br />SESEORANG: Sebentar! Sebentar! Tunggu Sebentar. Kelihatannya ini permainan yang tidak fair. Aku tidak melihat seorang juri pun yang menilai pledoi aku. Kalaupun ada boleh dong aku meragukan track recordnya? Karena itu mulai sekarang, biarpun gembel seperti aku yang bicara tetapi tetap harus dinilai. Demikian pula dengan kesaksian-kesaksian yang dihadirkan di ruang sidang ini. Tahukah Anda siapa salah satu saksi yang minta kuhadirkan? Diantaranya, setan dan kebudayaan. Aku juga minta kepada keduanya untuk dinilai apa dan bagaimana dirinya membuktikan secara terbalik kesaksiannya. Oke? Ini baru namanya pengadilan yang paling ciamikkk, paling keren abis! Karena itu, jangan dulu keburu pergi. Kita harus sama-sama mendengar kesaksian setan dan kebudayaan pada sesi berikutnya. <br /><br />MUSIK PENGANTAR GANTI ADEGAN<br /><br />SESEORANG: Kenapa kebudayaan dan mengapa setan? Karena antara keduanya aku benar-benar sulit membedakan. Kebudayaan sungguh sulit kutemukan. Juga setan. Tapi siapa yang meragukan keberadaan keduanya? Karena itu saya minta tolong kepada Yang Mulia untuk menghadirkan keduanya di sini, di depan kita semua pada pertemuan ini. Saya tunggu. Agar kita bisa saling membuktikan diri saat tepat menerapkan pembuktian terbalik ini. Baiklah, sambil menunggu aku akan lanjutkan pembelaanku. <br /><br />MENGHADAP KE DEPAN. MENCURI WAKTU.<br /><br />SESEORANG: Bagi saya, kebudayaan itu seperti kecantikan, maksud saya baik kebudayaan maupun kecantikan tidak dimulai dengan kata. Beda dengan sastra, mula-mula adalah kata. Terus terang saya sulit menemukan kebudayaan. Sejak mula saya menduga kebudayaan itu persis tarian, karena itu bila Anda ingin menjadi budayawan, belajarlah menari. Tetapi fatalnya tarian pertama yang saya kenal dan saya pelajari adalah tari tiban. Dengan cambuk setiap pasang diantara kami saling melukai dengan cambuk itu. Karena itu kebudayaan saya pun di kemudian hari selalu penuh dengan aroma dendam. Jadi untung-untung saja saya bisa hidup sampai sekarang, meskipun seringkali saya nyaris terbunuh oleh bekas lawan-lawan saya dari belakang. Siapa dia? Anehnya, sering saya jumpai sosok yang nyaris membunuh saya itupun juga bernama kebudayaan. Itulah yang saya maksud di tempat ini kebudayaan telah menyamar jadi kejahatan dan setan. Lalu, apakah saya ini orang baik sehingga harus dienyahkan? Ah, setidak-tidaknya sayalah yang berani menghadapinya dengan membuka baju celana dan telanjang dada seperti ini <br /><br />BUKA BAJU MEMPERLIHATKAN KULITNYA PENUH BEKAS LUKA<br /><br />SESEORANG: Hei! Lihat seperti inilah buah dari sikap budaya saya. Maaf kalau saya tak cukup menantang anda untuk menunjukkan dada. Mana dadamu, ini dadaku! Tapi saya harus katakan mana badanmu ini badan saya. Tapi itu bagi saya tidak cukuuuupppp!!!! Karena badan saya yang penuh luka ini tidak pantas saya perlihatkan pada kebudayaan yang sorri, seperti gadis cantik tadi. Malu aku ah, masak jeruk minum jeruk? Bagi saya kebudayaan itu spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Hidup lebih hidup. Jangan tunda esok apa yang lusa bisa kerjakan sekarang. Di situ, jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kehidupan kosmos. Untuk itulah saya perlu moral sebagai saksi kunci. Jadi saya harap dalam pertemuan ini cukup menghadirkan saksi-saksi atau tersangka demi proses hukum pembuktian terbalik ini, untuk membuktikan apakah korupsi itu budaya atau kejahatan. Sehingga tak perlu saya minta menghadirkan saksi kunci, si moral itu tadi. Kalau tidak? Apa boleh buat! Apa, sudah datang? Syukurlah permintaan saya pada Yang Mulia sudah dikabulkan. <br /><br />MENDENGAR SESUATU. MELIRIK KE RUANGAN SEBELAH.<br /><br />SESEORANG: Sssttt!!!! Jangan berisik, istriku. Sembunyilah di tempat aman yang kita siapkan seperti biasa. Jangan biarkan anak kita bermain lampu. Kalau perlu tidurlah. Aku sedang ada urusan. Sudah, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan ngintip, ah. <br /><br />BERGEGAS MENDEKATI PINTU. MENYAMBAR BAJU DAN SEPATU. MENGENAKANNYA CEPAT-CEPAT. LALU BERSIAP PERGI.<br /><br />SESEORANG: Begitu cara saya melindungi keluarga saya. Oh, ya anda belum tahu bagaimana cantiknya istri saya, bagaimana lucunya anak saya. Dia penurut dan sama sekali tidak pernah mempersulit saya untuk melindunginya dari bahaya di luar rumah. Karena tidak mungkin saya harus serahkan tanggungjawab saya pada orang lain, tetangga apalagi negara. Saya harus atasi sendiri. Syukurlah tidak ada kesulitan meskipun dengan cara apa adanya. Di sini apa-apa yang pernah saya dapatkan dari buku-buku bacaan amat membantu saya. Saya ajari istri dan anak saya untuk tidak mengkonsumsi daging seperti apa yang pernah dilakukan Mahatma Gandi. Segala kesulitan hidup betul-betul saya tanggung sendiri. Pendidikan anak-anak saya tangani sendiri tanpa harus bergantung pada negara. Ekonomi keluarga kami kelola sendiri demi menjaga diri bukan hasil korupsi. Baiklah, saya harus hentikan sementara ocehan saya.<br /><br />LAMPU BLACK OUT.<br /><br /><br /><br /><br />BAGIAN KETIGA<br /><br />LAMPU FADE IN. DI PANGGUNG SISI KANAN BERDIRI SESEORANG MENGENAKAN SERAGAM KANTOR. LENGKAP DENGAN SEPATU DAN DASI.<br /><br />SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Nama saya Budiawan. Ya, kadang-kadang orang memanggil saya Budiman. Namun saya tidak merisaukan betul dengan panggilan itu. Satu hal yang tak saya ketahui mengapa ibu saya memberikan nama kecil seperti itu. Tapi saya bisa menduga kurang lebih kemana arahnya. Tak lain agar saya menjadi orang baik, pintar dan berakal sehat. Tapi apakah selama saya hidup di dunia ini sudah seperti apa yang tertulis pada nama saya? Saya tidak tahu persis karena seperti yang terjadi pada saat ini, saya juga tak tahu persis mengapa berada di tempat ini di hadapan Yang Mulia Hakim. Tidak seorang pun yang tidak mengharapkan keadilan di tempat ini. Demikian juga dengan saya. Saya datang kemari untuk mencari keadilan atas nama diri saya sendiri. Ya, saya sering mendengar tempat seperti ini sering diperjualbelikan. Hukum bisa diperdagangkan bahkan di pengadilan bukan rahasia lagi sering jadi target pemerasan. Tetapi untuk kasus saya ini, untuk kali ini saja saya betul-betul percaya dengan Yang Mulia Hakim. Habis sudah tidak ada jalan lain sih. Toh, di sini bukan hakim yang membuktikan saya bersalah atau tidak. Saya sendiri yang akan memastikan keadilan. Jadi mohon anda dengarkan apa pun pembuktian saya, oke Pak Hakim? Nah, seperti itu baru namanya hakim. Putuslah keadilan dengan santai, jangan tegang-tegang. Agar anak-istri anda juga tenang di rumah. Kalau anda tegang, ibu anda jangan-jangan ikut terserang jantungan.<br /><br />SESEORANG: Perlu Yang Mulia Hakim ketahui, saya adalah orang yang sangat mencintai ibu saya. Saya adalah orang yang satu kali pun tak pernah membantah perintahnya dan saya menghormatinya lebih dari manusia biasa. Karena saya tahu ibu adalah perempuan pilihan dewa. Semenjak kecil hingga dewasa saya selalu memohon restu kepada ibu setiap melakukan tindakan apa saja. Karena saya jelas merasa beruntung masih memiliki ibu seperti dia. Dan saya sama sekali tak memiliki keberanian untuk membayangkan bagaimana bila kelak ibu saya tiada. Beda dengan apabila saya membayangkan orang lain dengan ibu-ibu mereka. Dari kepala desa sampai kepala negara, dari mantri hewan hingga menteri-menteri negara, dari penjahit sampai pejabat. Apakah mereka sudah tak lagi memiliki ibu sampai berbuat demikian merugikan orang? Apakah bukan mustahil mereka telah tak merasa memiliki ibu? Jika benar demikian apakah sebenarnya mereka-mereka ini anak haram jadah? Harapan saya semoga tak pernah betul terlintas di benak saya, bagaimana bila ibu saya tiada. <br /><br />MENUTUP MULUTNYA <br /><br />SESEORANG: Inilah bukti kejujuran saya, biarpun tak semestinya saya kemukakan ternyata keluar juga itu dari mulut saya. Ini sudah menjadi naluri saya yang mengatakan saya akan terus berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu jelas, biarpun saya jadi sakit. Tapi kebenaran di sini jadi absurd. Kebenaran di sini menyakitkan. Kebenaran jadi kejam. Bahkan kebenaran di sini jadi mengerikan. Anehnya, saya memilih semuanya. Apakah kemudian saya harus katakan kebenaran itu aneh? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Jadi aneh karena memang langka, tapi jadi tidak aneh setidak-tidaknya menurut ibu saya. Entahlah, saya begitu kukuh untuk percaya, bahwa ibulah satu-satunya yang bisa saya percaya. Ketika saya memutuskan keluar dari pekerjaan, dan melepas seragam ini, ibulah yang meluluskan permohonan saya dan mengerti penjelasan saya. Bahkan sebaliknya, ibu malah menyuntikkan sebagian sisa spirit hidupnya demi saya, anaknya yang baru saja sadar dan bangun dari kejahatan terbesar di negeri ini, yakni berpikir untuk diri sendiri dan bukan demi ilmu. Aku sekarang benar-benar menjadi anak ibu kembali. Ibuku mengajarkan kejarlah ilmu sampai tua. Tak cuma kata-kata, buktinya ibu telah membekali saya anaknya dengan ilmu hingga ibu tak memiliki apa-apa. Lalu betapa munafiknya saya bila ternyata di kemudian hari ilmu saya itu sungguh tak berguna. Sudah dapat saya duga, restu ibu membuat saya sadar kembali kebenaran ilmulah yang musti dipegang teguh. Tapi tentu ibunda tak mau menjawab pertanyaan saya, bahwa pilihannya untuk saya ternyata membuat keluarga saya berantakan karena jatuh dalam kemiskinan. Saya malu. Sungguh malu pada ibu. Tapi saya bangga. Sungguh bangga. Malu tapi bangga. Saya kira, semua yang hadir di sini bakal kelewat sulit mencari padanan kata malu tapi bangga. Hanya orang gila seperti saya yang bisa. Dan inilah keberanian saya sekarang. Membayangkan bagaimana bila bumi saat ini dipenuhi sesak dengan orang gila yang malu dengan bangga. Dugaan saya, evolusi akan bergerak lamban dan mengasyikkan kurang lebih seperti gadis jawa. <br /><br />SESEORANG: Mohon Yang Mulia izinkan saya berhati-hati untuk mengucapkan “malu dengan bangga.” Tapi apa yang terjadi di sini? Betapa banyak pejabat dan para penguasa atasan saya yang sungguh “bangga dengan kemaluannya.” Mereka-mereka seperti inilah yang menurut ibu saya, orang-orang yang benar-benar gila. Gila kuasa dan gila wanita. Ya, saya sih beberapa kali diajak dan turut membantunya, tapi itu dulu. Sekarang kan saya sudah sadar seratus persen. <br /><br />SENTIMENTIL<br /><br />SESEORANG: Eh Pak Hakim suatu ketika saya diminta untuk mencarikan atasan saya seorang gadis Jawa, tapi sebelum itu tentu saja, saya diharuskan memastikan keberadaan istrinya secara aman. Begitu, saya pastikan aman. Langsung saya bawakan itu perempuan yang emh..sebut saya namanya Sri. Tak perlu saya ceritakan pada Pak Hakim bagaimana cantiknya dia. Yang perlu saya ceritakan adalah, bagaimana atasan saya itu minta saya tak lupa membawakan kaset lagu-lagu Jawa Didi Kempot, kesukaannya. Saya putar, lalu menyanyilah si Didi Kempot itu, (menyanyi). Sri kapan kowe bali. Lungamu ora pamit aku. Jarene menyang pasar pamit tuku trasi, tapi kowe lungo ora bali…Ndang balio Sri, ndang baliooo… Tapi betapa kagetnya saya dengar atasan saya itu menyanyi lagu lain.. ndang mlumaho Sri, ndangmlumahoo.<br /><br />SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Kalau Yang Mulia sudi dan bersedia membaui mulut saya, barangkali saat ini masih sedikit tersisa aroma alkohol. Hanya sisa Yang Mulia, karena tak lain yang mengajari saya adalah atasan saya. Karena itu maafkan saya jika apa yang saya perankan tentang atasan saya ini kurang menjiwai dan jika Yang Mulia Hakim menghendaki, alangkah baiknya menghadirkan atasan saya. Tugas saya di sini hanya membuktikan bahwa atasan saya jelas-jelas orang yang melakukan kejahatan terhadap semesta. Bukan hanya melakukan kejahatan terhadap negara apalagi terhadap keluarga saya. Karena itu saya kira hukuman apa pun yang akan Yang Mulia jatuhkan padanya, saya kira kurang berat. Yang paling pantas menjatuhi hukuman adalah semesta.<br /><br />MELEPAS SEPATU. JADI BOTOL MINUMAN KERAS. MENENGGAK ISINYA. MABUK.<br /><br />SESEORANG: Akulah manusia avantgard. Akulah mahkluk terkini yang mewakili dunia. Karena akulah yang sanggup mengejawantahkan ide-ide cemerlang dengan otak jeniusku ini untuk menjelaskan kepada umat manusia bahwa puncak dari segala puncak ekstase kehidupan adalah bila saat kita menemukan jawaban: Kejahatan bisa dilakukan bersama-sama dengan kebaikan. Bila saat kita menemukan sebuah jalan dimana tak perlu lagi kesulitan dan sibuk untuk membedakan antara kejahatan dan kebaikan. Jadilah kejahatan itu adalah saudara kandung kebaikan. Karena itu antara keduanya bisa saling bertukar pikiran dan bisa saling menggeser tempat. Siapapun manusia yang melampaui masa untuk itu, dialah manusia yang sungguh-sungguh manusia. Dialah manusia pilihan Tuhan untuk memimpin manusia lain. Karena Tuhan dengan demikian telah mengetahui sedikit jawaban untuk apa ia menciptakan itu semua. Ekstase hidup saya mampu membuat Tuhan istirahat sejenak sebelum akhirnya meneruskan kembali kebiasaannya untuk bermain dadu. Maafkan saya kalau saya harus sampaikan dengan demikian arogan, Tuhan. Oh, iya, saya juga temukan dalam perjalanan hidup saya bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus arogan. Pemimpin yang saya maksudkan adalah pemimpin yang benar-benar pemimpin dan bukan pemimpin gadungan. Ya itu tadi pemimpin yang telah sanggup membuat kejahatan dan kebaikan seperti gado-gado. Mengapa saya katakan kejeniusan jadi syarat mutlak? Karena antara arogan dan kejeniusan itu ibarat laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan demi kelestarian semesta. Kejeniusan adalah muatan isi otak untuk menjadi arogan. Demikian juga dengan arogan, adalah mustahil tanpa kejeniusan. Tahukah Tuhan, ini adalah gejala akhir mahkluk di bumi? Sayangnya, anda hanya tahu soal moral dalam kitab suci. Kalau itu sih, saya percaya seratus persen, tiada yang sanggup menandingi kehebatan Anda. Tapi yang lain-lain, saya kira anda hanya bermain dadu. Tahukah, derajat keilmuan terakhir di bumi ini bukan untuk kesejahteraan umat manusia? Bukan. Karena terbukti tujuan seperti itu banyak mengandung cacat dan banyak diselewengkan. Kesejahteraan umat hanya ada dalam dongeng. Kesejahteraan umat itu non-sense. Pertanyaan saya, salah siapa umat ini kamu buat berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkelompok dan bahkan kamu hidupkan sentimen SARA! Derajat keilmuan terakhir yang subur di semesta ini adalah yang berorientasi pada kejeniusan dan arogan itu tadi, yang berorientasi pada jiwa pimimpin. Maaf, saya harus beritahukan satu hal lagi kepada Tuhan. Kalau dulu masalah-masalah terakhir di semesta ini adalah masalah keilmuan dan bisa dipecahkan, kecuali masalah pribadi. Sekarang apa yang terjadi Tuhan. Seluruh masalah-masalah sampai masalah terakhir di semesta ini jadi buntu jika diselesaikan dengan keilmuan. Tapi berjalan mulus jika dituntaskan dengan kekuasaan. Jadi enteng bila diatasi dengan jiwa arogan. Apalagi hanya soal sepele semacan KKN dan sebangsanya itu. Enteng, Bung!<br /><br />SESEORANG: Karena itu, saya adalah orang yang paling benci dengan pemimpin yang ia raih kekuasannya dengan jalan menjilat. Dia hanya setengah manusia, karena terbukti keberhasilannya itu sebagai upaya pembuktian dirinya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih dari seekor anjing. Kekuasaan yang ia raih dengan jalan seperti itu hanya menghasilkan penguasa yang tahu bagaimana KKN tanpa bisa menciptakan dan menjelaskan konsep-konsep KKN yang mendidik dan menyegarkan badan. Ibaratnya cuma bisa minum irek saja, tapi mandul! Apa yang terjadi jika pemimpin-pemimpin di negeri ini bisanya cuma minum irek saja tapi mandul? Yang terjadi kurang lebih ya seperti di negeri kita ini Yang Mulia. Maaf kalau saya harus katakan kurang tepat bila unsur-unsur KKN di negeri ini hanya disebut “Tindakan yang merugikan keuangan negara,” padahal penjelasan tentang perbuatan yang menguntungkan negara juga tak pernah tuntas dibicarakan. Maksud saya, kalau kami dituntut untuk menjadi warga negara, saya juga menuntut apapun perbuatan warga negara harus dihitung untung dan ruginya. Apalagi cuma KKN. Jangan hanya perbuatan subversif saja yang dihitung, Yang Mulia. Kasihan mereka itu masih muda tapi sudah dibonsai hidupnya. Yang sedikit sopanlah, biarkan anak-anak muda itu sampai tua baru nanti kita jelaskan bahwa ide-idenya sudah terlalu usang. Pasti mereka nanti timbul penyesalan. Penyesalan. Ya, rasanya penyesalan itu cukup mendidik bagi orang macam kita. Ya, setidak-tidaknya seperti apa yang terjadi pada bangsa kita ini. Penyesalan terus dijadikan pelajaran. Kiranya ini bisa lebih gawat. Kalau perlu ganti saja kurikulum pendidikan moral di sekolah-sekolah dengan mata pelajaran baru: Penyesalan. Jadi apa yang terjadi di sini, menurut saya hanya sia-sia saja dan sia-sia itu perbuatan korupsi juga lho, Yang Mulia. <br /><br />SAMBIL TERUS MABUK MINUMAN DARI SEPASANG SEPATUNYA<br /><br />SESEORANG: Yang terbaik adalah, dilihat dari sisi keilmuan tercanggih saat ini: Bertarung. Jangan bernostalgia dan jangan bersikap sentimentil. Bertarung satu lawan satu itu lebih fair, lebih menjanjikan, dan yang penting adalah lebih beradab. Berilah hak kepada setiap orang untuk membuktikan diri, seperti malam ini. Ajaklah beradu konsep dan perkenalkan diri masing-masing adalah calon pemimpin di dunia perhelatan. Ya, memang susah. Tapi usaha sekecil apapun harus dimulai, misalnya dengan menumbuhkan kebiasaan untuk membaca cerita silat. Betapa di situ penjahat dan pahlawan sama-sama punya kesempatan untuk membuktikan diri kecanggihan ilmunya. Tahu referensi saya? Barangkali orang segenerasi saya dan Yang Mulia Hakim itu sama: Ko Ping Hoo, Panji Tengkorak. Ya setidak-tidaknya kalau anak muda sekarang mustinya baca impecable twins-lah. Biar tahu bagaimana jurus-jurus di dunia kangow.<br /><br />MELEMPAR SEPATU KE ATAS. <br /><br />SESEORANG: Jujur saja saya akui. Memang benar, saya korupsi. Tapi, korupsi saya ini saya lakukan dengan tingkat kesadaran yang amat tinggi. Korupsi yang saya lakukan justru mempertontonkan bahwa saya adalah orang yang beradab. Korupsi yang saya lakukan tak lain adalah demi menjaga ekosistem dan demi kelangsungan hidup. Dan tahukah saudara-saudara jalan saya ini saya tempuh tidak dengan cara mudah. Sulit. Memang sulit jalan peradaban ini. Seperti sekarang ini barangkali anda mengira saya sedang mabuk. Tidak. Kemabukan hanyalah jalan untuk membongkar dinding bisu dan kemapanan pola pikir. Sekaligus saya membuktikan bahwa antara jiwa dan tubuh saya masih terikat dalam sebuah kesepakatan dan harus senantiasa terjaga. Inilah makna kesadaran yang sebenar-benarnya kesadaran: Menjaga kesepakatan tubuh dan jiwa. Kebutuhan tubuh boleh tinggi. Kebesaran jiwa boleh menghebat. Tapi kalau hal itu tak terjaga dalam sebuah kesadaran akan upaya untuk menjebol dinding-dinding kebekuan dan kemapanan tentu mustahil bermakna. Dan apa bedanya manusia dengan seekor sapi? Tentu Anda sekalian perlu tanyakan, lalu di mana arti sebotol minuman bagi saya? Jawaban pertanyaan ini tak cukup dengan kata-kata. Karena itu mabuklah. Saya akan jamin, kebebasan ini perlu ditempuh dengan satu jalan kecil dan murah. Seharga sebotol minuman. Kebebasan untuk menjebol kebekuan ini hanya perlu sedikit waktu dan satu ayat bahwa Tuhan tidak membenci makluknya untuk mengumpat sekalipun ke angkasa atau kepada diri-Nya kecuali bagi mereka yang teraniaya. Jadi kita hanya perlu sedikit waktu karena kita sudah punya persyaratan yang telanjur dibayar mahal, yakni teraniaya. Saya kira ini sudah lebih dari cukup! Cukup! Kalau tidak? Sedikit saja kita sudah berada di titik batas melangkah menuju mati. Ya, jutaan orang di negeri ini seperti itulah keadaannya. Jadi ini hanya soal kesempatan. Lalu apa yang saya lakukan dengan kekuasaan saya hanyalah mencuri kesempatan. Apa susahnya? Apa salahnya dibanding usahaku untuk menyelamatkan bawahan-anak buah dan kelompok saya yang bila salah langkah sedikit saja akan tergelincir menuju mati. Jadi bagi saya yang punya kejeniusan dan kecerdikan ini, melakukan korupsi itu tindakan yang amat mudah. Begitu mudahnya, sehingga kadang-kadang saya seperti tidak melakukan apa-apa. Karena terbiasa akibatnya dalam perasaan saya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi hasilnya ruarrr biasaa!!!! <br /><br />MUSIK BERSAHAJA. BERGOYANG. KEMUDIAN MENARI <br /><br />SESEORANG: Bagi anda yang belum pernah melakukan korupsi atau belum pernah melihat bagaimana asyiknya korupsi itu terjadi, ya beginilah kira-kira gambarannnya. Jangan ragu-ragu dan jangan bimbang. Jangan ada bagian tubuh kita yang tertahan. Bila Anda ingin bergoyang, ikuti irama sambil berdendang. Gendang gendut tali kecapi, Kenyang perut senanglah hati. Mari-mari Yang Mulia Hakim. Mari kita menari bersama-sama. Singkirkan sejenak kitab hukum dari meja dan tak perlu lagi anda baca berita acara. Acaranya sekarang adalah berjoget. Karena kita pada hakekatnya adalah sama. Barangkali anda belum menemukan jawabannya saja. Pasti-pasti ketemu, bahwa gaji anda itu hanyalah sedikit bagian dari uang saya, hasil kerja saya. Ya, saya tak perlu imbalan apa-apa. Melihat istri anda lebih dari dua dan melihat anak-anak anda ganteng dan cantik itu sudah lebih dari cukup. Ya, ya kita sama-sama tahu ini hanyalah urusan bagaimana bersandiwara. Jangan terlalu menjiwai nanti malah lucu. Kita malah jadi repot. Kita malah susah sendiri. Terlalu serius nanti malah jadi malapetaka. Susahnya main sandiwara itu kalau kita ketahuan punya peran ganda. Itu saja. <br /><br />BERHENTI MENARI <br /><br />SESEORANG: Serius. Dalam dunia nyata ini kita harus serius. Jangan hanya serius kalau sedang menderita. Jangan cuma punya tekad kalau lagi sengsara. Apalagi yang punya kuasa, sering lupa diri dan tak serius pegang kekuasannya. Kesenian juga harus serius dan jangan dalam dunia nyata kemudian berperan ganda. Inilah arti sebenarnya dari kepribadian. Yang jadi pejabat jangan kemudian berperan jadi penjahat. Jadi polisi jangan merangkap preman. Intelektual tak usah pura-pura jadi pecundang. Seniman nggak perlu jadi pedagang. Apa? Laki-laki berlagak perempuan? Ah, kalau itu sih bukan pilihan. Itu kutukan, Bung! Beda dengan koruptor seperti saya. Jelas ini pilihan. Sama dengan kenapa orang lain memilih jadi presiden. Karena jadi presiden itu tak bisa merangkap sekaligus jadi rakyat. Setidaknya itulah prinsip demokrasi. Soal presidennya itu korupsi kolusi dan nepotisme itu lain soal. Dia hanya coba-coba. Kalau pun berhasil saya yakin hanya sekali dua saja. Paling-paling tiga atau empat kali begitu. Suatu saat pasti tersesat. Saya bisa saja memilih jadi da’i atau kiai tapi hal itu tak saya lakukan. Karena saya percaya masing-masing punya azas kebebasan, kesamaan hak dan persaudaraan. Persaudaraan? Ya, karena seringkali saya dibutuhkan oleh mereka. Saya kirimkan bertumpuk-tumpuk uang yang tak seberapa jumlahnya itu pada mereka. Keuntungan malah ada pada saya. Karena dengan begitu saya jadi sedikit dekat dengan Tuhan. Lumayan juga, daya intelektual mereka. Pintar dan tahu moral. Sedikit saja dari mereka yang terpaksa berurusan dengan polisi karena kebodohannya dan karena tak bisa menerapkan ajaran moral secara benar. Ah, saya sendiri tak pernah bicara moral karena itu bukan bagian saya. Tapi bukan berarti tak boleh mengkritik bukan? <br /><br />SESEORANG: Saya ini koruptor dan bukan kritikus korupsi. Kalau pribahasa mengatakan mengkritik itu gampang, berbuat itu susah. Bagi saya malah sebaliknya, mengkritik itu amat susah tapi berbuat itu gampang. Bedanya kalau di pengadilan, kritikus korupsi itu jadi saksi ahli yang tak pernah korupsi, sebetulnya beda sedikit dengan dukun. Tapi saya setiap kali di pengadilan duduk sebagai tersangka dan terdakwa. Jadi mengkritik sesama koruptor itu bagi saya sesungguhnya susah. Hanya satu yang membuat gampang saya mengkritik. Yakni karena usaha saya menjadikan korupsi sebagai ilmu telah berhasil gemilang. Buktinya, doktor korupsi seperti George Junus Aditjondro tak segan berguru pada saya. Memang itu ia lakukan secara diam-diam. Sebab andaikata ia lakukan secara terbuka, betapa malu seisi dunia ini bila seorang doktor belajar pada penggangguran macam saya. Jadi jelek-jelek begini, saya ini sebetulnya seorang pendidik yang ulung. Sebagai pendidik saya tentu tak keberatan mengkritik. Saya iklas, biarpun kritik saya atas korupsi ini tak jadi karya monumental karena karya saya yang sesungguhnya adalah korupsi itu sendiri. Begini. Presiden bisa korupsi, kiai pun bisa korupsi, lalu apakah korupsi mereka sudah sesuai dengan ilmu korupsi? Jawabnya, belum. <br /><br />SESEORANG: Tuan-tuan dan Nyonya koruptor. Kritik saya pada anda adalah, anda seorang koruptor tapi tak pernah mengaku berterus terang bahwa andalah koruptor itu. Anda tak mau bersikap tegas mengakui diri anda koruptor, penguasa atau pengusaha. Anda pengusaha tapi bersembunyi di balik ketiak penguasa. Sebaliknya, penguasa malah berdalih demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Tahukah akibat perbuatan tuan-tuan dan nyonya, sesuatu yang amat berbahaya telah merasuki jiwa rakyat, setiap detik, jam, hari dan sampai bertahun-tahun. Tahu apa itu, tuan-tuan dan nyonya? Rakyat jadi tidak iklas menjalani hidupnya. Rakyat jadi putus asa. Frustasi. Rakyat menjalani hidupnya dengan dendam, amarah dan amuk di mana-mana. Tahukah satu-satunya yang kini masih tersimpan baik di jiwa rakyat? Adalah kesabaran untuk tidak menggunakan pedang dan parang. Betapa hebat jiwa rakyat di balik perasaan dendam, masih sanggup berpikir bahwa pedang dan parang lebih berguna bila digunakan untuk panen kacang ketimbang untuk menebas leher orang. Rakyat masih segar berpikir bahwa kejahatan tak harus dibalas dengan kejahatan. Karena itu bagi saya, tuan-tuan dan nyonya tak lebih dari seorang yang munafik. Jadi kejahatan tuan-tuan dan nyonya di mata saya, bukan murni karena korupsi itu, melainkan justru karena anda munafik. Akibatnya, anda tak mau bertanggungjawab untuk menjalani profesi anda sendiri, karena dalam prakteknya anda melibatkan banyak orang. Di situ sering saya perhatikan anda membeli orang lain untuk kemudian melibatkannya. Saya tidak mempersoalkan mereka yang mau anda libatkan. Tapi yang tidak mau, kemudian anda paksa ini berarti tuan-tuan dan nyonya melanggar etika persamaan hak dan kebebasan. Bahkan yang menjijikkan saya adalah cara anda menyewa mahal orang untuk menyiasati undang-undang. Jujur saja, melihat kelakuan anda, sebagai pendidik saya jadi tersinggung. La wong, undang-undang itu dibuat oleh yang terhormat para wakil rakyat, tapi tuan dan nyonya malah merancang usaha untuk menyepelekan hasil kerja mereka. Bagaimana ini sudah tak menghargai diri sendiri, masih juga menyepelekan wakil rakyat. Jujur saja, satu-satunya yang saya kagumi dari tuan-tuan dan nyonya adalah pandangan anda yang sama sekali baru terhadap nasionalisme. Apa hubungannya? Lho, andalah yang memperkenalkan internasionalisme kepada kami karena anda leluasa keluar masuk negeri asing, hidup bebas di luar negeri meski jadi buron di dalam negeri. Ah, kata orang, itu sih karena kebodohan polisi saja. Lalu saya jawab, bukan. Bukan. Polisi kita tidak bodoh karena memang banyak akalnya. Kalau pura-pura bodoh mungkin saja. Atau justru karena kebanyakan akal itu kemudian polisi bingung sendiri. Ha..ha… Ya, mungkin saja. Hal itu, terlihat dari cara polisi menerapkan azas praduga tak bersalah. Buktinya, karena terlalu kuat berpegang pada azas itu, akhirnya polisi pun tak pernah melakukan apa-apa. Kejaksaan juga setali tiga uang. Fatalnya, itu terjadi pada kasus-kasus besar. Tapi pada kasus-kasus kecil, tuan-tuan dan nyonya tentu baru tahu bagaimana gambar-gambar di TV itu mempertontonkan ternyata polisi itu lebih garang dari preman. Lebih hebat dari penjahat. Jangan-jangan lebih sadis dari residivis. Di mata saya ini hanya soal keberanian, tuan-tuan. Banyak akal itu nomor dua, tapi keberanian itulah yang utama. <br /><br />MUSIK PARODI MENGIRINGI. <br /><br />SESEORANG: Karena ini kritik, maka janganlah hal itu tuan-tuan dan nyonya tanyakan kepada saya tentang diri saya. Itulah sebabnya mengapa saya senantiasa mengingatkan bahwa mengkritik itu susah.<br /><br />BERLAGAK SOPAN <br /><br />SESEORANG: He, Pak Kiai….Assallamualaikum. Ahlan Wasahllan, Pak Kiai. Ahlan Biq. Tentu Pak Kiai masih ingat saya santri yang urakan dan nggak punya aturan itu. Bukan. Bukan. Jangan kuatir. Saya tak termasuk santri yang murtad kok. Saya masih Islam, tapi Liberal alias lihat-lihat berapa nilainya. Ah, saya tak bermaksud menyindir Pak Kiai. Saya hanya guyon saja, bermaksud memecahkan kebekuan saja. Ini masih tahap pertama. Nanti, nanti akan saya ajarkan Pak Kiai untuk tahu bagaiamana nikmatnya bermain chatting. He...he…he.. Sambil saya belajar adakah itu aturannya dalam kitab kuning. Ah, sekali lagi mohon untuk jangan tanggapi serius ocehan saya. Jujur saja saya hanya bercanda. Satu hal yang mau saya kemukakan dan serius adalah saya kagum pada anda. Saya hormat pada anda. Bukan saja karena Anda manusia pilihan dan tokoh terpandang. Tapi juga karena darah biru anda. Kesimpulannya Pak Kiai nyata-nyata bukan orang biasa. Kalau boleh saya berkata siapa orang terhebat di dunia ini setelah Mahatma Gandi? Tentu saya jawab Andalah orangnya. Santri anda banyak dan tak satupun yang buta urusan dunia-akhirat. Kecuali saya. Ya, kecuali saya. Sebetulnya saya malu. Malu. Tapi saya beruntung masih punya malu sehingga punya kesibukan untuk menutupi malu saya dengan bicara yang menyejukkan hati saya sendiri. Saya tahu, meski saya diberi hak untuk mengumpat tapi hal itu tak pernah saya lakukan. Apalagi untuk menakut-nakuti orang. Saya tertindas tapi pada gilirannya tak pernah saya menindas orang lain, Pak Kiai. Maafkan saya kalau karena itu saya tak pernah lagi berjalan kaki mendatangi masjid-masjid. Saya takut. Para pengkhotbah itu telah menakut-nakuti saya dengan dongeng-dongeng mengerikan dan setiap kali sorot matanya jatuh pada saya, saya merasa bukan lagi manusia. Saya merasa jadi setan. Tapi lupakanlah, ini Pak Kiai. Karena saya hanya bicara tentang perasaan bukan kenyataan. Mungkin benar mungkin juga salah. Bisa jadi salah tapi bukan mustahil itu suatu kebenaran. Ironisnya, saya tak pernah diberikan kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan saja. Apakah kehidupan surga yang engkau janjikan itu juga berlaku bagi orang macam saya? Setan ini? Lalu apakah juga berlaku bagi orang yang memilih berada di luar karena ia tahu hanya sejengkal saja lantai masjid itu yang bukan hasil dari korupsi? Kalau demikian alangkah pemurahnya Tuhan kamu itu. Semuanya dihargai murah. Tapi bagi Tuhanku kenapa segalanya jadi mahal. Ya, salah saya sendiri, sih. Harga beras mahal. Harga susu mahal. Harga diri pun harus dijual mahal. Setelah bermalam-malam saya melekan, dan akhirnya dapat ilham. Tahukah apa jawabnya Pak Kiai. Satu-satunya jalan menuju keselamatan, saya harus memilih untuk kembali menjadi orang primitif. Tahukah Pak Kiai bahwa pilihan saya ini hanya beda sedikit dengan cara yang anda tempuh? Bedanya, kalau anda bersikap keras anda bakal dituding sesat atau teroris. Tapi saya dituding pembangkang. Kalau anda bersikap kritis kemudian banyak pejabat datang dan kasih uang apalagi menjelang pemilu seperti sekarang. Sebaliknya, bila saya yang berteriak lantang jelas buntutnya saya tak bisa dapatkan makan. Lalu, jika Pak Kiai sanggup menjaga kebersihan dan menepis segala godaan sudah pasti akan panen pujian. Kalau itu terjadi pada saya, orang akan berbondong-bondong untuk mengucapkan belasungkawa dan kasihan. Menyedihkan. Betul-betul menyedihkan. <br /><br />TABLAU BEBERAPA SAAT<br /><br />SESEORANG: Memang sudah menjadi tekad saya di tempat ini untuk pamer kesedihan. Sudah jadi niat saya untuk mengatakan bahwa menjadi seekor simpanse lebih nikmat ketimbang jadi makluk setengah manusia tanpa otak, hati dan perasaan. Alangkah asyiknya bila tempat ini untuk malam ini dipenuhi sesak para simpanse. Tentu saya tak perlu tegang menyembunyikan rokok ideologi saya di lipatan baju seperti ini (mengobrak-abrik baju kusut dan kumal). Kalau harus kutawarkan: Bos rokok! Paling-paling si kumpulan simpanse itu cuma meringis saja. Seekor simpanse cukup makan pisang tanpa perlu membaca undang-undang! Seekor simpanse tak butuh gelar penghargaan apalagi bintang jasa, tapi seekor simpanse untuk malam ini ia rupanya perlu membaca naskah karena lupa.<br /><br />SIBUK MENCARI SESUATU. KEMUDIAN MEMBACA NASKAH<br /><br />SESEORANG: Saya hanya ingin membela hidup keluarga saya apapun resikonya. Saya cuma ingin hidup terhormat di mata saya sendiri, anak serta istri saya. Satu-satunya kehormatan bagi saya adalah menjamin apa yang kami makan ini betul-betul bukan hasil menjarah. Memilih mati ketimbang menyantap masakan hasil korupsi dan kolusi. Apalagi, pantangan bagi saya bila menyimpan barang yang bukan hak keluarga saya. Saya membela kehormatan hidup keluarga saya karena itu adalah hak hidup saya sebelum mati. Saya harus ambil resiko meskipun saya juga sibuk menghitung sisa umur saya dengan jari tangan karena saya tahu kehormatan di luar rumah itu sangat beda artinya. Sebab itu, saya tak perlu menyampaikan kata maaf bila tak menerima tamu dari luar rumah. Siapa pun dia. Saya sudah tahu gelagat dan maksudnya. Pejabat? Kiai? Konglomerat? Cendikiawan? Ilmuwan? Menteri? Bahkan Presiden? <br /><br />SESEORANG: Sekalipun mereka datang bersama-sama ke rumah saya ini, saya akan lebih memilih mengurusi anak yang mencret ketimbang menjamu tamu-tamu seperti mereka. <br />SESEORANG: Apa? Ada yang belum saya sebut? Siapa? Tentara?<br />SESEORANG: Ah, untuk apa tentara kemari? Tapi dia tak mungkin berani masuk karena pintu saya kunci dengan paku sebesar ini.<br />SESEORANG: Tapi ini orang hebat. Pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dan merangkap kiai, gelarnya Profesor Doktor Insinyur Kiai Haji nekad datang kemari.<br />SESEORANG: Untuk apa? Belajar? Belajar Ilmu apa? Tidak bisa! Tidak bisa. Tahu apa yang nanti ia kerjakan? Dia akan menjual hasil penelitiannya kepada asing dan kita tetap saja miskin.<br />SESEORANG: Tapi ini ia cuma penelitian soal korupsi. Hanya untuk dia sendiri. Dia ngaku sudah korupsi tapi meski gelarnya banyak, korupsinya masih juga belum sempurna. <br />SESEORANG: Apa? Ngaku korupsi? Tangkap saja! Ada-ada saja. Jangan bikin saya pusing. <br />SESEORANG: Hei wanita. Siapa lagi itu. Jangan goda saya. Saya belum pernah ambil sikap bagaimana kalau tamu saya wanita. Tukang kredit! Sebetulnya ini urusan dapur. Tapi kukatakan saja istriku tak ada di rumah. Ha? Masih saja tanya? Istriku sembunyi di lubang tanah.<br /><br />KEMBALI MENDEKATI PINTU. KEMUDIAN MENGINTIP KELUAR LAGI.<br /><br />SESEORANG: Wow cantiknya dia! Pitzaaaaa!!!! <br /><br />MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU SEBENTUK BABI-BABIAN. HINGGA SESUATU MENGHENTIKANNYA.<br /><br />SESEORANG: Bukan. Bukan. Itu ibu! Oh, tunggu sebentar ibu! <br /><br />SIBUK MEMPERBAIKI ISI RUANGAN YANG KACAU<br /><br />SESEORANG: Mengapa ibu datang malam-malam begini? Apa? Bapak sudah ketemu? Hidup atau mati, Bu? Ah, sudahlah, ibu istirahatlah. Bagi aku sama saja bapak hidup atau mati. Jangan ibu repot-repot mencari bapak sialan itu untuk anakmu. Ibu sudah tua dan itu cuma nostalgia. Cuma masa lalu buruk untuk ibu. Tapi sekarang, tidak ada kehadiran di sini bagi aku yang lebih penting kecuali ibu. Biar susah sungguh. Aku tahu ibu susah dan aku sedemikian kesusahan. Aku tahu itu karena bertahun-tahun ibu menanggung malu dan percayalah ibu, bila kutemukan bapak ia akan aku lumat habis. Aku mencintai ibu tanpa sejengkal pun yang tersisa. Ya, tanpa sisa sejengkal pun. Seperti juga aku mencintai negeri ini, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi. Sekalipun aku anak jadah, lahir dari rahim pelacur seperti ibu, tidak ada seorang pun yang sanggup membebaskan jiwa dari fisik perempuan semacam ibu kecuali ibu sendiri. Hanya ruh ibulah yang mengerti bahwa seorang ibu tetaplah ibu. Perempuan tetaplah perempuan. Kalah maupun menang. Pelacur atau bukan. Hanya ruh ibulah yang tahu akan kebenaran dan omong kosong. Istirahatlah, ibu. Meski engkau tahu di sini, ruh ibu itu telah dikorup sampai ke akar-akarnya. Meski bangsa ini begitu bangga dan sedikit pun tak sungkan menyebut dirinya Ibu Pertiwi padahal di sana-sini demikian menganga borok dan kebobrokan. Istirahatlah ibu, dan jangan pedulikan anakmu ini. Sekalipun harus yatim piatu.<br /><br />KEMBALI MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU BABI-BABIAN. DIIRINGI MUSIK MEMBAHANA. LAYAR DITARIK KUAT-KUAT. BERPUTAR-PUTAR. LAYAR RUNTUH MENUTUP SEKUJUR TUBUH. MENGGELIAT-GELIAT. BERTERIAK-TERIAK.<br /><br />Tolong! Tolong aku.!! Aku nggak bisa bernafas. Tolooong!!!!. Aku takut kehabisan darah. Aku bisa mati percuma.<br /><br />LAMPU BLACK OUT<br /><br />SELESAI<br />Surabaya, Mei 2004teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-56590065920150120702008-11-30T07:05:00.000-08:002008-11-30T07:06:25.696-08:00HAMPARAN TANAH YANG BERANTAKAN. DUA SOSOK MAYAT BERSANDAR DI GUNDUKAN BEBATUAN. SUARA-SUARA KEMATIAN BERHAMBURAN DARI SEGALA ARAH. <br /> <br />Sejarah negeri ini selalu mencatat orang-orang yang berani mempertahankan hak miliknya sebagai pahlawan. <br />Keberanian itulah yang hendak aku tunjukkan pada dunia. <br />Apakah kalian akan meninggalkan tempat ini kaarena milik kalian telah hilang? <br />Apakah kalian menyerah hanya karena suara-suara dan bayangan yang tidak nyata itu? Jawab… <br />Nah, itu, ketakutan itulah yang membuat kalian kalah. Aku akan tetap di sini. Akan aku rebut kembali segala milikku yang dirampas olehnya. Kalau kalian mau pergi, pergilah… <br /> <br />SEORANG LELAKI MENGGUNAKAN TONGKAT DENGAN MENYANDANG SENJATA TERTATIH MENUJU HAMPARAN TANAH KOSONG. IA MENAHAN SAKIT YANG DALAM. <br /> <br />Terserah kalian menyebut aku gila.Tanah ini adalah nafasku. Negeri ini adalah darahku.Siapa (TERTAWA). Kalaupun dia datang lagi akan aku peluk dengan dadaku yang terbuka. <br />Oh…tidak.tidak!!! <br />Kalian bukan pajurit-prajuritku lagi, bukan orang-orang kepercayaanku lagi. <br />Pergi kalian.Pergi.Pergi!!! <br />Pergi!!!Pengecut!Pecundang!Penghianat!pergi!pergi!!! <br />HENING SEJENAK. <br />Akulah lelaki yang kehilangan. <br />Belum sempat aku menimang matahri yang beru keluar dari rahimmu.Belum sempat tunjukkan keringat kita yang berubah menjadi emas kepadanya,kasihku. <br />TERTAWA GETIR,TANPA SUARA. <br />Pagi yang seharusnya menyejukkan jiwa , tapi gerhana malah menebar luka . Kegelapan menutupi jalan . Tanah kita meleleh. Kita tidak bisa maju. Kita terpaksa mundur ke masa lalu. <br />Jabatan yang aku raih, lenyap. <br />Kekayaan yang bertahun-tahun aku kumpulkan,musnah. <br />Dan rumah megah ini kini tinggal harapan kosong. <br />Air mataku habis.Semuanya habis. <br />Yang tersisa tinggal cintaku,sayang. <br />MENANGIS <br />Sujud bagaimana lagi yang belum aku persembahkan padaMu, Tuhan? <br />Kenapa kematian begitu kejamnya menghancurkan surga kami? <br />DUDUK DI SAMPING MAYAT. <br />Ketidakadilan ini tidak akan aku biarkan menenggelamkan tanah kita. <br />MEMAPAH KAKINYA YANG PAPAH. <br />Auh…Auh…Auh …Keparat!!! <br />Lebih baik aku terluka karena peluru musuh daripada menahan penderitaan ini. <br />TATAPANNYA NYALANG MENYIMPAN DENDAM. <br /> <br />Maut.Dimana pun kau bersembunyi, aku pasti menemukanmu. <br /> <br />TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA-SUARA KEMATIAN. MAGIS. BERGELOMBANG. MENYAYAT SELURUH SEL-SEL TUBUH. <br /> <br />Suara itu lagi.Oh…begitu indah dan menggairahkan. <br />TERTAWA GETIR <br /> <br />SUARA-SUARA KEMATIAN ITU MAKIN BERGEMURH. <br />SAMBIL MENIMANG-NIMANG SEJATANYA, LELAKI ITU MENYATU DENGAN SUARA-SUARA KEMATIAN. <br /> <br />Berhenti! Berhenti! Berhenti!!! Auh…auh…auh… <br />Lihat, sayang.Lihat !Mereka mematuhiku.TERTAWA. <br />Ternyata masih ada masa depan.Apa?Oh…dingin,ya. <br />MENUTUPI TUBUH MAYAT DENGAN SELIMUT. <br />Sejak Peristiwa itu, angin tak tahu arah. <br />Sekarang, angin lebih suka mencekik leher daripada menebar benih. Ha…minta peluk. Belum saatnya.Dia terus mengintai setiap langkah kita. <br />Oh… bukan itu masalahnya. Kecantikanmu itu abadi. Bagaimana ?Ya,pasti. Pasti aku belikan kalung mutiara itu. Lehermu yang jenjang akan semakin berkemilau . Itu janjiku. Janji lelaki yang tak pernah mati. Namun, aku harus mengambil takdir kita yang dirampas.Setelah itu kita bangun rumah megah. Iya… Iya… Percayalah denganku, sayang. Masa depan kita tidak akan hancur. Yakinlah! <br />Bagaimna? Oh…jelas. Mana mungkin anak kita aku biarkan jadi gembel. Dia akan aku didik jadi pemimpin dunia melebihi Soekarno, Napoleon Bonaparte, Hitler, Mahatma Gandhi, Mou Zhetung, Julieus Caesar, namrudz, bahkan Fir'aun sekali pun. <br />Ada apa, sayang? Capek? Kau capek. <br />MENGAMBIL BAYI DARI PANGKUAN MAYAT ISTRINYA. <br />Wah, wah matahariku akmu ahrus lebih hebat dari ayah. <br />MENYANYIKAN LAGU KEBANGSAAN. <br />Itu adalah lagu kebangkasaan negeri kita, anakku. <br />Lagu ini memacu sembangat hidup kita untuk melukis masa depan. <br />Bagaimana, sayang? Oh… Justru. Sejak kecil dia harus kita didik jadi pahlawan. Bukankah karena kepahlawananku, kau mencintaiku? Aduh, kok main cubit.Malu?Sama siapa? Di sina tinggal kita berdua, mereka taku menghadapi kenyataan. Kumasih ingat waktu sekolah dulu. Ya… <br />TERTAWA. <br /> <br />Kau yang begitu angkuh, merasa perempuan paling cantik, kuat memohon cinta padaku. Oh, Satria…aku mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Betulkan?memang.Kuakui aku tergila-gila padamu. Habis kamu menarik, seksi dan pintar. Badanku sempat kurus karena memikirkanmu. Di mataku perempuan itu cuma kamu. Tapi aku kan hanya merayumu. Ternyata diam-diam kau lebih gila mencintai aku. Ah… geli. Sudah… auh…malu dilihat anak kita. <br />SEAKAN DIGELITIKI. SANGAT ROMANTIS.TERTAWA BAHAGIA. <br />Masa lalu seperti pelangi. Indah namun sulit digapai. <br />MELETAKKAN BAYI KE PANGKUAN ISTRINYA. <br />Kemesaan kita direstui waktu. <br />Kita berpacu menjadi orang berpengaruh di negeri ini. <br />Dengan satu tujuan, nama kita tercatat sebagai pahlawan. Kita berhasil. <br />Aku jadi penglima perang. Kau jadi menteri ekonomi. <br />Tinggal satu obsesi yang belum kita raih: Jadi orang nomor satu di negeri ini. <br />HENING SEJENAK <br /> <br />Tiba-tiba semuanya berubah. <br />Pesta penyambutan matahari menjelma jadi neraka.Bertubi-tubi kita diserang musuh yang tidak berwujud. <br />Bertubi-tubi negeri ini jatuh bangun. <br />Aku tak kuasa menahan gempurannya. <br />Bukan…bukan karena aku lemah.Tapi dia curang.Dia menyerang tanpa memberi tanda. <br />Ini melanggar kode etik peperangan! <br /> <br />SUARA-SUARA KEMATIAN ITU MUNCUL KEMBALI. KINI SAMAR-SAMAR MAGIS MENGIRIS HATI. <br /> <br />Apalagi yang akan terjadi? <br /> <br />SUARA-SUARA KEMATIAN ITU MAKIN BERVARIASI.DERAS BERGELOMBANG.MENERJANG PENDENGARAN. MENCABIK-CABIK JIWA.LELAKI ITU MENGERANG, MENJERIT,MERONTA-RONTA. <br /> <br />Berhenti! Berhenti! Berhenti!!! <br />DUDUK BERSIMPUH MENAHAN SAKIT. <br />Kenapa kalian berkumpul di sini? apa yang terjadi? <br />Sssst…jangat berisik. Matahariku sedang tidur. <br />MENARIK NAFAS. <br />Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk melindungi kalian. <br />Aku tahu bapak presiden juga ada di sini, termasuk juga menteri-menteri, anggota DPR/MPR, para pakar dari berbagai bidang ilmu, para hakim, tokoh-tokoh agama, para hakim, seniman-seniman dan para selebritis, dan juga pemimpin-pemimpin partai, serta tokoh elit lainnya. <br />Tapi, rumahku sudah hancur . Tinggal hamparan tanah kosong yang masih kumiliki. Bagaimana? TERTAWA.; <br />Bukan…peristiwa tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. <br />Hukum sebab akibat tetap berlaku dalam masalah ini. <br />Kita telah menuai hasil. Hutan kita bakar kemudian kita jadikan pabrik, real estate, hotel-hotel.Gunung yang diam kita usik untuk dijadikan lahan pertambangan. Laut yang begitu tulus kemudian kita obrak-abrik.Belum lagi kita yang keparat.Korupsi uang negara,membunuh para generasi muda yang kita anggap, membiarkan rakyat kelaparan, menjadikan hukum sebagai mainan kelereng, menjual anak-anak perempuan ke luar negeri, membiarkan tempat perjudian dan pelacuran bergerak bebas, perang saudara dan masih banyak lagi ulah bangsat kita yang memancing huru-hara. <br />Alam juga punya jiwa.Alam juga akan memberontak ketika kita tidak bisa merasakan gelisah hatinya. Ini hal biasa memang. <br />Tapi, ketika manusia sempurna jadi mimpi buruknya, menjadi buldozer yang melenyapi tata kosmos keseimbangan ini justru luar biasa. <br />Oh, maaf bila saya tidak mampu mencegah semua ini. <br />Tapi, saya berjanji akan merebut segala milik kita yang dirampas olehnya. Ini adalah janji lelaki yang tidak pernah mati. Siapa pak? Istri dan anak saya? Oh…ya jelas mereka diam saja . Mereka kan sudah mati. Oh… tidak. <br />Saya tidak akan mengubur mereka . Mereka tidak akan membusuk. <br />Tubuh merekja telah saya lumuri dengan cinta. <br />HENING SEJENAK <br />Sekali lagi saya katakan, saya sudah tidak punya apa-apa untuk melindungi kalian. Oh… bukan. <br />Bukan begitu pak presiden. Saya tidak bermaksud mengusir kalian. Bapak kan bisa melihat kondisi tempat ini. <br />Saya bertahan di sini karena ada satu peperangan lagi yang harus diselesaikan. Kaki saya, segala milik saya yang hilang akan saya rebut kembali. Termasuk kedhidupan istri dan anak . Yah… malam ini semua masalah akan selesai. <br />Pergilah. Saya tidak bisa bertanggung jawab atas nasib kalian. <br />BERSIMPUH. <br />Oh… jangan memohon begitu. Aku bukan panglima perang lagi. <br />Aku tahu…Aku tahu… Negeri kita babak belur. <br />Rumah kita hancur. Aku tidak bisa mencegahnya. <br />Alat teknologi serta persenjataan kita tidak mampu mendeteksi kehadirannya.Dia datang tiba-tiba tak berwujud seperti hantu. <br /> <br />TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA MENGGELEGAR DARI LANGIT. <br /> <br />Apa? Tuhan marah? Hanya karena ucapanku tadi? <br />Lalau dimana Tuhan ketika rumah kita hancur dan orang-orang yang kita cintai hilang entah kemana? <br />Apa? Kita lupa bersyukur? Kita tidak bisa membaca tanda? <br />Apakah salah kalau kita memiliki jabatan yang tinggi dan harta berlimpah ruah? <br />Apakah salah kalau kita bepesta? Yah… Tapi, kita semua melakukannya. <br />Sedikit korupsi dan main bunuh. Itukan manusiawi. <br />Ah…omong kosong. <br />Yang jelas maut telah berbuat sewenang-wenang dan Tuhan mendiamkannya. Harus ada cara lain untuk menundukkan mau dan itu harus kulakukan malam ini. <br />TERTAWA. Kalian tidak setuju? TERTAWA. <br />Tanah ini dalam kondisi darurat. Jadi tidak ada instruksi. <br />Bergeraklah atas nama kesadaran. Bagaimana? Oh… recanaku? <br />Aku akan masuk ke alam maut. <br />TATAPANNYA TAJAM. <br />Maut. Takdirku yang telah kurampas akan kurebut kembali. <br /> <br />SUARA-SUARA KEMATIAN DARI KEJAUHAN. LELAKI ITU MELAKUKAN PROSESI MENUJU ALAM MAUT. GERBANG ALAM MAUT PUN TERBUKA.SUARA-SUARA KEMATIAN ITU PUN MAKIN TAJAM. <br />LELAKI ITU TIBA DI ALAM MAUT. <br /> <br />PELAHAN-LAHAN LELAKI ITU BERGERAK <br /> TANGAN KANAN <br />Puih…TERTAWA. Aku merdeka. Aku harus lari dari sini sebelum dimintai pertanggungjawaban. Ke arah mana yah? <br />Oh… yah ke arah siang. <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Eit… tunggu dulu. Kau tidak bisa pergi tanpa aku. <br />Jangan buat keputusan sendiri. Aku mau kearah malam. <br /> <br />TANGAN KANAN <br />Sekarang kita pisah <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Tidak bisa. Kita sudah ditakdirkan menyatu. <br /> <br />TANGAN KANAN <br />Kalau begitu harus patuh dengan keputusanku. <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Tidak bisa itu di dunia. Sekarang kita punya hak yang sama. <br /> <br />TANGAN KANAN <br />Ssst… jangan keras-keras.Nanti ketahuan. <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Jadi bagaimana? Di dunia aku jadi budak terus menerus tanpa bisa protes. Di sini aku juga harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang aku juga tidak suka. <br /> <br />TANGAN KANAN <br />Makanya kau ikut ke arah siang. Bebas. <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Aku juga berhak menentukan arahku sendiri. <br />Aku juga sudah merdeka. Aku mau ke malam. <br /> <br />TANGAN KANAN <br />Ke siang. <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Ke malam. <br /> <br />TANGAN KANAN <br />Siang! <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Malam! <br /> <br />KEPALA <br />Diam! Di dunia ribut, di sini ribut. Apa tidak bosan ribut terus. Aku butuh ketengan. <br />TANGAN KANAN <br />Di sini kita makin tidak bisa tenang. Sebentar lagi malaikat datang. Kemudian tanya datang. Kemudian tanya macam-macam. Kalau kita tidak bisa mempertanggungjawabakan yang kita lakukan di dunia, habis. Kita bakal babak belur. Jalam selamat cuma ke siang. Di sana kita bisa jadi sinar. <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Sinar mudah dilihat. Berbahaya. Yang paling aman cuma malam. <br />Di sana kita bisa jadi kegelapan. <br /> <br />KEPALA <br />TERTAWA.Tolol! Siang dan malam terikat waktu. Kalau kalian ke sana, mereka pasti mengadu ke Tuhan. <br />Nih, tempat yang paling aman, kekosongan. <br /> <br />KAKI KIRI <br />Omong kosong! Segala sesuatu yang memiliki nama, pasti memiliki sifat dan bentuk serta terikat dengan ruang dan waktu. <br />Begitu juga dengan kekosoangan. <br /> <br />TANGAN KANAN <br /> Jadi apa yang harus kita lakukan? <br /> <br />KAKI KIRI <br />Lawan. <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Siapa yang harus dilawan? <br /> <br />KAKI KIRI <br />Aku juga tidak tahu. Kita cari sama-sama. <br /> <br />KEPALA <br />Aku tahu. Maut. <br /> <br />KAKI KIRI <br />Maut? <br /> <br />TANGAN KIRI <br />Kita di sini kan karena ulah maut. <br /> <br />KEPALA <br />Tidak.Aku baru ingat. Kita kemari punya misi. Membunuh maut. <br /> <br />TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA YANG BERGEMURUH. <br />KAKI,TANGAN DAN KEPALA SPONTAN BERJINGKRAKAN TAK TENTU ARAH. <br /> <br />KAKI KANAN <br />Tidak ada lagi tempat yang aman. Sebentar lagi malaikat datang meminta pertanggungjawaban dari setiap gerak kita di dunia.Hanya ada satu cara untuk lepas dari masalah ini <br /> <br />SEMUA <br />Selamatkan diri kalian masing-masing. Lari!!!! <br /> <br />TIBA-TIBA SUARA-SUARA KEMATIAN ITU KEMBALI LAGI. <br />KINI BERGELOMBANG,MENERJANG DAN MENCABIK-CABIK. <br />KAKI,TANGAN DAN KEPALA MERONTA-RONTA,MENGGELIAT-GELIAT,BERUSAHA MELEPASKAN DIRI DARI SUARA-SUARA KEMATIAN ITU. <br />NAMUN GAGAL.AKHIRNYA MEREKA TERSUNGKUR. <br /> <br />SUARA GAIB <br />Ambil hikmah dari setiap peristiwa. <br />Tuhan tidak pernah murka. <br />Bencana yang kalian alami adalah nasehat-NYA untuk mencerahkan peradaban masa depan. <br />Ingatlah, setiap nyawa yang terikat ruang dan waktu pasti akan merasakan mati. <br />Maut tidak terikat ruang dan waktu. <br />Yang kalian cintai belum tentu baik.Yang kalian benci belum tentu buruk. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. <br />Kembalilah ke dunia dengan jiwa yang bersih. <br /> <br />PINTU GERBANG DUNIA TERBUKA.SUARA-SUARA KEMATIAN LENYAP. <br />TINGGAL KEHENINGAN YANG MENCEKAM.LELAKI ITU MULAI BERGERAK. <br />TATAPANNYA KOSONG.DIA MELAKUKAN PROSESI FARDHU KIFAYAH DALAM KONDISI SEMI TRANCE.SUASANA EMOSINYA BERVARIASI. <br />ININYA DUKA. <br /> <br />Akh…sragh…tra…sia…bre…cyek…khwoa…cris…yea…pra…hya…kizzzsa…straefpa…qwotrsve…tyoqrrr…gsye…laily…yaikk…khuqa…zerissfph…akkre…gha…ngrko…crikkqo…pffszke…homngwa…qkhurtsa…bra…krerrtsa…lkkqswgha…bregzswy…trevcsj…kwyntsh…pqyrekstwiy…kronggsyahol…syaholqalyahu…qulyaallahiya…allyajh…allyehu…altyahu…allyahu…allyahe…allahu…ALLAH. <br /> <br />Medan, 10 Maret 2005teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-50769228974529579552008-11-30T07:04:00.000-08:002008-11-30T07:05:28.431-08:00NASKAH MONOLOG "MANGGALI" <br />Sering kali kita mentertawakan apa yang diucapkan sesama kita. Padahal semua itu sebenarnya sedang kita jalani. Bahkan hingga mencaci makinya. Hanya karena bukan kita yang menyampaikannya.<br /><br />SINOPSIS<br />Ratna Manggali, bunga desa Girah, anak tunggal Calon Arang. Terpaksa hidup merana, seoarang diri. Tak ada seorang laki-laki menaruh hati pada Ratna Manggali. Padahal, Ratna Manggali, adalah seorang gadis rupawan, elok tingkah lakunya dan tanpa kurang apapun. Satu hal yang membuat para pemuda Daha enggan mendekati Ratna Manggali hanyalah karena Ratna Manggali adalah anak gadis dari Calon Arang. Seorang janda sakti yang memiliki ilmu hitam.<br />Sempat suatu ketika, Calon Arang murka akibat keadaan yang dialami Ratna Manggali. Daha pun gempar dibuatnya. Calon Arang melampiaskan dendam dengan menculik para gadis desa Girah untuk dijadikan sesembahan pada Dewi Durga, guru bagi Calon Arang. Namun Penguasa Daha, Raja Airlangga mampu mengalahkan kesaktian ilmu hitam dari Calon Arang. Dengan cara memerintahkan Empu Baradah untuk menyelesaikan malapetaka. Empu Baradah mengutus salah seorang muridnya yang bernama Empu Bahula untuk meminang Ratna Manggali. Keadaan Daha pun kembali tentram.<br />Kemudian, muncul kelicikan Empu Bahula dengan mencuri kitab sakti milik Calon Arang intuk diserahkan kepada Empu Baradah. Murkalah Calon Arang, peperanganpun tak terelakkan. Namun, Calon Arang tak mampu berbuat banyak tanpa bantuan kitab saktinya. Calon Arang pun gugur.<br />Terbalaslah dendam kedua belah pihak. Daha menjadi tentram dan nyaman. Namun Ratna Manggali masih menyimpan kegundahan yang akhirnya menjadi sebuah malapetaka yang sanggup menteror, tak hanya bagi desa Girah dan wilayah Daha, Namun teror bagi semua umat. Hingga semua pelampiasan demi pelampiasan akan menggeleparkan kita semua.<br />Kini Ratna Manggali mulai menunjukkan keberaniannya. Menggugat semua yang telah menjadikannya seperti ini.<br />“Kenapa aku dilahirkan dari seorang ibu yang memiliki ilmu hitam?”<br />“Kenapa hanya karena ibuku memiliki ilmu hitam, para lelaki takut untuk mendekatiku?”<br />“Kenapa hanya karena tak seorang pemuda mau menikah denganku, ibuku murka dan melampiaskan dendamnya?”<br />“Kenapa baru saat ibuku murka dan membuat malapetaka, baru ada seorang lelaki yang diutus untuk menikahiku?”<br />“Kenapa setelah lelaki itu menikahiku, dia malah mengkhianati ibuku?”<br />“Kenapa ibuku harus mati?”<br />“Kenapa?”<br />“Keangkuhan perempuankah?”<br />“Atau kelicikin laki-laki?”<br /><br />BABAK 1<br /><br />FADE IN<br /><br />RATNA MANGGALI MUNCUL DARI SUDUT PANGGUNG SEBELAH KANAN. BERJALAN PERLAHAN MENUJU DEPAN BIBIR PANGGUNG SEBELAH KIRI.<br /><br /><br />BERTERIAK<br /><br />Kemana kau……!<br />Hai orang-orang….!<br />Dimana kau semua……?<br />Haruskah semua mimpimu menjadi kenyataan….?<br />Haruskah kau menjual apa saja yang kau miliki untuk mendapatkan kembali apa yang ingin kau miliki…..?<br /><br />RATNA MANGGALI BERJALAN KE TENGAH PANGGUNG<br /><br />FADE IN<br /><br />Malam, aku hanya bisa menunggu<br />Keajaiban tak mungkin datang<br />Kesaktianmu, adalah penentu akan semua nasib<br />Pun ini terjadi pada diriku<br />Pada nasibku<br />Malam makin gelap, dingin dan sepi<br />Aku masih menanti kepulanganmu<br />Pulanglah<br />Dengan atau tanpa kesaktianmu<br />Datanglah dengan keajaiban<br />Disini aku<br />Disini…!<br />Ini aku Ratna Mangali<br />Anak tunggalmu wahai Calon Arang<br /><br />--------------------------------------------------------------------<br /><br />Kenapa matahari hanya bersinar siang hari.<br />Jika pada malam kita masih merindukan cahaya.<br />Kenapa kalian takut untuk menatapnya, sedangkan kalian takut kehilangannya disaat mendung mencekam dan badai menderai.<br />Kenapa malam hanya diterangi cahaya bulan yang kadang redup oleh awan, bayangan gunung dan rumah-rumah.<br />Kenapa bulan begitu indah dipandang.<br />Begitu sejuk, lembut menemani setiap malam.<br />Melenakan setiap jiwa.<br />Hingga hanyut bersama kelamnya nasib.<br /><br />---------------------------------------------------------------------<br /><br />Ujung subuh ini, tak akan ada matahari terbit.<br />Esok adalah hari yang kelam.<br />Gulita oleh nasib.<br />Malang oleh dera kesakitan.<br />Terkapar lunglai meratap.<br />Lenyap hilang tertimbun mimpi malam ini.<br />Mimpi berteman bulan.<br />Mimpi berteman selimut bintang dan langit malam.<br /><br />-----------------------------------------------------------------<br /><br />Malam ini adalah akhir semua kisah.<br />Ujung semua mimpi.<br />Yang membawa kita kedalam hidup nyata di hari kelam.<br />Ujung dermaga ini, tak akan ada lagi kapal yang datang.<br />Tenggelam karam dilaut hitam dan kotor.<br />Tak ada lagi kejernihan.<br />Tak ada lagi kesejukan.<br />Semua menjadi hitam dan panas.<br />Semua akan menjadi dera yang sangat menyakitkan.<br /><br />---------------------------------------------------------------------<br /><br />Kini aku berdiri sendiri.<br />Disini.<br />Tiada siapapun.<br />Tanpa apapun.<br />Dipersimpangan.<br />Dibelakangku adalah masa lalu.<br />Sedangkan didepanku adalah akhir perjalanan.<br />Perjalanan panjang seoarang gadis.<br />Yang memimpikan seorang jejaka sepanjang hidupnya.<br />Yang membelaiku, menemaniku, menyetubuhiku dan memberikanku benih-benih keturunan.<br />Yang menggenggam tanganku hingga akhir hanyatku.<br /><br />---------------------------------------------------------------------<br /><br /><br />Aku terpenjara.<br />Terperangkap nasibku sendiri.<br />Menjadi seorang anak dari seorang tukang sihir.<br />Anak dari sampah masyarakat.<br />Anak dari Calon Arang…….!<br />Ya, aku Ratna Manggali.<br />Anak semata wayang si Nenek Sihir.<br />Terpasung rantai dan jeruji kesadisan ibuku sendiri.<br /><br />-----------------------------------------------------------------------<br /><br />Kala itu, ibuku murka…<br />Kemurkaannya membuat malapetaka.<br />Memporak-porandakan kehidupan masa kecilku.<br />Hingga datang seoarang pemuda yang dengan terpaksa menikahiku.<br />Bahula…..! Suruhan Baradah yang diperintah Airlangga.<br />Menikahiku, dengan berpesta tujuh hari tujuh malam.<br /><br />--------------------------------------------------------------------------<br /><br />Ibuku Calon Arang, sangat bahagia.<br />Karena aku telah mendapatkan pendamping hidupku.<br />Akupun demikian.<br /><br />--------------------------------------------------------------------------<br /><br />Bahula, aku sangat mencintaimu.<br />Meskipun aku tahu dan sangat memahamimu, bahwasanya kau menikahiku bukan lantaran kau mencintaiku.<br />Bukan lantaran kau menyukaiku dan menyayangiku.<br />Namun hanya karena permintaan gurumu.<br />Hanya karena perintah rajamu.<br /><br />FADE OUT<br /><br /><br /><br />BABAK 2<br /><br />FADE IN<br /><br />RATNA MANGGALI MENGGELIAT. MENGGAMBARKAN PERISTIWA PERSENGGAMAAN YANG BEGITU MESRA DAN MENGGAIRAHKAN. SEBUAH KENIKMATAN YANG MENUJU PUNCAK. BENAR-BENAR SEBUAH KENIKMATAN SEPASANG INSAN.<br /><br />Ayolah Bahula, keluarkan semua kepenatanmu selama ini.<br />Nikmatilah tubuh molekku.<br />Lumatlah bibirku hingga kau terpaksa untuk tidak meludah esok pagi.<br />Aku yang kini telanjang didepanmu, menantikan saat-saat seperti ini.<br />Pelukan seoarang lelaki yang bernapas mengendus seperti banteng mengejar musuhnya. Masuklah kedalam lembah ini dengan sepenuh hatimu, sepenuh kekuatan dan rengkuhlah aku sedalam yang kau bisa.<br />Habisilah aku jika kau memang sanggup.<br />Kuberikan semuanya untukmu.<br />Aku merindukan ini sudah sekian lama.<br />Cepatlah, aku sudah tak mau lagi menunggu lebih lama.<br />Lepas bajumu.<br />Liarlah bersamaku.<br /><br />----------------------------------------------------------------------<br /><br />Ayo, tuntaskan malam ini.<br />Selesaikan dengan derai keringat disekujur tubuh.<br />Ayo, remas aku.<br />Jangan kau perlambat permainan ini.<br />Aku tak mau kau tampak tak berdaya.<br />Aku tak sanggup melihatmu lunglai dihadapanku.<br />Berdirilah dan hujamkan diriku.<br />Masuk hingga kesekujur nadi.<br /><br />----------------------------------------------------------------------<br /><br />Tunjukkan padaku kalau kau adalah lelaki sejati.<br />Perlihatkan padaku kalau dirimu adalah manusia perkasa.<br />Jangan rusak malam ini hanya karena kau tak mampu lagi untuk pejamkan mata.<br />Bukalah matamu lebar-lebar, dan tataplah aku dengan sepenuh kegaranganmu.<br /><br /><br />RATNA MANGGALI KEMUDIAN LEMAS TAK BERDAYA<br /><br />Hah…..<br />Aku puas malam ini sayangku.<br />Kau telah memenangkan pertandingan malam ini.<br />Kau telah menjadikanku malam ini penuh peluh.<br />Luluh bersamamu.<br />Bahula, aku mencintaimu,<br />Aku menyayangimu.<br />Sepenuh jiwa dan ragaku.<br />Dekaplah aku sekali lagi.<br />Janganlah kau menggelepar terkapar sendiri menghadap pintu itu.<br />Kau tak akan mampu membukanya untuk lari dan pergi jauh dariku.<br /><br />---------------------------------------------------------------------------<br /><br />Kau telah mengisi kesepianku selama ini,<br />Bahula….<br />Kau telah menjawab seluruh pertanyaan yang memasungku tanpa batas.<br />Dekap aku Bahula.<br />Malam sebentar lagi usai.<br /><br />-------------------------------------------------------------------------<br /><br />Hmm…..<br />Aku puas Bahula.<br />Jujur, aku puas.<br />Jangan kau sudahi ini dengan termenung seperti itu.<br />Apalagi yang kau pikirkan.<br />Meski kutahu apa yang kau pikirkan.<br />Janganlah kau pikirkan lagi.<br />Semua telah ditentukan seperti ini.<br />Semua telah menjadi kesepakatan antara keinginan dan nafsu.<br />Antara toleransi dan kepentingan.<br />Antara keyakinan kita dan kepedihan kita.<br />Kita hanyalah korban.<br />Kita hanyalah buah dari pohon-pohon yang mereka tanam,<br /><br />PERLAHAN BANGKIT, DAN BERIDIRI SAMBIL MEMPERBAIKI PAKAIANNYA DAN MEMBAKAR ROKOK DAN MENGHISAPNYA. LALU BERJALAN SEOLAH-OLAH MENDEKATI BAHULA.<br /><br />Hiduplah bersamaku dan mati pulalah bersamaku.<br />Karena kau dan aku sebenarnya bukanlah siapa-siapa.<br />Kita tak punya hak untuk sombong dan menyombongkan diri kepada siapa-siapa. Termasuk angkuh pada diri kita sendiri.<br />Lumatlah hidup yang hanya sekejap ini.<br />Agar mati kita kelak tak banyak orang yang mengantarkannya.<br />Agar mati kita kelak hanyalah tertiup angin dan lenyap dikejauhan malam.<br /><br />FADE OUT<br /><br /><br />BABAK 3<br /><br />FADE IN<br /><br />DUDUK DIATAS KURSI. DUDUK SEENAKNYA. MENGANGKAT KAKI DAN SEBAGAINYA.<br /><br />Kini aku kembali merasa kesepian.<br />Bahula telah pergi.<br />Hilang bersama malam.<br />Aku kini betul-betul merasakan, jika korban hanya berlaku bagi kaumku.<br />Kaumku selalu menjadi korban.<br />Langsung maupun perlahan.<br />Kenapa aku dan kaumku sebodoh ini.<br />Padahal aku juga manusia.<br />Padahal kami adalah manusia yang sama-sama dilahirkan dari rahim seoarang ibu.<br />Seperti halnya kalian.<br />Seperti halnya semua manusia,<br />Adakah perbedaan yang lebih mampu membedakan kami dengan kalian.<br />Selain vagina kami dengan penis kalian.<br />Selain payudara kami yang membesar dengan dada kalian yang bidang.<br />Selain kegagalan kami yang selalu menjadi korban kelicikan kalian.<br /><br />---------------------------------------------------------------------<br /><br />Apakah itu yang lalu kalian jadikan kami sebagai umpan.<br />Merayu kami sampai-sampai bersimpuh takluk dihadapan kami.<br />Dan kemudian kalian hujamkan pisau kalian tepat menusuk ulu hati kami.<br /><br />-----------------------------------------------------------------------------<br /><br />Berpura-pura kami tak butuh kalian.<br />Kami kadang hanyut dalam kesombongan kami.<br />Mencoba untuk menguras kejantanan kalian.<br />Hingga kalian ringsek tak berdaya dibawah ketiak kami,<br />Namun kami selalu gagal dalam tipu daya kalian.<br /><br />-------------------------------------------------------------------------------<br /><br />Kalian tawarkan semua kenikmatan.<br />Semua yang kami butuhkan kalian penuhi.<br />Meski kadang sebagian besar hanyalah janji di awal cerita.<br />Namun diakhir transaksi.<br />Kepala kalian mulai mengeluarkan tanduk.<br />Mulut kalian mulai bertaring dan berlidah panjang.<br /><br />Tangan-tangan kami terbelenggu.<br />Nikmat yang kami rasakan hanyalah karena kami masih memiliki rasa yang juga dimiliki kalian.<br />Nafsu kami sama dengan kalian.<br />Birahi kami punya dan kami beradu kenikmatan dengan kalian.<br />Namun sekali lagi kami terkapar sendiri.<br />Setelah kalian habisi kami.<br /><br />------------------------------------------------------------------<br /><br />Kemarin, aku sempat membuatkan kopi untuk suamiku Bahula.<br />Bahula senang sekali, dan menikmati kopi buatanku sampai selesai.<br />Akupun senang dan bahagia.<br />Bukan karena kopinya habis tak besisa.<br />Raut muka Bahula saat menyeruput kopi itu lho…<br /><br />---------------------------------------------------------------------<br /><br />Matanya terpejam lembut.<br />Bibirnya betul-betul begumul dengan bibir cangkir kopi.<br />Serasa dia mencumbuku seperti malam-malam kala itu.<br />Oh, betapa bahagianya Bahula….<br /><br />--------------------------------------------------------------------<br /><br />Tapi seketika itu pula…<br />Dia memintaku untuk kembali lagi keatas ranjang.<br />Memintaku untuk melayaninya sekali lagi.<br />Lagi dan terus menerus.<br />Rupanya Bahula ketagihan dengan pelayanan yang kupersembahkan padanya.<br />Seutuhnya…<br /><br />----------------------------------------------------------------------<br /><br />Bila kukenang masa-masa itu.<br />Betapa bodohnya aku sebenarnya.<br />Keangkuhanku diatas ranjang<br />Menggeliat meregang dan menggelepar<br />Yang kadang Bahula tak mampu mengimbangi permainanku<br /><br />-----------------------------------------------------------------------<br /><br />Tetap saja aku seperti ini<br />Tetap saja aku pun merana tak berdaya<br />Hanya ditemani rumput ilalang di beranda belakang rumah<br />Pohon jeruk itu pun kini sudah jarang berbuah.<br />Aku ketinggalan kereta lagi<br /><br />----------------------------------------------------------------<br /><br />Ibuku sempat bercerita saat aku kanak-kanak.<br />Kekalahan dan kemenangan hanyalah pikiran kita<br /><br />----------------------------------------------------------------<br /><br />Cara mengalahkan kebodohan adalah dengan kepandaian<br />Kepandaian akan kalah oleh kecerdasan<br />Dan kecerdasan akan kalah dengan kelicikan<br />Selicik-liciknya manusia toh akan kalah juga dengan kenekatan<br />Pada akhirnya, kenekatan pun akan musnah dengan kegilaan.<br />Semuanya akan kembali pada kebodohan itu sendiri,<br /><br />-------------------------------------------------------------------<br /><br />Aku bingung kala itu<br />Maklum, aku belum terlalu kuat untuk memaknai ucapan-ucapan seberat itu.<br />Datang bulan saja belum.<br /><br />-------------------------------------------------------------------<br /><br />Tapi sekarang<br />Lihatlah Manggali yang sekarang…………..!<br />Sudah menjadi janda.<br />Bahula suamiku tersayang, kenapa kau pergi begitu cepat.<br />Kau mati justru karena membela guru dan rajamu.<br />Bukannya membela isterimu yang sungguh-sungguh menyayangimu.<br />Bahkan kau belum sempat memberikanku keturunan.<br />Kau memang setia pada gurumu.<br />Pada rajamu.<br />Kau memang pantas mendapat bintang kesetiaan sebagai pahlawan bangsa.<br />Tapi kau sangat tak pantas untuk kuanggap sebagai manusia.<br />Sebagai seorang manusia laki-laki seutuhnya.<br /><br />-----------------------------------------------------------------------<br /><br />Kaulah lambang kelicikan bagiku<br />Kaulah manusia paling pengecut yang pernah kulihat.<br />Yang tak mampu memilah dan memilih, antara kesetiaan dan kesejatian.<br />Kaum yang selalu memoles diri sebagai kaum terdepan.<br />Namun selalu menikung dari balik selangkangan perempuan.<br />Kaum yang selalu merasa risih untuk selalu berkuasa.<br />Padahal kau hanya memainkan peran pendukung.<br />Kaum yang sejatinya adalah pelacur.<br />Kaum yang sejatinya adalah bukan siapa-siapa.<br /><br />----------------------------------------------------------------------------<br /><br />Lucunya….<br /><br />TERTAWA<br /><br />Aku tetap janda Bahula<br />Anak dari janda Calon Arang……..!<br />Bangsat…!!!<br />Mampus…………….!!!<br /><br />FADE OUT<br /><br /><br />SELESAIteaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-65997213868481246082008-11-30T07:03:00.000-08:002008-11-30T07:04:24.322-08:00CERITA LEGENDA RARA KEMBANG SORE<br />Judul : BABAD TULUNGAGUNG<br />CERITA INI DI DAPAT DARI NARA SUMBER ORANG-ORANG TUA ZAMAN DULU, DAN TELAH DITELUSURI BERDASARKAN PENINGGALAN-PENINGGALAN, DIRANGKUM MENJADI SEBUAH CERITA LEGENDA, DAN TELAH DI TELAAH KEBENARANNYA.<br />KONON DI JAMAN PEMERINTAHAN KERAJAAN MOJOPAHIT, DI DAERAH BRANG KIDUL DISEKITAR PANTAI SELATAN, TEPATNYA DI DUKUH BONOROWO, BERDIRI SEBUAH PERGURUAN YANG MENGAJARKAN ILMU JAYA KAWIJAYAN, GUNA KASANTIKAN, OLAH TATA NEGARA KERAJAAN, YANG ADI LUHUNG.<br />SALAH SEORANG MURIDNYA BERNAMA KYAI KASAN BESARI DARI DESA TUNGGUL YANG JUGA SEORANG PEGURON KECIL JUGA MENJADI MURID DI BONOROWO. KARENA DILARANG MENDIRIKAN PERGURUAN YANG SIFATNYA KEMUJIJATAN, KANORAGAN BERALIRAN HITAM, MAKA KYAI KASAN BESARI MARAH DAN INGIN MEROBOHKAN BONOROWO.<br />TERJADINYA PERANG ANTARA MURID TUNGGUL DAN BONOROWO, MENELAN KORBAN DIANTARA SALAH SEORANG PUTRA MOJOPAHIT, MAKA RAJA MOJOPAHIT UTUSAN PATIH PRAMADA UNTUK MELERAI PERANG DAN MENGADILI KYAI KASAN BESARI SESUAI KESALAHANNYA.<br />KEDATANGAN PATIH PRAMADA DI BRANG KIDUL, TERHITUNG TERLAMBAT SEMUA TELAH MENJADI RUSAK. UNTUNGNYA PATIH PRAMADA DAPAT MERINGKUS DAN MENGADILI KASAN BESARI, SETELAH ITU PEMERINTAHAN DIPINDAHKAN KE UTARA/GAMBILI MENANTI DAWUH-DAWUH DARI MOJOPAHIT.<br />TULUNGAGUNG, 20 MEI 2005<br />CERITA LEGENDA<br />N A S K A H<br />BABAD TULUNGAGUNG<br />PADA PENTAS KETOPRAK DALAM RANGKA MALAM PELEPASAN<br />SMP IV KABUPATEN TULUNGAGUNG<br />KELAS III TH. 2005<br />ADEGAN I<br />01. PADEPOKAN BONOROWO :<br />Pacet : Mangga kula derekaken sami lenggah.<br />Matur nuwun dene panjenengan sampun angrawuhi sedahan kulo, pramila mangga sami mujukaken puja-puji syukur wonten ngersaning Gusti Ingkang Maha Agung, dene Gusti sampun paring pinten-pinten kanikmatan lan kawilujengan.<br />Kabeh : Inggih mangga, Kyai.<br />Pacet : Ing wulan Sura menika kula badhe ambabar ilmu inggal, ananging saderengipun, keparenga kula nepangaken satunggaling Pengeran saking Negari Majapahit ingkang ugi badhe ngangsu kaweruh wonten Padepokan Bonorowo ngriki.<br />Mangga Jeng Pangeran !<br />Datang Pangeran Lembu Peteng.<br />Pacet : Mangga kersoa sami pitepangan<br />L. Peteng : Kula Pangeran Lembu Peteng, putra Romo Sinuwun Brawijaya saking Negari Majapahit.<br />Mn. Sopal : Ngaturaken wilujeng rawuhipun, kula Menak Sopal Bupati Trenggalek.<br />Bedalem : Kula nami Bedalem, Bupati Bethak.<br />Kalang : Kula Adipati Kalang ingkang nyepeng panguwaos ing Kadipaten Tanggul Angin.<br />K. Besari : Nggih !, dipun tepangaken kemawon, kula bentuah saking Tunggul dene nami kula Kyai Kasan Besari. Wilujeng rawuhipun wonten Brang Kidul.<br />Anu Kanjeng, Pangeran, kula Tunggul wanci niki usum panen tela, pramila mbenjing yen kundur, kula aturi mampir dateng Tunggul.<br />L. Peteng : Matur nuwun, mangga Kyai sampun cekap.<br />Pacet : Para Priyagung ingkang sami rawuh, saderengipun kula nglajengaken bab anggen kula ambabar ilmu, sepisan malih kula matur.<br />Kula mitungkas, saderengipun para murid ing Bonorowo sami buntas; kula ambali, sampun ngantos wonten ingkang sami madeg Paguron wonten panggenanipun piyambak-piyambak.<br />Kula ajrih menawi wulanganipun badhe melenceng saking paugeran Padepokan Bonorowo.<br />K. Besari : Nuwun sewu, Kyai. Sajake sampeyan niku nyemu dumateng kula. Prayoginipun, mbok nggih di dumuk mawon, yen kula lepat dibenerke. Eh, Besari kowe aja madeg paguron.<br />Nggih, pancen mboten kula selaki, kula pancen ngedegaken satunggaling paguron, ning sinten mawon sing dadi murid kudu ora tedhas di bacok, yen ora wani dadi maling, brandal, kecu, utawi ora wani njugil temboke tanggane, kula kengken lunga.<br />Pacet : Ya kuwi sing ora dak karepake, Besari. Marga kowe isih dadi tanggungjawabku sak wutuhe.<br />Kuwi mono kleru Kasan Besari. Mula wiwit saiki lerenana anggonmu madeg peguron.<br />K. Besari : Ora bisa, yen kudu mbok kongkon nglereni, pedah apa aku meguru ing Bonorowo. Luwih becik aku ora meguru ing Bonorowo ora patheken. Saiki dak garis Bonorowo. Bonorowo – Tunggul.<br />Kasan Besari meninggalkan sarasehan. Kyai Pacet berdiri dan ngelus dada.<br />Pacet : Yen ngono, anu Kalang, ing wirehne kowe sing cedhak karo Kasan Besari, saiki uga tungkanen lakune Kasan Besari, ajaken bali. Kondo-a yen akuwis ora nesu.<br />Kalang : Kula tutup-tutupana sajake sampeyan pun ngerti, yen kula ugi dadi muride kakek’e Kasan Besari.<br />Nggih, kula sagahi, ning yen nganti Kyai Kasan Besari nganti mboten kersa sampun nyalahake kula. Sampun kepareng !<br />Adipati Kalang berangkat, Tungka.<br />Pacet : Nuwun sewu sajak wonten alangan, pramila bab ambabar ilmu tembe mburi. Dipun sandekaken langkung rumiyin.<br />Dumateng nakmas sampun wonten glagat ingkang kirang sekeca.<br />Bedalem : Kyai, ing wirehne sampun sawatawis anggen kula nilar Kadipaten Bethak, keparenga kula nyuwun pamit wangsul dateng Betak. Kula mboten tumut-tumut ing bab menika.<br />Pacet : O, mekaten keparengipun ? Inggih mangga. Sanesipun mangga sami siyaga ing gati.<br />- Strat jalan :<br />Peraga : 1. 4 orang prajurit Tanggul Angin<br />2. Datang : Kyai Kasan Besari dan Pangeran Kalang<br />Dialog :<br />Besari : Sing ngati-ati, cah !<br />Kabeh : Nggih, Kyai !<br />Datang Pangeran Kalang<br />Besari : Lho ! Kok sampeyan, napa ajeng-e ngrangket kula, napa ?<br />Kalang : Boten-boten Kyai. Teka kula niki diutus Kakek-e Pacet, supados ngaturi sampeyan bali, merga Kakek-e Pacet sampun boten duka malih.<br />Besari : Lha sampeyan pripun ? Ngebotke kula napa ajeng sabela kaliyan Kakek-e Pacet ing Bonorowo ?<br />Yen sampeyan mbaluhi Bonorowo nggih kedah gelut kalih kula.<br />Kalang : Yen kula limbang-limbang, andika manggen leres. Tiyang sampun padha ijen, boten di dumuk keluputane wonten ngajenge tiyang kathah, mesthi kemawon sampeyan wirang.<br />Besari : Yen ngoten, sampeyan pinter nintingi agal alusing kahanan, bener luputing prekawis.<br />Nggih, samang titeni mawon. Benjing dinten malem Jemuah Legi, ing Bonorowo badhe wonten Raja pati. Mula wiwit sakniki mangga tata-tata.<br />Kalang : Mangga-mangga, Kyai.<br />- Panepen :<br />Peraga : Kyai Pacet Semedi<br />Datang : Kasan Besari<br />Datang : Menak Sopal dan Lembu Peteng.<br />Kyai Pacet sedang semedi membakar dupa, datang Besari membawa pusaka akan ditebaskan kepada Kyai Pacet, lalu Pacet mengeluarkan semburan api Besari terpental, datang Sopal dan Lembu Peteng.<br />Dialog :<br />Pacet : Wonten menapa, Makmas ?<br />Menak Sopal : Kula mireng suwanten gembludug ing salebeting panepen, wonten kahanan menapa, Kyai ?<br />Pacet : Niku wau wonten klebating tiyang, ajeng mrawasa kula. Nanging boten tumama.<br />Dipun eling-eling mawon, benjing rejane zaman dusun sisih Ler menika katelah-a Desa Nggledug. Mangga saniki sami dibujung lampahing Besari.<br />Kabeh : Mangga-2 Kyai.<br />- Strat jalan :<br />Peraga : 4 orang prajurit Tanggul Angin dan Pangeran Kalang<br />Datang : Kasan Besari terlempar … Edan ane …<br />Datang : Menak Sopal, Lembu Peteng, dan Kyai Pacet.<br />Terjadi perang campuh. Terus perang Kasenopaten.<br />1. Menak Sopal X 4 Prajurit Tanggul Angin … (Jurit kalah) …<br />2. Pangeran Lembu Peteng X Pangeran Kalang … (Kalang mundur) …<br />3. Besari X Pacet (mengeluarkan pangabaran) … (Besari lari) …<br />Sopal akan mengejar di Renggak (dihalang-halangi).<br />Dialog :<br />Pacet : Sampun-sampun boten sisah dipun bujung. Besari boten badhe wani bali malih.<br />Lho, ananging, wonten pundi Makmas Pangeran Lembu Peteng kok kula mboten sumerap ?<br />Sopal : Kala wau perang campuh kaliyan Pangeran Kalang, nanging sakmenika duka malih, wonten pundi ?<br />Pacet : Yen mekaten empun wedi kangelan, mang padosi nganti ketemu.<br />Sopal : Sendika, Kyai.<br />- Strat jalan :<br />Peraga : Dagelan, geguyonan secukupnya<br />Datang : Pangeran Lembu Peteng<br />Dialog :<br />Dagelan a : Lo niki ajeng tindak pundi malih, Den ? sajake kok kesesa ? Kamangka bojo kula teng tangsi, pripun mangke ?<br />Dagelan b : Kenek perkara narkoba apa priye kok digawa Polisi ? Mula kang, wis dak kandhani aja melu-melu ngosumsi barang haram pil koplo kuwi. Membunuh generasi penerus bangsa, goblok.<br />Dagelan a : Ngawur bae, bojoku teng tangsi kuwi ora di ukum, le ! nanging …meteng – patang – sasi.<br />Dagelan b : O, o, o, Astaghfirullah Harngadiiiim. Kaget aku, jebul teng tangsi kuwi meteng – patang – sasi.<br />Iki mono tugas negara aja mbok gandheng-gandhengke karo bojo mateng, dul !!!<br />ADEGAN II.<br />TAMAN SARI BETHAK :<br />Peraga : 1. Rara Kembangsore<br />2. 2 orang Emban : a. Cenil<br />b. Utri<br />3. Putri – 2<br />4. (Datang) Pengeran Kalang<br />5. (Datang) Lembu Peteng dan 2 orang Pelawak.<br />6. (Datang) Pangeran Bedalem bersama Pagneran Kalang.<br />Setelah para dayang-dayang dan emban dolanan, ke I dan ke II<br />Dialog :<br />Emban : Gusti putri Rara Kembangsore, badhe ngersakaken dolanan menapa malih.<br />Kb. Sore : Emban lan para dayang-dayang kabeh, aku wis rumangsa marem banget, dene wis pinter caos panglipur bisa dadi gumbiraning penggalihku.<br />Coba saiki aku dak takon, kepriye anggonmu tata-tata ana ing pungkuran ? Utri coba aturna.<br />Utri : Sedaya sampun sami rampung, menawi Gusti putri Rara Kembangsore nanaliti sak wanci-wanci boten badhe andadosaken dukaining penggalih.<br />Kb. Sore : Lha yen kowe Cenil ? dak keparengake matur.<br />Cenil : Semanten ugi kula, menawi Gusti putri badhe ngersakaken gantos busana sak wanci-wanci sampun cumawis.<br />Kb. Sore : Pagawean kang becik hayo padha dilestarekake, yen kowe rumangsa ora bakal dadi wanita kang piguna tumraping bebrayan agung.<br />Nanging kowe Cenil lan Utri lan kabeh bae para dayang-dayang sapa pawongan sing tumuju ing papan kene kae ?<br />Datang Pengeran Kalang, Kembang Sore, Mangga-2 Paman.<br />Kalang : We-lha, padha klumpukan, Nini Kembangsore apa Ramamu, paman Bedalem ana dalem.<br />Kb. Sore : Wonten, wonten ing pidaleman.<br />Kalang : Aku bakal sowan nanging Paman meling yen ana pawongan, sapa wae, kang bakal ngupadi Paman, kodho-a yen Paman ora ana ing papan kene.<br />Gongsa mungel, Kalang masuk ke kiri, Pengeran Lembu Peteng datang.<br />Lb. Peteng : Lik, rene-a Lik ! Yen ngono awake dewe iki keblasuk, …<br />Nuwun sewu Putri, nyuwun duka, kula boten ngersos yen ing papan ngriki Taman keputren, pramila keparengna kula nyuwun pamit. Hayo-hayo, bali Lik.<br />Kb. Sore : Boten, boten sampun kesesa, mapan panjenengan boten priksa.<br />Mangke rumiyin, keparengna kula nyuwun priksa, sejatosipun panjenengan menika sinten ? Wonten kersa menapa ? lan badhe tindak pundi, Pangeran ?<br />Lb. Peteng : Aku aran Pangeran Lembu Peteng, putrane Rama Brawijaya ing Modjopahit.<br />Tekaku ing papan kene, aku nggoleki buron luronku, apa ing kene mau ana sawijining pawongan kang lumebu ? Terus sliramu kuwi sejatine sapa ?<br />Kb. Sore : Wadhuh nyuwun gunging pangapunten, (sambil jongkok), Nil ! Lungguha.<br />Lb. Peteng : Ora apa-2 ngadeg bae, aku ora apa-apa kok.<br />Kb. Sore : (sambil berdiri lagi), Menawi mekaten kula derek nepangaken. (Salam) Kula nami Rara Kembang Sore, putra putri Rama Bedalem ing Bethak.<br />(Beri kesempatan dagelan action).<br />Nuwun sewu, menawi kula lepat nyuwun gunging pangaksami, ing papan ngriki boten wonten tiyang ingkang wani lumebet ing Taman Keputren. Ananging Pengeran, sareng kula mireng bilih nan dalem putra ing Mojopahit, kula lajeng kepranan. Mbenjing menawi Kanjeng Pengeran kundur dateng Mojopahit, boten ketang dados juru dang, juru penginang kula sendika.<br />Lb. Peteng : Apa sekira keng slira bakal dikeparengake dening Paman Bedalem ?<br />Jalaran Bedalem antarane Mojopahit kuwi mono adoh tur ngonggo banget.<br />Datang Bedalem dan Pangeran Kalang. Gongsa bunyi terus santak, suwuk.<br />Bedalem : Pangeran, lagi wonten menapa panjenengan tumrap anak kula Kembang Sore ?<br />Kembang Sore kowe mreneo … Boten menapa-menapa …<br />Kaya ngoten niku ora apa-apa ! Mendah yen apa-apa, kowe ngedir-ngedirake dupeh putra Ratu Majapahit, murang tata temen, kuei luput. Wis wani wawat putraku. Kowe putrane pengayoman, mesthine luwih ngerti to yen kene iki Taman Keputren, sapa wae uwong lanang ora kena lumebu ing papan kene.<br />Kapindone, kowe wis wani ngorek-orek pasuryanku, ngina marang panguasane Bupati Bedalem, ora nrimakake, kowe kudu mati saka tanganku. Tampanana pusakaku.<br />Bedalem ngunus keris, Lembu Peteng ditamani pusaka menghindar, ke-2 lari.<br />Bedalem : Kana-kana emban, Gustimu ajak manjing.<br />Kalang : Sak estu ta kakang, umpami panjenengan boten priksa piyambak kedadosan punika, mesti panjenengan boten bade pitatdos, sak menika kados pundi.<br />Bedalem : Siyagakke prajuritmu, Lembu Peteng kudu dadi rangketan, kudu dipateni.<br />Kalang : Mangga kula derek wonten wingking ipun Kakang Bedalem. Hayo cah.<br />- Mego kali :<br />Peraga : 1. Pangeran Lembu Peteng<br />2. Datang Tih Dara pati<br />3. Datang Bedalem<br />4. Datang Pangeran Kalang dan 4 orang Prajurit Bethak.<br />Larinya Pangeran Lembu Peteng dikejar Tih Darapati jadi prang, Darapati kalah mundur. Datang Bedalem bawa pusaka dihujamkan ke Lembu Peteng, menghidar, kembali di tikam, lari, dari samping kiri Jurit dan Kalang. Pangeran Lembu Peteng terjepit/terpojok lalu loncat ke sungai.<br />Dialog :<br />Bedalem : Ora wurunga bakal tumekaning pati. Mula kanggo pengeling-eling besuk papan kene katelaha Lembu Peteng.<br />Yayi Adipati Kalang kundur ing Tanggul Angin, tetanen prajurit lan laskarmu, marang sira Tih Danapati bali menyang Bethak.<br />Kabeh : Sumangga Kakang. (Rlt)<br />Setelah Pangeran Lembu Peteng loncat ke sungai, ditinggal oleh Bedalem dan datang Kembangsore sambil menangis mencari Pangeran Lembu Peteng, ketemu dagelan bertiga.<br />Dialog :<br />Kb. Sore : Duh Gusti, lajeng wonten pundi Kanjeng Pangeran Lembu Peteng. Kenging menopo tega nilaks ?<br />Paman apa kowe ngerti bendaramu Kanjeng Pangeran Lembu Peteng cumondok ana ngendi ?<br />Jo Gelo : Waduh gusti putri, piye kang diaturake apa ora.<br />Jo Rono : Matura, aturna bae.<br />Jo Gelo : Sejatosipun Jeng Pengeran njegur ing salebeting lepen menika, malah Jeng Pengeran sampun seda, Gusti Putri …<br />Kb. Sore : Piyee…wis seda ! saduh kepriye mula bukane ?<br />Yoh, dak kira wis dikersakake dening Gusti Ingkang Maha Wasesa, mung bae kowe aja wedi kangelan, dak utus balia nyang Mojopahit, aturna bab iki ana ngersane sinuwun Brawijaya ing Mojopahit.<br />Jo Lembung : Lajeng panjenengan bade tindak pundi Gusti Putri ? kabeh .. Inggih bade tindak pundi ?<br />Kb. Sore : Aku ora bakal bali ing Bethak, aku bakal topo idertahun, nyenyuwun Panguasane Gusti muga-muga aku bisa males sasra pati sedane kanjeng Pengaran Lembu Peteng, Sisya, andum gawe donga dinonga wae.<br />Dagelan : Mangga-mangga gusti.<br />03. ADEGAN IV:<br />OMAH DESA RINGIN PITU<br />Peraga : 1. Kyai Becak<br />2. Dapap Tulak – Dadap Langu (anak)<br />3. Kasan Besari (datang)<br />Dialog :<br />Becak : Tole, Dadap Tulak lan kowe Dadap Langu, wiwit esuk mau manuke Prenjak kok muni ngganter bae, iki mesthi bakal ana tamu, mula kowe sing tanggap marang swasana lan sasmita.<br />Kabeh : Inggih Pak.<br />Datang Kyai Kasan Besari, setelah dipersilahkan duduk.<br />Becak : Kene-2 adiku Kasan Besari. Apa padha slamet sak tekamu ? Kepriye kabare Tunggul, rak ya padha slamet kabeh ta ?<br />Yen ing Ringinpitu kene, padha ora kurang sawiji apa, malah mentas bae Ringinpitu panen pari, kena diarani panen raya.<br />Besari : Teka kula wilujeng Kakang, taklimk kula katur Kakang Kyai Becak …ya….<br />Nanging kok benten ing Tunggul, sasi niki Tunggul paceklik kathah omo tikus, wereng, lan sapanunggalane, mila pari padha gabuk boten saget panen.<br />Sareng kula mlebet ing omah Tunggul raose bingar, kula gadhah pangira.<br />Anu, Kang napa tinggalane Bapak nika taksih dipun rawati ?<br />Becak : Sing kok karepake apa tumbak Kyai Korowelang ?<br />Besari : Nggih niku, awit kasembuh Kyai Korowelang omo tikus sami ngalih ajrih.<br />Sawah-sawah dadi subur. Pramila teka kula ngriki badhe ngampil pusaka niku, Kang. Benjeng enggal kula wangsulake.<br />Becak : Yen bab tumbak kuwi aku ora entuk, merga kuwi pancen gadhuhanku, lan maneh sapa ya sing kuat kanggonan Tumbak Kyai Korowelang ? Mula dak nggo wasiat dak openi apik-apik, aja nganti ucul saka tanganku.<br />Besari : Wong disilih kok ora oleh, Yen ngoten kula kepengin weruh mawon, kersane lega manah kula.<br />Becak : Yen pengin weruh, … kana le jupukna lan kowe gawea wedang.<br />Setelah memberikan tumbak, Dadap tulak kembali masuk.<br />Terjadi dredah dan tumbak direbut oleh Besari.<br />Becak : Olehmu meksa-meksa kaya arep kok nggo mateni uwong wae.<br />Besari : Boten kula selaki, pancen arep dak nggo mateni uwong.<br />Becak : Aja, aja Besari aja, balekna<br />Sambil berdiri merebut Tumbak, Kyai Becak ditikam Tumbak … Modar…<br />Besari pergi, datang Dadap Tulak Dadap Langu, menjerit.<br />Dadap : Bapak kowe aja mati, aku melu sapa ? Bapak, Bapak …<br />Ora wurunga sing nyedani Bapak Lik Kasan Besari. Yen ngono ayo ditututi Lik Kasan Besari balia, Mandeka … berkali-kali.<br />- Strat jalan :<br />Dadap Tl : 1. Lik Kowe sing mejahi Bapak :<br />2. Ora trima, sampeyan kudu mati denging aku<br />Keduanya sakti, mati satu hidup lagi, terus diadu kumbo, mati bersama.<br />Jisimnya dibuang dipisahkan, dan diberi nama Boyolangu.<br />04. ADEGAN V:<br />PENDOPO KABUPATEN BETHAK :<br />Peraga : 1. Pangeran Bedalem<br />2. Patih Darapati<br />3. Garwa Retna Mursada<br />4. Rayi Rara Ringgit<br />5. 4 Orang prajurit Bethak<br />6. Kyai Kasan Besari dan Pangeran Kalang<br />7. Datang : Patih Haryo Pramada.<br />Dialog :<br />Bedalem : Sawise satata lenggah, marang ibune Kembang Sore, melu – melua mirengake anggonku ngembat pusarane adil.<br />Kakang Patih Danapati, kepriye mungguh sowane pra Nayaka, Sentana, Manggala sarta tamtamaning Negara Kadipaten Bethak kene ?<br />Danapati : Dereng kemawon kula matur, sampun wonten kepareng dalem andangu. Saderengipun kula nyuwun agunging pangaksami, menawi atur kula mangke kirang nuju prama penggalih dalem.<br />Para Nayaka, Sentana serta tamtamaning Negari sedaya sami saiyek saeka kapti, sami nyangkul karyaning negari, anjejekaken kawibawan dalem.<br />Bedalem : Tih Danapati, sira pinangka sesulih ingsun, tumindak-a kang adil pana marta. Lir-e paringa ganjaran marang kawula kang gedhe labuh labete tumrap Negara, kosok baline aja sira mawas endek duwuring kalungguhan, asor luhuring pangakat, sapa bae kawula kang luput mungguhing Negara kudu kapatrapan paukuman kang murwat marang kaluputane.<br />Danapati : Nun inggih, tuhu leres dawuh dalem sinuwun.<br />Bedalem : Yayi Pengeran Kalang, dipun sekecakaken lenggahipun.<br />Dumateng andika Kakang Besari, boten wurunga bab sedane Pangeran Lembu Peteng mesthi bade kepireng ngersa dalem sinuwun Barawijaya ing Mojopahit. Kados pundi menawi sinuwun ngantos duka penggalihipun, Kakang.<br />Besari : Leres ngendika panjenengan Kanjeng. Ananging sampun was sumelang, menawi wonten dukanipun sinuwun Brawijaya ing Mojopahit, kula ingkang majeng dados tamenging Negari. Kula sampun anggadahi sipat kandel arupi tumbak nami Kyai Karangelang. Ampuhipun ngedap-ngedapi. Sampun malih lamaking jalma limprah, prasat katamakake gunung bakal jugrug, segara bade asat bumi sigar adu mrapat.<br />Bedalem : Matur nuwun Kakang, kanthi pratelan panjenengan mekaten kula boten tidha-tidha malih.<br />Bersamaan datang Patih Pramada dari Mojopahit<br />Bedalem : Mangga-mangga kula aturi lenggah …<br />Sarawuh panjenangan kula mgaturaken kawilujengan, Ki Patih.<br />Kalang : Sembah kula mugi katur sinuwun Brawijaya ing Mojopahit lumantar Gusti Patih Pramada.<br />Besari : Kula ugi ngaturaken wilujeng sarawuhipun.<br />Pramada : Ya, ya, kabeh wae wis dak tampa, tibo-a sapada-pada.<br />Dene tekaku ing kadipaten Bethak, diutus ngersa dalem sampeyan dalem Sinuwun Brawijaya ing Mojopahit, mundut pirsa mula bukane dene Kanjeng Pangeran Lembu Peteng tumekaning seda ? Lan sapa sing nyedani ?<br />Bedalem : Anu … eek, … Kanjeng Pangeran Lembu Peteng pancen sampun dumugine seda.<br />Kalang : Nyuwun sewu, nyuwun sewu.<br />Bab sedanipun Jeng Pangeran Lembu Peteng amargi lepat menggahing pranatan ing Bethak, sampun wani ngewat Nini Kembangsore putri dalem Kakang Pangeran Bedalem.<br />Pramada : Lha terus sapa sing nyedani Pangeran Lembu Peteng ? Sepisan maneh sapa?<br />Bedalem : Kula, kula, awit Lembu Peteng sampun wani madonaken Adipati Bedalem.<br />Pramada : Bab luput utawa benere prekara iki aku ora diparingi wewenang, mula Pengeran Bedalem, bareng-bareng karo aku sowan ing Mojopahit.<br />Bedalem : Kula kinten mboten perlu sowan. Kula boten badhe sowan, amargi bab menika sampun rampung, sampun pas menawi Sinuwun Brawijaya, ngantos kalenggahan menika boten wangsul ing Kadipaten Bethak.<br />Pramada : Yen ngono sira wis wani mancahi penguwaos dalem sinuwun, kang lumantar Patih Pramada. Aku bakal nggunakake wasesaku, Bedalem kowe bakal dak sowanake dadi rangketan.<br />Bedalem : Tatanen prajuritmu metua njaba.<br />Patih Pramada meninggalkan pasowanan.<br />Bedalem : Kakang Besari, kula mundut tanggel jawab sampeyan, pripun yen wonten kedadosan kaya ngeten niki.<br />Besari : Nggih, kula adepane. Mang keploki saking kadohan, kula pecahe sirahe Patih Pramada. Keparenga nyuwun pamit.<br />- Strat jalan : Perang terjadi Danapati lawan prajurit Mojopahit, Kasan Besari lawan Pramada, Besari di tumbak mati, ganti Bedalem lawan Pramada, Bedalem lari.<br />- Mego kali : Larinya Bedalem karena dikejar oleh Pramada dan prajurit<br />Dialog :<br />Pramada : Pangeran Bedalem manuta dakrangkeng dak sowanake sinuwun Barawijaya ing Mojopahit, yen sira dianggep luput, aku kang bakal nyuwunake pangentheng-entheng pidanamu.<br />Bedalem : Katimbang aku dadi rengketan, luwih becik aku tumekane pati. Hayoo siagoa.<br />Perang terjadi lagi Pramada memegang tumbak lalu di tancapkan di dada Bedalem. Lalu dilemparkan ke dalam Rawa-rawa … WOS.. Keluar sukma Pangeran Bedalem lalu mrayang : “ Sanajan aku wis kawujutan bajul putih, entenana piwalesku suk yen ana kawula Mojopahit kang adus ing Rawa kene dadi panganku, wis eling-elingen x3”.<br />Pramada : Kaya ngono sumpahe Bedalem<br />Kanggo tetenger ing papan kene katelaha Rawa Bedalem.<br />Datang Pengeran Kalang, langsung jongkok dihadapan Pramada.<br />Kalang : Wadhuh nyuwun pangaksami, sejatosipun boten kirang-kirang anggen kula matur ngersanipun Kakang Pangeran Bedalem, ananging atur kula tansah boten dipun dahar, Bab kedadosan menika kula boten tumut-tumut Gusti Patih.<br />Pramada : Wis, wis, Pengeran Kalang nyatane kowe ora luput, yen Bedalem tumekane pati iku mono ngundhuh wohing penggawe.<br />Kalang : O, mekaten, sanget kaluhuran sabda dalem, Gusti.<br />Pramada : Sawetara Bethak komplang, mula Kadipaten Bethak dak pasrahake kowe Kalang. Sak leker genthonge, wewangunan kang rusak merga paperangan wangunen bali karo angranti dawuh-dawuh saka ngersa dalem sinuwun Mojopahit.<br />Kalang : Menawa makaten kula nyuwun pamit.<br />TAMAN SARI BETHAK : (Susahan)<br />Peraga : 1. Rara Ringgit<br />2. Datang : - Retno Mursada<br />- Pangeran Kalang<br />- Prajurit Bethak<br />Dialog :<br />Mursada : Wis, wis, aja banget-banget anggonmu menggalih, semendeh-a marang panguwasaning Gusti ingkang Maha Agung, muga-muga perang ora sida kedadehan merga ora ana barang kang moka lamun Gusti wis ngersakake.<br />Ringgit : Ananging kenging menapa raosing manah kula tansah was-was, pindane milar bayi ing sapinggiring lepen, kang bok.<br />Mursada : Ora-ora, kae ta ana unen-unen : sapa kang was bakal tiwas, mula sapa kang eling isih begja dening kang lali, wis lo ya aja susah dak tinggal disik. Kangbokarep ing pungkuran.<br />Datang Pangeran Kalang<br />Ringgit : Kene-kene Yayi Kalang, ya gene Yayi Kalang teka ijen wae, terus ana endi Kakang Bedalem kok ora bebarengan karo si Adi ?<br />Kalang : Perang tamtu dumados, Kyai Kasan Besari gugur ing Palagan, dene Kakang Bedalem ugi dumugining seda.<br />Mendengar berita Ringgit pingsan.<br />Kalang : Piye seda….?<br />Kangbok Ringgit !!! Eling Kangbok, kula aturi eling !<br />Setelah di tipas-tipas siuman kembali.<br />Kalang : Sampun-sampun Kangbok, sampun sanget-sanget anggenipun sabela sungkawa, mangga nyenyuwun dumateng panguwaosing Gusti, mugi-mugi Kakang Bedalem tinampi dening Gusti ingkang Maha Agung.<br />Kula ingkang sagah ngayomi Kangbok Rara Ringgit, awit sak menika kula ingkang nguaosi Bethak sak leker genthongipun. Kersoa Kangbok Ringgit kula sengkakaken ngaluhur dados garwa prameswari mukti ngawibowo ing Bethak.<br />Ringgit : Yayi Kalang, aja kaya ngono, ora becik, iki mono mangsa bela sungkawa, aja ya Di.<br />Kalang : Boten panenengan kedah kersa menapa kula kanthi mrawasa, manut nggih.<br />Di oyak-oyak, datang Retno Mursada, Rr. Ringgit lari.<br />Mursada : Pangeran Kalang, murang tata timen kowe, sapa Ringgit lan sapa kowe ? Wong lanang ora idep isin. Pangeran Kalang yen aku dadi kowe dak beset pasuryan-ku. Sanajan saiki kowe di paringi panguwasa yen Patih Pramada dening Ki Patih Pramada ning ora kaya ngono kuwi cak-cakanmu, ora pantes.<br />Kalang : Kangbok Mursada yen kowe sabela marang adimu Rara Ringgit kuwi mono jeneng wis pas, jer kuwi sedulurmu. Nanging saiki Rara Ringgit lunga saka Kadipaten Bethak. Minggat ta kowe, selak sepet mripatku nyawang rupamu kowe, Mursada.<br />Mursada : Yoh, aku bakal lunga, nanging Kalang bakal ana kedadeyan apa tumrap kowe. Ora bakal lana, Kalang !!!<br />Mursada pergi, Kalang sedikit bergumam, datang para prajurit Tanggul Angin.<br />Kalang : Jurit, aja wedi kangelan, ranketen Rara Ringgit ajaken bali, aln sing saperangan patenana Retno Mursada, mundak gawe sesuker ing Kadipaten Bethak.<br />Jurit : Sendika, nyuwun tambahing pangestu.<br />- Mego kali :<br />Peraga : 1. Rr. Ringgit<br />2. Datang : - Jurit Bethak<br />- Pangeran Kalang<br />Dialog :<br />Ringgit : Duh Gusti ingkang Maha Agung, kenging menapa kedah kula ingkang nandang lelampahan ingkang kados mekaten.<br />Pangeran Kalang, katimbang aku dadi garwamu, luwihbecik dak enthengake patiku, Duh Kangmas Bedalem, Kangbok Mursada kula nyuwun pamit … Byur…<br />Gongso santak datang Pangeran Kalang, lalu sirepan.<br />Kakang : (mulai dari dalam), Kangbok Ringgitttt … Aja! Aja! Ya gene kowe nekat nglaku.<br />Yoh, menawa wis ginaris yen lelakon iki kaya ngene.<br />Patih : Sampun, sampun Kanjeng, Rara Ringgit sampun njegur ing salebeting sendang, sampun dumugining seda, sumangga kula aturi ngeklasaken.<br />Kalang : Patih lan kowe, kowe kabeh, kanggo pengeling-eling papan kene mbesok katelaha Sendang Ringgit.<br />Aku jaluk wiwit saiki ayo mbudi daya, nglumpukake para nom-noman nambahi wilangane prajurit, aku bakal misahake saka panguasa ing Mojopahit. Aku bakal babela. Balela …<br />ADEGAN VI:<br />PERTAPANGUNUNG CILIK<br />Peraga : 1. Empu Winadi<br />2. Para Cantrik dan mentrik<br />3. Datang : 1. Patih Pramada<br />2. Retno Mursada<br />Dialog :<br />Empu : Para cantrik lan mentrik ing Gunung Cilik, kabeh wae, apa kowe wis padha ngrampungake kwajibanmu dewe-dewe ? Kaya reresik padepokan, ngisi padasan sing kanggo sesuci, lan pegawean-pegawean liyane ??<br />Kabeh : Sampun, sampun Sang Empu.<br />Empu : Bola-bali aku paring dawuh marang kowe kabeh, mbudi dayanging manungsa tan kuwawa ambedah kuthane pesthi. Mula ya cah, angagungna panguwasane Gusti, anggedhekna manembah marang Gusti Ingkang Maha Agung, lerek-e asiha marang sapadha-padhane tumitah … Ngertia yen sedela maneh bakal ana tamu Agung.<br />Kabeh : Inggih, inggih Sang Empu.<br />Datang Patih Pramada<br />Empu : Mangga, mangga, katuran pinarak. Sarawuhipun kula atur pambagya wilujeng.<br />Pramada : Ya, hayo ayo, dak derekake. Tekaku ing papan kene slamet ora ana alangan sawiji apa. Mengertenana aku pepatihing Mojopahit, lan apa aku wis adepan karo Sang Empu Winadi ?<br />Empu : Saderengipun kula ngaturaken sembah, selajengipun menawi andika mundut pirsa, inggih kula menika ingkang winastan Empu Winadi.<br />Pramada : Mangertia Sang Empu.<br />Dene tekaku ing Gunung Cilik kene diutus ngersa Dalem Sinuwun ing Mojopahit, nakyinake, apa bener kowe nglumpukake nom-noman supaya dadi murimu ? Terus apa kowe wis nyuwun palilah ana ngersane dalem sinuwun Brawijaya ing Mojopahit ? Lan apa sing kok wulangake, Sang Empu ?<br />Empu : Kaluhuran Gusti Patih. Dene para murid kula wulang tumuju dateng kasaenan manembah dumateng Gusti ingkang nyiptakake jagad, ugi saiyek saeka kapti tansah migatosaken dumateng panguwaos dalem Sinuwun ing Mojopahit, manunggalaken raos manunggal asih dumateng somo samaning dumados.<br />Pramada : Wulangan kang becik di lestarekake andhika bisoa duwe pangeran : Ing Ngarsa Sung Tuladha ing Madya Among Karsa Tut Wuri Handayani. Yoh, sanajan sira durung nyuwun palilah dalem Sinuwuning Mojopahit, besuke mesthi bakal dadi atur ngersa dalem.<br />Mentrik : Nuwun sewu Sang Empu, kula mentrik ingkang tinagenah jagi wonten ngajeng kepareng matur, menawi lepat nyuwun gunging pangaksami. Bilih ing njawi wonten tamu satunggaling ibu-ibu ingkang kepengin marak wonten ngersanipun Sang Empu.<br />Empu : Dak tampa, enggal aturna lumebu.<br />Mursada : Kula nuwun … kula pun Retno Mursada saking Bethak. Lampah kula madosi anak kula ingkang kesah saking griya, ngantos dumugining ngriki, pramuila kula nyuwun panonopan ing redi cilik ngriki, Sang Empu.<br />Pramada : Lho, kok kowe Retno Mursada, ya gene ora utusan para prajurit narasandi wae ?<br />Mursada : Waduh, Gusti Patih Pramada, nyuwun gunging pangaksami, sa sedanipun Kangmas Bedalem panguwaos ing Kadipeten Bethak diasta dening Yayi Pengeran Kalang, negari dados risak, malah Yayi Rara Ringgit dipun prawasa, bade dipun pundut garwa boten purun malah sak menika los saking Bethak, duka wonten pundi purukipun.<br />Pramada : Nanging ya gene sira ana papan kene ?<br />Mursada : Kula ugi dados korban, dipun tundung saking Bethak, rahayunipun kula saget lumajar ngantos diarang-arang lampah kula ngantos dumugi ing ngriki.<br />Pramada : Dikepenake lungguhmu; Lho Sang Empu sajak kaya ngembeng sungkawa? Ana apa to?<br />Empu : Ibu ! Kula pun Kembangsore, ….Lho Nini Kembangsore yo gene aku ora ngerti. Mangga…mangga ibu, lenggah ing caket kula, mugi-mugi Gusti enggal paring pepadang, bab lampahan menika.<br />Datang Pangeran Kalang, sambil lampah dodok.<br />Kb. Sore : Sopo sira wani munggah ing Gunung Cilik kene ?<br />Kalang : Menapa kula sampun eben ajeng kaliyan Sang Empu Winadi ?<br />Empu : Wis, sira wis ana ngersane Ang Empu Winadi. Lan terus sapa sira, lan duwe kekarepan apa tekamu ing Gunung Cilik kene ?<br />Kalang : Kula Pengeran Kalang Adipati Bethak. Dene teka kula ing ngriki, kula bade nyuwun ngampil pusaka, saking pangertosan kula kepareng dipun suwun menawi kedah lampah dodok lan saben tigang pecak nyembah. Wiwit saking Bethak dumugi papan ngriki sampun kelampahan lampah ndodok.<br />Pusaka menika bade kula angge ngrebahaken Mojopahit, kedah manungkul ing Kadipaten Bethak.<br />Pramada : Kalang, coba tontonen sapa sing ana pangarepmu lan tontonen sapa aku !<br />Kalang : Lhoooo Kembang Sore…to, panjenengan Gusti Patih, boten…x3 !<br />Kalang lari meninggalkan tempat itu.<br />Pramada : Nyuwun pamit dak bujunge si Pangeran Kalang.<br />- Adegan strat jalan : Perang terjadi, Kalang dikeroyok Prajurut Mojopahit, ditikam oleh Pramada, bangun terus lari. Beri nama BAntelan<br />- Mego kali : Kalang sembunyi di gampeng kali, diketahui lalu dioyak-oyak lagi.<br />Dialog :<br />Pramada : Kanggo pangeling-eling, yen Pangeran Kalang mau delik ana songsongane kali, besuk rejane zaman katelah-a kali Song.<br />- Adegan strat jalan : Meskipun sudah mencucurkan darah, Pangeran Kalang belum mati, lari lagi kesana kemari di tikam pusaka sampai darah keluar.<br />Pramada : Pangeran Kalang badane kaya disembret-sembret, eling-elingen ya Cah.<br />Suk papan kene katelah-a Desa utawa Kuta Kalangbret.<br />- Mego kali : Merayap di pinggir sepanjang kali, Kalang meninggalkan tempat itu.<br />Datang Pramada dan prajuritnya.<br />Pramada : Ilange Pangeran Kalang angganda bathang, dak kira wis tumekane pati.<br />Rejaning jaman desa kene dadia Desa Batangsaren.<br />Patine Pangeran Kalang ora susah dipikir disik, sing wigati tlatah brang Kidul kene wis pikantuk pepadang, ilange peperangan, saiki nemu bagya mulya.<br />Peprentahan suk siboyong sisih Lor, karo negranti dawuh-dawuh saka Majapahit.<br />Hayo saiki bebarengan asesanti : JAYA JAYA WIJAYANTI NIR SAKABEHING SAMBIKALA MANGGIH AMBAGYA MULYA.teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-20104406686082333942008-11-30T06:42:00.000-08:002008-11-30T06:43:29.685-08:00Sebuah Monolog<br /><br />S A R I M I N<br /><br />Karya Agus Noor <br /><br />1.<br />Tampak panggung pertunjukan, mengingatkan pada pentas kampung…<br /><br />Para pemusik muncul, nyante, seakan-akan mereka hendak melakukan persiapan. Ada yang mumcul masih membawa minuman. Ngobrol dengan sesama pemusik. Kemudian mengecek peralatan musik. Mencoba menabuhnya. Suasana seperti persiapan pentas. Tak terlihat batas awal pertunjukan.<br /><br />pemusik-opening.jpg<br /><br />Sesekali pemusik menyampaikan pengumunan soal-soal yang sepele: Memanggil penonton yang ditunggu saudaranya di luar gedung, karena anaknya mau melahirkan; menyuruh pemilik kendaraan untuk memindahkan parkir mobilnya, atau mengumumkan bahwa Presiden tidak bisa datang menyaksikan pertunjukan malam ini karena memang tidak diundang; pengumuman-pengumuman yang remeh-remeh dan bergaya jenaka… Atau menyapa penonton yang dikenalnya, bercanda, say hello, sembari sesekali menyetem peralatannya.<br /><br />Kemudian mereka menyanyikan lagu tetabuhan, yang mengingatkan pada musik topeng monyet. Para pemusik bernyanyi dan berceloteh jenaka. Sementara ruang pertunjukan masih terang. Tertengar lagu tetabuhan yang riang…<br /><br />Lalu muncullah aktor pemeran monolog ini atau Tukang Cerita. Terlihat jenaka menari-nari mengikuti irama. Hingga musik tetabuhan berhenti, dan Tukang Cerita mulai menyapa penonton dengan penuh semangat bak rocker,<br /><br />TUKANG CERITA:<br />Selamat malam semuanya! Yeah!…<br /><br />Wah, gayanya seperti rocker, tapi nafasnya megap-megap. Rocker tuek…<br /><br />Senang sekali saya bisa ketemu Saudara semua. Ini kesempatan langka, bertemu dalam peristiwa budaya. Anda mau datang nonton pertunjukan ini saja sudah berarti menghargai peristiwa budaya, ya kan?! Hanya orang-orang yang berbudaya yang mau nonton peristiwa budaya. Jadi, bersyukurlah, kalau malam ini Anda merasa ge-er sebagai orang yang berbudaya. Soalnya, di negeri ini, manusia yang masuk dalam kategori manusia berbudaya itu lumayan tidak banyak. Jadi manusia berbudaya itu agak sama dengan badak bercula. Sama-sama langka.<br /><br />tukang-cerita-bag-awal.jpg<br /><br />Nah, salah satu ciri penonton berbudaya itu kalau nonton pertunjukan, selalu mematikan handphone. Ayo sekarang, silakan men-non atifkan-kan HP Anda, sambil berimajinasi seakan-akan Anda itu Presiden yang sedang men-non aktif-kan menteri Anda. Atau kalau selama ini Saudara punya bakat dan naluri membunuh, silakan diekspresikan bakat membunuh Saudara dengan cara membunuh handphone masing-masing.<br /><br />Nanti, selama pertunjukan, juga dilarang memotret pakai lampu kilat. Nanti ndak jantung saya kaget. Di dalam gedung ini juga dilarang makan, minum atau merokok…. kecuali pemainnya.<br /><br />Malam ini, saya akan bercerita tentang Sarimin. Perlu Anda ketahui, nama Sarimin ini bukanlah nama asli. Tapi nama paraban. Nama panggilan. Nama aslinya sendiri sebenarnya cukup keren: Butet Kartaredjasa..1 Mungkin nama ini kurang membawa berkah. Meski pun ada juga lho orang yang memakai nama Butet Kartaredjasa, lah kok nasibnya malah mujur: tersesat jadi Raja Monolog. Atau istilah yang lebih populisnya: pengecer jasa cangkem.<br /><br />Nah, dia dipanggil Sarimin, karena berprofesi sebagai tukang topeng monyet keliling. Agak aneh juga sebenarnya, kenapa nama Sarimin itu identik dengan topeng menyet. Begitu mendengar nama Sarimin, langsung ingatan kita… tuinggg… melayang ke topeng monyet.<br /><br />Memang sih ada nama-nama yang identik dengan sesuatu. Yah, misalnya sepertu nama Pleki. Begitu mendengar nama Pleki, kita pasti langsung teringat pada… (sambil menunjuk ke arah pemusik).. anjing kampung. Atau nama Munir, misalnya. Nama munir selalu mengingatkan kita pada aktivis hak asasi yang mendapat berkah diracuni arsenik. Memang kebangeten kok yang ngracun itu, kok ya ndak merasa bersalah… Kita juga kenal Baharudin Lopa, yang identik dengan sosok yang jujur dalam hukum. Nama Gesang… identik dengan Bengawan Solo. Suharto… yang identik selalu mendadak sakit kalau dipanggil pengadilan. Atau Sumanto… Begitu mendengar nama Sumanto, kita langsung teringat…<br /><br />Celetukan pemusik: “Kanibalisme…”<br /><br />TUKANG CERITA:<br />Itu terlalu keren… Bukan kanibalisme, tapi ciak kempol! Atau yang sekarang lagi popular: Bondan Winarno… Begitu mendengar nama Bondan Winarno, langung ingat wisata kuliner… mak yuss…<br /><br />Musik memberi tekanan dan membangun suasana…<br /><br />TUKANG CERITA:<br />Sebagai tukang topeng monyet keliling, Sarimin lumanyan konsisten menekuni kariernya. Lebih kurang 47 tahun dia jadi tukang topeng monyet. Sekarang dia sudah berumur 54 tahun. Jadi kalau dihitung-hitung, dia sudah menjadi tukang topeng monyet sejak umur 7 tahun. Ini profesi yang diwarisi Sarimin dari Bapaknya yang sudah almarhum.<br /><br />Mungkin Saudara pernah bertemu Sarimin. Atau pernah melihat Sarimin melintas di jalanan yang macet. Kemacetan yang sepertinya sengaja diselenggarakan oleh Gubernurnya.<br /><br />Atau mungkin suatu hari Anda pernah secara sengaja berpapasan dengan Sarimin. Mungkin malah Anda sempat ngobrol sebentar berbasa-basi denganya… Tapi Anda tak lagi mengingatnya. Tampang dan nasib Sarimin memang membuat orang malas mengingatnya. Saking leceknya. Bajunya…<br /><br />Tukang Cerita itu mengambil baju dari kotak pikulan topeng monyet yang ada di dekatnya. tukang-cer-jadi-sarimin.jpgDan mulai di sini, pelan-pelan, Tukang Cerita itu mengubah dirinya menjadi tokoh Sarimin. Sambil terus bicara ia mengganti baju Tukang Cerita dengan pakaian Sarimin…<br /><br />TUKANG CERITA:<br />Lihat saja bajunya… Setahun sekali kena sabun saja sudah lumayan… (Kepada para pemusik) Coba cium…, baunya… hmmm, mak brengg… Belum lagi celananya…Coba lihat… (sambil memakai celana itu). Selalu cingkrang…. Tapi ini cingkrang yang tidak menakutkan lho ya… Karena meski celananya cingkrang, tidak jenggotan.. Tidak suka merusak kafe-kafe atau tempat hiburan malam…<br /><br />Sembari terus berubah menjadi Sarimin, menempelkan bermacam “asesoris” penyakit kulit di tubuhnya…<br /><br />TUKANG CERITA:<br />Tubuh Sarimin juga full asesoris… Penuh tato emping, alias panu. Dia juga punya bisul yang nggak sembuh-sembuh. Ada kutil di lehernya… Kurap ada. Kadas, kudis, jerawat, koreng, kutu air…. Pokoknya segala macam jenis penyakit kulit tersedia lengkap di badannya.<br /><br />Dengan segala macam anugerah penyakit yang dimilikinya itu, sudah barang tentu Sarimin bukanlah sosok yang menarik untuk Anda ingat. Sarimin bukanlah orang yang cocok untuk dijadikan monument ingatan. Makanya, saya pun akan maklum, apabila setelah menyaksikan pertunjukan ini Anda pun tetap tak akan mengingat Sarimin… Sekarang ini, yang paling sulit memang mengingat. Karena kita sudah terlalu l ama dididik keadaan untuk gampang lupa!<br /><br />Musik menghentak, memberi tekanan perubahan suasana dan karakter. Kini aktor itu sudah sepenuhnya berperan menjadi Sarimin. Sementara musik tetabuhan topeng monyet berbunyi,sarimin-jalan2.jpg Sarimin mulai mengambil peralatan topeng monyetnya, kemudian mulai berjalan memikul peralatan topeng monyetnya, seolah mulai berjalan keliling menyusuri jalanan… Suasana makin meriah dengan teriakan suitan para pemusik yang mencelotehi tingkah Sarimin…<br />Sampai kemudin Sarimin mendadak berhenti, memandang ke bawah, ke dekat kakinya. Seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Segera Sarimin memungut sesuatu yang tergeletak di pinggir jalan itu. Sebuah KTP. Sarimin dengan ragu-ragu memungut KTP itu. Memeganginya, memandanginya…<br /><br />Pada saat inilah, lampu di bagian penonton meredup dan menggelap. Dan cahaya di panggung mulai mengarah pada Sarimin yang memegangi dan mengamati KTP yang ditemukannya itu: bergaya membaca nama di KTP itu, padahal ia tak bisa membaca… Baru kemudian ia menunjukkan KTP yang ditemukannya itu kepada para pemusik…<br /><br />SARIMIN:<br />Ini KTP siapa, ya? Ada yang merasa kehilangan KTP tidak? Coba cek dulu mungkin dompet sampeyan jatuh.. Atau kecopetan… Gimana, ada yang merasa kehilangan KTP?<br /><br />Para pemusik berceloteh menangapi, merasa tak kehilangan dompet atau KTP. Lalu Sarimin mencoba bertanya kepada para penonton…<br /><br />SARIMIN:<br />Maaf, Bu… Pak… Ada yang merasa kehilangan KTP ndak ya? Ini tadi saya nemu…. Nanti kalau sampeyan ndak ada KTP kena razia Operasi Justisia lho… Bisa-bisa dianggap penduduk gelap… Ini KTP sampeyan bukan?<br /><br />Celoteh Pemusik: “Mas, tanyanya yang sopan… yang halus…”<br /><br />Lalu Sarimin pun bersikap sopan yang dilebih-lebihkan, bertanya pada para penonton sekali lagi,<br /><br />SARIMIN:<br />Maaf, Bapak-bapak… Ibu-ibu… Apakah dari pada Bapak Ibu ada yang merasa kehilangan dari pada KTP? Tidak? Bener, dari pada Bapak Ibu ndak ada yang merasa kehilangan KTP?<br /><br />Seorang Pemusik menyuruh Sarimin untuk membacakan nama di KTP itu, “Kamu kan bisa baca, di situ ada namanya…, nanti kan tahu itu KTP siapa?!”<br /><br />Sarimin bergaya membaca tulisan di KTP itu, tetapi hanya bibirnya yang komat-kamit…<br /><br />SARIMIN:<br />Eee, anu, mata saya ini rada aneh kok… Kalau buat mbaca langsung mendadak rabun… Lha ini, tulisannya mendadak ndak jelas… Gini ajah, gimana kalau sampeyan yang bacain…<br /><br />Para Pemusik meledek Sarimin: “Allahh.., bilang saja nggak bisa baca. Nggak bisa baca ajah kok nggaya!”<br /><br />SARIMIN:<br />Lho, siapa yang nggaya? Siapa yang ndak bisa baca? Mbok jangan menghina begitu. Sukanya kok ya menyepelekan. Jangan meledek orang yang ndak bisa baca… Banyak juga kok orang yang tidak bisa baca tapi ya sukses… Malah ada orang ndak bisa baca tapi jadi pemimpin…<br /><br />Celoteh Pemusik: “Lho emangnya ada pemimpin yang nggak bisa baca?”<br /><br />SARIMIN:<br />Ya ada… Gini saja kok ya ndak tahu…<br /><br />Celoteh Pemusik: “Coba sebutkan, siapa?”<br /><br />SARIMIN:<br />Pokoknya ada… Ndak usah saya sebutkan…<br /><br />Celoteh Pemusik: “Bilang saja takut…. Hayo, coba sebutkan, siapa?”<br /><br />Sarimin tampak bingung, terpojok karena terus didesak, mencoba menutupi ketakutannya. Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Ayo, coba sebutkan kalau berani…”<br /><br />SARIMIN:<br />(Melihat-lihat ke arah penonton, masih ketakutan dan hati-hati) Ada Pasukan Berani Mati yang nonton ndak ya… (Sarimin tampak nggak berani menyebut)… Ya, pokoknya ada!<br /><br />Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Iya, siapa? Sebutkan!”<br /><br />SARIMIN:<br />(Berpikir sejenak, lalu menjawab) Prabu Destarata… Itu, pemimpin Hastina! Dia kan tidak bisa baca… Kalian mau memancing saya kan, biar saya menjawab Gus Dur… Ya ndak mungkinlah saya berani menyebut Gus Dur… Boleh kan pemain teater juga takut. Nanti kalau ada apa-apa ya kalian paling cuman bisa nyukurin… Bikin slametan begitu saya dipenjara…<br /><br />Sarimin kembali menimang-nimang dan memandangi KTP itu.<br /><br />sarimin-nemu-ktp2.jpg<br /><br />SARIMIN:<br />Bener, ini bukan KTP sampeyan?… (Bingung menimbang-nimbang KTP itu) Ya, sudah, nanti sekalian saya pulang, saya tak mapir ke Kantor Pulisi… Dari pada repot, kan mendingan KTP ini dititipkan ke Pak Pulisi… Ya ndak? Nanti biar Pak Pulisi yang nganter ke pemiliknya…<br /><br />Dan Sarimin pun kembali memikul kotak topeng monyetnya. Musik tetabuhan mengiringi perjalanan sarimin. “Sarimin pergi ke Kantor Pulisi…” teriak para pemusik riang bagai pertunjukan topeng monyet.<br /><br />Tampak Sarimin berjalan menuju kantor pulisi.<br /><br />Musik terus mengiringi perjalannan Sarimin. Pada saat inilah, aktor juga mulai menata setting untuk perpindahan adegan. Menggeser beberapa dekorasi hingga terjadi pergantian ruang…<br /><br />2.<br /><br />Ahhirnya, Sarimin pun sampai di Kantor Pulisi. Ia tampak kelelahan dan capai setelah berjalan jauh. Sarimin memperhatikan Kantor Pulisi itu, tanpak sepi. Tak ada Petugas Jaga. Ia sejenak clingukan, agak ragu memasuki halaman Kantor Pulisi itu. Ia berjalan pelan dan sopan mendekat…<br /><br />SARIMIN :<br />Permisi, Pak Pulisi….Asalamualaikum, Pak Pulisi…<br /><br />Mendadak nongol sosok Pulisi, yang langsung sibuk mengetik begitu mengetahui kedatangan Sarimin. Maka Pulisi itu pun tampak terus sibuk mengetik…<br /><br />sarimin-ketemu-polisi.jpg<br /><br />SARIMIN:<br />Wah…, Pak Pulisinya ternyata lagi sibuk… Sibuk kok ya mendadak ya…<br /><br />Pulisi itu terus mengetik, mengabaikan Sarimin.<br /><br />SARIMIN:<br />Ya sudah…, biar saya tunggu saja…(Lalu menjauhi Pulisi itu, sementara suara mesin ketik terus terdengar, membangun suasana) Yah, lumayan…, sambil nunggu bisa numpang istirahat… (Sembari memijit-mijit kakinya yang terasa pegal-pegal atau sesekali meregangkan badan atau mengeluk pinggangnya) Lagi pula saya juga lagi males keliling… Udah dari pagi keluar masuk kampung, tapi nggak ada yang nanggap. Capek juga kan seharian keliling tapi ndak dapet duit…<br /><br />Sarimin mengeluarkan sebiji pisang dan mengupasnya. Kemudian terdengar suara monyet, yang nangkring di kotak topeng monyet itu. Monyet itu merajuk minta pisang yang dimakan Sarimin itu…<br /><br />SARIMIN:<br />(Bicara pada monyet itu) Apa? Pingin?… Iya, iya…, nanti saya bagi…<br /><br />Sarimin mengambil monyetnya dengan penuh perhatian, memangku monyet itu…<br /><br />SARIMIN:<br />(Sambil mengelus-elus monyetnya, bicara kepada penonton) Oh ya, kalian belum kenal toh sama monyet saya ini… Lah ya ini yang namanya Sarimin… Kalau saya dipanggil Sarimin ya cuman karna kena efeknya saja… Itu disebut The Sarimin Effect…<br /><br />Monyet saya ini bukan monyet sembarangan lho… Kalau ditelusuri garis keturunannya, dia itu keturunan monyetnya Si Badra Mandrawata…<br /><br />Para pemusik heran: “Siapa itu?”<br /><br />SARIMIN:<br />Si Buta dari Gua Hantu…<br /><br />Suara monyet itu terdengar senang, seperti meloncat-loncat. Sarimin mulai menyuapi monyet itu dengan pisangnya.<br />sarimin-nyante-di-kanpol.jpg<br />SARIMIN:<br />Nih, kamu separo…<br /><br />Tampak pisang yang dibaginya itu lebih kecil. Monyetnya tampak senang. Tetapi, begitu mau menyuapkan pisang itu ke monyetnya, pisang itu malah dimakan Sarimin sendiri. Hingga monyet itu berterak-teriak. Tapi Sarimin terus mengunyah pisang itu buat dirinya sendiri…<br /><br />Melihat itu, Para Pemusik pun berkomentar: “Was, Mase ini, sama monyetnya sendiri kok pelit! Medit!”… “Sudah persis kayak monyet lho Mase ini kalau makan pisang gitu!”…”Ngirit, ya Mas?”<br /><br />SARIMIN:<br />Kalian itu jangan salah faham. Ini bukan ngirit! Saya makan pisang begini ini karna saya lagi nglakoni ngelmu munyuk!<br /><br />Tahu ngelmu munyuk, ndak? Ngelmu munyuk itu ya ilmu kebajikan yang bersumber dari munyuk. Ada kitabnya! Namanya Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk.<br /><br />Sarimin segera mengambil sebuah buku tua dari kotak topeng monyetnya…<br /><br />SARIMIN:<br />Nah ini kitabnya… Ilmu soal permonyetan ada di sini semua. Kenapa manusia disebut keturunan monyet, ada penjelasannya di sini. Juga soal Jaman Monyet… Nih… (membaca halman kitab itu) hamenangi jaman monyet. Sing ora dadi monyet ora keduman. Sak begja-begjane wong sing dadi monyet, isih luwih begja wong sing koyo monyet nanging kuoso…<br /><br />Seorang Pemusik memotong: “Lho, kok mendadak situ bisa baca? Tadi katanya nggak bisa baca. Nggak konsisten!”<br /><br />SARIMIN:<br />Ini aksara Jawa. Honocoroko. Kalau huruf Jawa saya bisa baca…<br /><br />Gimana, mau tahu soal ngelmu munyuk, ndak?… Lihat nih, halaman 79… (membaca) Living English Structure… Lho, kok malah bahasa Inggris. Maaf, maklum saya belinya di loakan. Ini buku bajakan, jadi halamannya kecampur-campur. Nah, ini… halaman 67… Di sini dijelaskan, kenapa monyet suka pisang… Ini ada filosofinya. Ada maknanya.<br /><br />Pisang itu buah yang murah. Artinya kita harus pemurah. Mau berbagi. Maksudnya, hidup kita itu seyogyanya ya seperti pohon pisang. Anda tahu kan pohon pisang? Setiap bagian dari pohon pisang itu semuanya berguna. Tangkai daunnya bisa ditekuk-tekut, dibuat mainan kuda-kudaan. Batang pohonnyanya buat nancepin wayang. Antok-nya, jantungnya, bisa dibikin sayur yang enak.<br /><br />Celoteh Pemusik: “Kalau pelepahnya, Mas?”<br /><br />SARIMIN:<br />Pelepahnya? Ya bisa buat mainan plesetan…. Daunnya bisa dipakai buat mbungkus… Atau bisa juga di pakai buat payungan kalau hujan. Bisa buat berteduh….<br /><br />Berdasarkan ngelmu munyuk ini, pohon pisang sebenarnya mengajarkan kita agar tidak egois. Karena pohon pisang memang bukan pohon yang mementingkan dirinya sendiri. Pohon pisang itu beda dengan… pohon beringin, misalnya. Ini misalnya lho ya… Kalau Pohon beringin itu kan cuman mementingkan dirinya sendiri.<br /><br />Kalian lihat sendiri kan, pohon beringin itu tumbuh besar, tinggi menjulang, rimbun, tetapi ia menyedot kesuburan pohon-pohon di sekelilingnya…<br /><br />Celoteh Pemusik: “Ya, tapi kan Pohon Beringin bisa buat berteduh. Kan bayak itu kere-kere yang suka berteduh di bawah Pohon Beringin…”<br /><br />SARIMIN:<br />Kalau yang suka berteduh sih bukan cuman kere… Tapi juga keple… lonte…<br /><br />Makanya, kalau orang yang pinter, pasti ndak mau lagi berteduh di bawah Pohon Beringin. Seperti para Jenderal itu… Kan sekarang banyak Jenderal yang memilih membikin dan membesarkan pohon sendiri… Lebih senang membesarkan Pohon Gelombang Cinta… Seolah-olah mereka merasa masih dicintai rakyat.<br /><br />Nah, kalau sampai ada Jenderal yang terus ngotot ikut berteduh di bawah Pohon Beringin, pasti agak diragukan kredibilitasnya: ini Jenderal apa lonte…<br /><br />Membuka-buka halaman kitab itu dengan serius…<br /><br />SARIMIN:<br />Makanya kalian mesti belajar ngelmu pisang. Pohon pisang itu selalu membiarkan anak-anaknya tumbuh besar. Sampeyan tahu, pohon pisang itu juga baru mati kalau sudah berbuah. Artinya, hidup kita itu berbuah. Mesti membuahkan kebaikan. Jangan sampai kita mati tapi belum sempat berbuat baik.<br /><br />Celoteh Pemusik, agak meledek: “Kata siapa…”<br /><br />SARIMIN:<br />Lah ya menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk ini… Kalau kalian baca kitab ini, pasti kalian ngerti ilmu sejati. Ini ilmu tidak main-main. Ilmu filsafat tingkat tinggi. Tidak sembarang orang bisa mempelajari. Otak anak-anak Jurusan Filsafat saja mungkin ndak nyampe kalau mempelajari ini. Frans Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, Pak Damardjati Supajar juga ndak level ama ilmu ini. Makanya mesti hati-hati. Karna bisa-bisa nanti kebablasen: begitu mempelajari ilmu sejati ini, langsung ngaku-ngaku jadi Nabi…<br /><br />Ngelmu munyuk itu ilmu ketauladanan. Mangsud-nya, banyak ketauladanan yang bisa kita pelajari dari monyet. Karena kalau monyet suka pisang, sesungguhnya monyet itu sedang memberi kita tauladan hidup. Makanya, kalau sekarang ini ndak ada tokoh atau pemimpin bangsa yang bisa kita tauladani, kenapa kita ndak meneladani monyet saja? Ya, ndak?<br /><br />Sementara itu terdengar suara ngorok…<br /><br />SARIMIN:<br />Sudah ah, nanti saja lagi saya kasih tahu soal ngelmu munyuk-nya… (Seperti tersadar kalau sudah lama menunggu)… Dari tadi kok ya belum dipanggil-panggil ya….<br /><br />Suara ngorok itu makin keras terdengar, ternyata datang dari Kantor Pulisi. Tampak ruangan kantor itu sepi, hanya terdengar suara orang tertidur ngorok…<br /><br />SARIMIN:<br />Welah, Pulisinya malah ngorok…<br /><br />Lalu Sarimin menuju meja jaga pulisi itu. Tak tampak pulisi. Hanya terdengar suaranya yang mendengkur keras…<br /><br />SARIMIN:<br />Maaf, Pak Pulisi… Saya cuman mau nyerahkan KTP ini kok, Pak… Soalnya saya mesti pulang… Sudah sore….<br /><br />Mendadak Pulisi itu bangkit, dan langsung sibuk mengetik. Terdengar suara mesik ketik yang langsung sibuk…<br /><br />(SUARA) POLISI:<br />(Membentak, sambil terus mengetik) Tunggu saja dulu! Apa tidak liat saya lagi sibuk!<br /><br />SARIMIN:<br />I..ya, Pak… Iya… Sibuk kok mendadak…<br /><br />Pulisi terus terus mengetik, terus sibuk. Sementara Sarimin hanya bisa memandangi dengan tatapan tak berdaya. Merasa marah disepelekan, tetapi tak bisa apa-apa, hanya ngedumel…<br /><br />SARIMIN:<br />Ama orang kecil kok ya selalu menyepelekan… Coba kalau ndak pakai seragam, sudah saya plinteng matane…<br /><br />Sarimin hanya bisa menunggu. Tapi kemudian ia seperti sudah tak bisa menahan untuk kencing…<br /><br />SARIMIN:<br />(Kepada penonton) Ee, tolong, nanti kalau Pak Pulisinya nyari, bilang saya kencing dulu ya… Ke toilet bentar.<br /><br />Sarimin kemudian bergegas hendak ke toilet, tetapi mendadak terdengar bentakan:<br /><br />(SUARA) POLISI:<br />Hai! Mau mana?!<br /><br />SARIMIN:<br />Mau ke belakang, Pak…<br /><br />(SUARA) POLISI:<br />Tunggu saja di situ!… Nanti saya panggil!<br /><br />Dengan terbungkuk-bungkuk sopan Sarimin akhirnya kembali duduk, tetapi tampak jengkel juga…<br /><br />SARIMIN:<br />Gimana sih! Dari tadi cuman nyuruh tungga-tunggu… Mau kencing bentar ajah ndak boleh… Sok kuasa! Sok merasa dibutuhkan! Seneng kalau melihat orang menderita. Begitu kok ngakunya sahabat rakyat…<br /><br />Sarimin tampak gelisah menahan keinginannya untuk kencing. Pada saat itu terdengar suara monyet yang menjerit-jerit, membuat sarimin gugup dan panik.<br /><br />SARIMIN:<br />(Menenangkan monyetnya yang mulai rewel) Sstt! Jangan ribut, toh… Pak Pulisinya kayak buto galak. Nanti kamu dimarahin!<br /><br />Monyet itu malah bertambah rewel, terus memekik-mekik.<br /><br />SARIMIN:<br />(Terus berusaha menenangkan monyetnya) Apa? Haus? Pingin mimi, ya?<br /><br />Mengambil botol air mineral dari kotak pikulannya, tetapi botol itu ternyata sudah kosong…<br /><br />SARIMIN:<br />Wah, habis… Sabar, ya… Ntar minum di rumah saja ya… Cup cup cup… Bentar lagi kita pulang kok…<br /><br />Tapi monyet itu makin rewel dan ribut…<br /><br />SARIMIN:<br />Jadi monyet itu mbok yang sabar… Lama-lama kamu itu ketularan manusia lho! Ndak bisa nahan sabar! Dasar monyet asu!<br /><br />Monyet itu terus memekik-mekik minta minum. Sarimin bingung. Ia melihat kepada Pulisi yang tampak sudah kembali tertidur bersandar di depan mesin tiknya. Melihat Pulisi yang lelap itu, maka Sarimin pun hati-hati menegendap-endap menuju toilet di bagian belakang…<br /><br />Tampak silhuet Sarimin yang kencing, dan menadahi air kencingnya dengan botol.<br /><br />Sarimin kembali muncul dan segera ia mendatangi monyetnya yang masih rewel. Dengan tenang Sarimin meminumkan isi botol itu ke monyetnya…<br /><br />SARIMIN:<br />Nih minum… Enak, kan? Dijamin fresh from the batangan. Lagi ndak? Manis, kan? Lah wong saya kecing manis kok… Kalau gini ada untungnya juga lho kena diabet…<br /><br />Sarimin terus meminumkan isi botol itu pada monyetnya, sampai kemudian monyet itu tampak tenang dan senang…<br /><br />SARIMIN:<br />Monyet saya memang rada manja. Kalau sudah kepingin ndak mau ditunda. Paling repot ya kalu pas dia lagi birahi pingin kawin…<br /><br />Seorang Pemusik nyeletuk bertanya: “Memangnya itu monyet jantan apa betina?”<br /><br />SARIMIN:<br />Monyet jantang dong…<br /><br />Pemusik: “Memangnya gimana sih caranya membedakan monyet jantan dan monyet betina?”<br /><br />SARIMIN:<br />(Tampak sebel dengan pertanyaan itu) Ya gampang… Tinggal kamu kawinin. Kalau hamil, berarti monyet itu betina. Gitu saja kok repot! Mas, mbok kalau nanya itu yang cerdas, biar ndak bikin tambah jengkel… Maaf lho ya kalau saya jadi ketus… Kamu kan lihat sendiri, dari tadi saya sebel nunggu, lah kok malah ditanyain yang ndak mutu gitu! Sebel! Sebel! Sebelll!!! Makanya kalian jangan nambahin sebel saya…<br /><br />Melihat Sarimin marah begitu, para pemusik langsung diam. Suasana jadi tidak enak. Sarimin hanya diam, gelisah, bingung nggak tahu mesti berbuat apa. Sampai kemudian Sarimin mengeluarkan beberapa alat atrasksi topeng monyetnya. Memain-mainkan payung kecil, gerobak kecil, dan lainnya. Mencoba membunuh kegelisahannya. Mencoba menyibukkan diri. Tetapi ia tetap merasa gelisah karena terus menunggu. Lalu ia melihat papan catur di atas kotak peralatannya. Ia mengambil papan catur itu, lalu mengajak para pemusik itu untuk menemaninya main catur…<br /><br />SARIMIN:<br />Main catur yuk… Dari pada cuman bengong…<br /><br />Tapi Para Pemusik tak menanggapi ajakan itu: “Ndak”… “ Mase nesuan, sih!”<br /><br />Kemudian Sarimin membawa papan catur itu, mencoba mengajak para penonton untuk main catur dengannya,<br /><br />SARIMIN:<br />Ayo, main catur yok… Masa segini banyak ndak ada yang pinter main catur? Ada yang jadi penyair, ndak? Biasanya kalau penyair itu pinter main catur… Soalnya job-nya dikit… Jadi banyak waktu luang buat main catur. Ayo, main catur…. Nemenin saya… Mungkin ibu-ibu atau mba-mba… Ayo, Mba…Main catur bareng saya…, dijamin tidak terjadi kehamilan…<br /><br />Bener nih ndak ada yang mau main catur? Ya sudah kalau ndak mau… Biar saya main sama monyet saya saja…<br /><br />Lalu Sarimin menata bidak catur itu, berhadap-hadapan dengan monyetnya…<br /><br />SARIMIN:<br />Monyet saya ini lumayan cerdas juga kok kalau main catur…. Saya sudah melatihnya main catur sejak dia masih kenyung, masik kecil, masih balibul…<br /><br />Seorang Pemusik bertanya: “Apa itu balibul?”<br /><br />SARIMIN:<br />Bawah lima bulan… Kalau saja saya punya duit, pasti sudah saya sekolahkan di sekolah catur… Biar jadi Grand Master… Ayo, Min, sini, Min…<br /><br />Kemudian Sarimin pun bermain catur dengan monyetnya. Suara monyet yang riang membuat Sarimin sedikit terhibur. Ia tampak senang bisa bermain catur dengan monyetnya…<br /><br />SARIMIN:<br />Ayo cepet jalan…. Kamu duluan… Eh, eh… bentar… kamu putih apa hitam? Ya dah, kamu putih ya… Tapi aku jalan duluan lho ya…<br /><br />Lalu Sarimin dan monyetnya segera main. Sarimin yang menjalankan bidak catur. Kemudian tampak bidak yang bergerak sendiri, seakan-akan tengah dimainkan oleh monyet itu. Keduanya tampak asyik dan serius.<br /><br />SARIMIN:<br />Eeh, lho, kok mentrinya kok kamu makan… Ndak boleh… Monyet dilarang makan mentri… Yang boleh ciak menteri itu cuman mandatarisnya rakyat! Jangan sembrono lho kamu… Ayo ulang… Eh, tapi jangan ngeper gitu dong! Kamu ini kok sukanya ngawur gitu sih!<br /><br />Sarimin kelihatan jengkel…<br /><br />SARIMIN:<br />Curang! Curang kamu! Bubar! Bubar!…<br /><br />Suara monyet menjerit-jerit sementara Sarimin dengan jengkel menutup papan catur itu dan menaruhnya kembali ke kotak pikulannya. Monyet itu menjerit-jerit marah…<br /><br />SARIMIN:<br />Sudah, diam toh! Kok malah kamu yang marah. Mestinya saya jengkel. Sudah malem begini ndak dipanggil-panggil. Ngapain ajah sih tuh Pulisi! (Menengok ke arah Pulisi, yang tampak lelap tertidur) Allaahh, kok ya malah micek!<br /><br />Sarimin mencoba mendekati Pulisi itu. Begitu sarimin sudah dekat dan hendak menyodorkan KTP, mendadak Pulisi itu bangun dan langsung sibuk mengetik. Suara mesin ketik yang sibuk membuat Sarimin hanya bisa neraik nafas jengkel.<br /><br />Lalu Sarimin menjahui Pulisi itu. Dan begitu Sarimin sudah jauh, perlahan-lahan Pulisi itu pun kembali tidur, menyandarkan kepelanya ke meja mesin ketik.<br /><br />Sarimin menengok ke belakang, melihat Pulisi yang kembali tidur. Maka Sarimin pun berbalik kembali mendekati Pulisi itu. Baru saja Sarimin mau mendekat, Pulisi itu langsung jenggirat bangun dan menyibukkan diri dengan mesin ketiknya. Melihat Pulisi itu kembali sibuk mengetik, maka Sarimin kembali merasa jengkel, tak berdaya, dan mencoba kembali menunggu. Dan begitu Sarimin menjauh, tampak Pulisi itu dengan penuh kemenangan tidur kembali…<br /><br />Begitu seterusnya, setiap kali Sarimin mendekat, langsung saja Pulisi itu langsung bangun sibuk mengetik…<br /><br />Sampai kemudian Sarimin tampak pasrah menunggu. Ia kini terlihat mengantuk. Menguap. Meregangkan badannya yang pegel karena lama duduk… Sarimin bangkit, hendak mendekati kembali Pulisi itu, tetapi Puisi itu langsung bangun dan membentak:<br /><br />(SUARA) POLISI:<br />Tunggu saja di situ!! Nanti saya panggil!!!<br /><br />Sarimin, yang lelah dan tak tahu mesti berbuat apa, segera kembali duduk menunggu. Ia merebahkan tubuhnya di kursi tunggu itu. Mencoba tidur. Saat itulah sebentang kain perlahan turun, seperti langit malam yang menebarkan kegelapan. Terlihat silhuet Sarimin yang tertidur. Tampak cahaya bulan, malam dengan segala kesedihannya.<br /><br />Nampak Sarimin yang bangkit, dan dengan setengah mengantuk mendekati Pulisi jaga itu. Tapi kembali Pulisi itu langsung membentak:<br /><br />(SUARA) POLISI:<br />Tunggu saja di situ!!<br /><br />Dengan lunglai Sarimin kembali masuk ke balik tirai, kembali merebahkan tubuhnya. Tampak bayangan Sarimin yang tertidur di bawah redup rembulan.<br /><br />Kemudian pagi datang, terdengar kokok ayam. Matahari yang cerah bangkit. Sarimin terbangun dari tidurnya, kaget…<br /><br />SARIMIN:<br />` Astaga, sudah hari ke 192… Belum dipanggil juga….<br /><br />Lalu malam kembali datang. Rembulan mengapung kesepian. Sarimin kembali tidur… Musik kesunyian seperti menghantar perubahan hari.<br /><br />Dan ketika ayam kembali berkokok, matahari muncul, Sarimin pun langsung tergeragap bangun, dan mendapati dirinya masih menunggu…<br /><br />SARIMIN:<br />Hari ke 347….<br /><br />Karena tak juga dipanggil, sarimin pun kembali tidur. Musik yang galau bagai menggambarkan perasaan Sarimin yang gelisah. Cahaya menggelap. 2 Lalu Waktu bagai terus berputar. Di bagian layar belakang, muncul gambaran waktu berabd-abad…<br /><br />Sementara waktu berubah, Sarimin terus menunggu, memandangi KTP yang entah milik siapa itu…<br /><br />3.<br /><br />Mendadak Tukang Cerita muncul dari sisi lain panggung. Pada saat yang bersamaan, silhuet Sarimin pada tirai itu lenyap.3<br /><br />TUKANG CERITA:<br />Begitulah, Sarimin dibiarkan menunggu bertahun-tahun…<br /><br />kembali-jd-tuk-cer.jpg<br /><br />Sebagai Tukang Cerita saya perlu sedikit mengingatkan, agar Anda jangan terlalu menyalahkan para petugas itu. Jangan sampai Anda punya anggapan: seakan-akan para polisi itu menyepelekan Sarimin.<br /><br />Sebagai warga negara yang baik dan yang percaya pada integritas dan profesionalitas polisi, kita harus maklum akan banyaknya urusan yang harus diselesaikan para polisi itu. Cobalah sesekali Anda datang ke kantor Polisi. Pasti Anda akan melihat betapa setiap hari polisi-polisi itu selalu tampak sibuk. Sibuk SMS-an… Sibuk ngobrol… Sibuk iseng ngisi TTS… Sibuk menginterogasi penjahat…. Sibuk menangkap bandar narkoba, sekaligus sibuk membagi-bagi barang buktinya…<br /><br />Apalagi belakangan ini kesibukan Polisi itu makin bertambah… Karena para Polisi itu lumayan repot menahan para koruptor. Asal Anda tahu saja, menangkap koruptor itu pekerjakaan yang paling merepotkan. Karna begitu ada koruptor tertangkap, maka para polisi itu jadi punya kesibukan tambahan: sibuk menyiapkan karpet merah untuk menyambut koruptor itu… Sibuk menyiapkan sel tahanan dengan fasilitas VVIP… Dan yang terpenting: sibuk menegosiasikan pasal-pasal tuntutan yang saling menguntungkan.<br /><br />Dengan segala macam kesibukan yang bertumpuk-tumpuk seperti itulah, menjadi wajar kalau Sarimin agak sedikit diabaikan.<br /><br />Tapi untunglah… Untunglah, nasib baik agak sedikit berfihak pada Sarimin. Suatu pagi, ada petugas yang sedang bersih-bersih kantor polisi itu, dan secara tak sengaja melihat Saridin!<br /><br />Musik tetabuhan transisi mengiringi perubahan Tukang Cerita itu menjadi Polisi. Aktor itu mulai mengenakan kostum untuk peran Polisi.<br /><br />Dengan iringan musik, Polisi itu menata setting, untuk pergantian adegan. Menata meja kursi, seakan tengah berberes-beres. Musik mengiringi terus mengiringi adegan pergantian ini. Sampai kemudian Polisi itu menarik tirai yang menutupi kursi di mana Sarimin menunggu, seakan-akan ia tengah menarik tirai jendela. Saat tirai itu terangkat, Polisi itu kaget melihat Sarimin di kursi tunggu itu…<br /><br />POLISI<br />Astaga! Ini kok ada kere di sini!!<br /><br />muncul-polisi-dan-boneka-sarimin.jpg<br /><br />Di kursi itu kini tampak boneka Sarimin, boneka yang secara visual mengingatkan pada sosok Sarimin…<br /><br />POLISI:<br />Hai, ngapain kamu di sini?!<br /><br />SUARA SARIMIN: 4<br />(Sambil menyodorkan amplop) Aa…nu, Pak.. Mau ngasih ini, Pak Pulisi…<br /><br />Polisi itu memandang heran pada amplop di tangan Sarimin.<br /><br />POLISI:<br />Apa itu? Ooo, kamu mau nyuap saya? Iya?! Oooo, hapa kamu pikir semua Polisi bisa disuap, begitu? (Penuh gaya) Huah ha haha… Maaf ya, Polisi seperti saya pantang menerima suap…. Tidak mungkin. Tidak mungkin… Polisi tidak mungkin mau menerima suap…<br /><br />Mendadak dengan clingukan Polisi itu tengok kanan kiri melihat-lihat keadaan…<br /><br />POLISI:<br />Tapi ya kalau nggak ada yang liat sih ya nggak papa… Berapa tuh isinya?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Ini bukan uang kok , Pak Pulisi… Isinya cuman KTP… Saya mau titip…<br /><br />POLISI:<br />(Jengkel) Cuman KTP kok ya dikasihkan saya! Apa kamu nggak ngeliat saya banyak kerjaan… Kok malah ngrepotin mau titip KTP segala!<br /><br />Dengan ngedumel jengkel Polisi itu akhirnya menerima amplop yang disodorkan Sarimin. Dengan tak terlalu suka Polisi itu memeriksa isi amplop itu. Benar. Isinya KTP. Mula-mula Polisi itu tak terlalu serius membaca KTP itu. Tetapi kemudian tampak tiba-tiba ekspresi Polisi itu langsung kaget. Ia membaca nama di KTP itu dengan teliti.<br /><br />POLISI:<br />Astaga! Ini kan KTP Bapak Hakim Agung! Harataya…. Mbelgedes! Kok bisa KTP Bapak Hakim Agung sama kamu? Pasti kamu curi, ya?!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Ti…tidak, Pak Pulisi! Saya nemu di jalan…<br /><br />POLISI:<br />Nemu di jalan mana?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Di jalan Taman Lawang, Pak Pulisi…<br /><br />POLISI:<br />Edan! Oooo… Ini keterlaluan! Masa KTP Hakim Agung bisa jatuh di Taman Lawang… Tidak mungkin, tidak mungkin! Emangnya Hakim Agung suka keluyuran ke sana! Oooo, apa kamu kira Hakim Agung itu jenis mahasiswa yang nggak bisa bayar…, lalu ninggal KTP! Ooo jelas kamu mau mencemarkan nama baik Hakim Agung!<br /><br />Ooo ini bener-bener keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan! Ayo ikut saya ke kantor!<br /><br />Musik menghentak, black out. Tembang kecemasan terdengar. Kemudian ketika lampu menerangi panggung, tampak Polisi yang sudah berdiri di dekat meja interogasi, memandang Sarimin yang duduk di kursi, hingga Polisi dan Sarimin berhadap-hadapan.<br /><br />POLISI:<br />Nggak usah gemeter begitu! Jawab yang jujur! Nggak usah berbelit-belit! Ngerti?!<br /><br />Polisi itu (seakan-akan) memasang berkas kertas ke mesin tik di atas meja…<br /><br />POLISI:<br />Nama?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Ee… saya biasa dipanggil Sarimin, Pak Pulisi…<br /><br />POLISI:<br />(Sambil mengetik) Sa-ri-min… (Lalu kembali menatap tajam Sarimin) Umur?!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Lima puluh empat, Pak Pulisi…<br /><br />POLISI:<br />(Sambil mengetik) Li-ma-pu-luh-em-pat… Hmmm… Pekerjaan?!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Tukang topeng monyet keliling, Pak Pulisi…<br /><br />POLISI:<br />(Sambil mengetik) Tu-ka-ng… to-pe-ng… mo-nyet… ke-li-li-ng… Sekarang coba kamu jelaskan, bagaimana kamu mencuri KTP ini…<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Saya tidak mencuri, Pak Pulisi… Saya nemu KTP itu di jalan…<br /><br />POLISI:<br />Saya tanya bagaimana kamu mencuri KTP ini, bukan bagimana kamu nemu KTP ini!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Lho tapi saya memang nemu KTP itu kok… Sumpah! Saya tidak mencuri!<br /><br />POLISI:<br />Tidak usah pakai sumpah-sumpahan segala! Saya tahu kok modus operandi orang macam kamu! Pura-pura nemu KTP. Padahal dompetnya kamu copet! Iya tidak?! Pura-pura berbaik hati hendak mengembalikan KTP, padahal minta uang. Mau memeras! Kamu bisa kena pasal…. Sebentar… (mengambil buku KUHP dari sakunya) Hmmm… halaman berapa, ya… Oh ini… Kamu bisa kena pasal 362 dan 368! Pencurian dan pemerasan! Itu berate kamu bisa kena sepuluh tahun! Ngerti!<br /><br />Sarimin tampak mengangguk-angguk…<br /><br />POLISI:<br />Ngerti tidak! Jangan cuman manggut-manggut begitu! Nah, sekali lagi saya tanya baik-baik: kamu nyuri KTP ini kan?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Sumpah, Pak Pulisi… saya nemu di jalan…<br /><br />Polisi itu mengambil pentungan, memain-mainkannya, memprovosasi Sarimin, sambil terus mencecar,<br /><br />POLISI:<br />Nyuri apa nemu?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />(Melihat itu Sarimin agak jiper juga) Ne..nemu, Pak Pulisi…<br /><br />Polisi makin mencecar Sarimin…<br /><br />POLISI:<br />Nemu apa nyuri?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Ne…ne..mu…<br /><br />POLISI:<br />(Membentak keras, sambil seakan mau menggebug Sarimin) Nemu apa nyuri?!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />I..iya.. Pak, Polisi.. Mungkin ada orang lain yang nyuri… Tapi saya cuman nemu kok, Pak Pulisi…<br /><br />POLISI:<br />Oooo begitu ya…. Jadi ternyata kamu tidak sendirian. Orang lain yang nyuri. Dan kamu yang pura-pura nemu. Hoo ho hooo…, lumayan cerdik juga kamu, ya! Ho ho ho…kamu ketahuan, nyolong KTP!<br /><br />Berarti kamu sudah merencanakan semua ini dengan komplotanmu, kan?! Ini kejahatan berkelompok dan terencana. Kamu dan komplotanmu hendak memeras Bapak Hakim Agung, begitu kan? Ooo… Ini namanya kejahatan berkelompok dan terencana!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Sumpah, Pak Pulisi… Saya tidak tahu kalau itu KTP Bapak Hakim Agung…<br /><br />POLISI:<br />Mau mungkir, ya! Kamu kan bisa membaca nama di KTP ini…<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Sa..ya ti..tidak bisa membaca, Pak Pulisi…<br /><br />POLISI:<br />Astaga! OO ho hoho… Kamu bener-bener keterlaluan. Itu namanya menghina pemerintah! Kamu menghina pemerintah! Kamu mau menjelek-jelekkan pemerintah!<br /><br />Sudah sejak tahun 74 pemerintah memberantas buta huruf! Sudah jelas-jelas pemerintah mengatakan kalau sekarang ini sudah bebas buta huruf! Lho kok kamu berani-beraninya ngaku buta huruf?! Apa kamu mau membuat malu pemerintah?! Mau mengatakan kalau pemerintah bohong, karena masih ada orang yang buta huruf macam kamu! Ooo… kamu bisa kena pasal… (memebuka-buka lagi buku KUHP-nya) Pasal berapa, ya… Kamu maunya kena pasal berapa?! Ooo… ini.., pasal137… Penghinaan pada pemerintah!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Lho, tapi saya memang ndak bisa baca kok, Pak Pulisi…<br /><br />POLISI:<br />Sudah, nggak usah berbohong! Saya sudah terlalu sering ngadepin bandit kecil tapi licik macam kamu! Pura-pura kelihatan lugu. Pura-pura bodoh. Pura-pura tidak bisa membaca. Tampangnya sengaja disedih-sedihkan, biar saya kasihan. Biar saya iba, lalu saya bebaskan… (Kepada para pemusik, yang seakan-akan kini adalah juga polisi) Ooo dia kira Polisi macam kita bisa dikibulin… Tukang kibul kok mau dikibulin!<br /><br />Orang lugu macam kami inilah penjahat yang berbahaya! Karena selalu memakai keluguan sebagai kedok kejahatan…<br /><br />Kejahatan tetap saja kejahatan. Tidak perduli kamu bisa baca atau tidak.<br /><br />Polisi itu memperhatikan KTP itu pada Sarimin…<br /><br />POLISI:<br />Lihat KTP ini sampai lecek begini, pasti sudah kamu simpan lama ya! Kamu pasti sengaja tidak cepat-cepat mengembalikan! Pasti KTP ini kamu pamerin ke temen-temen copetmu kamu! Pasti statusmu jadi naik di kalangan pencopet karena berhasil mencopet KTP Hakim Agung! Setidaknya kamu ingin dianggap hebat karenasarimin-diinterogasi2.jpg punya KTP Hakim Agung! Biar kamu disangka saudaranya Hakim Agung… Iya, kan?!<br />SUARA SARIMIN:<br />Tidak, Pak Pulisi… Sumpah… Wong begitu saya nemu KTP itu, saya langsung lapor ke sini kok… Tapi saya malah disuruh nunggu terus…<br /><br />Mendengar jawaban itu Polisi langsung marah, dan mau memukul…<br /><br />POLISI:<br />Kurang ajar! Apa kamu pingin saya gebugin kayak praja IPDN!…<br /><br />Para Pemusik mencoba menengangan: “Sabar….sabar….”<br /><br />POLISI:<br />Hati-hati kalau bicara! Kamu bisa kena pasal penghinaan pada aparat! Menuduh Polisi tidak cepat tanggap!<br /><br />Kalau kamu memang bener-bener datang melaporkan soal KTP ini, pasti petugas jaga akan langsung menanggapi. Ooo ho ho… tidak mungkin, tidak mungkin polisi menyepelakan rakyat… Karna Polisi itu sahabat masyarakat!<br /><br />Polisi itu di mana-mana selalu melindungi rakyat! Yah paling-paling ya ada polisi yang kesasar salah nembak rakyat… Tapi itu kan ya hanya insiden… Insiden yang kadang direncanakan….<br /><br />Polisi kemudian mengambil berkas kertas di meja mesin tik, sambil menatap tajam pada Sarimin yang terdiam…<br /><br />POLISI:<br />Sebagai Polisi, sudah barang tentu, saya pun harus melindungi kamu… Ngerti tidak? Makanya, kamu juga mesti pengertian… Ini, lihat (menyodorkan berkas kerast itu ke hadapan wajah Sarimin)…<br /><br />Kesalahanmu sudah bertumpuk-tumpuk… Kalau berkas ini saya bawa ke pengadilan, kamu bisa dihukum lebih dari 20 tahun penjara… Bahkan mungkin lebih. Karna kamu mesti berhadapan dengan jaksa dan hakim, yang pasti tidak ssuka dengan kamu!<br /><br />Asal kamu tahu saja, ya! Jaksa-jaksa itu selalu minta bayaran lebih banyak. Juga hakim-hakim. Sulit sekarang menemukan hakim yang baik. Kalau kamu nggak ada duit, pasti dengan enteng hakim itu kan menjebloskanmu ke penjara!<br /><br />Kamu nggak ingin masuk penjara, kan? Makanya, kamu nurut sama saya saja. Nanti laporannya saya bikin yang baik-baik. Faham maksud saya?!<br /><br />Tapi ya kamu tahu sendiri, itu perlu biaya. Ooo ho ho ho…. ini bukannya saya mau minta duit lho ya… Tidak! Saya tidak minta! Saya cuman menyarankan….<br /><br />Para pemusik ikutan membujuk: “Iya, Min… Sudahlah, Min… Selesaikan saja secata adat ketimuran, Min…”<br /><br />POLISI:<br />Tapi ya terserah kamu. Sebagai Polisi yang mengerti perasaat rakyat, ya saya hanya bisa membantu semampu saya. Saya ngerti, kamu tidak terlalu punya duit. Makanya cukup 5 juta saja.. Kalau kamu setuju, bekas ini langsung saya kip, dan kamu boleh pulang…<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />(Terpana tak percaya) Lima juta?… Saya ya tidak punya uang segitu, Pak Pulisi…<br /><br />Tampak Polisi itu mencoba sabar dan pengertian,<br /><br />POLISI:<br />Ya sudah… Karena kamu punya itikad baik, ya bisa dikurangilah. Tiga juta, gimana?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Maaf, Pak Pulisi… Segitu saya juga ndak punya…<br /><br />POLISI:<br />Ooo ho ho ho… Ya, ya sudah…, jangan sedih begitu. Saya kan hanya menawarkan. Kalau kamu masih keberatan ya bisa disesuaikan semampu kamulah… Ngerti kamu?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />I..i..iya, Pak Pulisi…<br /><br />POLISI:<br />Nah, gimana kalau dua juta!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…<br /><br />POLISI:<br />Kalau satu juta ..<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…<br /><br />POLISI:<br />Saya diskon lagi, deh Mumpung masih suasana Lebaran, jadi bisa diobral… Gimana kalau lima ratus ribu…<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Maaf, Pak Pulisi… Saya bener-bener ndak punya…<br /><br />POLISI:<br />Seratus ribu deh…Ya, ya, seratus ribu! Hitung-hitung buat uang rokok. Oke?<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Maaf, Pak Pulisi… Segitu juga saya ndak punya…<br /><br />Kesabaran Polisi itu rupanya sudah sampai pada batasnya, dan ia langsung meledak marah,<br /><br />POLISI:<br />Brengsek! Kamu bener-bener melecehkan saya! Dimana saya taruh harga diri saya alau segitu saja masih kamu tolak!<br /><br />Memang susah kalau urusan sama orang miskin! Cuman dapat kesel Kalau kamu lebih suka ke pengadilan, silakan! Kamu bisa membusuk di penjara 50 tahun!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />(Takjub dan heran tetapi juga tak berdaya) Cuman karna nemu KTP saya dihukum 50 tahun?<br /><br />Polisi itu berdiri, dingin, tegas dan formal:<br /><br />POLISI:<br />Hukum tetap hukum, Saudara Sarimin! Atas nama hukum dan undang-undang, Saudara Sarimin ditahan!<br /><br />Musik menghentak. Dan lampu langsung menggelap seketika…<br /><br />4.<br /><br />Mengalun tembang sedih yang menyayat hati…<br /><br />Lalu di layar bagian belakang perlahan muncul bayangan jeruji sel penjara. Lalu tampak bayangan Sarimin di balik jeruji sel penjara itu. Sarimin tampak termenung, tak berdaya. Tembang kesedihan terus menyayat kesunyian…<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Apa salah saya, Gusti?… Apa salah saya…<br /><br />Lalu mendadak muncul bayangan monyet Sarimin. Seperti muncul dari dalam mimpi Sarimin, seakan-akan itu ada dalam pikiran Sarimin. Terdengar suara monyet yang memekik-mekik…<br /><br />SARIMIN:<br />Min? Sarimin… Itu kamu ya, Min? Lapar, Min?… Prihatin dulu, ya, Min…Banyak berdoa ya, Min… Biar saya cepet bebas. Doa monyet miskin dan teraniaya macam kamu kan biasanya didengar Tuhan, Min…<br /><br />Bayangan monyet itu terus menjerit-jerit. Dalam bayangan itu pula, sesekali Sarimin mencoba mengusap dan menyentuh monyetnya…<br /><br />Lagu kesedihan, yang juga terkesan agung menggaung, menjadi latar belakang adegan itu…5<br /><br />Pak Hakim dan Pak Jaksa<br /><br />Kapan saya akan di sidang<br /><br />Sudah tiga bulan lamanya<br /><br />Belum juga ada panggilan<br /><br />Saya ingin cepat pulang…<br /><br />5.<br /><br />Lalu di penghujung lagu itu, musik berubah menghentak, bergaya hip-hop. Pada saat musik hip hop ini berlangsung, setting pun perlahan-lahan berubah. Bayangan Sarimin di balik jeruji penjara lenyap. Sementara di bagian lain panggung, segera tampak ruang tempat Pengacara.<br /><br />Muncul Pengacara, tampak riang, dengan gaya genit cosmopolitan yang penuh gaya. Pengacara itu langsung menyuruh musik berhenti:<br /><br />jadi-bensar-1.jpg<br /><br />PENGACARA:<br />Hai, stop! Stop! Bah, kalian ini bener-benar tidak punya rasa keadilan! Ada orang dihukum malah hip-hop hip-hopan begitu! Cem mana pula kalian ini! Tunjukanlah simpati dikit!<br /><br />Sembari bicara, pengacara itu merapikan diri, mengatur penampilannya. Memakai kalung emas dengan bandul initial namanya yang besar. Merapikan pakaiannya, merapikan gaya rambutnya, menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya… Sehingga tampak kalau ia lebih sibuk dengan dirinya ketimbang dengan apa yang dikatakannya…<br /><br />PENGACARA:<br />Kalian itu mestinya prihatin, kenapa di negara hukum begini kok ada orang diperlakuan tidak adil! Ah, emang benar-benar sewenang-wenang Pak Polisi itu. Sebagai pengacara yang punya hati nurani, sudah tentulah aku tak bisa berdiam diri!<br /><br />Pengacara terus sibuk merapikan diri, sampai kemudian ia seperti tersadar, dan segera bicara kepada penonton:<br /><br />PENGACARA:<br />Sebentar…Kalian pasti merasa heran, kenapa pengacara kondang…, pengacara infotaimen macam aku ini, tiba-tiba nongol di lakon beginian.<br /><br />Seharusnya tadi, Si Tukang Cerita itu, yang memperkenalkan aku lebih dulu. Menjelaskan, apa peran aku dalam lakon ini. Begitulah semestinya…<br /><br />Tapi kupikir-pikir, kalau si Tukang Cerita itu yang memperkenalkan, nanti diledek-ledeknya pulalah aku ini. Mangkanya, kupikir-pikir lebih baik aku muncul saja langsung. Biar aku sendiri yang memperkenalkan diri.<br /><br />Dengan penuh gaya menyemprotkan parfum ke lehernya…<br /><br />PENGACARA:<br />Nama saya Bensar… Aku yakin kalian sudah tahu, dari mana aku ini. Tapi tak usahlah aku kasih tahu marga aku… Nanti aku kena somasi…<br /><br />Aku di sini terpanggil karena ingin membela Sarimin. Kasihan kali orang itu. Kemarin aku sudah ketemu dia. Aku langsung jatuh iba. Tergerak hati nuraniku untuk membelanya habis-habisan.<br /><br />Begitu Abang Bensar datang, Sarimin langsung tenang. Aku sudah jelaskan duduk perkaranya, dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyelamatkannya.<br /><br />Aku bilang pada Sarimin, ”Sarimin, seharusnya kau ini malah merasa beruntung bisa masuk penjara. Susah lho ini masuk penjara… Coba itu kau lihat, banyak kali koruptor yang bermimpi bisa masuk penjara, tapi tak bisa-bisa masuk… makanya kubilang, kau ini benar-benar beruntung. Tidak berbuat salah, tapi masuk penjara. Itu prestasi luar biasa… Makanya Sarimin, tak usahlah kau takut! Ketaktan itu cumian soal pikiran. Kalau pikiranmu takut, maka takutlah kau. Makanya jangan kau berpikir hukum itu menakutkan. Hukum itu menyenangkan. Happy!<br /><br />Kemudian Pengacara Bensar langsung merapikan bawaannya: tas golf beserta isinya. Ia Tampak riang bernyanyi-nyanyi gaya hip hop:<br /><br />Happy happy<br /><br />Hukum itu happy<br /><br />Hukum itu menyenangkan<br /><br />Hukum menguntungkan<br /><br />Karna dengan hukum<br /><br />Semua kesalahan<br /><br />Bisa dinegosiasikan…<br /><br />Hapy happy…<br /><br />Hukum itu happy…<br /><br />Sambil terus bernyanyi pengacara itu bergerak sambil mengubah setting panggung. Tampak kemudian sel penjara, di mana seakan-akan Pengacara itu berjalan dari rumah menuju ke sel penjara, tempat Sarimin di tahan. Dan Pengacara itu pun sampai di dekat sel Sarimin…<br /><br />PENGACARA:<br />(Masih terus menyanyi) Happy happy…. Semua bisa Happy…<br /><br />Sampai kemudian nyanyian berhenti. Dengan gayanya yang khas, Pengacara Bensar kembali menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya…<br /><br />PENGACARA:<br />Bagimana Sarimin, apakah kamu merasa happy hari ini? Tenanglah, ini Abang Bensar sudah datang. Abang akan negosiasikan semua perkara kau.<br /><br />Mengerti kau negosiasi?! Ah, sudahlah, tak usah kau berpikir yang berat-berat. Biar aku yang pikir saja gimana baiknya. Percayalah sama Abang…<br /><br />Apa sih perkara yang tidak bisa abang selesaikan? Artis yang mau cerai…, begitu Abang tangani, dijamin langsung cerai. Terdakwa ilegal logging…, begitu Abang tangani, dijamin bisa langsung bebas kabur ke luar negeri…<br /><br />Makanya, kau tenang saja di situ… Biar aku urus sebentar sama Pak Polisi. Biar lancar semuanya…<br /><br />Lalu Pengacara berjalan ke arah belakang, seakan mendekati Polisi yang ada di pengacara-dan-wayang-polisi2.jpgbelakang. Dan Pengacara bensar pun berbicara dengan Polisi, yang tampak bayangannya, berupa wayang…<br /><br /><br />PENGACARA:<br />Ah, Apa kabar, Pak… Wah, tambah ganteng saja nih… Mungkin Bapak bisa tolong belikan makan atau minum buat klien saya… Nanti kembaliannya buat Bapak….<br /><br /><br />(SUARA ) WAYANG POLISI:<br />Maaf, dilarang membawa makanan dalam penjara!<br /><br />PENGACARA:<br />Ah, aneh kali ini Pak Polisi… Kenapa makanan dak boleh masuk penjara? Narkoba saja bisa dibawa masuk ke penjara. Kimbek kali! Ingatlah Pak Polisi…, klien aku itu masih berstatus tersangka. Masih tahanan sementara. Jadi mesti kau hargai hak-hak pidananya.<br /><br />(SUARA ) WAYANG POLISI:<br />Semua ada tata tertibnya. Ada peraturannya. Ada etikanya! Sebagai Pengacara, Saudara mestinya tahu itu!<br /><br />PENGACARA:<br />Betul-betul aneh ini Polisi! Baru kali ini ada polisi mengajak bertengkar pengacara. Biasanya polisi macam kalian itu kan bertengkarnya sama tentara…<br /><br />Tampak Pengacara Bensar kesal, dan segera meninggalkan Polisi itu. Ia segera kembali ke dekat sel penjara Sarimin.<br /><br />PENGACARA:<br />(Kepada Sarimin) Biarlan nanti aku atur sama komandannya. Polisi emang suka berlagak begitu. Suka akting. Lagaknya kayak Politron… Polisi Sinetron…<br /><br />Sekarang kau dengar… Biar semua gampang dan cepet beres, aku sarankan agar kau akui saja semuanya. Ini akan jadi kredit point yang bagus, karna kamu akomodatif. Artinya kamu dianggap bersikap baik Kalau kau bersikap baik, pasti nanti hakim akan member kau keringanan hukuman. Jadi, yang penting sekarang ini kau harus mengaku salah…<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Mengaku salah bagaimana? Memangnya saya salah apa?<br /><br />PENGACARA:<br />Aduuh! Kan tadi aku sudah bilang, tak perlulah kau membantah. Apa kau pikir kalau kau melawan kau akan menang. Jangankan orang kecil macam kau, majalah Time yang besar saja bisa divonis kalah kok! Makanya aku bilang, peluang terbaikmu adalah mengaku salah!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Iya… tapi salah saya apa?<br /><br />PENGACARA:<br />Salah kau ya karna kau tidak mengerti kau berbuat salah! Bodoh betul kau ini ya… Kau pikir kau berbuat benar. Padahal kau berbuat salah. Kebenaran itu kadang menyesatkan, Sarimin. Kau bukannya benar, tetapi hanya merasa benar. Orang yang merasa benar itu belum tentu benar. Makanya ketika kau merasa benar, kau justru bisa bersalah. Karna benar, maka kamu salah!<br /><br />Kau harus fahami betul itu. Makanya aku membantu kau, agar kau tidak tersesat di jalan yang kamu anggap benar itu! Kau mestinya beruntung aku mau jadi pembela kau.<br /><br />Mendadak terdengar suara bunyi handphone, dengan nada dering yang norak… Pengecara Bensar dengan penuh gaya langsung mengambil handphone dari sakunya,<br /><br />PENGACARA:<br />(Bicara di handphone-nya) Hallo sayang…Abang lagi sibuk nih. Lagi ketemu klien.. Sudahlah, kamu chek in dulu lah. Nanti Abang susul, ya…<br /><br />Lalu mematikan handphone-nya, dan masih dengan penuh gaya bicara kembali pada Sarimin di balik selnya…<br /><br />PENGACARA:<br />Maaf, bukannya gaya… Tapi ada klien lain yang mesti aku urus. Yah, maklumlah pengacara laris. Sudah pastilah orang miskin macam kau tak mampu membayar aku. Makanya kau mesti bersyukur, aku mau membela kau!<br /><br />Aku tahu, banyak suara-suara miring di luar sana. Menganggap akupengacara mata duitan. Malah oleh kolega-koleganya saya sering distilahkan dengan pengacara begundal. Taik kucinglah semua! Pukima!<br /><br />Sekarang aku mau buktikan, kalau aku juga punya perasaan keadilan. Aku juga mau membela orang lemah macam kau, Sarimin! Aku akan berjuang habis-habisan buat kau! Kalau perlu, nanti akan aku bentuk TPS… Tim Pembela Sarimin!<br /><br />Memperlihatkan koran pada Sarimin…<br /><br />PENGACARA:<br />Kau lihat ini… Kamu jadi berita di koran-koran., karna kau dianggap korban ketidakadilan..<br /><br />Terlihat koran dengan berita Sarimin yang jadi headline itu kepada para pemusik. Pada saat bersamaan para pemusik segera bernyanyi, menghentak, dengan gaya hip hop yang rampak:<br /><br />Sarimin jadi berita<br /><br />Di koran-koran mendadak ia<br /><br />Jadi ternama<br /><br />Simbol korban ketidakadilan<br /><br />Seolah-olah hukum adalah<br /><br />Alat menindas orang yang lemah…<br /><br />Seolah-olah tak ada lagi<br /><br />keadilan di negri ini<br /><br />Brengsek! Brengsek!<br /><br />Hukum kita brengsek<br /><br />Brengsek! Brengsek!<br /><br />Semua orang bilang<br /><br />Hukum kita brengsek!<br /><br />Nyanyian berhenti. Pengacara itu kaget.<br /><br />PENGACARA:<br />Apa kau bilang? Hukum kita kita brengsek?? Tidak betul itu! Hukum di negeri ini tidak brengsek… tapi luar biasa brengsek!<br /><br />Kembali mendekati dan bicara pada Sarimin…<br /><br />PENGACARA:<br />Tapi kita tak bolehlah putus asa… Aku yakin aku masih bisa membantumu, Sarimin. Aku jamin, kamu akan mendapat bagian keadilan. Memang kau tak akan menang. Tapi kau akan bangga, karena namamu akan dikenang. Kau akan jadi simbol dari perjuangan menegakkan keadilan. Ini peluang bagus buat kamu, Min… Artinya kalau kau nanti mati, kau tidak akan mati sia-sia!<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Saya sudah tua… mati juga tidak apa-apa…<br /><br />PENGACARA:<br />Eee, janganlah kau mati begitu saja. Nanti sia-sia aku membela kau!<br /><br />Dengar ya, Min… Syarat untuk jadi simbol perjuangan, kau harus mati secara dramatis. Pejuang terkadang dikenang bukan karna apa yang telah dilakukannya, tetapi pada bagaimana cara matinya. Semangkin dramatis kematiannya, semangkin hebatlah dia…<br /><br />Nah, makanya, nati biar aku aturlah sama Polisi itu, bagaimana baiknya cara kau mati. Aku sih kau mati dengan cara yang heroik. Mungkin diracun arsenik. Tapi aku kira itu bukan cara mati yang kreatif. Mesti lebih dramtis dikitlah. Mungkin kau disiksa lebih dulu. Di cabut sati persatu jari kau, lalu dicongkel mata kau… wah, itu kematian yang dramatis, Min! Gimana? Kamu mau kan?<br /><br />Kalau kau mati dengan cara seperti itu, maka kematian kau itu akan dikenang sebagai korban kekejaman hukum. Namamu akan dijadikan monumen abadi… Itu berarti kau untung, dan aku pun untung. Itu primsip keadilan dalam hukum, Min! Kau untung jadi simbol ketidakadilan, aku pun untung karena jadi pembela korban ketidakadilan…<br /><br />Pengacara itu nampak begitiu bahagia, memeluk tas golf-nya, mengambil kaca rias dan mengamati wajahnya, merapikan sisiran rambutnya, bahkan ia memupur pipinya dan mengoleskan lips gloss pada bibirnya, sambil terus berbicara…<br /><br />PENGACARA:<br />Bayangkan, Min… Aku akan bisa mensejajarkan namaku di barisan para pejuang hukum. Pejuang keadilan! Ini peluang baik buat karier kepengacaraanku. Siapa tahu nanti aku bisa dapat Yap Tiap Him Award…<br /><br />Makanya, Min, kau harus mengaku salah! Itu namanya kamu dapat karunia kesalahan! Kamu telah dipilih oleh Tuhan untuk menjadi orang yang salah…<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />(Begitu memelas) Saya ndak ngerti… Omongan sampeyan malah bikin saya bingung…<br /><br />PENGACARA:<br />Jangankan kamu, saya sendiri kadang bingung dengan omongan saya kok… Maklumlah, Min, omongan pengacara…<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Saya berbuat baik, kok malah disuruh ngaku salah… Menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk, berbuat baik itu ndak salah kok…<br /><br />PENGACARA:<br />Eee, jangan ngacau kau. Bertahun-tahun aku belajar hukum, tidak ada itu…apa kau bilang tadi? Apa? Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk… Ahh, tidak ada itu kitab hukum macam itu! Ngaco kali kau!<br /><br />Sudahlah! Kau ngaku salah apa susahnya sih! Bagaimana mungkin aku bisa membela kau kalau kau tidak bersalah.<br /><br />Lagi pula Pak Polisi itu sudah bilang kau bersalah. Bagaimana mungkin kau masih saja merasa tidak bersalah, kalau Polisi sudang bilang kau bersalah.<br /><br />SUARA SARIMIN:<br />Jadi saya harus ngaku salah?<br /><br />Mendadak terdengar suara bentakan Polisi, bersama menculnya bayangan wayang Polisi…<br /><br />SUARA POLISI:<br />Sudah ngaku saja salah. Sudah dibela masih saja ngeyel tak bersalah! PENGACARA:<br /><br />Tuh, dengar apa kata Pak Polisi… Aku mau membela kau kalau kau mau ngaku bersalah, Min! Pengacara macam aku ini sudah terbiasa membela orang yang salah, nanti aku malah bingung kalau membela orang tidak bersalah. Makanya, kamu mengaku salah saja ya, Min…<br /><br />Terdengar suara wayang Polisi, membentak Sarimin,<br /><br />SUARA POLISI:<br />Kalau kamu ngaku salah, nanti saya atur sama Mas Pengacara…<br /><br />PENGACARA:<br />Orang salah ngaku salah itu sudah biasa. orang yang bener tapi mau ngaku salah, itu baru mulia! Makanya kalau kau ngaku salah, kau akan jadi orang mulia!<br /><br />Kembali suara wayang Polisi, membentak Sarimin,<br /><br />SUARA POLISI:<br />Kamu tak punya pilihan, Sarimin! Kamu tidak bisa melawan hukum! Hukum telah menganggapmu bersalah!.. Bersalah!… Bersalah! Bersalah!…<br /><br />Suara Polisi yang meninggi itu kemudian menjadi gema: “Bersalah! Bersalah! Bersalah!” Makin lama gema suara itu makin membahana, seperti mengepung dan mengurung Sarimin…<br /><br />Bersamaan dengan itu, lampu perlahan-lahan meredup, menggelap. Hingga yang terdengar hanya gema suara Polisi dan Pengacara yang saling bersahut-sahutan, berulang-ulang, saling tumpuk, dan terus mengepung menggema:<br /><br />GEMA SUARA PENGACARA:<br />Kau mesti beruntung karena menjadi orang yang terhukum, Sarimin!<br /><br />GEMA SUARA POLISI:<br />Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!<br /><br />GEMA SUARA PENGACARA:<br />Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi orang yang bersalah!<br /><br />GEMA SUARA POLISI:<br />Kamu berbahaya karena bersikeras merasa benar!<br /><br />Bersamaan dengan gema suara-suara itu, di bagian belakang layar muncul bayangan-bayangan yang berlesetan. Bayang-bayang wayang Polisi dan Pengacara, bayang-bayang yang bertumpuk-tumpuk, berkelebatan, kadang bayang-bayang itu membesar dan seakan siap menerkam, bersamaan dengan gema suara yang tumpang tindih dan berulang-ulang:<br /><br />GEMA SUARA PENGACARA:<br />Kau harus merasa beruntung karena kau menjadi orang yang terhukum!<br /><br />GEMA SUARA POLISI:<br />Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!<br /><br />GEMA SUARA PENGACARA:<br />Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi orang yang bersalah!<br /><br />GEMA SUARA POLISI:<br />Kamu berbahaya karena bersikeras merasa benar!<br /><br />Di antara gema suara yang terus bersahut-sahutan itu terdengar rintihan Sarimin…<br /><br />SARIMIN:<br />Ampun… Ampun…<br /><br />Lalu suara-suara yang bergema itu perlahan menghilang. Ada kesunyian yang membentang. Lalu cahaya yang pucat dan layu bagai membelah kepedihan. Cahya itu menyorot ke Sarimin, yang tampak tak berdaya di balik jeruji sel penjara. Kesunyian yang menekan tampak bagai jaring yang meringkus Sarimin.<br /><br />Pada layar di bagian belakang, muncul bayangan yang samar, simbolis, semacam Dewi Keadilan, sosok yang menggambarkan kehadiran Hakim Agung…<br /><br />SARIMIN:<br />Maafkan saya, Bapak Hakim Agung…<br /><br />Terdengar sosok Hakim Agung di bayangan layar itu berbicara pada Sarimin. Suara dingin dan datar:<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Kalau saja saya bisa memaafkanmu, Sarimin…<br /><br />SARIMIN:<br />Maafkan saya…<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Tapi hukum tidak bisa ditegakkan dengan maaf, Sarimin..<br /><br />SARIMIN:<br />(Menghiba) Maafkan saya…<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Kamu jangan salah faham, Sarimin… Bukan saya yang menghukum kamu. Hukumlah yang menghukummu…<br /><br />SARIMIN:<br />(Makin menghiba) Ampuni saya…<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Hukum punya jalan keadilan sendiri, Sarimin.<br /><br />Makin lama Sarimin makin menghiba dan mulai merangkak-rangkak, bersujud di bawak sel penjara…<br /><br />SARIMIN:<br />(Makin menghiba tak berdaya) Ampuni saya…<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Tak ada gunanya kamu merasa benar kalau hukum mengganggpmu tidak benar…<br /><br />SARIMIN:<br />Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Biarlah hukum yang menentukan, Min… Bukan saya…<br /><br />Di bagian layar itu pula, muncul bayangan monyet, yang menjerit-jerit, muncul di sela-sela gema suara Hakim Agung<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Bukan kamu… Hanya hukum yang benar…<br /><br />Kembali terdengar suara monyet memekik-mekik…<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Bukan saya… Bukan kamu…<br /><br />Sementara Sarimin terus menghiba memohon ampunan…<br /><br />SARIMIN:<br />Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…<br /><br />SUARA HAKIM AGUNG:<br />Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum… (Terdengar suara monyet)…<br /><br />Suara Hakim Agung terus terdengar bertumpang tindih dengan suara pekikan monyet, sementara Sarimin terus merangkak-angkak, bersujud…<br /><br />Sampai kemudian Sariin merasa aneh dengan gema suara Hakim Agung dan suara monyet yang bagai mengepung menerornya itu. Sarimin jadi termangu, memandang bingung ke luar penjara saat gema semua suara itu melenyap. Segalanya bagai di ruang hampa…<br /><br />SARIMIN:<br />Aneh… Tadi itu suara Hakim Agung atau suara monyet ya?!<br /><br />Gelap menyergap seketika. Black out!!<br />SELESAI.<br /><br />Yogyakarta, 2007<br /><br />Catatan-catatan tekhnis:<br /><br />1 Nama ini boleh diganti, dengan nama penonton yang hadir. Penonton yang dikenal sebagai public figure, yang familiar dengan audience.<br /><br />2 Di sinilah, secara tekhnis, aktor pembantu mulai menempatkan diri di balik tirai. Sementara aktor utama, pelakon monolog ini, bisa mempersiapkan diri mengganti kostum untuk adegan berikutnya.<br /><br />3 Ini menjadi semacam trick pemanggungan: hingga muncul kejutan, seperti sulap, seakan aktor itu bisa berubah dalam sekejap. Padahal, yang di balik layar tadi adalah pemeran pengganti (yang secara postur dan bentuk tubuh, sama dengan aktor pemeran monolog ini)<br /><br />4 Pada saat dan selama dialog Sarimin, boneka itu ‘bergerak’ mengikuti dialog. Secara tehknis yang menggerakkan boneka itu bisa crew artistik atau yang membantu. Tapi akan lebih bagus bila yang menggerakkan boneka itu justru aktor pemeran monolog ini sendiri. Di sini, secara tekhnis suara Sarimin juga bisa disuarakan oleh aktor monolog ini secara langsung dengan intoneasi dan karakter suara yang berbeda.<br /><br />5 Di sini dipilih lagu dangdut “Tembok Derita”. Lagu ini dibawakan dengan gaya agung, bergaya Gregorian, hingga muncul semacam parody dari lagu dangdut itu, sekaligus menjadi gambaran suasana yang anomaly.teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-62285452232696867782008-11-30T06:41:00.000-08:002008-11-30T06:42:05.307-08:00RACUN TEMBAKAU<br />Monolog karya : Anton Chekov<br />Terjemahan : Jim Adhi Limas<br /><br /><br />Pelaku : Ivan Ivanovich Nyukhin, seorang suami dipingit yang punya istri punya sekolah musik partikelir dan indekos buat anak perempuan.<br /><br />Setting : sebuah panggung kecil di ruang pertemuan. <br /><br />(DENGAN CAMBANG YANG PANJANG, KUMIS DICUKUR KLIMIS, MEMAKAI JAS HITAM YANG SUDAH TUA DAN TERLALU SERING DIPAKAI. IA MUNCUL DENGAN SIKAP YANG AGUNG, MANGGUT-MANGGUT MEMPERBAIKI DASINYA.)<br /><br />Omong-omong, Tuan dan Nyonya. (mengusap-usap cambangnya) pada istri saya datang sebuah permintaan untuk tujuan amal, saya membacakan sebuah ceramah yang bersifat umum. Nah, kalau saya harus ceramah, tentu saja bagi saya tidak menjadi soal sama sekali. Jelas saya ini bukan profesor, dan saya tidak punya satu gelarpun. Tapi meskipun begitu, selama 30 tahun terakhir ini, bahkan sampai merugikan kesehatan saya segala, tidak ada hentinya saya mengerjakan persoalan-persoalan yang sifatnya ilmiah melulu. Saya orang berfikir, dan saya pujangga. Kadang-kadang saya juga menulis tulisan-tulisan ilmiah. Maksud saya bukan ilmiah yang sok, tapi maaf saya katakan ini, boleh digolongkan ke kelas ilmiah. <br />Sebelum lupa, kemarin dulu saya menulis sebuah artikel panjang berjudul “ bahaya dari jenis-jenis serangga tertentu”. Anak perempuan saya semua menyukainya. Terutama bagian-bagian yang mengenai kutu-kutu tembok, tapi setelah dibaca kembali, saya robek lagi. Sudah tentu, seberapa pandainyapun orang menulis, obat anti kutu memang harus dibeli. Sampai-sampai saya punya piano, eh..didalamnya digigitin kutu…..<br />Untuk ceramah hari ini saya mengambil pokok masalah yaitu bahaya yang disebabkan oleh perilaku manusia, yakni menghisap tembakau. Saya sendiri merokok, tapi istri saya yang menyuruh saya ceramah tentang bahaya tembakau hari ini, dan karena itu, tak ada jalan lain. Baik, tentang bahaya tembakau, ..tembakau adalah……..bagi saya tidak jadi soal sama sekali, tapi bagi hadirin? Saya anjurkan untuk sebisa mungkin menangapi ceramah ini dengan segala kesungguhan, demi mencegah terjadinya sesuatu yang tidak terduga. Namun, siapa yang takut ceramah ini akan terlampau kering ilmiah? Yang tidak suka macam begini, mereka tidak perlu ikut mendengarkan, dan saya tidak keberatan kalau mereka mau pulang saja. (MEMPERBAIKI DASINYA) <br />Saya terutama minta perhatian dari para anggota lingkungan kedokteran yang hadir disini, agar mereka bisa memperoleh keterangan yang berguna dari ceramah ini. Berhubung tembakau selain punya akibat buruk, juga digunakan dalam dunia kedokteran. Begini misalnya, kalau saya masukkan seekor lalat ke dalam botol berisi tembakau, binatang itu kemungkinan besar mati karena sarafnya tergangu. <br />Tembakau kita kenal sebagai tuimbuh-tumbuhan,….. biasanya kalau saya ceramah mata kanan saya selalau kekedipan, yang hadirin tidak perlu risaukan, itu lantaran senewen. Saya orang yang sangat gugup pada umumnya. Dan kekedipan mata ini sudah mulai sejak lama, sejak 1989. Kalau mau tepatnya tanggal 13 September, di hari istri saya melahirkan anak perempuan kami yang keempat, namanya Barbara. Anak perempuan saya semuanya lahir pada tanggal 13. tapi…(MELIHAT ARLOJI) karena sempitnya waktu, sebaiknya saya jangan menyimpang dari pokok permasalahan. <br />Oh.ya , sebelum lupa, saya bisa ceritakan bahwa istri saya punya sekolah musik, dan membuka indekos partikelir, maksud saya bukan indekos biasa, tapi ..ya begitulah. Antara kami, istri saya paling suka ngomel tentang kesusahan jaman. Padahal dia punya simpanan 40 sampai 50 ribu rubel di suatu tempat tersembunyi. Sedang saya?, saya ini tidak dikaruniai sesenpun, tidak sesenpun. Tapi yaah…buat apa ngotot tentang yang begituan? Saya turut mengatur indekos dengan menjaga urusan rumah tangga. Saya yang belanja persediaan makanan, saya mengawasi para pembantu, saya basmi kutu-kutu, saya ajak jalan-jalan anjing kesayangan istri saya, saya tangkap tikus. Malam kemarin saya membeli tepung terigu dan mentega untuk koki, berhubung hari ini kami bikin kue dadar gulung. Singkatnya, hari ini setelah dadar gulungnya jadi, istri saya masuk ke dapur untuk menyampaikan bahwa tiga dari murid-muridnya tidak dapat makan dadar gulung karena sakit gendeng. Jadi, kebetulan saja ada dadar gulung yang tersisa. Lantas mau diapakan? Istri saya tadinya suruh simpan di almari, kemudian dia berpikir lagi, dan setelah dipertimbangkan dia berkata : “ sudah makan saja dadar gulung itu Begong,…”. Kalau sedang marah dia selalu menyebut saya demikian, “Begong” atau “Cacing”, atau “setan alas” . Orang macam saya begini masa setan?. Dia sering marah-marah begitu. Lalu dadar gulung itu tidak saya kunyah perlahan-lahan, malahan dadar gulung itu saya telan bulat-bulat, karena saya selalu kelaparan. Kemarin misalnya, saya tidak dikasih makan, “ tidak ada gunanya” kata istri saya. Tapi..(MELIHAT ARLOJI). Saya sudah nglantur lagi, sudah menyimpang dari pokoknya. Mari kita lanjutkan. Meskipun tentu saja hadirin lebih senang mendengarkan roman atau simfoni atau sebuah nyanyian. (MENYANYI) “ dalam api perjuangan kita tidak gentar…..” saya kurang ingat dari opera mana lagu itu. …Sebelum lupa, saya belum sebut bahwa selain manangani urusan rumah tangga, di sekolah musik istri saya, tugas saya termasuk juga mengajar matematika, ilmu hayat, ilmu kimia, ilmu bumi, sejarah, do-re-mi, sastra , dan seterusnya. Untuk les dansa, nyanyi dan menggambar, istri saya minta bayaran ekstra, meskipun sebenarnya sayalah guru dansa dan nyanyinya. <br />Sekolah musik kami ada di jalan Lima Anjing no. 13. Barangkali itu yang membikin hidup saya sial karena tinggal di rumah nomer 13. lagipula semua anak perempuan saya lahir pada tanggal 13, dan rumah kami punya 13 jendela. …..tapi, ya untuk apa diributkan semua ini?. Istri saya selalu dirumah, setiap waktu bisa terima kunjungan pembicaraan, dan prospektus sekolah bisa di dapat dari portir. Tiga ketipan satunya. (MENGAMBIL BEBERAPA CONTOH PROSPEKTUS DARI SAKUNYA). Dan kalau perlu, bisa dapat dari saya juga. Tiga ketip sehelai, siapa mau?. (HENING) tidak ada yang mau? Sudahlah dua ketip? (HENING). Sayang sekali. Nomer rumah kami jalan Anjing nomer 13. saya memang gagal dalam segala hal, saya sudah tua dan lagi bodoh. Sekarang saya sedang ceramah, dan kelihatannya riang saja, tapi sesungguhnya saya ingin berteriak setinggi langit, atau lari keujung dunia….dan kepada siapa saya bisa mengadu. Saya malah ingin menangis….. kita mungkin bisa bilang “ kaukan punya anak perempuan”.. ya… tapi anak perempuan itu apa?. Saya ngobrol dengan mereka, mereka cekikikan melulu….. istri saya punya 7 anak perempuan, eh bukan, maaf, kalau tidak salah 6…(RUSUH) ya tentu saja 6, yang sulung umurnya 27 tahun dan yang bungsu sudah umur 17. Tuan-tuan..(MELIHAT SEKELILING) aku sengsara, aku sudah jadi dungu, tidak berarti, tapi tetap di depan sini berdiri seorang ayah yang paling bahagia. Bagaimanapun, begitulah mestinya dan aku tidak berani mengatakan bahwa tidak begitu. Tapi kalau kalian tahu, aku sudah bersama biniku selama 33 tahun, dan aku bisa saja katakan bahwa itu tahun-tahun yang paling subur, maksudku bukan terbaik, tapi secara umumlah. Telah lalu semua dalam satu kata, seperti satu detik kebahagiaan, tapi terus terang persetan segalanya. (MELIHAT SEKELILING) aku kira dia belum datang. Biniku belum disini, jadi aku bisa bicara sesukaku. …aku sangat penakut… aku takut kalau dia pandang aku. Nah, seperti sudah aku katakan, anak perempuanku belum pada kawin. Kemungkin besar karena mereka pemalu, dan juga karena jejaka-jejaka tidak diberi kesempatan melihat mereka. Biniku paling tidak seka bikin pesta, dia tidak pernah undang siapapun makan, dia klewat judes, adatnya jelek, perempuan tukang cekcok, sehingga tidak ada yang mau bertemu, tapi…… ini aku kasih tahu karena aku percaya pada saudara-saudara. (MAJU KE UJUNG PANGGUNG) pada hari raya petang anak perempuan biniku bisa dijumpai di rumah bibi mereka Natalia Semirzovna, itu nyonya yang menderita sakit reumatik dan selalu memakai gaun kuning ordo-ordo hitam. Seperti itu. Disana makanannya betul-betul enak. Dan kalau kebetulan biniku tidak ikut, kita bisa…(MENGANGKAT SATU TANGAN SEBAGAI ISYARAT MINUM) maklum, aku bisa saja mabok dari saatu gelas anggur, dan disaat demikian aku mampu merasakan bahagia sekaligus sedih yang aku tidak bisa gambarkan kepada hadirin. Aku teringat lagi masa muda. Dan ada sesuatu yang membikin aku ingin lari, ingin minggat segera…. Oh.. jikalau saudara-saudara bisa merasakan bagaimana aku ingin melakukan itu. (SEMANGAT) lari, meninggalkan semua ini, lari tanpa menengok lagi ke belakang……kemana? Tidak peduli kemana…. Asalkan bisa minggat dari kehidupan yang hina, kejam. Marah ini yang sudah menjadikan aku tua bangka bobrok, galak, dengki, yang jiwanya sempit serta menjengkekan itu. Biniku itu….. yang sudah menyiksa aku selama 33 tahun lamanya. Minggat dari kemunafikan, dari dapur, dari urusan duit, dari persoalan-persoalan seperti vulgar… lari untuk berhenti disuatu tempat yang jauh, jauh sekali. Disuatu padang, untuk berhenti, berdiri menjulang seperti sebuah pohon, seperti tiang, seperti hantu pengusir burung, dibawah langit yang lebar, dan terus memandang bulan sunyi diatas kepala, lalu melupakan, melupakan… Oh betapa aku rindukan, kemampuan tidak meningkat…. Betapa aku tidak sabaran lagi untuk menjambret jas tua ini yang 33 tahun yang lalu kupakai pada hari pernikahanku. …(DENGAN KASAR MEMBUKA JAS) yang selalu mesti aku pakai buat ceramah-ceramah pada kesempatan amal……rasain lu!!… (MENGINJAK-INJAK) rasain! Aku tua, melarat, sengsara seperti jas tua ini, dengan punggungnya tambal-tambal. (MEMPERLIHATKAN PUNGGUNG JAS ITU) aku tidak mau apa-apa! Aku lebih baik dan lebih bersih dari itu. Aku pernah muda, aku pernah belajar di universitas, aku pernah bercita-cita, aku pernah menganggap diriku seorang lelaki…… sekarang aku tidak mau apa-apa! Tidak apa-apa selain istirahat. ( MELIHAT KE BELAKANG, LALU CEPAT MEMAKAI JAS LAGI) istri saya sudah ada dibelakang panggung…. Ia sudah datang menunggu saya disana….. (MELIHAT ARLOJI) waktunya sudah habis… kalau ditanya istri saya, saya mohon dengan sangat jawablah pemberi ceramahnya….. bahwa Begong, eh maksud saya, saya sendiri telah melakukan tugasnya dengan sopan. (MELIHAT KE PINGGIR, BATRUK-BATUK) istri saya sedang memandang saya. (SUARA DIPERKERAS) Setelah kita bertitik belok dari pola bahwa tembakau mengandung racun yang jahat, seperti tadi saya uraikan, maka hendaknya kebiasaan merokok, harus dihapus. Dan omong-omong saya mengharapkan sekali bahwa ceramah saya mengenai “ bahaya dari tembakaju” ada manfaatnya bagi hadirin sekalian. Sekian, selamat malam (MENGHORMAT, MENGUNDURKAN DIRI DENGAN AGUNG). <br /><br />Selesai………teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-55978921820239384972008-11-30T06:40:00.000-08:002008-11-30T06:41:12.752-08:00MATINYA TOEKANG KRITIK<br /><br />– Sebuah Teater Monolog –<br />Karya Agus Noor<br /><br /><br />Terdengar detak nafas waktu…<br /><br />Sebelum pertunjukan – sebelum dunia diciptakan – denyut waktu itu mengambang memenuhi ruang – semesta yang hampa. Seperti denyut jantung. Terdengar detak-detik waktu bergerak. Seperti merembes dari balik dinding. Seperti muncul dan mengalir menyebar di antara kursi-kursi yang (masih) kosong…<br /><br />Ketika para penonton mulai masuk ruang pertunjukan, mereka mendengar waktu yang terus berdedak berdenyut itu. Mereka mendengar suara detik jam yang terus berputar. Suara ddetak-detik waktu yang bagai mengepungnya dari mana-mana.[1] Sementara pada satu bagian panggung, mereka menyaksikan kursi goyang yang terus bergerak pelan seakan mengingatkan pada ayunan bandul jam. Bergoyang-goyang. Kursi itu temaram dalam cahaya. Terlihat selimut menutupi kursi itu, seperti ada orang yang tertidur abadi di atas kursi itu. Waktu berdenyut. Kursi terus bergoyangan.<br /><br /><br /><br />Sesekali menggema dentang lonceng, terdengar berat dan tua.[2]<br />Kemudian bermunculan orang-orang berjubah gelap,[3] lamban berkelindan, seperti bayangan yang muncul dari rerimbun kabut waktu. Mereka bergerak menuju kursi goyang yang berayun-ayun pelan itu, berputaran mengepungnya, seperti para immortal yang tengah melakukan ritus purba.[4] Dan cahaya bagai gugusan kabut yang berputaran. Sampai kemudian sosok-sosok berjubah menjauhi kursi goyang itu.[5]<br /><br />Kini, di bawah cahaya yang kepucatan, di kursi itu terlihat Raden Mas Suhikayatno, tokoh dalam monolog ini. Dia terlihat terlelap, bagai tertidur di rahim waktu yang abadi. Tapi ia juga terlihat gelisah, seperti dikepung mimpi. Makin lama ia terlihat semakin resah. Dan ia tiba-tiba tersentak meledak, tepat ketika terdengar jerit waktu: dering jam weker terdengar dari semua sudut. Jutaan jam weker berdering serentak di seluruh dunia. Disertai dentang berualang-ulang. Gema lonceng gereja. Bermacam-macam suara. Tumpuk-menumpuk. Mengembang dan menyusut. Kelebatan gambar-gambar.[6] Semua seperti muncul dan menggulung-gulung dalam ingatan Raden Mas Suhikayatno: Suara pesawat supersonik. Badai menggemuruh beergulung-gulung. Teriakan-teriakan. Suara perang. Suara-suara kemerosak gelombang radio. Di antara suara-suara itu terdengar suara Bung Karno membacakan Proklamasi[7] … lalu menghilang. Muncul suara lain, suara iklan yang lebih modern, lalu kemerosak gelombang radio lagi. Suara-suara dan gambar-gambar yang terus mengalir. Suara Bung Karno pidato berapi-api. Lenyap lagi. Dentang lonceng. Jam berdering. Suara Presiden Soeharto berpidato di depan MPR.[8] Gambar-gambar masa silam.[9] Gambar bertumpuk-tumpuk terus menerus. Kemudian perlahan menghilang…<br /><br />Dan kesenyapan perlahan menjalar. Hanya terdengar waktu yang terus berdeyut.<br /><br />Di kursi goyang itu. Raden Mas Suhikayatno terlihat begitu kelisah. Meracau kacau. Sampai kemudian dia terjaga, terengah-engah gelisah, kebingungan.<br /><br />RADEN MAS SUHIKAYATNO:[10]<br /><br />(Mengigau risau) Ini jam berapa?.. Tahun berapa?…<br /><br />Sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu yang pelan…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Pelan-pelan terbangun, berteriak memanggil) Bambaaang.[11] Bammbanggg!!! (Jeda) Di mana anak itu… (Kembali berteriak, jengkel) Bambaaaannggg!!… Ya, ampun, Mbang… Baru jadi pembantu saja sudah susah kalau dibutuhkan. Gimana nanti kalau jadi presiden! (Kembali berteriak memanggil) Mbaaanggg….. Bambanggg!!!<br /><br />Terus saja sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu. Raden Mas Suhikayatno kemudian bersandar di kursi goyang. Terlihat begitu kesepian. Seperti mengeluh. Seperti mendesah…<br /><br />DENMAS:<br /><br />Ini kutukan… Ataukah kemuliaan….<br /><br />Terdengar jam tua bertendang, kemudian ada ketukan-ketukan, seperti suara tik-tak jam berdetak.<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Seakan hanyut oleh gema suara yang didengarnya, kemudian bertanya entah pada siapa) Kalian dengar suara itu?… Tua dan purba. Kalian bisa merasakan? Begitu lembut… bersijengkat lembut mendatangimu.<br /><br />Suara tik-ak itu pelan konstan, seirama bicara Raden Mas Suhikayatno.<br /><br />DENMAS:<br /><br />Suara waktu! Berabab-abad aku mendengarnya… Terdengar di keretap hujan…, diantara kereta yang menderu… Dengung di sayap lebah… Desah di setiap pencintaa… (Menjadi melankolis dan merasa bahagia, seperti menghayati butiran-butiran waktu yang merembes ke dalam tubuhnya) Ya, itu suara waktu…<br /><br />Tiba-tiba suara tik-tak itu berubah cepat – berdetak-detak dipukul-pukul jadi suara ketukan orang jualan siomay. Dan terdengar teriakan pedagang itu, “Maaayy…. Siomay…”<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Jengkel, berteriak ke arah ‘pedagang siomay’ itu) Brengsek! (lalu ngomel sendiri) Saya kira suara waktu!… (Tergeragap, seperti tersadar, ingat sesuatu) Waduh… Jangan-jangan saya memang sudah ditinggalkan waktu. Terlambat! Ini ‘kan tanggal tujuh belas!<br /><br />Raden Mas Suhikayatno cemas, gelisah…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Berteriak memannggil mencari-cari pembantunya) Bambaaangg… cepet ambilkan jas saya! Mereka pasti sudah menunggu saya….<br /><br />Terdengar celetukan dari para pemusik; “Hai, Mas… Gelisah begitu kenapa?…”<br /><br />DENMAS:<br /><br />Saya mau ikut upacara tujuh belasan di Istana Negara…<br /><br />Terdengar jawaban dan celotehan dari para pemusik: “Tujuh belasan apa!… Merdeka saja belum, kok!… Mas, ini masih jaman pra sejarah. Homo sapien saja belum ada… Adanya homoseks… dst”<br /><br />Raden Mas Suhikayatno jadi bingung, tak percaya. Linglung kembali duduk di kursi goyang…<br /><br />DENMAS:<br /><br />Apa saya menderita amnesia, ya? (Menunjuk kepalanya) Waktu seperti ingatan yang bertumpuk-tumpuk. Saya mengira Minggu… ternyata Rabu. Sering saya mendapati diri saya berada di waktu yang salah.<br /><br />Bersamaan dengan itu terlihat lagi tumpukan gambar-gambar berbagai peristiwa, menyorot ke arah Raden Mas Suhikayatno, seperti ingatan-ingatan yang berpusaran dalam kepalanya…<br /><br />DENMAS:<br /><br />Ini tahun berapa sebenarnya… Ini tahun berapa…<br /><br />Sampai terlihat gambar orang-orang bersorban putih, berbaris berteriak.[12] Tapi bersa-maan itu terdengar suara derap dan ringkik kuda…<br /><br />Tiba-tiba terdengar suara,[13] bernada menggema: “Ta-hun… 1.9.9.8…”<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Bingung, tak percaya) 1998?? Yang bener!<br /><br />Suara itu terdengar lagi, menegaskan: “Ta-hun… 1.9.9.8…”<br /><br />DENMAS:<br /><br />Bukannya ini tahun 1828?<br /><br />Suara itu kembali menegaskan dengan nada sama: “Ta-hun… 1.9.9.8…”<br /><br />DENMAS:<br /><br />Lha itu siapa…, orang-orang yang pakai seragam putih-putih itu…<br /><br />Suara itu menjawab: “Mereka pasukan jihad.”<br /><br />DENMAS:<br /><br />Pasukan Jihad? (Sadar berada di waktu yang salah, waktu yang tak sebagaimana dikiranya) Saya kira pasukan Pangeran Diponegoro… (Bertanya meyakinkan) Bener, ini bukan tahun 1828?!<br /><br />Suara itu memotong tegas menggema: “In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8…”<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Jengkel) Iya! Iya! Tapi ngomongmu nggak usah bergaya begitu dong! Malah kayak film hantu. Persis Uka-uka![14]<br /><br />Tiba-tiba suara itu menjawab dengan biasa, memaki: “Oo asu!”<br /><br />DENMAS:<br /><br />Eeeh, malah memaki! Saya kutuk jadi Presiden Indonesia, mampus kamu! (Seperti tiba-tiba sadar, dan mencoba menjelaskan, ke arah penonton) Lho iya kan? Jadi Presiden Indonesia itu seperti dapat kutukan kok! Apa sih enaknya jadi Presiden Indonesia, coba? Di Indonesia, profesi presiden itu profesi yang sama sekali tidak menarik. Dari dulu kerjanya gitu-gituuuu melulu: selalu nyusahin rakyat. Kalau kalian termasuk golongan orang kreatif, tolong deh, nggak usah punya cita-cita jadi Presiden Indonesia. Malah nanti tidak kreatif.<br /><br />Tugas, kewajiban dan tanggung jawab Presiden Indonesia itu monoton kok. Dari tahun ke tahun, sia pun yang jadi presiden, ya tugasnya tetap sama: meningkatkan angka… pengangguran; menambah jumlah devi… apa? Devisit uang Negara…; mencari pijaman luar negeri, menaikan harga BBM… Sama sekali nggak kreatif kan. Mbosenin.<br /><br />Saya ngomong gitu, bukan karena saya dengki nggak jadi presiden, lho. (Seperti orang yang jijik pada sesuatu) Hiiihhh…., saya nggak mau jadi presiden.<br /><br />Jangankan Presiden Indonesia… ditawarin jadi raja Hastina saja saya tidak mau kok. Emoh! Padahal Romo Semar sendiri lho yang nawarin. Katanya, saya ini lebih pantas jadi raja Hastina, ketimbang Yusdhistira, si Pandawa paling tua itu.<br /><br />Saya ingat betuk kok waktu itu… Itu jaman ketika belum ada kerajaan-kerajaan di Jawa. Tapi saya sudah ada. Sudah tua dan imut seperti ini.<br /><br />Waktu itu terjadi krisis di Hastina, karena Pandawa kalah main dadu. Romo Semar langsung tergopoh-gopoh menemui saya. (Bergaya wayang orang) “Kakang Raden Mas Suhikayatno, kamu harus menyelamatkan Hastina. Kamu harus jadi raja Hastina!” (Pause) Dengan halus saya menjawab, (kembali bergaya wayang orang) “Maaf, Dimas Semar…, maaf. Bukannya menolak, Dimas Semar. Tapi Maaf, Dimas Semar…, maaf. Saya sama sekali tidak punya cita-cita jadi raja di dunia wayang. Maaf lho, Dimas Semar…, maaf. Sekali lagi, maaf Dimas Semar… maaf…” [15]<br /><br />Itulah track record saya… Saya memilih konstinten sebagai Tukang Kritik yang martabat. Itu yang saya pegang teguh sejak dulu. Sejak zaman Musa, zaman Babilonia… Sejak zaman saya masih jadi pacar gelapnya Cleopatra. Saya menolak diagung-agungkan seperti Julius Caecar. Saya menolak jadi tangan kanan Napoleon…, karena dia kidal.<br /><br />Saya ini terlalu low profile untuk dijadikan pemimpin…<br /><br />Itulah sebabnya, dulu saya sempet berantem sama Gajah Mada – karena saya menolak membantunya. Padahal kami temen sepermainan sejak kecil. Temen gaul gitu loh![16] . Suka main gundu dan mencuri buah maja sama-sama.<br /><br />(Kepada para pemusik) Sssttt…, saya mau cerita…. Tapi ini rahasia lho ya… Jangan disebar-sebarin. Nanti penonton tahu… (Bergaya membisik, seolah berahasia, tapi bersuara keras hingga suara itu tetap saja sampai didengar penonton) Dulu…, semasa remaja, si Gajah Mada itu hobinya ngintip lho!… Nggak nyangka ‘kan, orang yang doyan ngintip begitu, bisa menyatukan Nusantara<br /><br />Para pemusik menaggapi, tak mempercayai.<br /><br />DENMAS:<br /><br />Dibilangin nggak percaya!! Saya ini sering diajak dia ngintip perempuan yang lagi mandi (Sok gaya) Saya, sebagai orang yang menghargai perempuan, ya jelas tidak mau… Tidak mau ketinggalan ikut ngintip.<br /><br />Nah, suatu senja…. (Mulai bergaya mempraktekkan apa yang dikisahkannya) si Gajah Mada mau ngintip nih… Ia mengendap-endap, sembunyi di balik belukar dan pepohonan. Persis Jaka Tarub ngintip bidadari mandi. Saya ngikut dibelakangnya, gemeteran… Takut ketahuan. Saya bilang, “Mad, Mad… Mada… kita pulang saja yuk…” Tapi dia tak mau. Dia malah naik ke pohon. Welah, sial! Di pohon itu ada sarang lebah, dan si Gajah Mada menyenggolnya. Langsung tawon-tawon itu menyerbu wajahnya…. Wuuut…wuuut… Itulah sebabnya, seperti pada gambar di buku sejarah yang sering kalian lihat: Gajah Mada bengkak wajahnya…[17]<br /><br />Raden Mas Suhikayatno berjalan ke arah meja yang di tempatkan sedemikian rupa menurut kebutuhan tata setting dan artistik. Meja itu bergaya kuno, dengan sepasang kursi yang juga tua. Mengingatkan pada perabot seorang priyayi Jawa. Ada cangkir dan gelas di atas meja itu. Juga majalah dan koran yang tak rapi. Raden Mas Suhikayatno yang kecapaian karena terus-terusan bercerita, segera duduk di kursi. Menikmati minuman. Tapi kaget tersedak…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Menyemburkan minuman dari mulutnya, ngomel dan mengeluh) Astaga… Bambang! Ini kan teh dua hari lalu. (Berdahak seperti mencoba mengeluarkan sesuatu dari kerongkongannya) Saya sampai tersedak cicak! Bambanggg!!! Bambanggg….. (Jeda) Bener-bener punya bakat jadi presiden dia: kagak dengar meski sudah diteriakin… Alias budeg! Kata orang, budeg itu memang penyakit permanen presiden.<br /><br />(Mengomel sambil mengambili majalah dan koran) Meja sampai berantakan begini… (Mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah itu, sambil terus ngomel dan memanggil) Mbang, apa ada surat buat saya?… Saya ‘kan sudah bilang, semua mesti rapi. Biar saya tidak bingung begini. Dibilangin dari dulu, eh tetap nggak didengerin. Apa sih susahnya ndengerin. Dibilangin baik-baik, eh malah ngata-ngatain, “Dasar Tukang Kritik sirik!”<br /><br />Saya ngritik bukan karna sirik. Saya ngritik karena saya ingin semuanya baik. Hingga hidup bertambah baik. ‘Kan enak kalau semua kelihatan baik. Saya nggak seneng kalau kamu jorok. Baju kotor. Jangan kayak seniman: celana dalem, lima minggu sekali baru ganti.<br /><br />Dikritik memang sakit… Itu tak seberapa. Sebab orang yang suka mengritik itu justru lebih merasa sakit, bila kritiknya nggak didengerin. (Jeda) Untung saya cukup sabar sebagai Tukang Kritik. Saya nggak pernah marah, meski disepelekan. Buat apa marah? Nggak ada gunanya…… (Lalu berteriak memanggil pembantunya lagi, pelan) Mbang… Bambangg…. Orang itu mesti yang sabar…. Bambaaangg… (Lama-lama teriakannya makin tinggi dan bernada marah) Diancuk! Mbang, mana surat itu!… Bambaaang!! (ke arah penonton, masih mengeram marah) Kalian lihat sendiri kan, dia selalu menyepelekan saya… tapi saya tetep sabar… (kembali berteriak marah) Kamu taruh mana surat itu?!<br /><br />(Sampai kemudian merasa disepelekan, dan mulai mengeluh kepada siapa pun yang mendengarnya, mengeluh ke arah penonton) Sakiiittt ati saya. Sakit, sakit, sakitttttt kik kik kit…. Kadang saya pikir, buat apa saya teriak-teriak marah begitu. Buat apa saya terus-terusan mengritik… Kadang saya merasa lelah juga kok jadi Tukang Kritik. Saya pingin berhenti mengritik. Tapi kalau berhenti mengritik, saya sendiri yang malah sakit. Baru semenit tidak mengritik, mulut saya langsung pegel-pegel. Sehari tidak mengritik, langsung bisulan pantat saya.<br /><br />Yaah, barangkali memang beginilah resiko jadi orang yang sudah terlanjur dicap sebagai Tukang Kritik. Saya cuma dianggap kutu pengganggu. Tapi saya menerima dengan lapang dada semua perlakuan itu. Saya sabar, sabaarrr… saya sabar… (tapi kata ‘sabar’ itu diucapkan dengan intonasi mengeram tajam) Meski kalian terus menyepelekan orang macam aku[18]… Orang yang kalian cibir sebagai Tukang Kritik!! Kalian hendak mengapusku dari ingatan zaman. Kalian menatapku dengan mata penuh penghinaan…<br /><br />Raden Mas Suhikayatno tersengal kelelahan, kepayahan di puncak kemarahannya. Kemudian ia berjalan ke meja lagi. Marah. Mengeram. Kalap mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah yang langsung diacak-acaknya hingga berhamburan kemana-mana.<br /><br />DENMAS:<br /><br />Kalian memang mau melupakanku! Kalian mau melupakanku! Melupakanku!<br /><br />Kemudian teriakan dan kemarahan itu perlahan melemah. Raden Mas Suhikayatno terisak, terhuyung-huyung menuju kursi goyangnya. Ia duduk di kursi goyang itu dengan tubuh gemetar. Meraih selimut dan segera menutupi tubuhnya yang gemetaran…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Terdengar seperti menghiba, seperti suara orang yang bersikeras mempertahankan harga dirinya)) Apa salah saya? Saya selalu tulus mengritik kalian… Tapi kenapa kalian memperlakukan saya begini?<br /><br />Tak ada yang lebih menyakitkan, selain dilupakan…<br /><br />(Mengagah-gagahkan diri, sikap seorang terhormat di hadapan kematian) Penjarakan saya! Ayo! Bunuh saya!…. Itu jauh lebih terhormat bagi Tukang Kritik macam saya…<br /><br />(Lalu kembali gemetaran) Alangkah mengerikan dilupakan….<br /><br />Kemudian Raden Mas Suhikayatno memegangi dadanya. Ia dihantam nyeri yang sangat. Kemudian berteriak serak dengan sisa-sia tenaganya. Teriakan itu terdengar tertahan di kerongkoannya,<br /><br />DENMAS:<br /><br />Bambaaaannggg…. Obat saya… Obat saya… Tolong… Air… Bam-banggg… Bammmmbaaannggg….<br /><br />Suara Raden Mas Suhikayatno makin lama makin pelan, makin terdengar sebagai rerancauan. Cahaya di kursi goyang itu menggelap, ketika Raden Mas Suhikayatno sudah menutupi seluruh tubuhnya. Kursi itu hilang dalam gelap. Hanya terdengar suara Raden Mas Suhikayatno yang terus memanggili pembantunya: “Bambaaang…. Bambaaang…<br /><br />Baaammmbaanngg…. dst…” [19]<br /><br />Sementara itu, dari sebelah kiri kanan kursi, muncul sosok hologram yang sama persis dengan Raden Mas Suhikayatno. Tubuh dan wajahnya. Pakaiannya. Persis. Kedua sosok hologram itu memandang ke arah kursi goyang yang kini terlihat pucat di bawah cahaya yang menyorotnya, bergoyang-goyang, tertutup selimut – dimana seolah-olah ada Raden Mas Suhikayatno yang gemetaran di balik selimut itu. Untuk menegaskan itu, kursi goyang mestilah terus berayun-ayun pelan,[20] dan terus terdengar rintihan suara Raden Mas Suhikayatno yang sesekali meracau demam, sesekali memanggili pembantunya. Kedua hologram itu mulai bicara. Sebut saja mereka dengan nama Hologram 1 dan Hologram 2.[21]<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Dia kelelahan…<br /><br />HOLOGRAM 2:<br /><br />Dia berusaha bertahan…<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Nasibnya akan sama, seperti para Tukang Kritik lainnya… Pingsan di kursi kekuasaan!<br /><br />HOLOGRAM 2:<br /><br />Dia sedang menghimpun kekuatan…<br /><br />Sementara suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua hologram itu..<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Dia sedang belajar menerima kekalahan…<br /><br />HOLOGRAM 2 :<br /><br />(Kepada hologram satunya) Kau sinis karena tak percaya takdir!<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Aku tak menyerah pada takdir, karena tak ingin jadi kentir! Atau jadi kaum munafik sepertimu…<br /><br />Sementara suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua hologram itu..<br /><br />HOLOGRAM 2:<br /><br />Tapi aku tak menyerah… Seperti dia yang juga tak menyerah. Seperti semua Tukang Kritik yang hidup sepanjang sejarah…<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Taik! Tukang kritik tak lebih cuma kaum munafik! Munafik! (menuding dan menghardir, terus-menerus) Munafik! Munafik….<br /><br />Teriakan ‘munafik’ itu terus terdengar berulang-ulang, makin meninggi, dan dua sosok hologram itu lenyap. Sementara kursi goyang berayun cepat, gelisah. Raden Mas Suhikayatno yang disergap suara-suara itu kian meracau. Memanggil-manggil nama pembantunya. Suara Raden Mas Suhikayatno, makin lama makin meninggi : “Tidak… Tolong…. Bambang…. Bambang…..” [22]<br /><br />Sampai kemudian ‘teriakan-teriakan itu’ menghilang. Tetapi kursi goyang itu terus bergoyang-goyang gelisah…<br /><br />Muncul Bambang,[23] membawa sapu lidi, tergopoh-gopoh mendekati kursi goyang.<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Iya, Tuan…. Ada apa, Tuan…. Maaf…… Ya, Tuan…<br /><br />Bambang bingung dan gugup memandangi kursi goyang itu, melihat majikannya yang meracau memanggil-manggil namanya: “Bambang… Baammbbaaangg…” Sampai kemudian suara itu berhenti. Raden Mas Suhikayatno tertidur lelap. Diam. Tak ada suara…<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Sambil membetulkan selimut, seakan-akan menyelimuti majikannya agar lebih tenang tidurnya) Kasihan Tuan…<br /><br />Terdengar suara, seakan ada benda jatuh atau sesuatu yang mengejutkan.<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Sssssttttt… Tolong, jangan berisik. Biar Tuan bisa istirahat… Kasihan dia. Akhir-akhir ini kelihatan gelisah. Bingung. (Jeda) Yaa, sebenarnya dari dulu sih Tuan saya itu orangnya membingunkan. Saking membi-ngungkannya, sampai-sampai saya juga ikut bingung.<br /><br />Tuan saya orangnya eksentrik. Kerjanya nyalahin orang. Ada ajah yang diomelin. Inilah, itulah. Saya dikatain ginilah, gitulah. Tiap hari kerjanya ngritiiiiikkkk melulu. Apa saja dikritiknya… Kalau Anda pakai kaos kuning, dan dia ngelihat, pasti langsung ngritik: “Ih kuning kayak tai…” Nanti kalau Anda ganti pakai kaos merah, tetep saja dikritik: “Ih, apa hebatnya kaos merah!”… (Begitu seterusnya). [24]<br /><br />Bambang kemudian melihat majalah dan koran yang berhamburan berantakan, dan segera memberesi.<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Sambil memeberi koran majalah itu) Nanti kalau bangun, pasti ngomel-ngomel… (seolah menirukan majikannya) “Ngapain kamu berantakin! Dasar nggak becus jadi pembantu!” (pause) Saya memang nggak becus atuh jadi pembantu. Nama saya ajah Bambang. Mana teh ada pembantu namanya Bambang. Saya mah pantesdnya jadi presiden, uiy… Meski jerawatan gini!<br /><br />Yang nyebelin, nanti kalau udah saya beresin, tetep ajah saya diomelin… (kembali menirukan majikannya) “Siapa yang suruh ngrapiin! Lihat, halamannya jadi sobek gini!” (pause) Begini salah, begitu salah. Begitulah Tuan saya. Di dunia ini nggak ada yang bener dimatanya.<br /><br />Bambang mau menaruh koran dan majalah itu di satu tempat, tetapi mendadak terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, setengah mengigau: “Jangan di situ…”<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Kaget mendengar suara itu) Gila kan…lagi tidur ajah masih tetep suka ngritik!<br /><br />Lalu membawa kembali koran-koran itu dan menaruh di ajah meja, agak dilempar begitu saja. Dan Langsung terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau: “Yang bener… yang rapi…”<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Gemes, jengkel) Hhhhhmmm. Gemes aku! Sebel aku! Binguuuuuuuu-unngggg!!!<br /><br />Kalian bisa bayangkan, bagaimana stressnya saya jadi pembantu Raden Mas Suhikayatno Purwokerto ini… Sejak kecil saya jadi pembantu di sini. Bapak saya juga jadi pembantu di sini. Kakek saya. Juga simbah buyut saya. Begitu juga simbahnya simbah, simbanhnya simbahnya simbah saya… semua jadi pembantu di sini. Turun temurun dikutuk jadi pembantu!<br /><br />Tapi Simbah saya pernah bilang, “Jadi pembantu seperti ini bukan kutukan, Le.[25] Tapi keberuntungan. Kita ini orang-orang pilihan, Le. ”<br /><br />Jadi, trah saya itu trah pembantu. Asli. Orisinil. Darah saya itu darah murni seorang pembantu. Kalau di dunia sihir, saya ini disebut penyihir murni. Bukan penyihir keturunan mugle, seperti Harry Potter.[26] Jadi darah pembantu yang mengalir di tubuh saya ini termasuk jenis darah yang ningrat. Jenis pembantu priyayi. Ini kasta tertinggi di tingkatan pembantu. Kalau kasta paling rendah ya kasta pembantu jenis TKI itu… Disiksaaaa melulu…<br /><br />Kadang saya ini merasa nggak jauh beda kok sama para priyayi raja-raja itu. Paling beda dikit lah. Mereka turun-temurun jadi raja, saya turun-temurun jadi pembantu. Kalau raja-raja itu punya gelar, sebenernya saya juga berhak menandang gelar… Mereka bergelar Amangkurat I. Karena pembantu, saya cukup bergelar Amongtamu I. Nanti, keturunan saya akan bernama Amongtamu II…, Amongtamu III, dan seterusnya. Atau bisa juga menyebut diri mereka sebagai Hamengkukusan atau Hamengkudapan. Pokoknya yang berbau-bau dapur lah. Karena sebagai trah pembantu, kami memang mesti mawayu hayuning dapur.<br /><br />Mengambil sapu lidi yang tadi dibawanya, kemudian mulai menyapu…<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Tapi ya ada senengnya juga kok jadi pembantunya Raden Mas Suhikayatno ini…. Beliau itu orang hebat. Dia itu….<br /><br />Mendadak terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, mengigau, seperti memanggil: “Mmbaaaang…. Bambanggg….”<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Tergeragap) Ehh… iya, Tuan…. (kepada penonton) Tuh ‘kan, apa saya bilang. Beliau itu orang hebat. Seperti wali. Kalau digunjingin langsung kerasa…<br /><br />Raden Mas Suhikayatno terus meracau, dan Bambang buru-buru mendekat ke kursi goyang itu.<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Iya, Tuan…. Saya cuma ngobrol. Ada tamu… Tidak, tidak ngantar surat… Cuma nonton… Surat? Dari tadi kok nyari-nyari surat terus?! Maksud Tuan surat apa? Surat gadai? Surat tagihan? Surat tilang? … Nggak ada surat apa pun, Tuan… WR. Suratman juga nggak ada… (kemudian sadar kalau maji-kannya ternyata tertidur).<br /><br />Terdengar bunyi dengkur…<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Bernada ngedumel) Wahhh, lama-lama Tuan ini mirip Gus Dur… diajak ngomong kok malah tidur.<br /><br />Lalu dengan pelan, takut membangunkan, Bambang berjalan menjahui kursi goyang itu. Kembali bicara kepada penonton.<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Tadi sampai mana?… (Mengingat-ingat) Eemm. Oh, ya… hebat…<br /><br />Dia itu terkenal banget sebagai Tukang Kritik nomor wahid. Banyak versi cerita seputar sosoknya. Kisah kelahirannya saja ada lebih 1.501 versi. Ada yang mengisahkan ia lahir dari bonggol pisang. Ada yang bilang ia muncul begitu saja dari kabut waktu. Tapi ada juga bilang: dia itu anak hasil kawin silang manusia dan genderuwo.<br /><br />Bambang menenggok ke arah kursi goyang, agak ketakutan. Takut kedengeran…<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Kalau dilihat dari tampangnnya, ada benernya juga sih cerita itu… Serba tanggung. Cakep enggak, buruk iya. Setengah manusia, setengah makhkuk sengsara… Beda jauh ‘kan sama saya? [27]<br /><br />Bahkan ada yang percaya: dia sudah ada sejak permulaan dunia. (Bergaya menduga-duga) Jangan-jangan dia itu sesungguhnya pacar pertama Hawa, sebelum Hawa akhirnya menikah sama Adam…<br /><br />Tiba-tiba gugup, dan langsung mendekat ke arah penonton…<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Sebentar…. Saya harus klarifikasi sebentar soal Adam dan Hawa dulu. Biar tak terjadi salah interpretasi. Biar tidak diprotes. Dianggap melecehkan. Adam di sini bukan Adam manusia pertama yang jadi nabi itu lho, tapi Adam Malik… Sedangkan Hawa…. (bingung sendiri dan mikir mencari-cari) hmmm.., kalau Hawa apa ya? Oh ya, Hawa itu maksudnya Hamid Hawaludin…[28]<br /><br />Sejak saya di sini, Beliau ya begitu-gitu terus. Nggak tua-tua. Seperti nggak bisa mati. Dulu Kakek saya pernah bilang, (Menirukan suara Kakeknya) “Tukang Kritik sejati seperti dia nggak bakalan mati! Dia itu legenda setiap zaman. Tahu tidak, di zaman Yunani… dia mengubah namanya jadi Socrates.”<br /><br />Itu kata Kakek saya. Saya sih percaya-pecaya saja. Lagi pula, kalau dirunut secara etimologi, ada benernya juga kok: Socrates… ‘Sok-krates’… asal katanya ‘Sok’ dan ‘protes’. Sok-protes. Nah, Raden Mas Suhikayatno ini kan juga seneng protes. Jadi antara Socrates dan Suhikayatno, bisa jadi emang orang yang sama… Yah, minimal namanya sama-sama berawalan S.<br /><br />Menurut sahibul hikayat, Raden Mas Suhikayatno ini memang dikenal memiliki banyak nama. Dia pernah dikenal sebagai Gallileo. Di Perancis dia dipanggil Voltaire. Tapi begitu di Jawa dipanggil Empu Gandring. Lalu jadi Gandhi waktu di India.<br /><br />Kata Kakek saya, (kembali menirukan suara Kakeknya) “Mereka memang berbeda nama… Tapi lihat, apa yang mereka lakukan… Mereka semua sesungguhnya orang yang sama.” (Jeda. Ragu) Iya juga sih… Tapi gimana nalarnya ya: dari Gandring kok jadi Gandhi? Aneh kan kalau nanti di tulis: Gandhi bin Gandring…<br /><br />Nama Raden Mas Suhikayatno ini juga meragukan kok. Ini nama beneran, atau nama jadi-jadian.<br /><br />Anda kau tahu, yang namanya legenda, pasti banyak nggak masuk akalnya. Apalagi ini legenda menyangkut seorang tokoh. Tahu sendirilah, syndrome para tokoh: suka membesar-besarkan peran mereka dalam sejarah. Saya kira, majikan saya ini pun mengindap syndrom macam itu…<br /><br />Bambang sejenak memandang ke arah kursi goyang, takut omongannya kedengaran Raden Mas Suhikayatno. Tapi langsung tenang ketika melihat tak ada reaksi dari arah kursi goyang.<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Saya nggak menghinanya lho… Bagaimana pun saya hormat kok sama Beliau. Memang dia suka banget ngritik. Tapi pada dasarnya dia baik kok.<br /><br />Kalau dirasa-rasa, terasa betul kok kebenaran dalam kritik-kritiknya. Kritikannya tulus. Jujur.<br /><br />Soalnya orang yang suka mengritik itu kan banyak macamnya. Ada yang mengritik asal mengritik. Ada yang mengritik, supaya dianggap berani dan kritis. Ada yang selalu mengkritik, agar dapat perhatian. Ada yang terus-terusan mengkritik, karena sudah nggak sabar nunggu giliran duduk di kursi kekuasaan. Di luar pagar teriak-teriak, begitu udah di dalam malah tambah rusak.<br /><br />Tuan saya ini nggak silau kedudukan. Dari dulu ya di situ terus duduknya. Nggak pindah-pindah. Ditawari jadi Presiden Indonesia yang pertama juga nggak mau…<br /><br />Untung juga ya dia nggak jadi Presiden Indonesia. Bisa berabe kalau yang jadi presiden pertama dia. Kalau Sukarno sih memang pantes. (Mengeja dengan nada melodius) Su-kar-no. Terdengar enak ditelinga. (Meniru suara pembawa acara upacara) “Inilah presiden pertama kita: Sukarno…”. Gagah betul kan kedeengarannya… Lha kalau dia? (Kembali meniru suara pembawa acara upacara) “Ladies and gentlement, inilah presiden pertama Republik Indonesia: Su..ka..yat…yat…yat…yat.. no…no…” Diberi echo ajah tetep kagak enak. Su-ka-yat-no… Nama yang amat sangat tidak nasionalistis!<br /><br />Lagi pula nama Kayat kan berbau kekiri-kirian. Ka-yat. Kedengaran seperti “rak-yat”. Jenis nama-nama yang bisa membawa nasib buruk buat para pemiliknya. Contohnya: Mu-nir…[29]<br /><br />Terdengar suara erangan dari arah kursi goyang: “Bambaaangggg… Bambaanggg…. Jam berapa…”<br /><br />Cepat-cepat Bambang pura-pura sibuk menyapu.<br /><br />Terdengar suara Raden Mas suhikayatno bertanya: “Ini jam berapa…. Ini Tahun berapa…”<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Sambil terus pura-pura sibuk menyapu) Jam 4… Tahun 2011…<br /><br />Raden Mas Suhikayatno terus mengigau memanggil nama “Bambang” sesekali-kali. Bambang tetap sibuk menyapu. Sampai kemudian suara igauan Raden Mas Suhikayatno berhenti…<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Melihat sebentar ke arah kursi goyang itu, lalu segera ke arah penonton) Ngegosip lagi aahhh…<br /><br />Saya ingat. Empat tahun lalu. Tepatnya tahun 2008. Ya. Tahun 2008. Kira-kira 8 bulan sebelum penyenggaraan Pemilu. Raden Mas Suhikayatno diminta jadi pimpinan KPU. Tapi dia nggak mau. Takut terlibat karupsi berjamaah seperti KPU periode sebelumnya…<br /><br />Saat Pemilihan Presiden tahun 2009, Beliau juga diminta jadi wakil SBY. Soalnya Jusuf Kala maju sendiri jadi Capres didukung Partai Golkar.<br /><br />Waktu itu memang banyak pengamat yang bilang, kalau majikan saya dan SBY itu pasangan ideal. Lebih cocok, begitu. Ya, setidaknya dibanding wakil SBY sebelumnya, yang dianggap terlalu kreatif, dan terlalu banyak inisiatif. [30]<br /><br />Saya sih nggak terlalu ngerti politik. Nggak tahulah, gimana kelanjutannya. Yang jelas, pada Pemilihan Presiden tahun 2009 itu pemenangnya adalah calon yang didukung Partai Panji Tengkorak. Yakni, Butet Kertaredjasa.[31] Inilah pertama kalinya, seorang seniman berhasil menjadi presiden di Indonesia…. Gimana seniman ngatur Negara ya? Ngurus hidupnya sendiri saja ruwet…<br /><br />Tahu, apa program pertama Butet Kertaredjasa sebagai presiden? Mengganti nama-nama jalan. Nama jalan yang tadinya dipenuhi nama tentara, diganti dengan nama para seniman. Jalan Gatot Subroto diganti menjadi Jalan Sapardi Djoko Damono. Jalan S. Parman diganti Jalan S. Bagio. Pokoknnya semua jalan diberi nama seniman. Dari jalan tol, jalan tembus, sampai jalan buntu. Bahkan Jalan Taman Lawang[32] juga diganti menjadi Jalan Djaduk Ferianto. [33] Hanya satu nama jalan yang tidak di ganti. Yakni Jalan Gajah Mada. Karena Gajah Mada itu teman sepermainan majikan saya.<br /><br />Sampai kemudian, terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau memanggil: “Bambangggg… Pukul berapa sekarang…..”<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Tergopoh mendekati kursi goyang) Iya Tuan…. Jam 8 malam… Mau air panas sekarang?<br /><br />Suara Raden Mas Suhikayatno datar: “Capek… Ini tahun berapa?”<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Sudah duduk bersimpuh di dekat kursi goyang itu) Tahun 2011, Tuan… Saya pijit ya…<br /><br />Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Kamu yakin… Bukan tahun 3050?…”<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Sambil seakan-akan memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno) Wah, kejauhan loncatnya, Tuan… Nggak ada itu di naskah…<br /><br />Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Saya yakin ini tahun 3050… Samar-samar saya melihat bayangan bertumpuk-tumpuk….”<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Sambil terus memijat, tapi juga melihat ke arah kejauhan) Ooo, itu Borobudur dibikin jadi tingkat lima, Tuan…<br /><br />Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Apa surat itu sudah datang?.. Siapkan pakaian saya…”<br /><br />Bambang segera bergegas mengambi baju majikannya.<br /><br />BAMBANG:<br /><br />(Menyerahkan baju yang diambilnya ke arah kursi goyang itu) Yang ini kan… (Lalu membentangkannya di selimut) Saya pijit ya, Tuan.. (Ia kemudian kembali memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno – terdengar desah nafasnya yang keenakan dipijit – terus ke atas, tiba tiba ia melonjak kaget, sementara tangannya terbenam masuk selimut seakan dicengkeram majikannya) Enak Tuan… Aduh, Maaf Tuan… Sumpah nggak sengaja mijit yang itu. Saya kira tangan Tuan… Tapi kok lembek…. Aduuhhh… Sakit, Tuan… Aduhhhh….<br /><br />Tangan Bambang terpiting, ia kesakitan berdiri. Lalu pelan-pela ia mengubah diri menjadi Raden Mas Suhikayatno. Perubahan ini terjadi dengan perubahan situasi: dari Bambang yang dipuntir tanggannya, menjadi Raden Mas Suhikayatno yang memuntir tangan Bambang.<br /><br />Kini Raden Mas Suhikayatno memakai selimut di pundak dan menutupi tubuhnya hingga seperti berjubahkan selimut itu, berdiri dari kursi goyang, memegangi tangan pembantunya….<br /><br />DENMAS:<br /><br />Kurang ajar! Bener-bener tidak punya tata karma. Barang keramat milik majikan kok dimain-mainin… Enak tau! Kamu mau apa kok grayang-grayang begitu…<br /><br />PAUSE: berubah jadi Bambang (melepas selimut itu), bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Ampun, Tuan… Saya cuma mau ngetes… onderdil tuan masih tokcer tidak…<br /><br />PAUSE: berubah jadi Raden Mas Suhikayatno (kembali memakai selimut), berdiri memandangi ke arah pembantunya yang bersimpuh dekat kakinya.<br /><br />DENMAS:<br /><br />Eee…menghina ndoromu ini ya?! Biar prostat sering kumat, tetap saja masih kuat… Dari Ken Dedes sampai Ken Norton, sudah membuktikan ‘keampuhan’ saya… (menggeliat, menguap) Tolong air putih… (seakan ke arah pembantunya yang beringsung pergi) Eh, sekalian tusuk gigi… (Jeda sejenak, terus mengeliat dan olahraga kecil melemaskan otot. Sampai kemudian seolah-olah menerima gelas, berkumur, menyembur-nyemberkan air kumur ke samping kursi, kemudian memakai tusuk gigi)<br /><br />PAUSE: berubah jadi Bambang, bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….<br /><br />BAMBANG:<br /><br />Sekarang Tuan mau mandi dulu, apa langsung sarapan?…Sikat gigi? Sikat gigi sudah saya siapin. Odol masih ada… Kalau tusuk gigi sudah habis, yang Tuan pakai itu ajah bekas yang kemarin..<br /><br />PAUSE: berubah cepat jadi Raden Mas Suhikayatno,<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Membentak marah sambil sekan membuang tusuk gigi yang tadi dipakainya, dan bergerak mau memukul) Bajigur! (Seolah pembantunya lari ketakutan) Sial benar saya punya pembantu macam kamu. Awas kamu, ya! (Mengambil baju yang tadi dibawakan pembantunya dan mulai memakainya, sambil berteriak ke arah tadi pembantunya menghilang) Hai, sini!… Ngapain kamu malah naik genting begitu. Sudah, nggak usah alasan mau benerin atap. Ayo, turun! Disuruh turun kok malah mendelik. Kamu itu bener-benar keterlaluan kok. Ayo turun! Cepet turun! Bambang, kamu dibilangin kok ngeyel buanget sih! Sudah nggak becus, ngeyel lagi… Ayo toh turun, Mbang! Turun!<br /><br />(Kepada penonton) Jangan salah faham ya… Saya ini nyuruh turun Bambang pembantu saya. Bukan Bambang yang lain…<br /><br />(Kembali seakan ke arah pembantunya itu, mulai sabar) Bambang… Ayo toh turun… Sekarang kamu lihat di kotak surat, ada surat buat saya tidak. Nggak ada? Coba kamu cari di bawah keset, mungkin nyelip di situ… Nggak ada juga? Ya sudah, sekarang kamu nunggu saja di halaman. Iya! Siapa tahu tukang pos itu lewat…<br /><br />Raden Mas Suhikayatno berbicara di atas sembari juga meneliti tupukan koran dan majalah di atas meja, mencari-cari sesuatu. Memeriksa, membacanya…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Tampak kecewa, ketika tahu tidak menemukan surat yang diharapkannya) Pasti mereka lupa mengirimkannya! (Menimbang, menduga, mengira-kira) Lupa mengirimkan, apa tidak mau mengirim-kan? Mereka anggap saya ini siapa?<br /><br />Maaf, saya bukannya mau mengungkit-ungkit. Tapi hargai dong sejarah saya. Apa dikira Tukang Kritik macam saya nggak menyumbangkan apa-apa? Bagaimana jadinya bangsa ini kalau nggak ada orang macam saya. Sayalah yang memulai sejarah. Orang macam sayalah yang menggerakkan sejarah. Orang-orang yang berani menyampaikan kritik.<br /><br />Waktu negeri ini masih dijajah Kumpeni…, kalian pikir siapa yang berani sama Kumpeni? (bisa ke arah pemusik, yang merespon suasana, bisa ke arah penonton) Siapa coba yang berani melawan Kumpeni?!… (Dijawab sendiri) Si Pitung.<br /><br />Kalian terlalu meremehkan peran saya. Apa kalian pikir saya tidak kenal Ki Hadjardewantara, Cokroaminoto, Agus Salim, Sjahrir dan Hatta? Saya sangat kenal mereka…, meski mereka tidak kenal saya. Mereka semua itu sahabat-sahabat saya. Saya selalu menemani mereka berdiskusi hingga dini hari. Ketika mereka diskusi.., saya menemani membikinkan kopi.<br /><br />Ini sejarah, Bung! Kebenaran paling kecil pun harus ditulis. Saya tak ingin sejarah kita penuh kebohongan. Meski banyak yang bilang: sejarah sesungguhnya tidak lebih dari berbagai macam versi kebohongan!<br /><br />(Mengambil albun foto di atas meja, dan seolah menunjukkan pada setiap oranag) Coba kalian lihat lagi foto-foto sejrah bangsa ini. Yang ini! Yang ini! Lihat foto pembacaan Proklamasi….<br /><br />Di layar terlihat foto Pembacaan Proklamasi itu.[34]<br /><br />DENMAS:<br /><br />Perhatikan dengan cermat. Itu, di sebelah kanan… Kalian pasti tidak melihat saya. Hanya bidang kosong hitam. Disitulah mestinya saya berdiri. Tapi kalian telah menghitamkannya…<br /><br />Selama ini saya diam. Kalian menulis para pendiri bangsa berjumlah 68. Saya rela nama saya tak disebutkan. Sebab, ditambah nama saya, berarti jadi 69. Angka 69 kan bisa sitarsirkan macam-macam…<br /><br />Tapi kenapa kalian hanya menyebut para Bapak bangsa?! Dimana para ibu yang melahirkan mereka? Ibu-ibu Bangsa yang merawat dan membesarkan sejarah bangsa ini?<br /><br />Sungguh…, saya tak menuntut apa-apa….<br /><br />Tidakkah kalian ingat di tahun 1995, lebih limabelas tahun lampau, di zaman Soeharto… Ketika semua bungkam… Tukang Kritik seperti sayalah yang mempertaruhkan nyawa. Ketika koran dan majalah di breidel… Ketika kalian masih takut bicara demokrasi… Tidakkah kalian ingat saya…<br /><br />Bagaimana mungkin, kini kalian perlahan-lahan mengapus saya dari ingatan…<br /><br />(Meninggi) Sayalah yang selalu mengritik! Karena saya punya suara… Siapa yang bisa membunuh suara? Suara bisa kamu bungkam. Tapi tidak mungkin kamu bunuh. Kamu tak mungkin bisa membunuh saya…<br /><br />Di puncak kemarahan, Raden Mas Suhikayatno terhuyung… Bersandar di kursi goyang, kelelahan. Dadanya sakit. Ia memanggil-manggil pembantunya….<br /><br />DENMAS:<br /><br />Bambaaang…. Toloooonggg…. obat saya…. (lalu meracau) Kalian tidak bisa membunuh saya… Saya suara zaman… Gema yang terus berpan-tulan…<br /><br />Suara racauan Raden Mas Suhikayatno terus terdengar, makin pelan dan tenggelam, tak jelas. Pada Saat itulah, pelan-pelan muncul suara nyanyian. Seperti angin yang muncul dari pusaran waktu. Pada saat ini video menggambarkan waktu yang berdenyut, semesta yang mengembang dan mengerut. Gerigi mesin waktu yang bergemeretak bergerak. Gambar-gambar itu tumpah pecah ke seluruh panggung. Nyanyian itu, kau dengarkah nyanyian itu?<br /><br />Yang berdiam di rahim waktu<br /><br />Engkau siapakah itu?<br /><br />Kami mendengar di desau hujan<br /><br />Keluhmu pelan tertahan<br /><br />Kami melihat ada yang berkelat<br /><br />Engkaukah itu berbaring lelap<br /><br />Di pusaran waktu<br /><br />Di rahim waktu<br /><br />Siapakah itu?<br /><br />Bersamaan gema lagu yang meredup, muncul dua hologram itu lagi. Memandangi Raden Mas Suhikayatno yang mengerang gelisah dalam tidurnya.<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Lihatlah dia yang selalu tertidur tapi setiap saat merasa terjaga… Ia menderita disiksa mimpi-mimpi yang ia kira kenyataan hidupnya<br /><br />HOLOGRAM 2:<br /><br />Bangun… Ini sudah tahun 2028.<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Ia masih tersesat di abad silam…<br /><br />Terdengar genta waktu menggema.<br /><br />HOLOGRAM 2 :<br /><br />Tahun 2045<br /><br />Terdengar lagi genta waktu menggema<br /><br />HOLOGAM 1:<br /><br />Tahun 2066<br /><br />HOLOGRAM 2:<br /><br />Kau dengarkah yang berdenyut di jantungmu. Suara-suara yang menge-pungmu.<br /><br />Sementara itu Raden Mas Suhikayatno terbangun, antara tidur dan jaga, memangdangi sekililing yang bagai tak dikenalinya<br /><br />DENMAS:<br /><br />Di mana saya…<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Kamu ada di mana kamu merasa ada…<br /><br />HOLOGRAM 2:<br /><br />Kamu tak ada di mana-mana…<br /><br />Raden Mas Suhikayatno kebingungan menatap sosok bayang-bayang itu…<br /><br />DENMAS:<br /><br />Siapa kamu!<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Aku Tukang Kritik yang berjalan melintasi waktu… Akulah kamu yang selalu menyebunyikan wajahmu… Mereka yang membanggakan diri jadi Tukang Kritik, padahal bermuslihat pura-pura baik.<br /><br />DENMAS:<br /><br />Tidak….Tidak….<br /><br />HOLOGRAM 2:<br /><br />Kamu marah karena kamu dilupakan. Kamu selalu menunggu surat itu datang. Surat yang akan mencatat namamu di barisan para pahlawan…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Berteriak-teriak memanggil pembantunya) Bambanggg!!! Bambanggg!!!<br /><br />HOLOGRAM 1:<br /><br />Lihat sekelilingmu… Ini tahun 2070… Kamu terselip dipojokan sejarah. Tak ada lagi yang mengingatmu. Tak ada lagi yang membutuhkanmu.<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Terus berteriak-teriak ) Bambanggg..!!! Bambanggg!!!….<br /><br />Terdengar genta waktu menggema, berulangkali. Sementara Raden Mas Suhikayatno terus berteriak memanggil pembantunya. Memegangi kepalanya yang kesakitan. Gelombang waktu berpusaran dalam kepalanya.<br /><br />Terdengar terompet pergantian tahun. Dua sosok hologram itu perlahan menghilang. Hanya tinggal terdengar suaranya di sela pekik keramaian dan sorak-sorai menyambut pergantian tahun… Cahaya kembang api meledak warna-warni!<br /><br />TERDENGAR SUARA MEKANIS :<br /><br />Tahun 3001.<br /><br />TERDENGAR SUARA MEKANIS :<br /><br />Tahun 3002.<br /><br />Gerigi mesin waktu berderak-derak bersama lengking terompet pergantian tahun dan pijar kembang api warna-warni, berpijar di langit kota modern…<br /><br />TERDENGAR SUARA MEKANIN :<br /><br />Tahun 3003.<br /><br />TERDENGAR SUARA MEKANIS :<br /><br />Tahun 3004.<br /><br />TERDENGAR SUARA MEKANIS :<br /><br />Tahun 3005.<br /><br />DENMAS :<br /><br />(Menjerit keras melengking panjang) Baambbbaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa-aaaaaaannnnnnggggggggggggggg……..<br /><br />Cahaya tiba-tiba benderang dan semua keriuhan dan suara seketika berhenti. Sepi. Panggung seperti ruang steril hampa udara. Pucat perak…<br /><br />Raden Mas Suhikayatno tersandar di kursi goyang diterangi cahaya terang monokrom. Raden Mas Suhikayatno memandang bingung sekeliling…<br /><br />Video-multimedia menghadirkan gambar-gambar gedung menjulang, siluet kota-kota ultra modern. Jalan-jalan layang metalik, mobil-mobil terbang. Kota futuristik. Raden Mas Suhikayatno jadi terlihat terpencil dan kecil dibawah semua bayang-bayang gedung-gedung menjulang itu. Ia hanya memandangi semua itu seperti orang bingung…<br /><br />DENMAS:<br /><br />Pernahkan kalian merasa begitu kesepian seperti yang kini saya rasakan?… Kesepian karena kehilangan peran… Mau apa saya… Semua sudah serba rapi. Tertib. Terkomputerisasi. Tak ada lagi yang bisa dikritik…<br /><br />Raden Mas Suhikayatno menggerak-gerakkan kepalanya, memain-mainkan tangannya seperti kanak-kanak yang bermain menciptakan bayang-bayang. Tapi Ia kemudian segera bosan. Apa pun yang ia lakukan, ia segera merasa bosan.<br /><br />DENMAS:<br /><br />Makan sudah… Baca sudah… Tidur sudah… Masturbasi sudah… Apa lagi ya?<br /><br />Muncul Robot pembantu rumah tangga.[35] Dibalut pakaian ketat perak. Mekanis. Robotik. Robot itu membawakan minuman dalam gelas bening….<br /><br />ROBOT :<br /><br />Good morning… Good morning…<br /><br />Robot itu memberikan minuman kepada Raden Mas Suhikayatno, yang segera menimun isi gelas itu…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Setelah meminum) Bahkan minuman pun sudah pas betul… Saya tidak bisa mengritik kurang pahit atau kurang manis… Bahkan yang namanya bau, panas, dingin… semua sudah sesuai dengan keinginan setiap orang! Ternyata negeri adil makmur tentram karta raharja bukanlah utopia…<br /><br />Raden Mas Suhikaatno lalu dengan males menyerahkan gelas itu lagi kepada robot itu…<br /><br />ROBOT:<br /><br />Thank you… thank you… Kamsiah…<br /><br />Lalu Robot pergi…<br /><br />DENMAS:<br /><br />Itu tadi hasil cloning Bambang… pembantu saya yang sudah mati tahun 2022 lalu. Dia keturunannya yang ke 4. Bergelar Raden Mas Bambang Mangkukulkas XI. Dengan kode mesin: PRT 3005 GX …<br /><br />Cahaya datar. Monokrom. Raden Mas Suhikayatno kembali merasa bingung. Kesepian. Ia tak tahu harus berbuat apa. Duduk tak betah. Berdiri tak betah. Berjalan tak betah. Ia tak tahu harus bagaimana.<br /><br />Sampai para pemusik berkomentar: “Kenapa, Mas?… Kok bingung begitu?”<br /><br />DENMAS:<br /><br />Bingung mau ngritik apa… Punya pembantu saja robot. Nggak bisa disiksa pakai setrika… Zaman macam apa ini, kok semua serba tertib! Serba teratur.<br /><br />Raden Mas Suhikayatno duduk bingung. Membuka-buka majalah. Koran. Tabloid sepintas lalu. Bosan…<br /><br />DENMAS:<br /><br />Semua berita baik… Nggak ada pembunuhan. Nggak ada gossip artis kawin cerai… Bosen!<br /><br />Lalu kembali kepada para pemusik.<br /><br />DENMAS:<br /><br />Ayo dong kalian bikin keributan… Apa saja deh! Merkosa kambing juga boleh… Mau ya? Ya? Apa kalian seneng hidup tertib begini. Sekali-kali bikin masalah ‘kan ya nggak papa. Gini saja, kalian saya bayar… Kita demonstrasi ramai-ramai…<br /><br />Para pemusik menanggapi. Tanpa ekspresi. Kompak. Menggeleng serempak. Mengang-guk serempak. Mekanik.<br /><br />Karena tak memperoleh tanggapan sebagaimana yang diharapkan, Raden Mas Suhikayatno segera menuju ke kursi goyang. Duduk di sana. Kembali kesepian…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Memandang sekeliling) Inilah jaman di mana bahkan nabi pun sudah tidak lagi diperlukan…(Kembali memain-mainkan tangan,, seperti orang menghitung berulang-ulang) Makan sudah…tidur sudah… mandi sudah… makan sudah… tidur sudah… mandi sudah… makan sudah….. tidur sudah… mandi sudah… (gerakan tangan dan tubuhnya makin lama makin seperti orang yang menderita autis)<br /><br />Suara Raden Mas Suhikayatno terdengar seperti bandul yang berayun-ayun monoton. Terdengar juga detak waktu yang menyertai nada suara Raden Mas Suhikayatno itu.<br /><br />Mendadak seperti terdengar suara letusan yang mengagetkan. Raden Mas Suhikayatno meloncat kaget, gembira…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Begitu bahagia, mengepalkan tangan senang) Yes! Cihuuiiyyy! Akhirnya ada mahasiswa yang mati tertembak! … Alhamdulillah… Akhirnya ada yang bisa dikritik… (Bersemangat) Ayo, kita protes! Ayo… (Jeda) Apa? (mendadak loyo) Bukan mati tertembak? Cuma mati bahagia… Kok tidak heroik ya matinya…<br /><br />Kembali duduk kecewa. Kembali ke kursi goyang…<br /><br />DENMAS:<br /><br />(Kembali memain-mankan tangan,, seperti orang mengitung berulang-ulang) Makan sudah…tidur sudah… mandi sudah… makan sudah… tidur sudah… mandi sudah… makan sudah….. tidur sudah… mandi sudah… (Gerakan tangan dan tubuhnya kembali makin lama makin seperti orang yang menderita autis)<br /><br />Sampai kemudia suara Raden Mas Suhikayatno perlahan melemah, dan menghilang…<br /><br />Kini yang terdengar hanya detak waktu yang monoton. Bersamaan itu cahaya yang monokrom dan datar itu perlahan menyurut. Kursi goyang itu terlihat tenang di bawah sorot cahaya yang kuat pucat. Waktu mendengung panjang. Menggelisahkan.<br /><br />Kemudian mucul Robot itu. Berjalan mekanik mendekati kursi goyang. Tangan Robot itu terulur kaku ke depan, membawa selembar surat…<br /><br />ROBOT:<br /><br />Good morning…. Good morning… Bangun, Tuan… Wake up… Wake up… Bangun, Tuan… Ada surat… Ada surat… Bangun, Tuan… Bangun, Tuan… Ada surat… Ada surat…<br /><br />Tapi Raden Mas Suhikayatno tak bergerak. Kursi goyang itu tetap tenang. Robot itu terus memanggil-manggil mekanik. Sampai semua cahaya perlahan meredup. Tinggal menyorot ke arah kursi goyang yang tetap tenang itu. Suara robot itu terus-menerus terdengar berulang-ulang. Berulang-ulang…<br /><br />Semua cahaya menggelap perlahan.<br /><br />PERTUNJUKAN SELESAI<br /><br />Yogyakarta, 2003-2005<br /><br />[1] Secara tekhnis, suara detak-detik jam itu bisa muncul dari sound system yang ditata sedemikian rupa hingga suara itu seperti muncul dari mana-mana dan memenuhi gedung pertunjukan. Bisa juga secara manual dengan menempatkan banyak jam weker di berbagai titik di dalam gedung pertunjukan, di bawah kursi penonton, dsb. Dimana nanti, semua jam weker itu berdering, dengan menempatkan kru pertunjukan untuk mewujudkan tekhnis tersebut. Atau di dinding ruang penonton dipasangi banyak jam aneka rupa dengan penunjuk angka/jarum waktu yang berbeda-beda. Mungkin juga dengan tata artistik yang mempertegas suasana, dengan intensi lukisan semacam “waktu yang memelelah” karya Salvardore Dali. Sementara, bila memakai video/multimedia, bisa divisualisasikan denyut waktu itu secara visual, seperti ada jarum waktu raksasa yang memenuhi panggung, atau gerigi-gerigi mekanik waktu pada jam yang saling bergerak berderak. Pendeknya, secara artistik bisa dikembangkan menurut interpretasi masing-masing.[2] Dentang lonceng ini juga bisa menjadi penanda pertunjukan. Dimulai dentang sekali. Dua kali. Lalu tiga kali, sebagai tanda pertunjukan di mulai. Atau puncaknya sampai berdentang 12 kali, baru mulai pertunjukan.<br /><br />[3] Para aktor pendukung/para pemusik dan aktor yang akan memainkan monolog ini.<br /><br />[4] Adegan ini berfungsi untuk memberi kesempatan aktor-pemeran duduk di kursi goyang itu. Pada bagian sebelumnya, di kursi itu hanya terlihat selimut yang merungkupi kursi goyang untuk mengesankan seakan-akan ada orang yang duduk dan tertidur di atas kursi goyang itu. Sejak adegan ini, di kursi goyang itu sudah meringkuk aktor-pemeran.<br /><br />[5] Bila mereka para pemusik, mereka bergerak ke tempat yang sudah ditentukan menurut kebutuhan pertunjukan. Bila mereka para aktor pembantu, bisa langsung silam ke sisi-sisi panggung.<br /><br />[6] Ini bila memakai multimedia, dalam hal ini gambar video. Gambar-gambar dari efek video inilah yang menyorot ke arah panggung. Gambar-gambar itu dibiarkan pecah, tak perlu disorotkan ke sebuah layar, tapi diproyeksikan ke arah di mana kursi goyang itu berada.<br /><br />[7] Suara ini wajib ada. Suara-suara lain bebas dikembangkan sesuai kebutuhan dramatik suara.<br /><br />[8] Suara ini juga mesti ada. Bisa dimunculkan juga pidato Soeharto ketika menyatakan diri mundur dari jabatan presiden. Juga suara khas Habibie. Suara Megawati. Gus Dur. Sesilo Bambang Yudhoyono. Suara-suara itu muncul berjauhan, tumpang tindih (tidak mesti runut-linear), seperti mencul dari gelombang radio yang serak dan rusak, di antara ilustrasi musik.<br /><br />[9] Gambar-gambar masa silam ini bisa diambilkan dari potongan-potongan film yang menggambarkan masa silam. Misalkan film The Ten Comandement, yang menggambarkan adegan Nabi Musa, film King Arthur atau The Great Alexander, atau mungkin film Diponegoro, dokumentasi-dokumentasi video/film. Bisa juga ilustrasi gambar yang menceritakan perjalanan waktu – dari seri National Geografhic, misalnya. Atau membuat sendiri.<br /><br />[10] Untuk efektifitas penulisan, selanjutnya akan disebut “Denmas”.<br /><br />[11] Bambang adalah tokoh pembantu dalam monolog ini. Nama Bambang dipakai, karena ketika naskah ini ditulis, nama Presiden RI adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Kelak, bila presiden berganti dan naskah ini dipentaskan, maka nama Bambang harus diganti dengan nama presiden yang sedang menjabat. Pilihan nama seperti itu dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan: bahwa jabatan presiden itu sesungguhnya “pembantu rakyat”. Yakni Pembatu yang “diperintah konstitusi” untuk bekerja mensejahterakan rakyat yang menggaji dan membayarnya melalui bermacam pajak.<br /><br />[12] Gambar ini juga diupayakan ada, karena berkait adegan selanjutnya. Kecuali bila Ada interpretasi lain, dan ingin mengembangkan adegan sendiri. Bagaimana pun, sebagai teks pertunjukan, teks ini sangat terbuka untuk dikembangkan berkaitan dengan situasi, keadaan dan kesiapan pementasan.<br /><br />[13] Suara ini bisa berasal dari pemusik, atau dari suara aktor pembantu atau kru pentunjukan lainnya. Suara ini bergaya seperti tengah memberikan pengumuman<br /><br />[14] Uka-uka, pada saat naskah ini ditulis, sangat popular sebagai ikon hantu. Di lain waktu, bisa diganti ikon hantu yang lebih popular ketika naskah ini dipentaskan.<br /><br />[15] Adegan wayang orang ini bisa diplesetkan (dideformasi) pada bagian yang memungkinkan. Pengulangan kata “maaf” di adegan ini sendiri terinspirasi dari tokoh Mpok Minah di serial Bajaj Bajuri yang selalu mengulang-ulang kata “maaf” seperti itu.<br /><br />[16] “Gaul gitu loh” adalah ungkapan yang popular dan ngetrend dikalangan anak muda pada zaman monolog ini ditulis. Sebagai ungkapan popular dan ngetrend, itu pasti terkait dan terbatasi mode. Bila monolog ini dipentaskan pada situasi yang (sudah) berbeda, maka ungkapan ini pun mesti disesuaikan dengan uangkapan yang saat itu sedang ngetrend.<br /><br />[17] Adegan berkisah ini sifatnya “main-main” dalam konteks permainan dramatik. Bisa dikembangkan sebagai upaya memperkaya “main-main” itu. Gaya aktor menceritakan itu cair, ditambah-tambahi, dan para pemusik bisa ikut berceloteh menanggapi, misalnya.<br /><br />[18] Perhatikan perubahan kata ganti orang pertama, dari “saya” menjadi “aku”. Ketika Raden Mas Suhikayatno menyebut dirinya dengan “aku”, maka ego dia sudah mengempal. Ada dendam dan kegeraman di situ, yang menyulut kemarahannya. Dan itu muncul sebagai ekspresi terakhir untuk menunjukkan harga diri dan keberadaannya.<br /><br />[19] Ketika cahaya di kursi goyang sudah gelap, maka aktor-pemeran Raden Mas Suhikayatno segera beringsut dari kursi itu, untuk berganti peran. Selimut dirungkupkan ke kursi goyang, hingga mengesankan masih ada Raden Mas Suhikayatno di kursi goyang itu. Sambil beringsut dan pergi itulah, aktor terus memanggil-manggil nama pembantunya itu. Atau untuk efek tertentu, suara itu bisa saja sudah direkam sebelumnya. Jadi selama aktor berganti kostum/berganti peran, suara memanggil-manggil terus terdengar. Atau, suara itu bisa digantikan oleh suara aktor pembantu/pemusik, yang diusahakan mirip dengan intonasi dan warna suara si aktor.<br /><br />[20] Dengan teknik tertentu, di bagian kursi goyang itu bisa dipasangkan tali senar, dimana seorang kru bisa menarik dan mengulur senar itu agar kursi goyang terus terayun-ayun.<br /><br />[21] Hologram adalah bentuk visual yang berupa efek pemadatan cahaya, sehingga bisa menghadirkan sosok atau benda dari proyeksi cahaya. Bila tekhnologi ini belum bisa diaplikasikan dalam pertunjukan ini, maka sosok hologram bisa berupa bayangan pada layar dari video/multimedia., berupa visual dari tokoh Raden Mas Suhikayatno, yang sudah dibuat sebelumnya. Tapi bila itu juga tidak mungkin, 2 sosok hologram itu bisa diperankan oleh aktor lain, yang secara casting mirip dengan aktor pemeran Raden Mas Suhikayatno. Tinggal mak up dan kostum disamapersiskan.<br /><br />[22] Suara ini bisa digantikan oleh aktor pembantu, atau sudah direkam sebelumnya<br /><br />[23] Dimainkan oleh aktor yang sama, yang memerankan Raden Mas Suhikayatno, setelah berganti kostum.<br /><br />[24] Di bagian ini bisa dikembangkan dengan interaksi dengan penonton, dimana aktor bisa secara cair-keluar dari peran, memberi komentar tentang baju, cara duduk, atau apa pun dari seorang penonton. Fungsinya untuk menegaskan “kenyinyiran” Raden MAs Suhikayatno yang sedang diceritakan oleh tokoh Bambang itu. Tentu dengan mempertimbangan alur dramatik secara keseluruhan.<br /><br />[25] Le, berasal dari Thole (bahasa Jawa), yang merupakan panggilan kepada anak laki-laki. Panggilan ini bisa diganti menurut kebutuhan tempat dan etnis lainnya, tergantung di etnis mana pentas ini berlangsung.<br /><br />[26] Mugle adalah istilah para penyihir untuk menyebut “manusia”, dalam buku Harry Potter karya J.K. Rowling. Penyihir keturunan mugle artinya penyihir yang punya unsur darah manusia dalam trah keluarganya.<br /><br />[27] Ini “joke alusif”, karena sesungguhnya dua orang itu sama, karena dimainkan oleh aktor yang sama.<br /><br />[28] Ini adalah joke yang kontekstual, dimana pada saat monolog ini ditulis, nama Hamid Awaludin – yang disini kemudian diplesetkan menjadi Hamid Hawaludin – cukup popular di masyarakat. Bila jaman berganti, dan nama itu tidak cukup dikenal, mana harus ada penyesuaian atas joke ini.<br /><br />[29] Bisa dikembangkan dengan berinteraksi dengan menyebut nama-nama tokoh yang hadir, yang kira-kira dianggap kritis pada saat ini. Pada saat ini, sebagai contoh nama Te-ten, Bas-ri…<br /><br />[30] Teks pada bagian ini sangat kontekstuak, yang terkait dengan situasi dimana naskah ini ditulis pertama kali. Bila pada suatu saat, konstelasi politik berubah, dan mungkin sudah terjadi pergantian pemerintahan/presiden, maka nama dan konteknya mestilah disesuaikan. Misalkan naskah ini dipentaskan tahun 2015, maka “waktu kisah dan peristiwa dalam lakon ini” juga mesti disesuaikan – dimajukan kira-kira sepuluh tahun ke depan.<br /><br />[31] Penyebutan Butet Kertaredjasa di sini, karena monolog ini pertama kali akan dimainkan oleh dia. Apabila naskah ini dipentaskan oleh aktor lain, maka nama aktor yang memainkan itulah yang disebut.<br /><br />[32] Taman Lawang adalah wilayah yang berkonotatif “permesuman”. Tiap daerah punya lokasi seperti itu.<br /><br />[33] Di sini penyebutan nama-nama itu juga situasional. Yang penting nama itu familiar dengan audiens. Dan bisa juga “menggarap” beberapa nama seniman yang kebetulan saat itu hadir menyaksikan pertunjukan. Jadi penyebutan nama-nama itu fleksibel, dan kira-kira tak menjadi preseden yang bisa merugikan pementasan itu sendiri.<br /><br />[34] Dalam gagasan saya, bila pertunjukan ini menggunakan media video, maka slide foto bisa disertakan menyertai adegan ini. Dimana dilayar muncul berganti-ganti foto-foto dokumentasi sejarah, dari zaman pergerakan sampai mungkin foto Soeharto menyatakan pengunduran dirinya, Gus Dur yang didorong di atsas kursi roda, dst. Gambar slide itu seakan adalah gambar di albun yang diperlihatkan oleh Raden Mas Suhikayatno. Komentar-komentar Raden Mas Suhikayatno selanjutnya bisa dikembangkan berkaitan dengan foto-foto yang muncul pada layar. Bila secara tekhnis sulit, berarti tak ada slide foto-foto itu.<br /><br />[35] Di sini akan disebut sebagai Robot. Peran robot dimainkan oleh aktor yang bertubuh kecil. Bisa laki. Bisa perempuan. Tapi kostum robot mesti tidak menyarankan identifikasi jender itu.teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5270474539095143321.post-162026626229748302008-11-30T06:38:00.000-08:002008-11-30T06:39:50.384-08:00PEH<br />Oleh: Helmy Prasetya (teater Ruang)<br /><br /><br /><br />Bocah-bocah lagi wae mulih sekolah, neng tengah dalan dha mandheg nggresula.<br /><br />BANGKIT : Wah kesel banget! Dhek mau diwulang pak Bagyo kon nggarap PR sak dhabrek! Okehe ra njamak!<br />BINTA : Lha aku diwulang bu Binta, sing ngentutan kuwi lho!<br />CAHYO : Anak-anak, tuuut!<br />BINTA : Ini Budi! Ini Bapak Budi! Tuuuut!<br />BANGKIT : Aku ya bu Binta.....ini entut....sak ampase!<br /><br /><br />KOOR : Ning kita harus menghormati guru, meskipun ngentutan sak ampase (DI BOLAN-BALENI)<br /><br /><br />Dha mandheg omongan meneh.<br /><br />CAHYO : Mengko nguluke layanga ya?<br />BANGKIT : Kowe apa ndhuwe layangan?<br />CAHYA : Aku ndhuwe!<br />BINTA : Aku ya ndhuwe!<br />BANGKIT : Mengko nguluke layangan ya?<br />CAHAYA : Ya!<br />BIONTA : Ya!<br /><br />Bocah-bocah kuwi mau neruske laku, mulih nyang ngomahe. Tekan ngomah dha kebelet ngising.<br /><br /><br />BANGKIT : Wadhuh kualat aku!<br />BINTAN : Aku kualat aku!<br />CAHYA : Aduh-duh wetengku lara!<br /><br /><br />Terus dha ngising neng wc-ne dhewe-dhewe. <br /><br />KOOR : Ciprit-ciprit cebok-cebok, cewok-cewok (DI BOLAN-BALENI)<br /><br /><br /><br />Bareng wis rampung ngisinge, Bangkit terus mangan. Binta turon neng kamare. Cahya thenguk-thenguk.<br /><br />CAHYA : Arep ngapa ya? Oh, iya iki mau rak aku kencanan karo Bangkit karo Binta yen arep nguluke layangan? <br /><br />Terus Cahya njikuk layangane banjur metu ka ngomahe ngampiri Binta.<br />Neng ngarep omahe Binta, Cahya celuk-celuk!<br /><br />CAHYO : Ta! Binta! Ayo nguluke layangan!<br />BINTA : Ya! Ayo!<br /><br />Binta metu ka omahe karo nggawa layangane nemoni Cahyo.<br /><br />CAHYO : Yo ngampiri bangkit yo?<br />BINTA : Yo!<br /><br /><br />Terus cah loro marani omahe Bangkit. Tekan ngarep omahe Bangkit, wong loro<br />kuwi bengok-bengok lan celuk-celuk.<br /><br />CAHYO : Kit bangkit!<br />BANGKIT : Apa?<br />BINTA : Kit! Ayo kit! Nguluke layangan!<br />BANGKIT : Kosik!<br />CAH LORO : Kowe lagi ngapa?<br />BANGKIT : Dahar!<br />CAH LORO : Apa kuwi! Cah cilik kok dahar! Mangan!<br /><br /><br /> Terus cah loro mindhik-mindhik mlebu omahe bangkit. Nemoni Bangkit lagi enek-enek mangan, cah loro njenggung dhase Bangkit.<br /><br />CAH LORO : Asem i!<br />BANGKIT : Lha kowe ra ndhang mara-mara kok! Kowe gelem piye?<br />CAH LORO : Ya!<br />BANGKIT : Nyo roti bolu! Nyo iwak ingkung! Nyo tai!<br /><br /><br /><br /> Cah telu dha ngguyu ngakak bareng nganti kepingkel-pingkel! Sak banjure cah telu metu ngomah terus mlaku neng lapangan arep nguluke layangan.<br /><br />CAH TELU : Ayo nguluke layangan! (DIBOLAN-BALINE SAK URUTE DALAN)<br /><br />BANGKIT : Neng kene waer ya?<br />CAH LORO : Ya!<br /><br /><br /> Cah telu cekat-ceket masang tali goci neng ragangan layangane dhewe-dhewe!<br /><br /><br />BANGKIT : Piye? Uwis! Aku uwis lho?<br />BINTA : Durung!<br />BANGKIT : Ora ndhang cepet-cepet kaya wong ngising!<br />BINTA : Katimbang kowe cepet-cepet kaya wong mencret! Creeeet!<br />BANGKIT : Wis pa rung! Ayo!<br />CAH LORO : Yo!<br /><br /> Cah telu terus mlayu ngulukake layangan dhewe-dhewe! Bareng wis muluk dhuwur, bocah telu terus sangkutan, ngedhu layangane dhewe-dhewe!<br /><br /><br />KOOR : Sangkutan! Tarik! Ulur! Tarik! Ulur! Tarik! U....wah pedhot! Peh!<br /><br /> Cah telu dadi nangis merga layangane pedhot!<br /><br />KOOR : Eeeeeeng! Eeeeeng! Eeeeng!<br /><br /><br /> Saka suara tangis telu-telune dadi berubah suara kendharaan! Cah telu terus kaya wong numpak kendaraan, mubeng-mubeng!<br /><br />KOOR : Eeeeeng! Eeeeeng! <br />BINTA : Langgar!<br />CAHYO : Salib!<br />BANGKIT : Macet!<br />BINTA : Langgar!<br />CAHYO : Salib!<br />BANGKIT : Macet meneh!<br />BINTA : Langgar!<br />CAHYO : Salib!<br />BANGKIT : Langgar-langgaran! Salib-salib pan! Ning sing rukun ya?<br />KOOR : : Eeeeeeng! Ngetril! Lepas setang!<br /><br /><br /> Terus cah telu tabrakan! Dha pating glasar ning ora dha kelaran tenanan.<br /><br />BANGKIT : Ya mulih yo?<br />CAHYO : Yo!<br />BINTA : Trus adus, bubar kuwi lese ta?<br />CAH LORO : Ya!<br /><br /><br /> Cah telu mlaku mulih nyang omahe dhewe-dhewe! Banjur adus bebarengan!<br /><br />KOOR : Gebyur! Gebrur! Osok-osok osok, bolote nglicop! (DIBOLAN-BALENI)<br /><br />Bareng wis rampung trus cah telu dandan neng ngafrep kaca! Macak! Bareng<br />rampung macak trus metu omah!<br /><br />BANGKIT : Eandi Cahyo karo Binta ya?<br />BINTA : Lho wis nunggu kit!<br />CAHYO : Ayo! <br />CAH LORO : Yo!<br />BINTA : Ayo les! Ngelesi gurune sing ngentutan kuwi!<br />CAH LORO : Yo!<br /><br /> Terus metu les!<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tamat!teaterperonhttp://www.blogger.com/profile/12015829861270632223noreply@blogger.com0